Rabu, 25 Januari 2012

Daun yang Menyentuh Keningmu Cerpen Muhammad Aris


Media Indonesia
Minggu, 17 Maret 2002
Daun yang Menyentuh Keningmu
Cerpen Muhammad Aris

"ADAKAH engkau mengerti, Malam, daun yang jatuh dan menyentuh keningmu yang langsat itu, kini, masih seperti dulu, hijau kekuningan seperti wajah matahari pagi hari, di sela rimbun dedaunan taman kita?! Dan, tahukah engkau, Malam, di mana daun itu sekarang?! Di sini, Malam, di sini, di telapak tanganku. Telapak tangan yang katamu selalu berbau lumpur sawah. Berbau amis ikan dan air-air payau pertambakan!"Suara itu terbawa angin, terpantul-pantul di antara kabel-kabel listrik, kabel-kabel telepon, hitam asap pabrik, deru mobil dan motor, seperti mimpi yang penuh janji. Mengembara sepanjang waktu; sejak subuh pecah sampai rembulan rekah, lalu kembali, menelusup, masuk ke dalam lubang kecil sebuah ruang sempit, kepada tuan dengan napas menggigil, tuan yang tersengal dalam tarikan dan embusan."Adakah engkau mengerti, Malam?!"***"DARI mana asal daun ini, Kakang?" Matamu yang besar-bulat, dengan bulu mata ritmis itu, berbinar-binar, tak lepas memandangi daun itu. Aku tahu itulah tatapanmu yang paling syahdu, ketika melihat sesuatu yang sangat menarik hatimu. Dan, daun itu, Malam, daun itu, begitu segar-menghijau di lentik jari-jarimu.Mataku memandang ke atas, ke pohon yang tersandari tubuhmu. Kepalaku menggeleng. Daun itu tidak sama dengan daun pohon itu, lalu telapak tanganku memekar. Jari-jarimu yang lentik mendekat, tetapi tiba-tiba terangkat, melentik, dan terbanglah daun itu ke angkasa. Tawamu yang kecil dan tersendat-sendat, terdengar begitu gembira. Mataku nanar memandang daun itu. Jantungku berdegup penuh perburuan. Daun itu, Malam, daun itu terus terbang. Kakiku pun melayang, mengajak berlari mengejar.Entah telah berapa ribu mil kami berlarian, Malam, hingga suatu waktu, kami memasuki sebuah desa. Sebuah desa yang sangat lain dengan desa kita. Tak ada kandang ternak, entah sapi, entah kambing atau entah ayam, di belakang atau di samping rumah. Tak ada nyanyian jangkrik bila malam menjelang."Tangkap orang itu!" tiba-tiba telingaku mendengar suara belasan orang mendekat. Tangannya membawa sesuatu. Lalu tubuhku roboh seperti melihat hantu dan terkena lindu.Ketika mataku mulai bergerak, terasa semua tubuhku sangat sakit. Aku merasakan ada yang menetes dari lubang hidungku. Mataku menatap tanah. Cairan itu, di tanah, berwarna merah.Sejenak telingaku menangkap suara langkah orang mendekat, pikiranku menggambar dua orang. Yang satu tinggi besar, dan yang satunya, berukuran sedang. Langkahnya tegap, berdentam-dentam di tanah."Apakah benar orang ini yang membawa bungkusan-bungkusan di tempat ibadah?" Suaranya seperti tidak asing lagi di telingaku, berat penuh wibawa. Pikiranku hanya bisa menggambar sosok berkumis. Tubuh berbau minyak wangi merek terkenal itu, berambut cekak disisir piyak pinggir. Tingginya tidak kurang dari 170 cm."Benar, Pak! Saya saksinya!""Jadi, orang ini! Langkahnya terdengar mengelilingi tubuhku, kemudian tangannya memegang dan mengangkat janggutku."Hei, bicara kamu!" bentaknya keras disertai hentakan pukulan pada perutku. "Ayo, bicara!"Pikiranku telah menyusun cerita yang selama ini teralami, namun entah mengapa yang tergambar kemudian hanya satu, dan inilah yang berulang-ulang keluar dari mulutku tanpa ragu meski dengan nada kesakitan."Daun, daun itu, Pak! Daun itu terbang!"Dua hari tanganku mereka ikat pada batang sebuah pohon. Entah kekuatan dari mana, tanpa diberi makan dan minum, tubuhku tetap dapat berdiri dengan kukuh, tanpa lelah sedikit pun."Kita lepas saja orang ini!""Dilepas bagaimana?""Ya, dilepas! Menurutku, orang ini tidak layak dituntut, sepertinya dia hilang ingatan! Omongannya selalu tidak nyambung dengan apa yang kita tanyakan. Kalau begini terus, untuk apa kita capek-capek menanyainya?!'"Kalau begitu dibunuh saja!""Ya, dibunuh saja!" beberapa suara dengan keras terlontar."Tidak! Saya tidak setuju, itu cara binatang, hukum rimba, namanya!""Dibunuh!""Setuju!""Tidak!""Ya, tidak setuju!"Mereka saling gontok-gontokan sangat ramai, mempertahankan pendapatnya masing-masing. Bahkan ada yang sudah mencabut goloknya, siap diayunkan menebas siapa saja, sewaktu-waktu."Cukup!" sesosok wanita meluncur dari langit yang terbelah. Selendang yang diikatkan pada pinggangnya yang ramping berkibar perlahan. Rambut panjangnya tergerai lepas, berdesir-desir, bagai ombak.Begitu kakinya menginjak tanah, senyumnya mengembang, antara pesona antara kesadisan."Apa yang diucapkannya, yang selama ini membuat kalian tidak megerti, sesungguhnya adalah tentang Aku!"Mulut mereka membisu seperti tubuh mereka yang tanpa gerak. Hanya pandangan mata mereka yang hidup, lurus, menatap ke arah sosok di depannya."Ya, kalian tidak usah bingung! Daun itu, itulah Aku!" Tiba-tiba tawanya membahana. Bohlam lampu meledak. Kabel listrik memercikkan api. Bersamaan dengan itu, terdengar pohon terbelah, pohon beringin yang berusia ratusan tahun itu, terbelah, lalu berdebum ke tanah, dan langit yang begitu biru-ungu, dengan bintang-bintangnya bergetar seperti gemeretak.***DAUN itu, Malam, ingatkah engkau? Selalu seperti mula, saat bibirku mendekat ke bibirmu, saat tanganku menyentuh tanganmu, wajahmu, tubuhmu, pelan, tanpa ramai suara.Dan engkau, Malam, mendesahkan puisi, "Kapankah semua ini akan berakhir?"Rupanya engkau lupa, Malam. Akhir dari puisi adalah sunyi. Seperti awal, seperti penciptaan."Tetapi Kakang?" Engkau mendorong tubuhku perlahan."Bukankah Aku datang dari surga?!" Wajahmu memancar, putih kebeningan."Ya, akan bebas dan akan selalu sehijau kemarau!"Lalu engkau mendekat, dan mendekapku kembali dengan erat.Seperti aku, Malam, seperti aku yang kini terbaring, menunggu. Dan seperti akan selalu menunggu; jatuhnya daun, yang mungkin dari surga, dan menyentuh kembali keningmu. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar