Rabu, 25 Januari 2012

Dendam Darah Revolusi Cerpen: Restoe Prawironegoro Ibrahim


Seputar Indonesia
Minggu, 05 Agustus 2007

Dendam Darah Revolusi
Cerpen: Restoe Prawironegoro Ibrahim

Tiba-tiba Pak Sentot memekik,”Tidak! Tidak! Aku bukan pahlawan, tapi pengkhianat bangsa dan negara.”Pak Sentot memukulkan tinjunya ke dinding.”Yah…,aku bukan pahlawan, catat baik-baik.”

Jarot bangkit mendekat pada Pak Sentot. ”Baiklah, kalau Bapak tidak mau disebut pahlawan, tapi yang jelas. Bapak bukan pengkhianat, kan?” bujuk Jarot pada Pak Sentot yang memang tidak senang dipuji. Pak Sentot berbalik menghadap Jarot, lalu memandang para pemuda itu satu per satu.

”Kalian tidak tahu, dan memang tidak ada yang tahu kecuali diriku sendiri dan Tuhan.Hari ini,adalah hari akhir dari kebohonganku yang besar. Aku adalah mata-mata Belanda yang menyusup menjadi tentara,” orang tua itu menjambak rambutnya dan para pemuda itu terperangah.

”Kenapa kalau perang aku berani sambil berdiri, sebab aku telah mengenakan suatu tanda. Dengan tanda itu, Belanda tak mungkin menembakku. Kenapa aku berani menghadang konvoi Belanda sendirian, sebab yang kulakukan sebenarnya bukan menghadang, tapi aku memberitahu kalau mereka diancam bahaya oleh tentara Indonesia yang menghadang di jembatan yang akan dilaluinya. Pak Sentot kembali berhenti beberapa saat dan melihat kedua telapak tangannya.”

Kedua tanganku ini telah berlumur dosa, kendati pada akhirnya aku banyak membunuh Belanda. Yah, aku memang membunuh Belanda dengan kenekatan di luar akal. Aku memang yang membakar gedung mesiu di markas Belanda. Aku memang telah tiga kali menaiki tank dan menghancurkannya. Yah… aku memang banyak membunuh Belanda, tapi bukan untuk bangsa dan negara.Tidak! Melainkan, karena dendamku yang membara.

Yah… serangan Belanda yang membabi buta telah membunuh kedua orang tuaku. Aku jadinya balik pantat. Oleh karenanya, orang lain mengatakan aku pemberani, patriotik, dan macam-macam sebutan lainnya.Tapi, aku sendiri telah menganggap diriku gila.” Barangkali Pak Sentot sudah puas melihat cucunya hidup merdeka. Bisa mencari ilmu dengan leluasa dan fasilitas hidup yang cukup, serta dengan jabatannya sendiri selaku penjaga masjid. Memang, orang yang dijuluki ”singa revolusi” dari Desa Bentengsari itu, makin tua kian alim.

Ia selalu menolak pemberian hadiah dari mana pun datangnya, yang selalu dikaitkan dengan perjuangannya semasa revolusi dulu. Malah tidak jarang ia menolak sambil menangis. Padahal, menangis dulunya pantangan bagi pemuda Sentot.Teman-temannya yang gugur oleh peluru Belanda tidak ada yang ditangisi, kecuali dijadikan pelecut semangatnya. Bahkan, ketika ayah ibunya mati dengan perantara mortir Belanda, ia hanya meratap dengan ekspresi dendam yang membara.

”Aku akan balas bajingan-bajingan itu!” Itulah kalimat yang dipekikkan usai mengubur jenazah ibu bapaknya. Tapi, sikap Pak Sentot itu membuat para pemuda di kampungnya semakin penasaran.Terutama Jarot, yang memelopori pemuda-pemuda itu untuk membukukan cerita perjuangan Pak Sentot dengan teman-temannya, khususnya yang sekampung. Ayah Jarot sendiri adalah sahabat karib Pak Sentot yang gugur di medan laga.

Entah untuk kali yang ke berapa pemuda-pemuda itu dikecewakan oleh Pak Sentot. Lagi-lagi mereka pulang dengan tangan hampa. Pak Sentot yang dirayu dengan bermacam-macam cara tetap saja bungkam. Wajar kalau ia tambah wibawa. Betapa tidak,pada saat orang lain ramairamai menuntut haknya sebagai veteran empat-lima,Pak Sentot malah bungkam tentang perjuangannya. Sebetulnya, sejarah kecil yang ditulis oleh para pemuda itu sudah hampir selesai.

Tinggal menunggu pelengkap dari pelaku utamanya,yaitu Pak Sentot.Tapi, kini jalan semakin sempit bagi mereka untuk mengorek cerita dari Pak Sentot. ”Bagaimana, apakah kita tetap menunggu cerita dari Pak Sentot?” tanya Jarot pada teman-temannya. ”Aku pikir tak usah.Toh cerita yang kita tulis sudah dapat dipertanggungjawabkan…” jawab Bondan. ”Ya… empat sumber sudah cukup,” Tarsih menopang pendapat Bondan. ”Cukup sih cukup… tapi kalau Pak Sentot mau memberi keterangan, buku yang kita tulis akan lebih sempurna. Sebaiknya kita coba sekali lagi,” sanggah Umar diplomatis, ”aku punya ide….” ”Coba jelaskan!” pinta Jarot yang penasaran.

Umar mengangguk-angguk kepala. ”Ayo, Mar, jelaskan. Penasaran sih kita,” sambung Tarsih tak sabar. ”Okey, tapi kita duduk dulu. Jangan di tengah jalan seperti ini!” Mereka setuju dengan usul Umar. Dan, sebentar kemudian, mereka sudah duduk di ruang tamu rumah Tarsih. ”Ideku simple saja,”Umar memotong suaranya dengan minum-minuman yang baru saja dikeluarkan oleh Tarsih.

”Kita tidak usah meminta cerita pada Pak Sentot. Kita baca saja cerita yang telah kita tulis di hadapan dia, kemudian Pak Sentot tinggal menjawab benar atau tidak.Tapi, risikonya kita bisa dianggap sebagai pemuda yang tak sopan dan tidak menghargai kepahlawanannya.” ”Gawat juga,” desah Umar.,Yang lain pada diam, menimbang-nimbang akhirnya mereka setuju dengan ide yang dianggap kurang sopan itu. *****

Pak Sentot semakin menunduk. Air matanya mulai bergulir membasahi kedua pipi tuanya. Kini betul-betul terbayang kembali suasana revolusi dulu. Terbayang ayah Jarot yang mati disampingnya. Terbayang Baco, komandannya yang mati bersama temantemannya.

Terbayang kedua orang tuanya yang mati mengerikan kena mortir Belanda.Yah, semuanya terbayang kembali dengan jelas. Dan, Pak Gatot sampai sekarang belum bisa melupakan keberanian temannya ini, yang menaiki tank Belanda lalu memasukkan granat tangan ke dalamnya. Yah,semua cerita itu dibenarkan oleh Pak Sentot.Tapi, di wajah tuanya itu tak tampak sedikit pun kebangaan, malah guratan-guratan sedih tampak jelas. Barangkali ia ingat teman-temannya yang telah gugur.

”Kami betul-betul bangga sebagai pemuda di desa ini mempunyai pahlawan yang gagah berani…” puji Jarot polos. ”Sekarang semuanya sudah jelas. Kalau kalian tetap ingin mengukuhkan riwayatku, silakan! Dan, tulislah dengan huruf besar ”Sentot Pengkhianat Bangsa” sebagai judulnya. Aku rela dan siap menerima cacian. Bahkan kutukan,” katanya.

”Tapi aku bersyukur,tidak dikaruniai anak oleh Tuhan. Sebab, aku khawatir jika anak-anakku tidak bisa menerima kenyataan bahwa ayahnya adalah pengkhianat bangsa….”Orang tua itu menyudahi pengakuannya. Lalu kembali menatap pemuda-pemuda itu satu per satu. Tampak sekali mereka kecewa mendengar penjelasannya. ”Kalian kecewa mendengar penjelasanku?” ”Tidak, kami tetap kagum…,” jawab Jarot tegas. ”Kagum?” ”Ya, Pak Sentot telah menebusnya dengan setimpal!” ”Setimpal!” ”Yah…” Pak Sentot tercengang.

”Aku ingin tanya pada kalian, selaku pemuda, dapatkah kalian memaafkan aku?”suara Pak Sentot melemah dan dia mendekat pada Jarot. ”Kenapa tidak, Pak,” Jarot yang menjawab karena yang lain masih diliputi rasa tidak percaya. ”Biar tuntas kuberitahukan juga, bahwa ayahmu Jarot, tidak mati oleh siulan peluru Belanda, melainkan kutembak sendiri, lantaran aku khawatir dia akan membuka rahasiaku….” Jarot langsung lemas mendengar pengakuan tambahan dari Pak Sentot itu.

Buku yang dipegangnya jatuh dan terbuka.Terbaca oleh Pak Sentot sebuah kalimat yang diberi garis bawah, ”Aku bangga Ayah gugur membela bangsa”. ”Jarot, nilai kepahlawanan ayahmu tidak berkurang,” Farida berusaha mengurangi kegoncangan Jarot. ”Yah… Pak Sentot hanya perantara syahidnya ayahmu saja,” tambah Darsi menopang Farida. ”Kasihan kau anak muda.Sebetulnya ayahmu sama seperti aku, pengkhianat. Hanya dia lebih licik.Yang kumaksud rahasiaku adalah dendamku pada Belanda.”

Sayang kata-kata Sentot itu cuma dalam hati. Ia memang ingin mengutarakan biar tuntas. Biar sejarah ini lurus.Tapi ia melihat Jarot sudah lunglai. Jarot memang sangat membanggakan jiwa kepahlawanan ayahnya. Pak Sentot membenamkan wajahnya ke dinding. Oh Tuhan, ampuni hamba-Mu yang tak mampu meluruskan sejarah ini.***
Catatan; Jakarta: 25 Juli 2007.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar