Sabtu, 28 Januari 2012

Mencari Adam Cerpen: Hembang Tambun


Suara Pembaruan
Minggu, 19 Agustus 2007

Mencari Adam
Cerpen: Hembang Tambun

Begitu turun dari sebuah taksi, perempuan itu berjalan perlahan menuju sebuah rumah mewah. Tangannya bergetar saat membuka pintu rumah dengan gontai. Wajahnya yang masai nampak pias. Keriput yang tak dapat ditolak sudah mulai hinggap dan bersarang di sana.

"Sudah pulang, Bu?" suara anak gadisnya menyambutnya.

"Hh...! Hari ini ayahmu belum datang juga!" ia mendesah berat, lalu duduk di sofa empuk ruang tamu. "Tapi mungkin besok ia akan datang, Wi. Ya, ia pasti datang besok! Menurutmu, ia akan datang besok kan, Wi?" suaranya yang semula diwarnai putus asa beranjak penuh harap. Matanya berbinar sambil melihat Dewi, anak gadisnya yang menatapnya dengan hati teriris.

Selalu begitu.

Nyaris setiap hari.

Sudah berapa lama kejadian serupa berlangsung? Seminggu? Sebulan ? Atau... setahun? Ya, Dewi ingat. Hampir setahun. Sejak ayahnya mengubah kebahagiaan yang dinantikan menjadi mimpi buruk. Bukan! Tepatnya, bukan ayahnya yang mengubahnya. Ia pasti takkan sampai hati melakukannya.

Pagi itu, ayahnya sudah mengabari akan tiba di rumah sore harinya. Ia akan mendarat di bandara pukul dua. Ia minta dijemput. Itu merupakan sebuah pertemuan yang dinanti-nanti setelah ayahnya berminggu-minggu dinas di luar pulau. Tapi tiba-tiba semuanya berubah. Untuk pertama kalinya, ayahnya tidak menepati janjinya. Ia tak jadi datang. Yang ada hanya berita pesawat jatuh dan terbakar. Dan malangnya, itu adalah pesawat yang membawa ayahnya.

Ayahnya tak akan pernah datang lagi. Dan ia tak akan pernah menepati janjinya lagi. Tapi perempuan itu - ibunya - benar-benar tak dapat menerimanya. Ia bersikeras ayah pasti datang. Ia pasti datang!

Dan memang, ayahnya datang. Tapi ia datang bukan pukul dua pada hari yang dijanjikannya, melainkan esok harinya, dengan hampir seratusan korban lain yang sudah berubah menjadi jerangkong. Hitam. Persis seperti bongkahan-bongkahan arang yang hangus menghitam. Tak dapat dikenali lagi. Hanya beberapa mayat yang dapat diidentifikasi. Selebihnya, pasrah dipeluk bumi dalam sebuah kuburan massal. Dan ayahnya adalah salah satu di antaranya.

"Tidak! Ayahmu tak ada di situ, Wi! Ia tidak di situ!" Ibunya histeris. "Pasti ayahmu telah menunda keberangkatannya. Mungkin ia akan datang besok!" Ibunya bergumam dalam keputusasaan karena tak berhasil mengenali mayat sang suami. Sebenarnya Dewi juga sama terpukulnya dengan ibunya. Ia menyesali dirinya yang tak bisa mengenali ayahnya yang pernah merupakan bagian dari dirinya. Ia hanya bisa mengeratkan pelukan di bahu ibunya. Tak mampu berkata-kata. Ia berusaha memaklumi situasi ibunya yang sangat labil saat itu.

Tapi ternyata ibunya benar-benar tak dapat menerima kenyataan.

"Antarkan Ibu ke bandara nanti siang, Wi. Ayahmu akan datang jam dua!" katanya keesokan harinya.

"Bu...! Ayah tidak akan pernah datang lagi. Kita sudah mengebumikan jasadnya kemarin. Ia sudah tenang di alam sana. Kita harus berusaha tabah menerima kenyataan ya, Bu!?" katanya miris.

"Kalau kamu sudah memilih untuk menjadi anak durhaka, maka enyahlah!" teriak ibunya marah. Dewi tak sanggup membantah. Lalu ia pun mengikuti kegilaan ibunya. Diantarkannya jugalah ibunya ke bandara siang itu. Dan ketika sore harinya mereka pulang dengan kekecewaan yang berlipat-lipat, ibunya masih bisa berkata penuh harap, "Mungkin ia akan datang besok, ya Wi?"

Dan saat esoknya ibunya minta diantarkan juga ke bandara, Dewi mulai merasa ada yang benar-benar salah dengan ibunya. Sangat serius. Maka ia pun bicara dengan sangat-sangat tegas. Sedikit kasar malah. Barangkali perlakuannya kurang layak didapatkan seorang ibu. Tapi lagi-lagi akhirnya ibunya memang tak terbantahkan. Dikorbankannya lagi satu hari kerjanya untuk sesuatu yang benar-benar gila dan tak berguna.

"Maaf Bu, hari ini Dewi harus masuk kantor!" jawabnya saat ibu memintanya lagi untuk mengantar ke bandara pada hari berikutnya.

"Mana lebih penting: Ayahmu atau pekerjaanmu?" bentak ibunya.

Dewi hanya terdiam. Tak ada gunanya menjawab.

"Kau jangan merasa dirimu hebat, Wi. Kau bisa menduduki jabatan tinggi di kantormu itu karena ayahmu. Ia yang menyekolahkan kamu tinggi-tinggi dan me-lobby rekan-rekan bisnisnya sehingga kamu diterima di kantor itu! Jangan durhaka, Nak. Jangan membalasnya dengan air tuba!" tiba-tiba ibu terisak membuat dada Dewi sesak. Ia benar-benar tak tahu harus berbuat apa. Menentang ibu sama saja seperti usaha menjaring angin.

Ia pun memutar otak, memikirkan alternatif terbaik. Dan ia memilih untuk menyewa sebuah taksi untuk mengantar jemput ibunya ke bandara. Apakah ini sebuah kegilaan? Atau apakah ia hanya mau lepas dari ibunya yang makin aneh saja? Ah! Toh ibunya juga tidak keberatan dengan usulannya itu. Dengan begitu, ia bisa pergi setiap hari ke bandara untuk menjemput ayah yang tidak akan pernah pulang itu.

Dan itu terjadi hampir setiap hari, sejak hari itu.

Selalu begitu.

*

Sore ini perempuan itu kembali lagi ke rumah dengan gontai. Wajahnya nampak makin menua saja. Lipatan keriput di wajahnya pun semakin bertambah.

"Sudah pulang Bu?" kembali sambutan putrinya terdengar.

"Ayahmu nggak datang lagi hari ini, Wi! Mungkin ia akan datang besok, ya!?" gumamnya sambil menuju sofa. Tapi ia terkejut. Di sana, ia mendapati sesosok lelaki bangkit dari duduknya, tersenyum ramah ke arahnya sambil mengulurkan tangan.

"Perkenalkan, Bu! Saya Adam, temannya Dewi!" ucapnya ramah.

Sejenak perempuan itu terpaku. Matanya melebar. Ia berdiri lebih tegak dari biasanya. Disambutnya uluran tangan lelaki itu kuat-kuat, lalu ia memeluknya sangat erat.

"Adam...!? Adam...!? Di manakah engkau, Adam?" bisiknya bergetar.

"Iya, Bu. Saya di sini!" laki-laki itu menepuk-nepuk punggung perempuan itu dengan lembut. Ia sudah cukup banyak mendengar cerita Dewi tentangnya. Dan dia dapat memahaminya dengan sangat baik.

"Tidak!" Tiba-tiba perempuan itu melepaskan pelukannya. "Kau Adam yang lain. Kau bukan Adam yang kucari!" teriaknya. Lalu ia sesenggukan dan kembali terduduk di sofa. Dewi berusaha menenangkannya dengan memeluknya erat. Sementara laki- laki itu cuma bisa memandang dengan haru.

"Adam! Kenapa kamu harus jadi Adam yang lain!? Mengapa ada banyak Adam, tetapi bukan Adam-ku?!" isaknya.

Dewi mengerti. Laki-laki bernama Adam di hadapannya semakin menjelmakan realitas ayahnya bagi ibunya. Juga baginya. Ya! Karena ayahnya juga bernama Adam. Suatu kebetulankah?

Adam dan Adam. Mengapa namanya harus Adam?

Tapi mungkin pertanyaan itu hanya ada di benak ibunya. Bagi Dewi sendiri, itu hanyalah kebetulan yang manis. Ia sudah mengenal Adam yang duduk di hadapannya itu sejak beberapa tahun yang lalu, ketika ayahnya masih segar bugar dan leluasa menjalankan bisnisnya. Awalnya ia tertarik ingin mengenal orang yang sekantor dengannya itu, hanya karena namanya serupa nama ayahnya. Tapi ternyata jiwa mereka bertaut kemudian dan hati mereka saling menggenggam.

"Bu...!" Dewi berbisik dengan lembut setelah perempuan itu tenang. "Mas Adam ini ingin membicarakan sesuatu dengan Ibu!" lanjutnya sambil memberi isyarat pada laki-laki yang duduk di hadapannya itu. Adam membetulkan letak duduknya, lalu berusaha mengeluarkan kata-kata yang sudah terhimpun di benaknya.

"Begini Bu!" ia menelan ludahnya. "Maaf bila waktunya mungkin tidak terlalu tepat!" ia mulai bisa menguasai diri. "Beberapa hari lagi saya akan berangkat ke Surabaya untuk urusan pengembangan bisnis perusahaan selama sebulan. Setelah itu saya memperoleh waktu libur sekitar dua mingguan. Selanjutnya, pihak perusahaan akan menempatkan saya untuk menetap di Surabaya selama beberapa tahun. Jadi, saya ingin membawa Dewi ke sana sebagai istri saya. Bila ibu mengizinkan, kami akan menikah bulan depan sepulang saya dari Surabaya. Orang tua saya akan datang melamar Dewi...!" Adam menjelaskan maksudnya dengan tuntas.

Ibu tertegun. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Lalu tiba-tiba saja ia berucap, "Kalau begitu kita harus menjemput ayahmu di bandara besok siang pukul dua, Wi! Ia harus diberitahu tentang hal ini!"

Kembali Dewi memeluk ibunya erat. Air matanya menderas.

Lalu semua rencana dijalankan. Acara lamaran berjalan baik. Pakaian pengantin dipilih. Undangan perkawinan disebar. Pendeta yang akan memberkati pernikahan dihubungi. Tempat resepsi dipesan. Sementara perempuan itu, ia masih setia pergi ke bandara menjemput suaminya yang - menurutnya - akan pulang pukul dua siang ini.

*

Satu sudah bulan berlalu dengan begitu cepat. Hari ini Dewi akan menjemput Adam di bandara setelah ia menyelesaikan urusan bisnisnya selama sebulan di Surabaya. Ia akan tiba pukul dua. Dia minta Dewi turut menjemput kedatangannya.

"Kalau begitu kita pergi ke bandara sama-sama, ya Wi! Ayahmu juga akan tiba pukul dua siang ini!" pesan ibu, saat Dewi mulai berkemas untuk menjemput Adam. Lagi-lagi Dewi hanya terdiam.

Mata perempuan itu dan Dewi terlihat berbinar di terminal penjemputan bandara siang itu. Mereka diliputi sukacita yang sama, namun dengan harapan yang berbeda. Mereka menunggu Adam yang berbeda. Setiap deru dan raungan pesawat yang mendarat memompakan semangat sekaligus sedikit cemas dalam hati mereka. Harapan semakin memuncak ketika jarum jam mendekati angka yang dinanti. Pukul dua.

Tapi mereka mulai bertambah cemas ketika detik pertama meninggalkan posisi pukul dua tepat. Dan kali ini mereka berada dalam kecemasan yang sama.

"Apakah ia mungkin tidak jadi datang hari ini?" gumam ibunya.

"Berdoalah Bu, semoga tidak terjadi apa- apa dengan Mas Adam. Mudah-mudahan ini hanya karena pengunduran jam keberangkatan dari Surabaya saja!" Dewi membesarkan hatinya.

"Padahal ia sudah berjanji akan tiba pukul dua siang ini!"

"Ia akan datang, Bu!"

"Ya! Ibu juga yakin dia akan datang. Dia pasti datang!"

Dan beberapa puluh menit pun berlalu. Ternyata bukan mereka berdua saja yang cemas. Puluhan penjemput yang lain juga mulai menunjukkan wajah-wajah cemas. Apakah mereka juga sedang menunggu Adam yang lain jam dua siang ini?

Dewi pamit sebentar pada ibunya. Ia menuju counter maskapai penerbangan yang membawa Adam untuk konfirmasi tibanya pesawat. Tapi ia hanya mendapatkan senyum ramah petugas yang dipaksakan. Mereka juga tidak tahu kenapa pesawat belum juga tiba. Padahal katanya tidak ada perubahan jam berangkat dari Surabaya.

"Adam... di manakah engkau?" bisik Dewi. Kenapa Adam seolah harus selalu bersembunyi sejak kejatuhannya di Eden yang permai?

Dia berjalan dengan gontai, menemui ibunya yang hanya memandangnya dengan tatapan kosong.

"Sesuatu pasti telah terjadi dengan Mas Adam, Bu!" isaknya lirih di pelukan ibu.

"Percayalah, Nak, ia akan datang. Ia pasti datang!" Ibu membelai rambutnya. Baru disadarinya betapa dalam ruang kosong yang dimiliki ibunya. Baru dirasanya betapa hampanya sebuah penantian tak berujung. Dan senja itu, mereka hanya bisa pulang dengan kekecewaan yang mendalam. Dalam tangis yang berlarut-larut, Dewi masih komat-kamit mengucap doa-doa.

Lalu perhatiannya mulai beralih pada sebuah kotak ajaib bernama televisi di ruang tamu rumahnya, yang mulai terus-menerus memberitakan hilangnya sebuah pesawat berpenumpang ratusan orang. Ia sudah berusaha mencari beberapa informasi, tetapi hasilnya nihil. Adam dan pesawat yang membawanya sepertinya lenyap tak berbekas, persis seperti hilangnya orang-orang yang dianggap sangat berbahaya di pertengahan tahun 60-an, juga 90-an. Sepertinya Adam sudah terlalu jauh bersembunyi, sehingga tidak bisa mendengar panggilannya. Bila di Eden yang permai Adam segera menyahut walau dengan ketakutan karena ia tahu bahwa ia akan mendapat hukuman atas pelanggaran yang dilakukannya. Adam yang ini sungguh-sungguh tak dapat mendengar suaranya.

Adam ini tega membiarkannya sendirian berhari-hari tanpa sepatah kata. Bahkan ketika hari pernikahannya tiba, ia tega membiarkan altar yang suci itu sepi. Hari-hari bahagia yang seyogyanya akan dirajutnya hari ini, tanpa dinyana berubah menjadi sebuah perkabungan. Berpuluh-puluh jam sudah melintasinya tanpa terbendung. Bahkan berhari-hari sudah melewatinya tanpa sepotong berita baru tentang Adam dan pesawat yang membawanya. Televisi yang memuakkan itu pun hanya berulang-ulang memberitakan pesawat hilang. Entah di mana. Entah bagaimana.

Namun harapan Dewi bertemu Adam masih tetap menggunung. Ia tak henti-hentinya mengalirkan telaga dari matanya, seolah dengan demikian dapat mempercepat kedatangan orang terkasihnya itu. Lalu ia pun merasa bahwa air matanya telah habis, kering menangisi Adam. Maka ia juga harus mulai bisa memakai senyumnya. Memakai tawanya. Maka ia pun mulai tersenyum. Mulai tertawa. Bersiap menyambut Adam yang sekalipun sudah belasan hari menghilang, menurutnya mungkin akan datang pukul dua siang ini.

"Ayahmu akan tiba pukul dua siang ini, Wi. Ibu akan menjemputnya ke bandara!" terdengar suara ibunya.

"Buuu...!" Dewi berteriak kuat-kuat, mengejutkan perempuan itu. Ia menoleh dan memandangnya dengan heran. "Bu, Dewi ikut ya. Dewi akan menemani Ibu ke bandara. Mas Adam juga akan tiba pukul dua siang ini. Mungkin Ayah dan Mas Adam sudah sepakat akan memberi kejutan bagi kita!" katanya berbinar.

"Kalau begitu berkemaslah. Berdandanlah yang cantik. Kita tidak boleh membiarkan mereka terlalu lama menunggu kedatangan kita!" teriak ibunya mengimbangi suara televisi di ruang tamu, yang masih menyiarkan usaha pencarian hilangnya sebuah pesawat berpenumpang ratusan orang, setelah belasan hari.***

Tanah Deli, 16 Januari 2007/Bandung, 02 Juli 2007 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar