Jawa
Pos
Minggu,
17 Februari 2008
Jalan
Soeprapto
Cerpen: Yetti A KA
Dan kau malah mengajakku bertemu di Simpang
Kau mengancam, "Awas kalau terlambat. Aku bisa menghukummu, Nona."
Aku tidak tahu apa aku benar-benar menginginkan pertemuan itu, bahkan ketika aku sudah menunggumu, berdiri di pinggir jalan menghadap patung kuda yang tidak terlalu kusukai itu. Aku merasa biasa-biasa saja, seakan kedatanganmu bukan lagi sesuatu yang bisa mengaduk-adukku. Terlebih, sebelum ini kita sudah membuat sejumlah janji pertemuan di
Seorang diri di tepi jalan, dekat traffic light, aku menjelma sebutir buah jatuh yang diabaikan orang-orang. Aku hanya bisa menciptakan keasyikan sendiri dengan menerka-nerka berapa nomor sepatu orang yang lewat di depanku atau menguping sebuah rahasia tidak terduga tentang penyelewengan dana sebuah kantor pemerintah dari dalam mobil berkaca gelap. Tapi sayang, seorang pengamen justru mendekat ke arahku, minta permisi menyanyikan sebuah lagu sendu era 80-an. Mataku terasa sedikit tegang sebelum lagu itu benar-benar berakhir. Kemudian pengamen itu bertanya, bagaimana kalau satu lagu lagi. Aku tertawa. Pengamen itu pergi setelah ia menyanyikan sejumlah lagu lama.
Aku kembali sendiri, dan aku lebih suka begini. Tanpa siapa-siapa. Aku bisa menyaksikan banyak hal. Seperti di ujung sana, tepat di depan lampu merah dari arah Jalan Soeprapto, aku melihat kerumunan anak-anak tibatiba pecah seperti bunga durian gugur ditiup angin. Berserakan. Pertunjukan itu dimulai -drama yang seharusnya bisa menganggu perasaan siapa saja bila kebetulan lewat di
Aku ingin sekali memikirkannya lebih serius sekali waktu. Ya suatu pagi, barangkali, ketika aku bangun tidur dan menyeruput segelas jus belimbing sambil menunggu embun benar-benar luruh dari dedaunan. Saat-saat di mana hatiku sedikit ringan. Sedikit lepas. Bukankah kita perlu berada dalam situasi yang tepat untuk berpikir tentang sesuatu, sekecil atau sesederhana apa pun itu.
Tiga puluh menit aku menunggu, kau baru muncul. "Apa aku membuat Nona menunggu lama," kau terlihat santai. Pipiku sudah merah terbakar. Aku tidak bisa lagi tersenyum. Hatiku terasa keras. Kita jalan berdiam-diam, dari Simpang Lima hingga
Jalan Soeprapto tanpa tahu tujuan kita sesungguhnya.
"Kita cari makan yang enak," suaramu terdengar lebih tenang, jernih dan terkendali. Tidak sepertiku, lebih sering meledak-ledak, terutama dalam keadaan marah atau terpojok. Kau pernah bilang, begitulah kebanyakan perempuan, suka bermain hati. Kalimat yang sama sekali tidak aku sukai karena seolah di balik kata-kata itu kau mau berkata, laki-laki tentu tidak demikian, mereka lebih rasional, lebih cerdas karena itu mereka ditakdirkan berdiri di depan.
Aku menahan sesuatu di dada. Bukan waktu yang tepat untuk berdebat soal lelaki dan perempuan. Bukan tempat yang tepat.
"Hei," kau memecah ketegangan di kepalaku.
"Bagaimana kalau minum teh’di rumah saja," tawarku nyaris kehilangan semangat. Aku sengaja bersikap begitu agar kau menyadari kalau aku mulai tidak menyukai situasi.
"Tidak. Tidak. Itu bukan ide yang bagus. Kau tidak boleh berpikir apa pun mengenai rumah karena kita tidak akan pulang sebelum menghabiskan waktu di bawah langit kelabu ini. Ingat, seminggu lalu aku sudah minta sedikit waktu padamu dan kita sudah sepakat saat kita membuat janji pertemuan di
Aku tersenyum malas,’berdecak kecil. Kukira,
Kau tertawa sangat lebar, "Kenapa kelihatan bingung."
"Entahlah," ujarku ringan.
Tawamu tertahan. "Aku tahu kau sedang berpikir ingin mengacaukan pertemuan ini, dan kau tengah memainkan perasaanmu."
Kembali kita saling diam. Kaki kita bergerak lambat menyusuri Jalan Soeprapto yang tidak terlalu ramai; beberapa remaja berseragam sekolah tertawa ceria, penjual CD bajakan di pinggir jalan tengah termenung dan sesekali berusaha tersenyum pada orang-orang berwajah dingin yang kebetulan lewat. Berada di Jalan Soeprapto, mengingatkanku pula pada beberapa kawan. Andom dengan bukubuku tergelar di lantai dingin depan sebuah toko manisan (barangkali milik Cina), masihkah dia memasang tulisan "menerima buku bekas". Juga Bagus dengan macam-macam kerajinan dari kulit kayu. Lalu sedang melukis apakah Safrin dan Topik sore ini, ketika udara mulai terasa panas dan awanawan bergerak lambat di langit
"Tunggu sebentar, aku belikan kau es krim." Kau berhenti dan singgah di salah satu restoran siap saji yang sedang sepi pengunjung.
Beberapa menit kemudian kau keluar dengan dua mangkuk kecil es krim rasa vanilla yang disiram coklat di atasnya. Kesukaanku.
"Kau gila," kataku,"’kita jarang sekali menemukan seseorang makan es krim sambil berjalan di sepanjang Jalan Soeprapto, apalagi ia seorang perempuan, dan berumur hampir tiga puluh tujuh tahun."
"Kalau lelaki?"
"Kadang lelaki bisa makan di mana saja. Mana ada orang yang begitu peduli. Lelaki bebas peraturan."
"Lelaki yang
Kami memutuskan duduk di depan toko sepatu, dekat sekelompok anak muda menjual macam-macam souvenir.
"Kenapa kau ingin kita bertemu di
"Kau terlalu terburu-buru," sindirmu.
Kembali kami tertawa, tidak peduli menjadi tontonan orang-orang.
"Waktu bergerak cepat, bukan. Sebentar lagi malam datang," kataku.
"Aku ingin kita ditawan malam tepat di Jalan Soeprapto ini, tempat sepuluh tahun lalu kau menolakku. Dulu aku terluka jika mengingat peristiwa itu, tapi sekarang aku sudah bisa tertawa."
Aku menangkap segaris sembilu keluar dari tubuhmu, dan matanya mengarah tajam ke dadaku. Jangan. Jangan. Itu sudah berlalu. Telah diredam waktu. Aku merintih. Aku mengeluh. Aku cair bersama sisa es krim dalam mangkuk kecil. Aku ingin jadi es krim. Manis. Harum. Lezat. Terutama karena es krim disukai anak-anak. Aku mau anak-anak. Pipi montok, aroma bedak, minyak telon dan tangis keras malam hari. Tapi aku tidak bisa menikah. Aku takut tidak cocok. Aku ngeri membayangkan perpisahan. Agamaku melarang perceraian kecuali kematian. Lelaki itu meniup udara kosong. Aku menyandarkan tubuh yang mulai terasa berat pada tiang bercat putih kusam. Sampai hari gelap, aku dan dia belum beranjak. Kami hanya diam serupa patung perahu di Simpang
Sepuluh tahun, dulu.
Sudah berlalu. Jauh.
Kini ia kembali tumpah dan berceceran di Jalan Soeprapto. Betapa aku ingat sekali detailnya, betapa aku ingat warna muram hari malam. Burung-burung walet berterbangan di atas ruko di Jalan Soeprapto. Suara mereka riuh, membuat tubuhku meremang. Suara yang membuatku tidak pernah nyaman mendengarnya. Entah ada apa.
Jalan Soeprapto akan makin tua. Orang-orang pergi. Kau pergi. Lantas aku menjadi perempuan yang menumpuk ketakutan-ketakutan di atas kedua kaki. Lalu masihkah mata kanak-kanak akan berhamburan di Simpang Lima, dan tidak pernah tahu jalan pulang, seperti aku yang tidak pernah bisa pulang pada lelaki.
"Kau tahu besok barangkali matahari benar-benar lupa untuk kembali hingga kita terkurung dalam malam selama-lamanya," kau berbisik.
Aku tidak mungkin bisa, kataku untuk kesekian kali. Aku harus keluar dari Jalan Soeprapto, melangkahkan lagi kedua kakiku yang makin berat ke tempat-tempat terjauh. ***
Bkl-Pdg, 07-08
Tidak ada komentar:
Posting Komentar