Sabtu, 28 Januari 2012

Musik Fajar Cerpen: Us Tiarsa R.


Pikiran Rakyat
Sabtu, 25 Agustus 2007

Musik Fajar
Cerpen: Us Tiarsa R.

DAYANG Sumbi berdiri di tepi jurang. Tatapannya terpana melihat lembah itu berubah menjadi sebuah danau sangat luas. Angin bertiup kencang dari arah bawah. Rambutnya yang nyaris tergerai bagai sekumpulan daun walini, meliuk-liuk. Semua pakaiannya merapat ke tubuhnya berjuntaian ke arah belakang. Tiba-tiba kedua tangannya mengangkat, membuat garis lurus dengan bahunya.
Selendang merah api yang dipegang kedua ujungnya, menutupi sebagian wajahnya. Bagai burung bangau tengah berahi, seluruh tubuhnya bergetar, meliuk, tenggelam, mengapung, meninggi melampaui puncak gunung. Bersama awan ia menari, bergerak, terus bergerak, tanpa henti. Ia ingin merenggut waktu ia ingin membangunkan surya, ia ingin menyibakkan selimut mega dan mencabiknya-cabiknya lebih cepat. Selendang merah itu membuat garis-garis renyai bersama jutaan kunang-kunang. Langit tiba-tiba memerah, cahaya bersemirat mewarnai cakrawala.
Nyanyian langit berdesah, kokok ayam, gondang, angklung, berpadu dalam musik fajar yang bertalu-talu makin lama makin membahana. Dayang Sumbi dalam silhuet itu terus bergerak. Kedua telapak tangannya menggapai-gapai, dari atas ke bawah, dari bawah ke atas, meliuk-liuk, bagai menarik tirai matahari. Langkahnya jingjit dari bukit ke bukit, trisi dari tebing ke tebing.
"Kat! Kat! Kat!" Tiba-tiba sutradara berteriak dari tepi panggung. "Sekarang makin jelas! Bodohnya kamu itu di sana! Ini bukan film, ini bukan sendratari! Ini teater! Teateeeeer! Kedengaran tidak? Kamu itu sedang main teater bukan sedang menari jaipongan atau jadi bintang film kenes!"

"Lalu apa yang harus saya lakukan?"
"Apa? Kamu bertanya? Saya ini sutradara bukan guru pemeranan! Saya ingin kamu menjadi Dayang Sumbi dengan aura seorang putri. Jiwa dan tubuhmu harus mampu menerjemahkan suasana jiwa Dayang Sumbi yang resah, takut, cemas, tetapi yakin akan kebenaran yang diusungnya. Totalitas kamu terganggu dengan masalah teknis. Kamu tahu? Tata lampu dan musik itu sekadar ilustrasi yang mengusung totalitas pemeran kamu!"
"Tapi aku Dayang Sumbi, putri teraniaya. Tebing, jurang, belantara, merupakan panggung pertunjukan bagiku. Aku tidak punya kekuatan menolak cinta siapa saja. Sejak kecil aku tidak memiliki cinta. Dan ketika Aria Tumanggala menyatakan cintanya, kolam cinta yang kosong itu tiba-tiba terisi. Aku sangat bahagia. Ada yang memberi nilai pada keberadaanku sebagai manusia. Aku bukan sekadar sosok yang mengembara dari zaman ke zaman, menumpang dan mengendalikan angin dari anjungan ke buritan. Aku bukan sekadar mega yang berarak dari langit ke langit. Aku bunga yang tengah mencari cinta."
"Bodoh! Bodoh! Bodoh! Itu namanya absrud. Aku tidak suka absurditas. Aku tidak menolak surealisme, tetapi aku mampu membedakan ada dan tidak ada! Surealitas berada di luar realitas. Secara realitas kamu itu Sisy, kamu itu Susila. Wujud kamu, roh kamu tetap Sisy, bukan Dayang Sumbi. Dayang Sumbi benar-benar fiktif, bukan tokoh sejarah dan bukan putri yang mewakili sejarah. Ia bukan berasal dari komunitas tempat pengarangnya hidup. Ia tidak punya hubungan kekerabatan apa pun dengan etnismu, tahu?"
Sang sutradara beranjak dari tempat duduknya. Berjalan ke arah sisi kanan panggung.
"Benarkah aku Susila? Susila? Bukan! Akulah Dayang Sumbi itu. Akulah dayang yang dahaga akan cinta. Akulah pendulang kasih sayang. Telah kutelusuri semua sungai, kuakrabi Gunung Sunda, aku mencari cupumanik berisi bulir-bulir kasih. Aku akan menanamnya hingga berbunga asmara, berbuah cinta."
"Sudah! Kamu overconcentrade. Otakmu dipenuhi imajinasi liar. Aku tidak suka kolaborasi teater dengan kuda lumping. Adegan itu ditunda," sergah sutradara kawakan itu. "Sekarang ganti adegan. Kita jumping ke adegan kelima. Dayang Sumbi duduk di balai-balai, Sangkuriang tidur di pangkuannya. Sekarang tidak ada lagi pemain yang membawa naskah. Hari ini, latihan ke-14. Kita janji latihan ke-13 sudah lepas naskah. Ayo! Cepat!
**
"SIAPA gerangan pengelana yang tersesat?" tanya Dayang Sumbi.
"Aku Jaka Sunda. Berjalan di atas bara dendam. Aku anak terbuang yang terlepas dari ikatan cinta. Aku anak angkat para guriang, teman dekat para siluman."
"Kat! Kat! Kat" teriak sutradara lagi. "Sisy, jangan curi adegan!" Teriakan itu memotong gerakan Dayang Sumbi yang akan memeluk dan mencium Jaka Sunda. "Gambarkanlah isi hatimu, sebagai seorang perempuan yang ragu dan hati-hati. Ia tidak sembarangan berdekat-dekat dengan lelaki, apalagi di hutan belantara."
Sisy tertawa berdera-derai. Lalu menutupi wajahnya dengan sampur yang tidak pernah lepas dari pinggangnya. "Sisy? Aku Sisy? Bukankah aku Dayang Sumbi? Sekarang aku mulai menemukan cinta itu." Susila mulai menangis tanpa air mata. "Aku melihat bulir-bulir cinta, bukan dalam cupumanik, tetapi dalam telaga mata lelaki perkasa ini. Aku akan mengambilnya, kemudian menanamnya dalam hati. Aku mendambakan bunga dan buah cinta!" Teriakannya terdengar hingga ke luar panggung.
"Bukankah kamu tahu, siapa lelaki perkasa di atas pangkuanmu itu?"
"Aku tidak mau tahu. Aku tidak peduli siapa dia, tapi ia pembawa bulir cinta yang tak pernah henti kucari."
"Lelaki itu anakmu, Sangkuriang!" teriak sutradara.
"Sangkuriang? Lalu di mana nilai spacktakle adegan itu bila aku sudah tahu plot, tokoh, dan pengadegannya. Pertunjukan ini akan kehilangan surprise-nya," kata Susila.
"Ternyata kamu tidak terlalu bodoh. Karena Dayang Sumbi dan Sangkuriang merupakan tokoh imajiner, aku mencoba mengembangkan imajinasi pengarangnya menjadi sebuah pergelaran. Sudah! Sekarang break! Baru kali ini aku menyutradarai teater kesurupan seperti ini. Yang lain istirahat, produser, kasting, penata panggung kumpul di bawah."
"Terus terang," kata sutradara itu setelah semua duduk berderet di ruang pertunjukan. "Aku sangat puas dengan penampilan Sisy pada adegan pertama itu. Aku melihat sosok Dayang Sumbi yang sebenar-benarnya. Tapi, aku sengaja memotongnya. Aku takut pertunjukan ini akan benar-benar antiklimaks. Adegan flash back itu akan jadi klimaks. Ke atasnya, tidak ada apa-apa lagi," analisis sang sutradara. "Waktu tersisa satu bulan lagi. Masih cukup. Tolong saya cari kasting lain. Sisy akan saya ganti dengan orang lain."
Pertemuan itu hening. Tak seorang pun mampu menerjemahkan keinginan sutradara.
"Tadinya aku ingin menjadikan teater kita ini menjadi teater realisme. Namun, aku baru sadar teater adalah pertunjukan yang menuntut kejujuran dan tanggung jawab."
"Mengapa tidak kita coba saja, mungkin perannya sebagai Dayang Sumbi merupakan terapi bagi Sisy," kata penulis naskah.
"Aku takut Susila tidak mampu mengendalikan dirinya. Ia masih dalam perawatan psikiatri. Adegan kedua babak keempat tadi nyaris tak terkendali. Sisy kelihatannya makin liar. Tadinya aku bersepakat dengan dokter yang merawatnya, Sisy kita pinjam, kita beri peran yang cocok dengan imajinasinya. Tetapi kita tidak bisa mengeksploitasi kondisi mentalnya. Tidak boleh! Biarkan Sisy berada dalam perawatan dokter. Artinya, dunia teater kita setahun penuh tak pernah disinggahi Susila, aktris luar biasa itu. Kita kembalikan Sisy ke RSJ."
**
SAAT itu Susila pelahan meninggalkan panggung. Seperti biasa, sejak awal latihan, ia selalu menghabiskan waktunya duduk di belakang backdrop mempermainkan alat tenun. Laiknya Dayang Sumbi yang tengah menenun di dangau di tepi hutan, Susila menggulung benang, memasukkan toropong dan menarik barera. Ia nampak sangat bahagia mendengar suara alat tenun. Baginya, suara itu benar-benar musik surgawi.
Di ruang perawatan khusus di RSJ, alat tenun itu temannya yang paling akrab. Aktris panggung yang juga penari itu hampir setahun menjalani perawatan. Ia mengindetikkan dirinya dengan Dayang Sumbi. Kadang sehari penuh ia seolah-olah menenun. Kadang ia berdiri dekat jendela, melihat ke lapangan rumput di bawah. Berteriak-teriak dengan suara yang makin parau.
"Aku Dayang Sumbi Ayu Wangi. Tidak akan membiarkan danau dan perahu itu selesai! Bila fajar tidak datang, cinta adalah malapetaka." Ia mulai menari, meliuk-liuk,, melempar ujung sampur. Jingjit dan trisi dari dinding ke dinding.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar