Sabtu, 28 Januari 2012

Midnight in Cairo Cerpen: Irwan Kelana


Republika
Minggu, 03 Juni 2007

Midnight in Cairo
Cerpen: Irwan Kelana

“Bunyi SMS itu membuat Sausan terjaga dari tidurnya. Ia melirik jam dinding. Pukul tiga dini hari. Siapa yang malam-malam begini mengirim SMS?” batinnya. Namun ketika membuka pesan singkat itu, jantungnya mendadak berdegup kencang.

Pesan itu datang dari seseorang di Indonesia. Seorang laki-laki yang selalu ingin ia lupakan, namun ia tak pernah kuasa menghapus nomor yang bersangkutan dari HP-nya: Tolong jemput orang tuaku di Bandara Cairo. Penerbangan SQ pagi ini. Syukran. SMS itu kontan membuat rasa kantuk Sausan hilang. Sejenak ia ragu. Apakah ini hanya pesan main-main? Betapa pun ia tak bisa menyembunyikan kebungahan hatinya, walaupun api cemburu kerap menyesakkan rongga dadanya. Kenapa ia mengirim SMS-nya kepadaku, bukan kepada Yasmine?

Setahun lalu Topan diundang ke Mesir. Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) itu melejit namanya sebagai seorang penulis muda yang sangat berbakat. Banyak yang menyebutnya sebagai Aidh Al-Qarny-nya Indonesia. Di usianya yang belum genap 30 tahun, ia telah menelurkan lebih 10 buku keislaman yang mendapatkan tanggapan sangat luas di Indonesia. Salah satunya adalah karya fenomenal Bahagia Selamanya yang disebut-sebut tak kalah hebat dari buku La Tahzan, karya masterpiece Aidh Al-Qarny, penulis asal Arab Saudi yang telah menghasilkan lebih 800 naskah buku dan manuskrip, dan telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Fenomena Topan mendorong Persatuan Pelajar Mahasiswa Indonesia (PPMI) di Mesir dan ICMI Orsat Cairo untuk mengundang lelaki bermata teduh itu jadi pembicara di Cairo.

Sebagai pengurus PPMI, Sausan dan Yasmine bertugas mengurus konsumsi Topan selama dia menginap di Wisma Nusantara Cairo. Yasmine, gadis cantik blasteran Arab-Aceh cukup agresif menarik perhatian Topan. Ia kerap bertanya tentang berbagai hal, terutama mengenai kiat-kiat menulis dan kondisi di Tanah Air. Lelaki itu pun meresponsnya dengan hangat.

Diam-diam hal itu tak pernah luput dari perhatian Sausan. Namun gadis Bandung itu berusaha untuk bersikap sewajar mungkin. Beberapa kali Topan mengajaknya bercanda, atau menyindirnya, namun Sausan menanggapinya dengan dingin. Beruntung ia mengenakan cadar, sehingga Topan tidak bisa melihat perubahan air mukanya. Ketika Topan kembali ke Tanah Air, panitia mengantarnya sampai Bandara Cairo. Hanya Sausan yang tak ikut mengantar. Ia mengaku tak enak badan.

Orang tuanya memberi nama Sausan, dalam bahasa Arab artinya Teratai. Gadis berusia 22 tahun itu lahir di Makkah, ketika ayahnya bertugas di Arab Saudi sebagai diplomat. Sejak kecil Sausan dididik oleh orang tuanya untuk menutupi seluruh tubuhnya dengan busana muslimah. Walaupun seluruh tubuhnya berbalut jilbab, hal itu tidak mampu menyembunyikan posturnya yang semampai. Mata indahnya menyorot bening. Hidungnya yang bangir tertutup cadar. Namun siapa pun tak mudah melupakan suaranya yang lembut melelapkan, bagaikan bunga teratai yang berbaring tenang di hamparan air kolam.

Sausan segera berwudhu. Lalu mengerjakan shalat Tahajjud empat rakaat. Ia berdoa agak lama. Hatinya berdebar-debar. Menjemput orang tua Topan seakan-akan menjemput Topan itu sendiri. ''Nama orang tua Mas, siapa?'' Namun lelaki itu tak menjawab SMS-nya. Sausan menggerutu dalam hati. Akhirnya ia mengambil selembar kertas dan spidol. ''AYAH-BUNDA TOPAN''. Sausan mengenakan gamis favoritnya, warna hijau tua, yang dipadukan dengan kerudung lebar warna hijau muda, serta cadar warna putih susu. Tak lupa ia membawa tas warna coklat muda.

Ia meninggalkan asramanya, di Wahran Street, tempat banyak mahasiswa Indonesia tinggal selama menuntut ilmu di Cairo. Lalu menyetop taksi ke Cairo International Airport yang berjarak sekitar 25 kilometer. Jarak itu bisa ditempuh dalam waktu sekitar 35 menit, sebab taksi di Cairo umumnya menggunakan sedan Peugeot tua buatan tahun 60-an akhir atau 70-an awal. Ia tiba di bandara saat terdengar adzan Shubuh. Tak lama kemudian pesawat SQ dari Jakarta via Singapura itu mendarat. Setelah menunggu sekitar setengah jam, barulah penumpang meninggalkan loket pemeriksaan imigrasi.

Sausan mengangkat kertas bertuliskan AYAH-BUNDA TOPAN. Tak berapa lama kemudian sepasang orang tua berumur sekitar 55-an tahun menghampirinya. ''Assalaamu'alaikum, Nak. Betul kamu yang bernama Sausan?'' tanya lelaki itu. Sausan mengangguk. ''Wa'alaikumsalaam. Saya Sausan.'' ''Saya Taufiq, ayahnya Topan. Ini ibunya, Siti Masyithah.''
''Selamat datang di Cairo, Pak, Bu,'' Sausan mencium tangan keduanya. Ia membantu membawakan koper kecil milik Ibu Masyithah. ''Terima kasih, Nak,'' kata Ibu Masyithah sumringah.

Sausan mengajak mereka shalat Shubuh di mushalla bandara. Kemudian menyetop taksi. ''Kita langsung ke hotel. Kami sudah pesan kamar di Four Seasons. Katanya pemandangannya indah, di tepian sungai Nil. Kamu ikut ya, Nak,'' kata Bapak Taufiq. Sampai di hotel, Sausan terkejut. Karena ternyata orang tua Topan telah memesankan kamar untuknya. ''Supaya Nak Sausan tidak capek harus mondar-mandir ke pemondokan,'' begitu alasan Ibu Masyithah.

Bulan Agustus, kampus masih libur. Cuaca akhir musim panas masih cukup terasa menyengat. Namun di dalam hotel berbintang lima itu seakan-akan udara panas tak kuasa menerpa. Orang tua Topan minta diajak berkeliling Cairo. Sausan dengan senang hati mengantarnya. Ia sudah empat tahun bermukim di Negeri Seribu Menara itu, dan cukup hapal seluk-beluk kota Cairo. Termasuk seni tawar-menawar saat berbelanja.

Dalam waktu empat hari, mereka telah menyambangi berbagai tempat menarik dan selalu dikunjungi oleh para turis mancanegara, seperti pusat kristal Ashfour, pasar rakyat Atabah, Malikul Coktil, Benteng Citadel, Pasar Husein, Universitas Al-Azhar, Masjid Amru bin Ash, Pyramid, Giza, Museum Fir'aun, Iskandariah dan Laut Merah.

Malam musim panas di Cairo tak ubahnya siang hari. Cafe buka hingga lewat tengah malam, bahkan sampai menjelang pagi kira-kira pukul tiga. Malam itu mereka berkunjung ke Cafe Al-Fisyawy, terletak di Khan Khalili. Tempat favorit para budayawan dan seniman Mesir, termasuk sastrawan Mesir paling terkenal, Naquib Mahfouz. Di musim panas seperti ini, cafe tersebut sangat ramai. Apalagi lewat tengah malam, suasananya sangat romantis.

Mereka memesan tempat di pojok. Menu yang dipilih adalah nasi kusyari dan merpati panggang (masywi). Minumnya syurbah adas dan carcade. Banyak pedagang asongan datang. Mereka menawarkan dompet, tas, manik-manik, tasbih dan lain-lain. Sudah lewat tengah malam. Tiba-tiba Sausan dikejutkan oleh kedatangan Topan.
''Mas Topan, kapan datang ke Cairo?'' tanya Sausan.
''Tadi pagi. Sengaja aku tidak memberitahu Sausan.''
''Mau menjemput Bapak dan Ibu ya?''
''Bapak dan Ibu biar pulang sendiri saja.''
''Terus, Mas, ada acara apa?''
''Aku akan melanjutkan S-2 di Universitas Al-Azhar. Beasiswa dari Pemerintah. Adapun kedatangan orangtuaku ke mari membawa misi khusus.''
''Misi khusus, maksud Mas?'' Sausan memandang Topan dan kedua orang tuanya.
''Kami ingin melamar Nak Sausan untuk Topan,'' kata Bapak Taufiq.
Sausan tercekat. Jantungnya seperti mau copot.
''Bagaimana, Nak?'' tanya Ibu Masyithah penuh harap.
''Kenapa memilih Sausan?'' tanya Sausan kepada Topan.
''Memangnya kenapa? Enggak boleh? Atau kamu sudah ada yang melamar?''
''Bukankah ada si lesung pipi nan cantik?''
''Yasmine, maksudmu?''
Sausan mengangguk.
''Bagiku cinta itu sederhana saja: wanita yang aku cintai adalah ia yang membuatku sangat kangen untuk selalu bertemu. Ternyata yang muncul selalu bayang wajahmu. Itu sebabnya aku mengutus ayah dan ibu ke Cairo untuk bertemu langsung denganmu. Ternyata mereka bilang, kamu sangat pantas untuk jadi istriku. Tak Cuma cantik tapi juga salehah,'' kata Topan sambil memperlihatkan SMS dari ayahnya.

Sausan melirik kedua orang tua Topan. Mereka tersenyum.
''Jangan menolak untuk jadi menantu kami ya, Nak,'' kata Ibu Masyithah. Tanpa sadar, Sausan mengangguk.
''Nak Sausan, bolehkah Topan melihat wajahmu, biar hatinya tambah mantap?'' tutur Ibu Masyithah berbisik di telinga Sausan.
Perlahan, Sausan membuka cadarnya. Maka tersibaklah wajahnya yang putih bercahaya. Topan terkesima.
''Kalau sudah menikah nanti, maukah engkau tetap memakai cadar itu?'' tanya Topan.
''Mengapa?''
''Aku sangat suka. Cadar itu membuat bola matamu bertambah indah. Kamu sangat cantik hanya dengan melihat matamu saja. Biarlah hanya aku saja yang mengetahui bahwa kamu betul-betul cantik luar dan dalam.''***

Cairo, midnight, Juli 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar