Kamis, 26 Januari 2012

Kyoko, Aishiteru Cerpen: Iggoy el Fitra


Media Indonesia
Minggu, 10 Juni 2007

Kyoko, Aishiteru
Cerpen: Iggoy el Fitra

KAU datang kala mendung jatuh di pucuk siang.
Lima jam yang lalu janjimu. Aku mengira pesawatmu langsung terbang dari Jakarta. Tapi bukankah bandara ini bandar udara internasional? Maka pesawatmu langsung terbang ke sini lewat transit dari Singapura, saat petir mulai bermusuhan dengan cuaca.
Berulang kali kuamati ke pintu kaca otomatis itu, di mana orang-orang keluar dari sana dan berharap ada yang menanti mereka dari perjalanan yang lelah. Kau keluar dari situ setelah mataku jemu. Tubuhku terasa lekat di kursi tunggu, terasa enggan menghampiri dan memelukmu.
Kau mencari-cari, mengedarkan pandangan. Tukang-tukang taksi sibuk menanyaimu dengan bahasa Inggris mereka yang berantakan. Saat itu kau hanya membawa travel bag kecil dan sebuah tas punggung. Kaulingkarkan di lehermu syal yang pernah kuberikan. Rambutmu kau biarkan tergerai tanpa topi ataupun bando. Kau tetap tampak feminin meski jaket dan celana panjangmu berbahan jins.
Aku menguntitmu dari belakang. Orang-orang terlihat terkesima dengan kulit dan matamu yang tak biasa bagi mereka.
Kau mendapatiku di belakangmu.
"Konnichiwa, Kyoko," aku menyapa lebih dulu.
"Haa, konnichiwa!"
Benar. Kau memelukku. Tetapi apakah ini pelukan terbaik yang pernah kauberikan pada ayahmu? Kau bilang, selepas kedua orang tuamu meninggal, ingin sekali kau memeluk seseorang seperti memeluk ayahmu, melepaskan rindu yang menggebu-gebu.
"Aku hanya membawa motor," kataku lagi sambil memperlihatkan kunci dan gantungan berupa lampion.
"Daijoubu (tidak apa-apa)," jawabmu.
Langit menggelap, dan cahaya-cahaya berkelipan di dalamnya.
Aku lupa membawa mantel. Barangkali kita akan terjebak hujan di tengah perjalanan ke rumahku yang jaraknya kira-kira lima puluh kilo. Pastikan travel bagmu yang kuletakkan di depan pinggangku tahan air, sebab kurasa tidak ada tempat untuk kita berteduh di sepanjang jalan bypass nanti.
"Ame ga furusoodesuyo (sepertinya hujan akan turun)," kau bergumam menghadap langit, lalu menoleh ke wajahku. Aku mengangguk. Kau tersenyum dengan mata nyaris menyerupai garis.
Ah, kau selalu tidak peduli apa pun jika sudah bersamaku. Meskipun begitu, tak juga ada niat dalam hatiku untuk mengatakan bahwa aku mencintaimu.
***
Perjalanan terasa lambat. Motorku tak bisa cepat seperti motor balap teman kuliahmu yang pernah kupinjam dulu. Selain itu, aku pun harus waspada dengan petugas lalu lintas di jalan, sebab motorku tak lengkap surat-suratnya. Apa bedanya saat di Osaka: harus bersembunyi lantaran dikejar petugas imigrasi. Bekerja di negeri orang memang sulit, apalagi bila hanya menjadi buruh. Namun, jika upahku diberikan sesuai kerjaku, tak jadi masalah. Apalah arti bersusah-payah, jika setahun bekerja hanya diberi dua bulan gaji? Kau menyelamatkanku dari kebuntuan itu.
Jalan mulai melebar memasuki jalan besar bebas hambatan. Kau memasukkan kedua ujung tanganmu ke saku jaketku di sebelah kanan-kirinya. Dingin terasa hebat. Anak-anak gerimis berjatuhan di kaca helmku.
Begitulah, hujan turun sederas-derasnya. Motor kulambatkan. Aku tak mau kita menjadi korban jalan yang sadis ini, entah korban yang ke berapa. Mobil-mobil besar yang lewat membuat getir siapa saja. Melambatlah kita di bahu jalan.
Derasnya hujan membuat telingaku berdengung. Aku mendengarnya seperti putaran gramofon yang mengiringi dansa kita di apartemenmu. Tepat di lantai dua puluh satu, kauciptakan suasana malam pagi itu. Hanya lilin-lilin yang menyala di antara hidangan sarapan.
Kau bilang, "Aishiteru..."
Pertama kali kau katakan itu padaku, dan sampai kini tak pernah kujawab.
"Piringan hitam itu milik ayahku. Aku ingin mendengarnya bersamamu," pintamu seolah merayu.
Kemudian berdansalah kita di antara nuansa yang sendu.
Pengaruh anggur putih terlalu kuat atas kepalaku. Maka tiada yang dikehendaki selain kehangatan yang bergemuruh. Aku baru sadar paginya, mendapati tubuh telanjangmu tegak di hadapku membawakan secebis roti dan susu.
"Aku menyukai lelaki berkulit cokelat."
"Apa hanya karena itu kau mencintaiku?"
"Tidak. Kau juga seperti ayahku."
"Ayahmu? Berkulit cokelat?"
"Ia orang Bali..."
"Ah ya? Gila, kau mencintaiku seperti mencintai ayahmu? Mengapa tak kaucarikan aku perempuan lain untuk menjadi ibumu?!"
Ah, betapa besar marahku ketika itu. Namun tak kaubiarkan aku pergi dari sisimu, dan maafmu terulang berkali-kali untukku. Lariku yang jauh, berakhir juga di ranjang apartemenmu. Betapa tidak, telah kauberikan segalanya, sampai-sampai kauhentikan kuliahmu di Universitas Kota Osaka demi mengurus paspor-pasporku. Tapi sesungguhnya, aku tak pernah meminta.
***
Hujan melahirkan uap-uap melalui kencangnya deru mobil-mobil besar. Kaca helmku berembun. Dingin cuaca mengilukan kepala. Kau tetap erat memagutku. Lampu-lampu jalan menyala seketika lantaran hari begitu gelap. Dengan begitu, kunyalakan pula lampu motor. Di sebelah kiri terbentang sawah berhektare-hektare. Di sebelah kanan savana menghampar. Pemandangan-pemandangan itu berlalu di antara kita seperti rol-rol film yang tak kunjung usai. Terputar dan kembali ke awal bermula, hingga entah kapan ia selesai.
Telingaku masih mendengung. Kini menjelma lagu-lagu gospel yang pernah kau perdengarkan untukku. Ah, hatiku runyam. Aku tak pernah suka lagu-lagu itu, seakan mengajakku untuk memercayai kepercayaanmu, meyakini keyakinanmu. Sadarkah kau, aku adalah lelaki yang berpendirian lurus setegak langit kepada bumi. Tak ada yang bisa membuatku murtad selain diriku sendiri. Jangan harap ada pelukan, atau satu kecupan, atau desahan bila kaudengarkan lagu itu lagi. Putarkan saja lagu Mayumi Itsuwa, maka mendengkurlah aku di belah dada yang kaupunya.
"Kita menikah saja, Kyoko!"
"Hei, mengapa kaupikirkan itu?"
"Aku risih..."
"Kita urus saja nanti. Aku tak mau cepat menikah, tak mau cepat berkeluarga. Aku tak mau punya anak, merepotkan!"
"Lalu kauanggap apa aku, lelaki simpanan??"
"Honey, jangan bicara begitu, kau kekasihku..."
Aku kekasihmu, karena kau mencintaiku. Tetapi bagaimana jika aku tak mencintaimu, apakah bisa kau kusebut kekasih?
Ya, ya, kurelakan perasaanku dengan kebungkaman. Aku ingin kau selalu ceria, selalu tersenyum dengan gerik mata yang ku suka. Kau tak boleh menangis hanya gara-gara aku tak mencintaimu. Kau tak boleh menangis, tak boleh. Aku cemas melihat mukamu yang memerah serupa daun di air terjun Minoo pada musim gugur. Tangismu seperti air terjunnya yang menandaskan bahagia berdebur-debur.
Air mata memilukan, namun air hujan menghabiskan segala yang melekat di tubuhku dan tubuhmu. Mengapa harus hujan yang mengingatkan? Mungkinkah juga hujan yang mengakhiri setelah sebelumnya mengawali?
Di musim basah, kau menegurku yang berserah.
"Hai... Hujan begini sedang apa?" sapamu di tengah deras yang mengguyur taman Nakanoshima.
Aku hanya menatap patung-patung perempuan di atas tugu.
"Nanti kau kedinginan," katamu lagi sembari memindahkan sedikit payungmu ke atasku. Kau berucap lagi, "Ada apa dengan patung itu?"
"Kedua perempuan itu tidak takut dengan hujan..."
"Tentu saja, mereka kan hanya patung."
"Ya, mereka hanya patung dan tak bisa apa-apa. Tak beda denganku..."
Kau mulai menatap wajahku cermat, mengunyah dan menelaah kataku yang sebentar dalam hati.
Kau menuntunku ke hatimu, dan semenjak itu ada rasa-rasa tertentu yang kaurajut satu-persatu.
***
Hujan terus turun tak hendak berhenti. Di depan terlihat petir-petir membelah langit. Angin kencang membuat pepohonan bergoyang-goyang. Tak ada satu kendaraan pun yang terlihat. Perjalanan tinggal beberapa kilo. Kepalaku sudah berdenyut-denyut diserang dingin. Tanganku pun keriput diserang air dan angin.
Kau gemetar di punggungku.
Sabarlah, kita pulang, Kyoko. Ah, tidak. Tidak mungkin kau pulang bersamaku. Tidak mungkin kau tiba di rumahku dengan perut berisi dosa-dosaku. Tidak mungkin, tidak!
Aku telah pergi dari Osaka hanya untuk pergi dari mu.
Kini kau di sini, menempel erat di tubuhku demi sesuatu yang kau sendiri pun tak tahu.
Pandanganku menggelap seiring langit.
Gas motor kukencangkan, dan arahnya kubelokkan ke persawahan.
Kita terbang bersama hujan.
Aku lepas dari motor dan terbanting bersamamu yang memagut erat pinggangku. Kita jatuh di atas lumpur.
Tanah yang becek membuat kita jatuh tanpa rasa sakit.
Cepat kubuka helmku, dan penutup kepalamu.
"Kyoko..."
Kau menatapku dengan mata sayu.
Aku menciummu, dalam, dalam sekali. Dan saat bibirku terlepas dari bibirmu, aku bilang, "Aishiteru."
"Kyoko, Aishiteru."
Kau telentang di bawahku, mencipta senyum dengan deretan gigi-gigi indah menawan. Matamu hilang karenanya.
Namun, sebelum kau bangkit hendak memelukku, kugenggam lehermu dengan kedua tangan. Keras. Erat. Mulutmu terbata, tergagap. Lidahmu terjulur keluar. Matamu berusaha membesar. Tanganmu yang lemah tak sanggup melepaskannya.
Kau diam. Benar-benar diam. Kulingkarkan di leherku syal yang pernah kaukenakan. Rambutmu berselingkuh dengan lumpur. Kau tetap tampak cantik meski bibirmu tak tersenyum lagi.
Ilalangsenja|Padang, 10 April 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar