Kamis, 26 Januari 2012

Jeritan Sang Ibu Cerpen: R. Dachroni


Batam Pos
Minggu, 12 Agustus 2007

Jeritan Sang Ibu
Cerpen: R. Dachroni

Kecemasan. Perasaan itulah yang pertama kali menyelimuti seluruh anggota keluarga Pak Hitam, menantu dan anak perempuannya yang pertama. Pasalnya, hari itu, Minggu ppagi, anak perempuannya yang kurang lebih sembilan bulan memikul beban diperutnya merintih kesakitan. Suara keluh-kesah terlontar begitu saja dari bibir tipis Siti. Dalam keadaan panik, Pak Hitam dan menantunya si Putih mencari kendaraan roda empat. Taksi. Hanya kendaraan inilah yang sedikit membuat kepanikan itu sedikit meredup karena taksi itu diharapkan bisa mengantarkan keluarga Pak Hitam ke tempat praktek bersalin seorang bidan.

Setibanya di tempat praktek, perawat tanpa berbasa-basi lagi langsung berkata, “Bu bidan lagi pergi ke Singapore”. Jelas pernyataan ini membuat rasa panik menyala kembali. Namun, dengan enteng perawat yang berada di klinik bersalin itu mengatakan, “Tunggu saja disini sebentar, hari ini ibu juga akan pulang,”. Tak sabar menunggu dan menunggu juga tidak mungkin, Pak Hitam mengambil kebijaksanaan lain untuk mengalihkan anaknya ke seorang dokter yang sebelumnya pernah dikunjungi anaknya sebagai tempat check up sembari meminta pendapat dari menantunya si Putih. Si Putih hanya mengamini.

Siti semakin mengeluh kesakitan. Menjerit. “Dokternya, lagi nggak ada, Pak?” sebut seseorang yang menjaga klinik dr. Ajis setibanya Pak Hitam di sana. Pak Hitam yang awalnya sudah bingung menjadi semakin bingung. Dia sendiri tak tahu, harus dibawa kemana anaknya. Seketika saja, muncul ide dari istrinya yang sekaligus sebagai solusi terakhir untuk menyelesaikan persoalan.
“Bagaimana, kalau kita bawa Siti ke puskesmas?” kata sang istri.
“Puskesmas!” imbuh Pak Hitam setengah kaget.
“Iya, puskesmas” istrinya meyakinkan.

Pak Hitam termenung sejenak. Dari kerutan kening di wajahnya, tampak dia kurang yakin dengan kualitas pelayanan puskesmas yang berada di kecamatan tempat dia tinggal itu. Namun, perasaan remeh itu harus segera dia singkirkan. Demi sebuah tujuan. Keselamatan, meski untuk selamat itu tidak ada sebuah jaminan. Itu hanyalah kuasa Tuhan. Bidan Rahmah, salah satu bidan yang cukup populer di puskesmas, menyarankan agar anaknya segera dititipkan di puskesmas. Sebab tanda-tanda kelahiran itu sudah kelihatan.

Hingga sore tiba, matahari meninggalkan singgasananya, sehingga langit tampak merah-kemerahan. Orok yang ada di dalam perut Siti sudah tak betah berlama-lama berada di dalam dengan menggunakan plasenta sebagai saluran penyalur makanan.

Bidang Rahmah berorator, “Ayo tahan nafas. Lepaskan secara perlahan,”.
Siti menjerit, “Aduh tak tahan, Bu!”
“Tarik nafas sekali lagi, lepaskan secara perlahan,”
Siti tak mampu lagi menyusun kata-kata padahal banyak kalimat yang tersimpan di dalam benaknya. Dia hanya menjerit sembari menahan rasa sakit. Wajahnya memutih. Bola matanya menegang. Seluruh tenaganya terkuras dan akhirnya.

“Oek…, oek…, oek…,” suara tangis bayi yang keluar dari rahim Siti. Orok itu masih merah dan meraung-raung gelisah seakan-akan ingin melepaskan diri dari gendongan perawat. Sedangkan tali pusar masih menyangkut di pusarnya. Perawat pun tersenyum. Putih, suami Siti, tampak kebingungan. Kebingungan yang berawal dari sebuah kebahagiaan. Istri dan anaknya selamat dalam sebuah pergulatan antara hidup dan mati.

Betapa sulit kelihatannnya, sehingga Siti mengeluarkan butir-butir keringat, menarik nafas dan mukanya pucat setelah bayi yang dinanti kehadirannya keluar dari rahimnya. Syukur tak terhingga, dia ucapkan kepada sang khalik. Suaminya, tengah mengumandangkan iqamah di dekat telinga sebelah kanan bayi laki-lakinya. Sisa-sisa sakit itu seolah-olah tidak dirasakan lagi oleh Siti, karena si orok yang dibawa oleh perawat telah dibaringkan di dekatnya. Terbayang olehnya, penderitaan ibu-ibu yang lain termasuk sesosok ibu yang melahirkannya.

“Beginikah rasa sakit yang dirasakan oleh Ibuku, ketika melahirkan aku. Suatu perjuangan yang takkan mungkin dibalas dengan apapun. Kematian adalah resiko terhebat yang dialami. Dan aku sekarang merasakan hal yang sama. Ibuku ketika menarik-ulur pernapasan hanya untuk mengeluarkan aku. Sakitnya luar biasa, masihkah aku berkata kasar dengannya. Begitu naifnya aku, setelah lama dirawat banyak kata-kata tak sedap yang aku lontarkan kepadanya. Salahkah aku, Tuhan! Ya Allah ampunilah dosa-dosaku,” Siti membatin sembari mengeluarkan butiran air mata. Dan sadarlah ia selama ini akan jerih-payah ibunya mengurus dan merawatnya. Entah berapa banyak, kata-kata kasar baik yang sengaja maupun tidak diucapkannya tanpa menimbangkan rasa.

Hingga dia melewati masa yang begitu menegangkan, sang ibu tetap menemaninya. Sang ibu kini merawat anaknya. 27 tahun dia hidup di muka bumi, baru kali ini dia merasakan perasaan kasih sayang seorang ibu yang tak ternilai harganya. Namun, nenek dari anak laki-lakinya itu tampak bahagia dan bergembira di usianya yang ke-54 dia mampu membantu anaknya untuk memandikan dan mengurus cucunya. Maklum, Al-Fathoni demikian anaknya memberi nama adalah cucu perdana dari empat anak yang dia miliki.

“Mengapa diberi nama Al-Fathoni?” ujar anaknya yang bungsu kepada kakaknya.
“Al-Fathoni itu artinya cerdas,” jawab Siti yang tengah terbaring menyusui anaknya.
Tanpa bertanya panjang lebar lagi, adiknya dapat menangkap bahwa kelak ponakannya itu menjadi anak yang cerdas. Dan dia pun berharap seperti itu. Cerdas bukanlah hasil yang datangnya secara tiba-tiba. Tidak cukup hanya dari nama, tetapi proses bagaimana anaknya nanti menjalani kehidupan. Teman-teman adiknya banyak yang memiliki nama-nama pilihan yang mempunyai makna yang luar biasa. Hampir semuanya mempunyai makna kebaikan. Akan tetapi, sungguh disayangkan, prilaku teman-temannya jarang sekali dia lihat mengarah ke sana malah sebaliknya. Siapakah yang salah? Haruskah menyalahkan sang ibu? Kalau pun salah, patutkah menyalahkan seseorang yang telah menjerit-jerit kesakitan tatkala mengeluarkan orok yang cengeng, menyusui dengan rasa kasih sayang, mengurus dan berkorban demi buah hati tanpa mengenal lelah. Dan lemahlah dalil untuk menyalahkan sang ibu karena jeritannya begitu mahal, sehingga harta yang dianugerahi Tuhan kepada konglomerat sekalipun takkan mampu membayarnya. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar