Sabtu, 28 Januari 2012

Rahasia Kumari Cerpen: Agus Dermawan T


Suara Pembaruan
Minggu, 04 November 2007

Rahasia Kumari
Cerpen: Agus Dermawan T

Tanggal 7 bulan 7 tahun 2007 jam 7 pagi terlanjur dimitoskan orang sebagai waktu yang istimewa. Oleh karena itu studio Radio Swarakita pada jam, tanggal dan bulan itu banyak menerima tawaran siaran langsung dari berbagai pihak. Seorang pendeta jauh hari telah meminta radio untuk membuka pintu untuknya, agar pada saat itu ia bisa siaran khotbahnya. Seorang pengusaha muda dan sebuah grup band yang siap moncer juga menyorongkan jadwal yang sama. Seorang politisi anggota DPR ingin berbicara tentang "Indonesia yang lebih baik" pada jam 7 pula. Begitu juga seorang kyai yang biasanya menyiarkan dakwah magrib di radio itu.

Radio Swarakita tentu tak mungkin melayani wawancara mereka satu per satu. Bukankah jam 7 hari magis itu hanyalah berlangsung sekali saja? Untuk tidak mengecewakan semuanya, radio lalu mengambil keputusan untuk menghadirkan mereka secara simultan. Berkumpul di studio pada jam yang sama, dan ramai-ramai diwawancara.

Kumari, pembantu studio radio Swarakita mendadak luar biasa sibuk mempersiapkan segala sesuatu. Pada pagi buta ia telah diminta untuk menyediakan kebutuhan konsumsi para tamu radio itu. Ia bertanya-tanya kepada diri sendiri, mengapa kali ini semuanya minta jadwal siaran pagi sekali. Ia akhirnya tahu jawaban atas hal itu dari sopir studio yang sejak subuh hari menemaninya.

"Nanti jam tujuh 'kan bersanding dengan tanggal tujuh bulan tujuh tahun duaributujuh. Sama dengan Sabtu Kliwon Jumadi Akir satu sembilan ampat puluh. Atau tanggal duapuluhdua Jum Tsaniyah satu ampat dua lapan kata kalender Arab. Alias tanggal 23 Xiao Shu tahun Babi. Hehehe. Pada saat itu segala sesuatu yang dilakukan akan menghasilkan kebaikan tujuh turunan. Karena tujuh tambah tujuh tambah tujuh tambah tujuh kalau dimistik 'kan dualapan. Kamu tahu 'kan kalau dualapan itu kode surga di langit ketujuh," kata si sopir.

Atas jawaban yang terdengar meyakinkan itu Kumari, atau Kummy nama suratnya, atau Kum panggilannya, percaya tujuh kali.

Kum pembantu kantor yang cantik. Belia seranum mangga arumanis muda. Kulitnya coklat gula Jawa. Hidungnya indah dan matanya jinak selayak mripat Banowati dalam jagad wayang purwa. Tubuhnya ideal untuk ukuran perempuan yang keluar dari dusun Alastengah. Tingkah lakunya bermartabat bagai bumiputeri penerima turis mancanagari. Banyak yang berkeyakinan, apabila Basoeki Abdullah masih hidup, pelukis besar itu akan gembira memungut Kum sebagai modelnya. Hiperbolis, kata teman yang tidak pernah melihatnya. Tapi itulah kenyataan.

"Kamu itu peri hutan yang nyasar ke metropolitan," kata beberapa personel grup band diwawancara radio itu. "Kum, kamu agamanya apa?" tanya sang pendeta dengan pretensius pada suatu hari yang sejuk lantaran hujan. "Negara berkewajiban membawa dirimu sampai ke perguruan tinggi. Kamu jangan jadi pembantu lagi," kata anggota DPR. "Di kantor saya butuh orang kayak kamu, Kum," bisik si pengusaha muda keturunan Tionghoa. "Kamu lebih cocok jadi pengasuh anak-anak saya yang masih kecil-kecil di rumah," kata sang kyai.

Namun semua pertanyaan dan pernyataan di atas tidak ada yang lebih menarik daripada kalimat sopir yang jadi karibnya itu. "Tujuh tambah tujuh tambah tujuh tambah tujuh dimistik...." Maka, ketika matahari belum persis menggantung di tengah langit, Kum menghadap majikannya.

"Ibu, saya izin untuk pulang ke kampung. Nanti malam," kata Kum dengan sopan. Tentu saja Bu Majikan terkejut.

"Lho, kenapa pulang?".

"Anu, Bu, saya hamil. Saya perlu istirahat di kampung"

"Hamil? Lho, lho, lho. Hamil berapa bulan?" tanya Bu Majikan sambil menatap perut Kum yang memang nampak sedikit menggembung.

"Lima bulanlah, Bu."

"Lima bulan?"

"Ya. Kata orang pada bulan kelima roh bayi sudah ditiup masuk..."

"Suamimu sudah tahu kalau kamu hamil?"

"Berarti dua bulan lagi saya mitoni, Bu."

"Yang Ibu tanya, apakah suamimu sudah tahu berita gembira ini?"

"Kalau tidak istirahat di kampung, bahaya untuk janin..."

"Kum, jangan nyelimur. Apakah suamimu sudah tahu?"

"Anu. Tentu saja dia tahu, Bu. Karena itu saya disuruh pulang."

"Tapi kenapa harus buru-buru?"

"Ini tanggal tujuh bulan tujuh, Bu. Kata orang, ini tanggal yang baik untuk pulang."

Sang majikan agak tersentak mendengarnya. Wajahnya mulai menyimpan kejengkelan.

*

Siang itu di kantor radio Swarakita terjadi ketegangan. Karena sepengetahuan Bu Majikan, suami Kum yang ada di dusun Alastengah hampir setahun tidak pernah mengunjunginya. Sementara Kum bunting 5 bulan. Aha, siapakah yang bertandang ke bilik Kum? Bu Majikan itu pun berusaha mengajaknya bicara dari ke hati. Ia ingin agar Kum mengaku, siapa yang bercocoktanam di pelatarannya.

"Kum, selama bekerja di sini kamu aku anggap sebagai anak sendiri. Karena itu, kamu ngaku saja, siapa yang menghamili kamu?" tanya Bu Majikan dalam pertemuan empat mata di sebuah ruang tertutup.

Selama belasan detik Kum terdiam, untuk kemudian menjawab.

"Suami saya, Bu".

Bu Majikan mengerutkan keningnya.

"Begini Kum. Coba hitung, kapan kamu terakhir ketemu suamimu. Dan sekarang kamu sedang hamil berapa bulan? Tidak masuk akal, Kum."

Kum terdiam cukup lama. Keringat dingin tumbuh di keningnya.

"Lho, kan bisa saja, Bu. Sungguh, saya cuma dengan suami saya."

"Kum, Ibu tidak mau kamu berbohong. Kalau kamu pulang ke kampung dan diketahui kamu hamil lima bulan, suamimu pasti marah. Orangtuamu bingung. Orang kampung pasti ngamuk. Mereka akan datang ke Ibu minta pertanggungjawaban. Kum, kamu ngaku saja sekarang. Nanti akan Ibu selesaikan masalahnya."

Kum kembali diam seribu bahasa.

"Begini saja Kum. Ibu beri kamu waktu satu jam untuk berpikir, dan kemudian mengaku. Satu jam lagi kamu datang ke Ibu, dan mengaku," kata Bu Majikan dengan suara sangat sabar.

*

Di kamarnya Bu Majikan termangu-mangu. Matanya jauh menatap ke luar jendela seraya benaknya menduga-duga. Di sudut ruang kantor radio Kum duduk ngungun. Pikirannya terbang jauh melantun.

- Aku curiga besar kepada si sopir kribo itu. Pastilah ini cerita klasik hubungan sopir dengan pembantu. Kum, tidakkah kamu tahu bahwa si sopir itu sudah beristri? Apa kamu setuju poligami? Yang bener aja Kum! Padahal kamu pernah mengucap saloka dalam bahasa Jawa, ojo nrajang grumbul ono macane. Jangan menerobos semak-semak yang ada harimaunya. Itu artinya kamu tidak akan mengambil lelaki milik perempuan lain!

- Wah, wah. Pikiran Ibu mulai ke mana-mana, nih!

- Aku pikir Kum orangnya jujur. Ia tak akan memfitnah siapa pun untuk mencari korban agar dirinya aman. Dengan Bram, menantuku yang selama ini selalu berbaik hati kepadanya? Busyet! Berbaik kepada semua orang dengan beragam tingkatan sosialnya, aku jugalah yang mengajarkannya. Sebagai direktur radio menantuku tak akan mengorbankan reputasinya.

- Eit, Ibu kok ngelantur? Bu, cowok-cowok pemain band itu ganteng-ganteng lho. Mereka energik dan tidak main narkoba. Ia menyenangkan sekali, Bu! Tak bedanya dengan pengusaha muda yang selalu berdasi itu.....

- O ya, suamiku menegaskan bahwa sebagai pembantu cantik Kum adalah makhluk lemah yang berada di bawah kekuasaan banyak orang. Yang lemah adalah bibit dari banyak perkara, lantaran ia gampang menumbuhkan kesombongan lelaki yang adigang, adigung dan adiguna.

- Nyuwun pangapunten, Bu. Maaf. Bukankah adigang itu artinya lebih kuat, adigung itu lebih luhur, adiguna itu lebih pintar? Kum suka semua itu!

- Kamu mulai mengacaukan pikiranku, Kum. Lalu bagaimana Sutardji. Ya, wartawan radio Swarakita yang pernah dipukuli oleh puluhan orang ketika meliput kebakaran Pasar Kebalen yang konon dibakar itu. Aku ingat kamu marah besar kepada polisi yang menuduh Sutardji sebagai provokator. Masak melapor kejadian dengan telepon genggam dianggap provokator? Kala itu kamu menangis tersedu-sedu 'kan? Tangisan yang seperti itu tentulah menandakan kamu ada hubungan. Alaaah Kum, ngaku sajalah.

- Wah, Ibu masih juga berpikir berliku-liku. Tapi apa pun yang terjadi, Kum akan selalu teringat kepada Ibu. Saya sebagai manusia yang perlu sepotong hidup, sungguh membutuhkan Ibu. Seperti Ibu sebagai anggota masyarakat terhormat yang memerlukan kehidupan. Dalam mewujudkan kehidupan, Ibu pastilah memerlukan orang-orang seperti Kum. Bu, saya bisa berkata begini karena sering mendengarkan radio kita, yang suka menyiarkan cerita kebajikan hidup manusia.

Bu, setelah pulang kali ini, kemungkinan besar Kum tidak kembali ke kota, dan tidak bekerja lagi di Radio Swarakita. Tapi, Bu, nanti beberapa tahun kemudian setelah tinggal di desa, saya akan tulis surat kepada Ibu.

"Halo Ibu yang baik, ini cerita tentang putra Kum, Supitu namanya. Lucu lho, Bu. Rambutnya kribo seperti sopir yang baik hati itu. Wajahnya ganteng seperti Mas Bram. Matanya sipit seperti Om Pengusaha. Suka baca buku seperti suami Ibu. Senang mengajari seperti Pak Pendeta. Ia mulai fasih mengaji seperti Pak Kyai, Bu. Suaranya bagus kayak tenoris. Jago ngomong seperti anggota DPR. Kalau lihat orang main gitar ia selalu ingin ikutan. Supitu juga pemberani seperti wartawan Sutardji. Kata orang semua keberuntungan ini karena mistikan angka tujuh. Saya tetap beruntung Bu, walau saya hidup di desa yang dari hari ke hari semakin melarat saja. Padahal katanya Indonesia sudah 65 tahun merdeka". Tandatangan : Kummy.

Bu Majikan tergeragap membaca surat itu. Kepalanya langsung puyeng tujuh keliling. Kum! Kamu itu langit listrik kena getah setan tiada. Lha, ## @@@ % &#& @***banjir baju arsitek Herigendut bikin apa. Makan es Haripoter radio kita! Aiih, kamu bikin aku puyeng saja, Kum! Paramex ada?

*

"Ibu, saya mohon pulang kampung malam ini. Saya akan ambil bus ke jurusan Solo. Dari Solo ke Sragen. Dari Sragen di Sukodono, dan langsung ke Alastengah. Suami saya sudah menunggu. Boleh ya, Bu" kata Kum mengharap.

Bu Majikan yang sedang pusing tak bisa berbuat apa-apa. Dengan setengah marah ia terpaksa mengizinkannya. Di terminal bus Kum buru-buru masuk ke toilet. Di dalam toilet ia membuka stagen yang meliliti bagian badannya, yang menyebabkan perutnya sedikit menggembung dan nampak seperti hamil lima bulan. Lalu, bagai kijang kencana Kum yang langsing itu melompat ke atas bus "Hidup Bahagia". Pada jam 7 malam lebih 7 menit dan 7 detik bus bertolak dari Jakarta untuk membawa Kumari ke desa. ***

Jakarta, Juli 2007

Pintu yang Terkunci Cerpen: Azizah Hefni


Jawa Pos
Minggu, 01 Juli 2007

Pintu yang Terkunci
Cerpen: Azizah Hefni

Ia pergi dengan gayanya yang gagah. Tangannya meraih kemeja dan celana, lantas mengenakannya. Ia sisir rambutnya, ia tuangkan minyak pelicin di atasnya. Laki-laki itu meraih jam tangan di meja sisi ranjang tempatku rebah, menyemprotkan minyak wangi, mengambil tas, dan memakai sepatu. Tanpa menolehku yang pura-pura terpejam, ia membuka pintu terkunci itu. Tak ada bunyi derit. Cukup halus ia membuka dan menutupnya. Barulah suasana tenang. Seperti lautan yang sepi gulungan ombak. Seperti pasar yang jelang petang. Seperti sekolahan yang ditinggalkan para murid.

Aku beranjak, membuka selimut yang sedari tadi menutupiku. Selimut ini kugunakan untuk mendukung peranku di hadapan laki-laki gagah tadi. Aku selalu berperan sebagai perempuan yang masih nyenyak dengan rangkaian mimpi bila menjelang pagi. Padahal aku melihatnya berkemas, melihatnya bergegas. Sampai dia berlalu dari balik pintu terkunci itu. Sampai kudengar deru motor dari luar rumah. Sampai kurasakan sepi panjang kembali hadir di rumah ini.

Langkah lemah. Berkali-kali aku mendesah. Semalam aku telah selesaikan tugasku lagi. Seperti beberapa malam yang lalu. Sungguh aku letih, aku perih. Tubuhku makin banyak deret-deret luka merah muda. Di leher, bawah puting, punggung, dada, selakangan, dan kemaluan. Laki-laki itu masih tetap dengan gaya harimau buas menyerangku. Ia lupa bahwa sebetulnya aku adalah kayu apung di atas lautan. Tak bisa apa-apa, tak tahu apa-apa. Mungkin dalam matanya aku adalah rusa gemuk, sehingga ia menyantapku puas-puas, mengulitiku, mencucup keringatku, menyedot energiku, membobol isi perutku, dan membuat garis-garis darah tertahan di punggung dan leherku. Tak hanya itu, ia merenangi sumurku yang berlumut tak sudah-sudah. Seribu kali aku mengerang, seribu kali pula ia berganti gaya. Aku nyaris pingsan, tapi ia memintaku bertahan.

Di depan sebuah cermin, aku melihat diriku yang telanjang. Tubuhku banyak goresan, banyak darah tertahan. Paling banyak di bagian kemaluan. Mataku berat dan serat. Aku seperti gunung yang mual dengan panas dalam tubuhku. Dalam tubuhku, cairan mendidih. Sementara tubuhku amat letih, tak bisa menahan rasa nyeri dan mual yang kian memutih. Kutatap diriku yang sayu dalam cermin. Tatapan mataku redup. Bibirku pucat. Napasku terengah. Beberapa jenak aku jatuh sampai membentur cermin. Tubuhku tergeletak begitu saja. Sebelumnya, aku sempat melihat air mataku menetes dua butir. Setelah itu gelap. Gelap yang sungguh pengap.
***
Jam dinding di kamar masih terus menambah angka. Sedang ruangan berpintu itu masih berdiri dengan angkuh. Waktu dan ruangan seolah-olah berkolaborasi mempermainkanku. Hari-hariku tetap saja hambar. Tak ada tambahan warna atau rasa baru. Semuanya seperti ini. Hitam. Putih. Hitam lagi. Putih lagi. Padahal, berapa banyak sebenarnya warna yang ada dalam plastik kehidupan? Bukankah hidup adalah ragam? Pilihan? Aku tak tahu, kenapa nasibku begitu angkuh. Ia tak izinkan aku memilih apa pun. Aku tetaplah perempuan dalam ruangan, menunggu detak-detak waktu yang terus melangkah tanpa bosan, menunggu laki-laki gagah itu pulang dari kerja, dan memintaku rebah di atas tempat tidur dengan telanjang. Sementara pintu itu tetap tertutup. Seolah ada yang menguncinya dari luar. Padahal kunci di lubang pintu masih menggantung. Aku bisa saja membukanya sekali waktu. Tapi aku selalu menyaksikan Mikail mengawasi gerakanku. Siap menyerang bila berani lewati batas pintu.

Kuobati luka memar akibat cakaran atau goresan kuku panjang laki-laki gagah tadi. Sesekali aku merintih pelan, sesekali aku sontak tersentak karena nyeri. Bahkan sesekali aku terpaksa menangisi tubuhku yang kian terluka. Ia melemparku tiap pagi serupa melempar handuk dari bahunya. Ia memungutku tiap malam serupa ia memungut air dalam gelas karena haus. Ia membiarkanku sepanjang siang dan sore, serupa ia membiarkan asap keluar dari lubang knalpot motornya. Entahlah, sebenarnya ia anggap aku apa. Apakah sebagai perempuan yang menyandang gelar istri atau cuma sebuah benda? Benda yang tak bersuara. Benda yang terkunci di balik pintu ruangan yang angkuh.

Telepon berdering. Tubuhku yang terbalut kain tipis sedikit terkejut. Apakah laki-laki gagah itu yang meneleponku? Ataukah orang lain? Kotak obat-obatan kuletakkan. Aku bergegas menuju meja telepon.

"Hallo?"
"Ini aku, Gesti."

Aku mengangguk. Dia tetanggaku. Aku selalu melihatnya keluar rumah setiap pukul tujuh pagi. Ia pekerja keras. Posturnya yang cantik membuatnya diterima bekerja pada sebuah hotel bintang lima di kota. Rumahnya tepat di depan rumahku. Pernah aku beberapa kali berbincang dengannya di daun jendela. Saat itu ia memintaku untuk keluar supaya bisa berbicara dengan bebas. Tapi aku mengatakan, kalau ruangan yang kuhuni adalah ruangan yang angkuh. Pintu tak pernah mau terbuka. Ada penjaga --walaupun entah apakah itu-- yang berdiri dan selalu mengawasi gerakanku.

"Aku melihat suamimu bersama seorang wanita ke restoran hotel tempatku bekerja."
Jantungku tiba-tiba berhenti. Tak hanya jantung, semua organ yang berdenyut seperti memberikan kesempatan waktu pada otakku untuk terkejut. Tapi, sepanjang pikiranku berjalan, hanya menemukan gang-gang buntu. Aku tak bisa pikirkan apa-apa lagi. Hanya hatiku yang tiba-tiba tercekat, merasakan sesuatu yang berat.

"Dan...dan aku...." Gesti menyetop kata-katanya. Aku menunggu dengan ketegangan luar biasa. "Aku melihat mereka sangat mesra. Bahkan..." Ketegangan itu memuncak. Aku seperti terdakwa yang sedang mendengarkan vonis hukuman mati dari majelis hakim. Satu-satu varian tubuhku melonjak ketakutan. Inilah ketegangan yang melahirkan sepi. Sepi yang siap dengan udara luka masuk di setiap sudut jendelanya. "...mereka memesan sebuah kamar hotel."

Tit! Aku mematikan benda yang menghadirkan suara Gesti. Barulah kurasakan semuanya berputar-putar, mengaduk-aduk isi tubuhku sampai datar. Baru sekali ini aku mendengar kalimat baru. Kalimat yang kejam. Langit siap copot dari atap yang menggantungnya. Aku nyaris jatuh pingsan seperti tadi pagi. Tapi lagi-lagi aku tertahan sesuatu yang bulat dari bilik nuraniku. Itu adalah kumpulan diamku menilai hidupku pasca-pernikahan. Ketidakmengertian, kepasrahan, ketidakberdayaan, kelemahan. Benar, semua menumpuk membentuk bulatan-bulatan kasar serupa batu bayangan dalam ruanganku (ruanganku ini memang dipenuhi batu abstrak sehingga membuatku sulit bergerak). Aku ingin muntah. Aku tak betah.

Tumpahlah. Segalanya menjelma aliran air dari mata yang tak punya muara. Ini lebih deras dari tsunami yang melipat ratusan hektare daratan. Lebih sakit dari seribu Izrail mencabut ruh jiwa yang menggigil. Kesakitan apakah. Ketidakmengertian apakah. Ya Tuhan, bau neraka sepertinya sudah mulai masuk ke dalam cuping hidung sempitku. Dia tak sekadar melemparku seperti handuk dari lingkaran lehernya, ia sekarang memotong-motong tubuh lusuhku untuk dijadikan alas kaki atau penghilang debu.
***
Pintu masih terkunci. Ini kali pertama malam tanpa laki-laki gagah. Pintu masih diam dengan keangkuhannya. Ia sama sekali tak iba melihatku menangis sendiri. Sebab laki-laki gagah tak datang, makin gelisahlah aku. Layaknya gelombang lautan, aku bergulung-gulung meruntuhkan diri. Diriku adalah manusia yang terbentur berbagai macam perasaan, pikiran, dan peristiwa. Semuanya tak pernah kumengerti. Satu pun tidak. Aku hanya mengerti bahwa laki-laki gagah memerintahku untuk diam di dalam rumah, menyediakan makanan dan minuman, membersihkan perabotan, menunggu pagar terbuka dan pintu kamar angkuh itu melebar. Aku juga hanya mengerti bahwa setiap ia memintaku untuk rebah di atas ranjang, wajiblah bagiku rebah. Tanpa gerakan penolakan apalagi perlawanan. Sudah kewajiban, begitu ia menjelaskan. Bahwa seorang perempuan yang berada dalam sarang laki-laki adalah budak. Budak yang harus menahan sakit dan lelah.

Semua kuanggap amat sakral. Seolah ada jagal siap memotong leherku bila aku meronta. Aku tak punya siapa-siapa sebagai labuhan. Aku hanya punya sepi yang terluka ini, dalam ruangan berpintu yang selamanya terkunci untukku. Aku istri yang dibelinya atas nama Tuhan. Dan, ia katakan, kalau fungsiku adalah sebagai penafkah batinnya. Cuma itu, tak ada yang lain.

Sampai malam berkemas dan pagi menyongsong lekas. Laki-laki gagah tak juga datang. Pikiranku kian mengambang. Aku ingin membuka pintu yang seolah terkunci itu dan mencarinya. Apakah benar laki-laki gagahku masih bersama perempuan asing dalam kamar hotel? Dunia ini ada untuk dikendalikan, tapi setiap kisah yang terbentang di wilayah duniaku seperti mengendalikanku. Aku tak punya kekuatan untuk mengambil keputusan. Entah karena statusku, entah karena ketakutanku sendiri. Tapi ketahuilah, aku sungguh khawatir. Khawatir laki-laki itu benar-benar akan meludahi namaku sebagai manusia!
***
Malam kedua, ketiga, dan keempat. Baru malam ini, malam keempat, tiba-tiba aku mendengar suara pagar rumahku terbuka. Aku bangkit dan mengenakan pakaian setelah separuh hari telanjang. Gores-gores luka akibat cakaran kasar laki-laki gagah itu sudah mengering. Kulitku kembali padat. Kemaluanku kembali rapi. Selangkangan juga sudah tak mengeluarkan darah tertahan. Sementara aku merasakan suasana ringan karena tak ada lagi lelah. Kuintip sumber suara dari balik jendela. Kulihat laki-lakiku pulang dengan motornya. Wajahnya tetap sangar. Matanya tetap menyembunyikan benda tajam. Aku menutup tirai dan duduk tegang di bibir ranjang.

Pintu terkunci itu terbuka. Laki-laki gagah dengan tas punggungnya berdiri tegap di tengah lubang keluar masuknya udara. Ia menatapku lama. Aku menunduk.

Tak seperti biasanya ia berjalan lemas. Ia lempar tas dan sepatu. Tanpa sepatah kata pun, ia mendekati ranjang. Aku terpejam. Menunggu pecah sesuatu yang bungkam. Sementara pintu perlahan-lahan tertutup. Sejujurnya karena angin, namun aku kira karena ulah Mikail yang siaga di depan pintu. Ia rebah begitu saja. Pejamkan mata begitu saja. Mendengkur begitu saja. Tanpa bilang, "Bersiaplah, buka pakaianmu! Layani aku dengan baik!"
Aku menelan ludah.
***
Laki-laki gagah tak pernah menjadikanku santapan makan malamnya lagi. Hari-hariku terasa begitu longgar. Tapi kelonggaran ini bukan malah membuatku bebas bernapas. Makin banyak pertanyaan yang tak bisa kujawab. Apakah laki-laki gagah sudah mulai merasa kalau selama ini ia telah melukai tubuhku? Kenapa ia tak pernah berbicara denganku lagi? Kenapa dia tak melihat ulahku lagi?

Dunia ini memang selalu bergeser dan berubah. Seperti waktu ia melangkah mencari hal dan suasana baru. Tak ada yang tahu ada apa dengan esok, nanti malam, nanti sore, beberapa jam ke depan, atau bahkan beberapa detik kemudian. Semuanya bergeser tanpa suara, membuat makin linglung manusia-manusia. Lantas apa tugasku? Bukahkah ia bilang, tugas perempuan dalam sangkar laki-laki adalah pelayan. Budak. Bila tak lagi difungsikan, lantas?

Nampaknya aku diubahnya menjadi seonggok benda tanpa guna.
Malam ini, aku heran dengan laki-laki gagah yang tiba-tiba menghardikku. Ia menjambak rambutku, menatapku dengan hunusan pandang beracun. Aku terbata, tapi masih bisa bertahan. Kakiku tak selemah dulu. Kakiku kuat menyangga tubuhku. Beberapa hari ini, luka di tubuhku memang memulih. Dan aku rasakan aku sedikit semangat.

"Kau sudah tidak berguna!" Kurasakan percikan ludahnya masuk ke telaga mataku yang gugup. Bau alkohol busuk membuatku mual. "Pergi sekarang!!"

Tanpa tahu apa pun, ia memerintahkanku pergi. Ia melemparku ke lantai. Sampai kepalaku membentur tembok. Sampai kakiku membentur ranjang. Sampai tanganku membentur meja rias. Darah mulai mengalir lagi.

Akhirnya, sekalipun tersengal, aku mencoba berdiri. Matanya yang meradang kulawan dengan keluguan air mata. Kukatakan, "Kenapa kau menyuruhku pergi? Apa memang begitu aturannya?! Bukankah kau sendiri yang bilang, bahwa aku harus menjadi penghuni tetap ruangan ini, sekalipun kau berangkat bekerja?! Pintu itu selalu mengunciku, dan aku selalu terima dia mengunciku!"

"Ya, aturannya memang begitu! Kau sudah bebas, pergi dari sini! Bahkan aku memerintahkanmu untuk tak kembali ke rumah ini!!"

Maka, untuk pertama kalinya, aku melewati pintu yang mengunciku selama setahun itu. Aku diusir laki-laki gagah dengan begitu tak manusiawi. Bibit dendam muncul pada mata batinku yang telah ia lukai. Aku baru tahu kalau cinta tak pernah kukulum selama ini. Yang kukulum adalah kepasrahan yang selalu ditertawakan kegagahannya!
***
Tapi setiap malam aku mengintai rumahku. Dengan taksi atau mobil tumpangan tetangga baruku, selalu kuselipkan mataku pada dinding rumah bercat coklat. Selalu ada motor itu. Selalu ada sandal itu. Selalu ada cahaya lampu itu.

Pertemuan dan perpisahan tidak pernah berada dalam jalan yang sama untuk bisa saling menjelaskan keduanya. Ia datang dan pergi seperti angin. Ia tinggalkan kotoran atau emas dalam tungku tanpa mengatakan untuk apa. Aku dipertemukan dan tiba-tiba dipisahkan. Tanpa ada kejelasan kenapa aku dipertemukan dan kenapa aku dipisahkan. Semuanya menjadi garis nasib yang cukup kejam untukku, entah untuk laki-laki gagah itu. Aku selalu ingat ulah binatang bila melihat laki-laki gagah keluar dari pintu yang terkunci. Kucing yang bersetubuh di jalan, ayam yang bertahi di jalan, sapi yang kencing di jalan, dan seterusnya. Wanita yang ia rengkuh bahunya itu diizinkannya melewati pintu yang terkunci. Ia juga diizinkan untuk berjalan-jalan di sebuah pasar swalayan atau diskotek kota. Kukira ia telah memiliki ragam warna. Ia telah mengenal merah, hijau, kuning atau bahkan campuran-campuran. Matanya senantiasa berbinar, kulitnya masih padat dan halus. Aku yakin, tak ada darah di sekitar tubuhnya setiap kali usai melaksanakan tugasnya melayani laki-laki gagah. Ada perbedaan perlakuan. Dan perbedaan itu justru ada pada jenis manusia yang sama. Perempuan. Wanita. Aku dan wanita itu.

Dia jauh lebih cantik. Jauh lebih muda. Benar, setiap hari aku mengawasi keduanya. Setiap hari aku mencari jawaban atas nasib yang selama ini kuterima. Aku selalu pulang dengan hal baru. Hal yang tak pernah kutahu sebelumnya.

Sampai pada malam ini. Aku melihat laki-laki gagah mencium wanita muda itu di depan pagar rumah. Cukup lama. Aku ingat ketika ia menciumku setelah tiba pulang kerja di ruangan terkunci itu. Menciumku dengan tangannya yang terus bergerak menggaruk punggungku yang telanjang. Setiap garukan menghasilkan goresan. Setiap goresan mengalirkan darah yang tertahan. Aku menahan sakit itu. Aku tak lupa, kalau laki-laki gagah selalu lupa memotong kukunya. Tapi, lihat dia sekarang, dia mencium wanita itu tanpa menggerakkan tangannya. Ia hanya mencium, menyedot cinta dalam cawan merah miliknya.

Setelah itu pintu dibuka. Keduanya masuk. Ini kesekian kali kusaksikan laki-laki gagah dan wanita asing memasuki kamar pengantinku dulu. Lampu padam. Entah apa yang terjadi.

Aku menjawil sopir taksi yang tertidur. Mengawasi memang membosankan. Ia tergagap dan segera menyalakan mesin. Aku meluncur ditelan malam. Mataku mengalirkan mata air dendam yang amat dalam. Aku sudah tahu apa yang akan terjadi esok hari. Pastilah wanita dan laki-laki gagahku itu keluar dari pintu yang terkunci itu dengan tawa dan keriangan yang mengubah warna suram dunia. Kuputuskan aku tak akan mengawasi mereka lagi. Sudah saatnya aku panen dendamku: membuat pintu terkunci untuk laki-laki yang baru! ***
Malang, 01 September 2006

*) Juara II Lomba Cipta Cerpen yang diadakan Creative Writing Institute (CWI) berkerja sama dengan Kantor Kementrian Pemuda & Olahraga 2006

Pilkada Cerpen: Adek Alwi


Suara Karya
Sabtu, 14 Juli 2007

Pilkada
Cerpen: Adek Alwi

JUSTRU setelah ditempeleng ayah mataku terbuka lebar. Pandangku mulanya memang berkunangkunang. Kepalaku nanar. Dada berdebar-debar. Dan, hatiku sakit. Sudah setua ini masih kena tempeleng. Namun, beberapa waktu berselang, semuanya berubah drastis. Siasat ayah malah seperti buku terbuka di depanku. Mudah dibaca, gampang dicerna. Termasuk jalan pikiran serta perilaku ayah selama ini.

Padahal, sebelumnya, semua itu begitu rumit. Pelik. Dan, selalu menjadi bahan pertikaian atau paling tidak ketidakserasianku dengan ayah. Ibaratnya, ayah ke selatan aku ke utara. Ayah bicara menggebu-gebu, aku justru ingin beliau kalem saja. Tatkala ayah bersikap tenang, justru aku yang mendesak beliau membeberkan semua rencana. "Ini saatnya, Ayah! Ini waktunya yang tepat!" kataku menggebu-gebu.
"Tenang kau!" bentak ayah. "Jangan pula aku diatur-atur!"
"Bukan diatur, Ayah!" Aku tidak henti mendesak; maju terus pantang mundur. "Tetapi memang harus seperti itu!"
"Siapa yang mengharuskan?"
"Tentu saja warga desa. Calon pemilih!" kataku.

"Mana mungkin mereka pilih calon kepala desa yang tidak punya program. Tak punya rencana kerja konkret. Jelas, masuk akal, dan tidak bermanfaat untuk mereka."
"Siapa bilang aku tidak punya program!" ayah menyentak.
"Jadi, sudah ada? Ayo, cepat Ayah sampaikan kepada warga. Cepat, Ayah!"

"Ala, gampang itu," balas ayah. "Sekarang pun seribu program dapat aku buat dan sebutkan. Sejak membangun jembatan, jalan, masjid, sekolah, sampai bikin pasar, serta balai desa. Sejak pembebasan biaya sekolah, santunan orang jompo, yatim-piatu, hingga memberi bibit dan pupuk gratis buat petani. Gampang itu. Mudah!"
Aku terperangah. Hampir-hampir habis kata dan napas. "Itu bukan"
"Ya. Bukan itu yang penting, tahu kau!" sela ayah.

"Yang penting, yang utama sekarang memenangkan pemilihan kepala desa. Jika bukan aku, salah seorang anggota keluarga kita harus jadi kepala desa!"

Aku menggeleng-geleng, benar-benar kehabisan kata. Ayah pun geleng-geleng kepala, menatapku lekat-lekat. Aku tahu kenapa dia menggeleng-geleng. Sebelumnya, kami pun sudah berbantahan. Aku ingin, pada musim pemilihan kepala desa (pilkada) sekarang ayah dan ibu berduet saja sebagai bakal calon dan wakilnya. Namun, ayah menghendaki masing-masing maju sebagai balon kepala desa. "Buat apa?" kubilang. "Lebih baik Ayah dan ibu berpasangan."

"Tolol itu namanya! Menaruh telur saja orang tidak mau dalam satu keranjang. Apalagi jadi calon kepala desa. Percuma kau sekolah tinggi!"

Mukaku panas, merah karena tersinggung. Tetapi, kucoba bertahan. "Dengan begitu Ayah dan ibu saling dukung," kataku menjelaskan. "Karena belum tentu warga yang menyukai ibu pun suka Ayah, atau sebaliknya. Nah, dengan berduet semua suara bisa diharapkan mengalir."
"Lalu, jika tak terpilih, keduanya ambruk. Begitu maksud kau?"
"Malah peluang terpilih makin besar. Sebab, ada dua kekuatan besar, kekuatan Ayah dan ibu yang berkoalisi."
"Ala, tak perlu kau pakai istilah-istilah gagah," ujar ayah. "Tahu kau, kalaupun kami terpilih, tapi sekali salah jalan, kita sekeluarga akan dikeroyok orang sedesa. Tak ada warga di luar keluarga yang akan membela!"

"Karena itu, sebagai pasangan kepala desa serta wakilnya nanti, Ayah dan ibu harus meminimalkan kesalahan. Bilapun terjadi kekeliruan, hanya benar-benar karena ketaksengajaan, kelemahan manusia. Untuk itu harus berani"

"Eh yang berani itu adikmu, si Pajatu!" sela ayah kesal. "Berani kawin. Berani punya anak. Kini, dia berani pula mencalonan diri sebagai kepala desa. Jadi, tahu kau, sekarang tiga calon kepala desa dari keluarga kita. Aku, ibumu, Pajatu. Bagaimana? Berani tidak kau mencalonkan diri?"

Aku menghindar. Tidak muncul-muncul, sampai kemarin. Kemarin, begitu muncul kami berbantahan kembali.

"Kalau Ayah khawatir dijatuhkan setelah terpilih dengan ibu sebagai kepala desa dan wakilnya, kuncinya ialah program. Program yang baik dan jitu tak saja mengundang warga memilih Ayah dan ibu, juga membuat warga tidak berpeluang"
"He, sudah kubilang berkali-kali. Seribu program pun bisa kubuat, tahu!"
"Harus dibuktikan dan diuji, Yah. Harus disampaikan dulu kepada warga."
"Bukan itu yang penting!" Wajah ayah merah-padam.

"Tetapi, memenangkan pemilihan. Bagaimana supaya kepala desa tetap di tangan keluarga kita. Karena itu, sebanyak mungkin anggota keluarga harus mencalonkan diri, kecuali yang pengecut!" Rahang ayah mengeras. Matanya menyambar-nyambar.

Tapi aku tetap mendesak. "Banyak pun tak akan menang jika tidak becus bikin program!" Tangan ayah pun melayang, plak! Mataku langsung berkunang-kunang dan kepalaku nanar bukan kepalang.

* * *

"BAGAIMANA sekarang?" Ayah bertanya setelah beberapa lama.
Aku tiba-tiba terdorong mengangguk-angguk. Mataku memang tak berkunang lagi. Kepalaku juga sudah tak nanar. Sakit hatiku perlahan-lahan hilang. Pandanganku malah terbuka lebar. Dan di hadapanku seolah terhampar jalan pikiran, perilaku, siasat juga keinginan-keinginan ayah. Semua begitu mudah dibaca, justru setelah kepalaku kena tempeleng.

Rupanya, sesudah jadi kepala desa periode lalu, di musim pemilihan sekarang ayah menerapkan strategi para pemancing; karena tidak yakin benar akan terpilih lagi. Maka, pasang saja pancing banyak-banyak dengan mendorong anggota keluarga maju sebagai balon kepala desa. Bukan balon wakil. Dari sekian banyak, mustahil tidak ada yang kena untuk melanjutkan kekuasaan ayah, jika dia tidak terpilih kembali.

Dengan begitu, program memang tak penting dijajakan kepada calon pemilih. Lebih penting mencari dan menyebar dana sembako, kaos, transpor, plus uang saku untuk calon pemilih; agar pilihan mereka tak meleset. Dan juga, mencari pasangan atau balon wakil kepala desa. Tentu dari kalangan berpengaruh serta kaya.
"Bagaimana, paham kau sekarang?" ayah mengulang pertanyaannya.
"Paham, Ayah. Mengerti."

Ayah tersenyum. "Kalau begitu, segera persiapkan diri. Eh, kau akan maju jadi balon kepala desa bukan?"
"Tentu saja."
"Nah, persiapkan dirimu. Cari balon wakil sekarang!"
"Beres," kataku. Di kepalaku melintas bayangan Inyo dan Galadia, dua kawan yang cukup berpengaruh.
"Ayah bagaimana? Sudah ada pasangan?"
"Belum. Agak sulit mencari sekarang, tapi jangan pikirkan. Nanti pasti dapat."
"Calon wakil untuk ibu?"

"Juga belum. Tapi pasti dapat nanti. Adikmu Pajatu sudah punya," sahut ayah. "Kini, pergilah. Cari balon wakil untuk mendampingimu."

Sore itu juga kucari Galadia ke lepau kopi. Tidak jumpa. Dan tadi aku ulangi. Tetap tak bertemu. Inyo juga tidak. Hanya beberapa kawan, penganggur dan preman di lepau kopi, main domino.
"Susah bertemu Inyo sekarang," kata mereka.
"Sibuk!"
"Sibuk?"

"Ah, kau benar-benar ketinggalan kereta." Mereka ketawa. "Inyo maju sebagai balon kepala desa. Kini sibuk cari balon wakil!"
Aku kembali terkejut waktu mendengar Galadia melakukan hal yang sama.
"Jangankan Inyo dan Galadia, si Turiak saja jadi balon!"
"Si Empa juga!" balas yang lain.
"Pokoknya seru pilkada sekarang. Banyak calon. Eh, kau mencari Galadia dan Inyo mau apa?"
"Menurut kalian?"

"Mudah-mudahan tak melamar jadi balon wakil Inyo atau Galadia. Bukan apa-apa. Tahu kita, siapa Galadia dan Inyo bukan? Pengaruh memang besar. Sama dengan nafsunya!" Mereka tertawa lagi. Kali ini aku ikut ketawa.

"Syukur kalian bilang begitu," kataku. "Tadinya, salah seorang mau kujadikan balon wakil!"
Ketawa mereka terhenti. "Jadi, kau"
"Kalian tahu, pengaruhku sama besar dengan Galadia dan Inyo," kataku. "Tapi nafsu kami kan beda. Nah, sampai ketemu di hari pemilihan!" Lalu, kulempar pembeli rokok mereka ke meja lepau. Aku percaya mereka akan memilihku.

* * *

AYAH mertuaku sudah menunggu setiba aku di rumah.
"Sejak magrib Bapak menanti," bisik istriku.
"Ada apa?"
"Mau bicara."
"Soal apa?"
Istriku tersenyum.

Setelah bicara kian kemari, ayah mertuaku menyampaikan niat. Untuk sekian kalinya aku terkejut. Ayah mertuaku, pedagang tembakau itu, rupanya berminat maju jadi balon kepala desa. "Bapak merasa terpanggil, Nak," ujar beliau.

Aku terdiam. Galau. Tak seperti menghadapi ayah sebelum dia tempeleng, ada rasa segan berbantah dengan ayah mertuaku, lelaki uzur itu.

"Sebab itu Bapak kemari," sambung ayah mertuaku. "Bapak ingin melamarmu jadi pasangan, sebagai balon wakil kepala desa, mendampingi Bapak."

Kerongkonganku kering. Aku berpeluh dingin. Aku benar-benar dalam situasi, dan waktu yang sulit. Tetapi, apa pun risikonya tawaran itu harus ditolak. Sejak kena tempeleng, rencana dan siasat ayah sudah jelas benar bagiku.
"Maaf, Pak. Saya juga mencalonkan diri."

Seketika ayah mertuaku bangkit berdiri. Hatiku berdebar. Namun, tiba-tiba dia maju dan dia tepuk-tepuk bahuku. Mukanya pun berubah cerah. "Tidak apa-apa, tidak mengapa," ia bilang. "Bagus! Sebaiknya begitu, kita tak maju berpasangan. Jadi kalau Bapak gagal, kita masih ada harapan. Ya, itu namanya kita tidak menaruh telur di satu keranjang. Tadi, Bapak juga sudah ragu-ragu. Sudahlah. Bapak pergi saja sekarang. Si Karengkang saja Bapak lamar jadi balon wakil!"

Aku terlongo. Banyak pikiran berkelebat. Kalau mataku terbuka ditempeleng ayah, siapa menempeleng ayah mertuaku sehingga dia maju jadi balon kepala desa?
"Eh, tetap mau maju kan?" istriku bertanya melihatku termenung.
"Tentu!"
"Sudah ada balon wakilnya?"

Aku kaget lagi. "Ah, akan kucari sekarang!" Aku loncat ke luar rumah. Istriku mungkin tercengang. Tapi mungkin juga tidak. Karena, ia sendiri tahu betapa sulitnya mencari balon wakil untuk dirinya. ***

Perut Cerpen: Yanusa Nugroho


Jawa Pos
Minggu, 03 Februari 2008
Perut
Cerpen: Yanusa Nugroho

Malam larut, pekat, panas seperti ter. Tak ada udara yang mau bergerak, dan orang-orang itu pun seperti kehilangan pikiran.

Sementara laki-laki itu sendiri bahkan tak punya sebatang rokok pun untuk diisap. Kemarin, istrinya marah besar. Mungkin kesurupan roh Betari Durga. Semua dikutuknya. Bahkan tempayan kosong mereka, yang sudah beberapa bulan ini tak sempat terisi apa-apa itu, dikutuknya habis-habisan. Untunglah, kutukannya tidak manjur, sehingga tempayan itu tetap berujud tempayan.

Sesaat dia hanya melihat sekeliling. Panas yang pengab ini tak memberi harapan apa-apa. Suara orang-orang tadarus di surau dan langgar-langgar, terdengar sayup, menyelusup dari celah-celah udara panas. Sampai malam ini, istrinya masih saja mengomel dan mengutuki apa saja yang bisa dikutukinya. Mungkin itulah yang bisa dilakukannya untuk saat ini. Dan laki-laki itu memilih keluar rumah.

Dilihatnya anaknya duduk diam bertelanjang dada. Umurnya baru 6 tahun, tetapi dia sudah menerima kutukan emaknya. Laki-laki itu tak tahu harus bersikap bagaimana. Akan membelanya atau membenarkan ibunya. Dua-duanya salah sekaligus punya alasan yang bisa membenarkan tindakan masing-masing.

Dipanggilnya anak itu. Dan bocah itu pun berjalan ke arahnya dengan langkah gamang. Pasti di benaknya, bukan mulut sang ayah yang akan bicara, tetapi tangan. Aneh memang, mengapa tiba-tiba laki-laki itu merasa mampu dan fasih bicara dengan tangan. "Sini," tegasnya. Dan dia dengan langkah kecil yang ragu-ragu akhirnya mendekat dan duduk di samping ayahnya.

"Belum tidur?"
"Belum ngantuk."
"Kemarin kenapa?"
"Haus."
"Haus? Kok, emakmu sampai meledak-ledak begitu?"

Dia diam. Sebetulnya laki-laki itu sudah tahu akar masalahnya, tapi dia ingin agar anaknya bicara sendiri kepadanya. Laki-laki itu seolah ingin menguji apakah masih ada kejujuran dari mulut seorang bocah.

"Haus, Pak. Aku bilang sama emak, aku haus. Lantas aku cari yang bisa diminum. Terus yang di botol itu aku minum."

"Tapi, itu kan, minyak tanah."
"Tapi aku haus."
"Kamu minum minyak tanah?"
"Iya. Aku haus."

Sekarang laki-laki itu yang diam. Dia kehilangan kata-kata, sebagaimana biasa. Dan sebagaimana biasa, tangannya ingin segera ambil bagian. Tetapi, entahlah, melihat sosok anaknya yang kecil, dekil itu, dia tak bisa apa-apa. Pantaslah, emaknya mengutuk sepanjang hari. Minyak tanah yang harus dibeli dengan harga selangit itu, dengan antrean hampir setengah hari itu, ditenggak tuyul kecil itu sampai tuntas.

"Kenapa tidak minum air saja."
"Nggak enak, Pak. Air nggak ada rasanya."

Laki-laki itu tersenyum dalam hati. Diam-diam dia pun membenarkan ucapan anaknya. Minyak tanah memang lebih nikmat. Di badan memberikan tenaga luar biasa. Dia sendiri pernah meneguk sesendok --tentu saja diam-diam.
***
Dibiarkan anaknya tertidur di balai-balai luar. Kasihan jika di dalam rumah. Selain pengab, ucapan emak akan membuatnya lebih tersiksa.

Orang-orang yang juga duduk di pelataran menunggu angin lewat itu, mendekatinya. Mereka juga tak jauh beda dari laki-laki itu. Pasti mereka sedang disemprot habis-habisan oleh istri masing-masing.

"Kau tahu Bukit Sungsang?" Tiba-tiba Najib meludahkan kata-katanya.
"Pernah dengar namanya, tapi belum pernah ke sana. Ada apa?" jawab laki-laki itu.
"Di kakinya, katanya, ada sekubangan tanah yang bisa dimakan."

Semua terdiam, sebuah gambaran peluang melintas di benak masing-masing. Nikmat betul jika ada tanah yang bisa dimakan, "Tapi, apa tak perlu dimasak?" tukasnya menegaskan.

"Tidak. Raup dan masukkan mulut. Katanya gurih. Ada garamnya."
"O... aku ngerti. Dulu, mbahku juga bikin campuran kerupuk pakai tanah. Kalau ndak salah namanya bleng," ucap entah siapa.
"Mungkin. Aku ingin ke sana. Ada yang mau ikut?"
"Kapan?"
"Kenapa tunggu besok jika bisa dilakukan sekarang?"
"Iya, tapi Bukit Sungsang itu di mana?"
Semua diam kembali.
***
Bumi melengkung kepanasan. Sawah-sawah meruam, mengelupas, pecah-pecah. Sungai-sungai kecil mati kering dengan lidah-lidah terjulur kehausan. Terik kemarau di bulan Ramadan ini membuat laki-laki itu berpikir keras soal makanan. Maaf bila menyinggung perasaan, tetapi, tolong berikan pokok percakapan lain yang paling baik untuk dibincangkan selain makanan.

Maka melangkahlah kaki-kaki orang sekampung. Tentu semuanya laki-laki. Sekelompok manusia yang hanya bisa berpikir soal makan apa. Ah, apa yang salah dengan itu? Dia harus berpikir hanya soal itu, karena jika bukan dirinya, siapa lagi? Jika saja ucapan Najib benar, maka seisi kampung mendapatkan sorga dunia. Bayangkan, tak perlu minyak tanah, beras, bahkan korek api untuk mengganjal perut. Cukup meraup tanah, memasukkannya ke mulut. Kenyang! Hidup!
Ya, ini harus diperjuangkan dan memang pantas diperjuangkan.
***
Bukit Sungsang. Sebuah nama yang samar-samar tertinggal di kenangannya. Nama yang hanya sering muncul lewat cerita bapak, kakek atau orang-orang tua di kampung ini. Di mana persisnya, dia sendiri belum tahu, dan rasanya, mereka --orang-orang dalam rombongan ini-- juga tak lebih tahu.

Tapi, persetan dengan semua pengetahuan. Perut akan menuntun kita ke mana makanan bisa didapat. Bahkan semut pun mampu mengendus makanan. Juga kumbang, larva dan apa pun yang di muka bumi ini mampu mengendus makanan, mengapa manusia tidak?

"Rasanya itu…," ucap Najib yang berjalan di depan. Dia menghentikan langkah. Semua yang ada di belakangnya pun berhenti. Mata mereka terpaku pada sosok bukit yang entah mengapa menurut mata mereka aneh bentuknya. Seharusnya, bukit mengerucut, mirip gunung dengan ukuran lebih kecil tentu saja. Ini tidak.

"Mirip gada," komentar salah seorang.
"Iya, ya. Kok, kayak ketimun."
"Hus! Ketimun nggak gitu. Itu gada."
"Itu Bukit Sungsang," tandas Najib yang segera melanjutkan langkah.
"Jib, jangan buru-buru ke sana," cegah Ngatiman.
"Kenapa?"
"Biasanya, tempat aneh seperti itu, ada ’penjaganya."

Ucapan Ngatiman menghentikan langkah semuanya, sekali lagi. Tak jelas, sebetulnya, apakah karena takut atau alasan lain. Yang jelas mereka akhirnya berhenti pada jarak tertentu.

Tetapi, tanpa alasan yang jelas pula, tiba-tiba Najib melangkah dan mereka pun ikut melangkah, termasuk Ngatiman. "Tanggung jawab lho Jib," ujarnya cemas.
***
Dunia adalah lempengan tegak lurus, yang harus dititi dengan hati-hati. Mereka merayap perlahan, dan tak boleh ada kesalahan. Kesalahan hanya punya satu muara: kematian. Maka, dengan harap-harap cemas, para lelaki itu mendekati Bukit Sungsang. Kian dekat dengan kaki bukit itu, degup jantung mereka kian menguat.

"Itu... itu…yang menggunduk di tanah lapang itu..."
"Apa mungkin itu tanah yang dimaksud?"
"Mungkin."
"Terus gimana?"
"Ya, kita coba."

Maka bergegaslah kelompok itu mendekati gundukan tanah halus kecoklatan, agak basah di tanah lapang. Mereka kemudian jongkok berkeliling, mengamati gundukan tanah yang sekilas warnanya mirip gula Jawa itu. Seseorang kemudian menutulkan telunjuknya. Yang lain mengawasi. Jari itu masuk mulut. Semua mata mengikuti. Mulut yang komat-kamit, lalu menelan. Semua mata terpaku, jakunnya turun-naik.
"Enak..."

Maka, tanpa komando, para lelaki yang mengepung gundukan tanah itu meraup tanah dan memasukkannya ke mulut. Pipi menggembung, kecap mulut berkeceplak rakus. Keriangan dan kenikmatan membias di wajah mereka. Lidah mereka mencecap rasa gurih yang nikmat.

"Seperti keripik kelapa, ya…"
"Pernah makan, memangnya..?"
"Belum."

Dan mereka pun tak mau tahu lagi jawaban apa yang pantas keluar untuk setiap pertanyaan. Mereka hanya mau makan dan makan.
***
Senja meredup. Merah menembaga. Serombongan lelaki pulang, masing-masing memanggul buntalan tanah di pundak. Mereka berjanji bahwa esok akan kembali dan membawa makanan itu lagi.
Malam itu sekampung kenduri tanah. Tanah makan tanah, sebelum kembali menjadi tanah.
***
Lima hari lagi Lebaran. Para lelaki tak pernah menghitung hari. Mereka sepakat akan ke bukit lagi. Tak perlu minyak tanah. Tak butuh api. Tak usah beras. Perut mereka kenyang makan tanah. Cukup sudah kebutuhan hidup. Maka, berkemaslah mereka membawa pikulan bambu.

Namun, begitu langkah mereka tiba di kaki bukit, betapa terkejut mereka ketika dilihatnya bukit itu dijaga tentara. Senapan mereka laras panjang dan mustahil tanpa peluru. Sebagai penemu, mereka merasa berhak. Meskipun moncong senjata yang mereka ajak bicara, para lelaki itu berkeras mempertahankan isi perut mereka.

"Ini sumber makanan kami," teriak Najib seakan mewakili kawan-kawannya.
"Ini pertambangan negara. Siapa pun dilarang menambang di sini."
"Kami nggak cari apa-apa, cuma tanah itu. Itu makanan kami, Pak."

Komandan penjaga mengerutkan dahi. Dia sadar hanya akan menghadapi orang kurang waras. Kelaparan membuat pikiran terbalik. Dia pun memberi aba-aba agar membiarkan saja orang-orang itu berlalu. "Awas, kalian tidak boleh memasuki batas ini," ucapnya sambil menunjuk pada tanda larangan.

Para lelaki itu tak menjawab. Mereka hanya ingin segera menggali makanan mereka dan membawanya pulang. Tentu saja, setelah sebelumnya mereka berkenduri di kaki bukit itu. Para penjaga itu terlongong-longong ketika mata mereka menyaksikan kenikmatan para lelaki itu menyantap tanah. Ada yang menjilati jari-jari mereka sendiri, layaknya membersihkan sisa bumbu gulai kambing di sela-sela jari. Ada yang besendawa besar, lalu mematahkan lidi, mengorek-ngorek mulut, seolah mencongkel sisa daging terselip di gigi.

Komandan penjaga bergidik. Perlahan dia memerintahkan anak buahnya mundur teratur. Pemandangan yang disaksikannya benar-benar tak masuk akal. Melihat para penjaga itu mundur, salah seorang yang melempar-lemparkan butiran tanah kecil ke mulutnya seakan makan kacang bawang, segera memanggil dan mengajaknya bergabung. Panggilan itu rupanya terdengar lebih menyeramkan daripada lolongan srigala di malam hari, dan itu membuat para penjaga daerah pertambangan itu pontang-panting.

"Hahahahaha... orang bego, diajak makan, malah mabur…," ujar salah seorang.
"Biar saja, perut mereka tak bisa makan tanah."

"Lidah mereka sudah keriting. Hahahaha…biar saja. Yang penting, kita sudah menawari mereka, kalau tak mau, ya, salah dia... Ayo, lho.. jangan malu-malu," ucapnya sambil mencolek tanah dan menjilati layaknya menjilati semangkok gulai kambing.
***
Entah sekarang, apa yang terjadi dengan desa itu, tak ada yang peduli. Para penjaga yang pernah ditugaskan di daerah pertambangan emas milik negara itu dianggap orang gila, lantaran mewartakan ada kelompok manusia yang makan tanah mentah-mentah. Itu sebabnya aku tertarik dengan fenomena ini. Aku justru ingin menemui salah seorang penjaga itu dan mengajaknya ke wilayah itu.

Aku ingin tahu, bagaimanakah struktur jaringan perut mereka, sehingga bisa menerima dan mencerna tanah. Perut yang bisa menghancurkan besi, sudah ada di jurnal-jurnal, tetapi tanah? Ini sebuah fenomena menarik. Aku harus mengambil sampel perut mereka, membawanya ke lab dan menelitinya. Mungkin, ini akan menjadi sebuah solusi penting bagi dunia. Dan, barangkali saja, aku bisa merumuskan dan bahkan memproduksi semacam tablet yang bisa membantu lambung dan pencernakan manusia, sehingga mampu mengonsumsi apa saja; termasuk tanah mentah. Aha, sebuah ide menarik. Perut, pengendali utama ras manusia. Dan, sesungguhnya, inilah yang mengendalikan peradaban. Hahaha… ***
Pinang, 982


Perkawinan Rahasia Cerpen: Evi Idawati


Suara Karya
Minggu 27 Januari 2008
Perkawinan Rahasia
Cerpen: Evi Idawati

"Jika sampai ada satu orang yang tahu, kita cerai!" suara Johansyah menggelegar membelah ruangan. Fee, terdiam. Memandang mata suaminya. Hujan baru saja berhenti. Ingin Fee berdiri dan beranjak dari tempat itu. Meninggalkan Johansyah sendiri. Dia tidak perduli apakah mereka harus bercerai detik itu atau tidak. Fee heran melihat lelaki yang tidak tahu diri itu. Siapa toh perempuan yang mau diperlakukan seperti dia. Perkawinanya dirahasiakan, hanya karena alasan klise. Cinta yang ngawur. Membabi buta. Sehingga Fee menegakan dirinya sendiri terlibat dalam rahasia yang rumit itu.

Johansyah sudah menikah dan keluarganya baik-baik saja. Entah dia yang pecundang, gombal dan buaya. Atau Fee sendiri yang kegatelan sehingga mau saja selingkuh dengan laki-laki yang sudah punya istri dan anak. Entah alasan apa sampai mereka memutuskan untuk menikah tetapi Johansyah membuat persyaratan tidak boleh diketahui siapa pun, kecuali orang-orang yang menjadi saksi pernikahan mereka. O o. dan Fee mau saja dan merasa nyaman dengan itu semua.

Fee, Fee. Laki-laki di dunia ini tidak hanya Johansyah. Cinta tidak harus membuatmu merendahkan diri. Apa yang diberikan Johansyah padamu selama ini sampai kamu mau menjadi istri rahasianya. Rumah? Mobil? Uang? Atau yang lainnya? Apa dia benar-benar mencintaimu? Nonsen! Cinta itu omongkosong. Hati selalu berubah. Sekarang dan besok bisa berbeda. Begitupun hati Johansyah padamu. Sekarang dia bisa bilang mencintaimu sepenuh hati, apa buktinya? Dia hanya ingin bermain dengan kata-kata kosongnya. Dia akan menggunakanmu dengan segala cara untuk kepentingannya. Setelah kamu tidak berguna lagi. Dia akan melemparkanmu. Kamu akan semakin terpuruk dan sakit.

Tidak ada yang melindungimu. karena pernikahanmu tidak jelas. Kamu tidak bisa menuntut dia. Dia dengan gampang akan mengingkari semuanya. Itukah cinta? Lihatlah, apa yang dia lakukan padamu selama ini. Apa yang dia berikan padamu? Atas nama cinta jugakah?Dia ingin kamu mengerti dia. Selalu begitu kan? Tapi dia tidak pernah mengerti kamu. Sudahlah tinggalkan dia. Perempuan seperti dirimu bisa mendapatkan laki-laki mana pun. Jika dia memang tidak tahu diri. Akan terlihat sendiri. Tapi lagi-lagi Fee gemetar saat semuanya hampir berakhir.

"Aku tidak bisa meninggalkan dia. Aku mencintainya" suara Fee begitu lembutnya. Seakan menyakinkan dirinya sendiri bahwa dia memang tidak berdaya.

Aneh! Johansyah bukan laki-laki yang istimewa. Dia pengecut dan suka sekali bersembunyi dalam kata-katanya. Tapi kenapa Fee begitu mencintainya. Sebagai perempuan Fee harus membaca buku tentang laki-laki. Dari Adam sampai Federick. Agar Fee tahu mereka tidak ada apa-apanya dibandingkan makhluk bernama perempuan. bersyukurlah Fee terlahir sebagai perempuan. Makhluk yang kadang di sikapi tidak adil oleh dunia ini. Tetapi harus tetap tegar dengan seambrek tugas-tugas yang diberikan Tuhan padanya. Dengan sebuah hadiah yang menurut orang-orang sangat istimewa. Surga ditelapak kakinya.

Hati perempuan adalah savanna, samudera dan belantara. Jika dihadapkan pada pilihan hidup yang paling rumit, mereka akan menjelma menjadi angin, air dan udara. Sudah seharusnya Fee tahu itu. Jika dia masih bersikap manja. Tidak berani menerima kesakitan yang biasa bagi sebagian orang itu. Jangan mengaku sebagai perempuan. jadilah orang yang tidak jelas kelaminnya. Meninggalkan pecundang seperti Johansyah saja tidak bisa. Bahkan tidak berani hanya karena takut merasakan luka dan sakit hati.

"Aku tidak bisa meninggalkannya. Aku mencintainya!" sekali lagi suara Fee yang lirih keluar dari mulutnya. Dia berlagak seperti perempuan yang tidak berdaya.

Bersyukurlah Fee, jika Tuhan masih mengijinkanmu menerima rasa sakit. Kesakitan akan membukakan mata batin kita. Kesakitan adalah pupuk untuk membuat kita terus hidup dan menikmati warna dunia. Kenapa takut berada di tempat seperti itu. Yakinlah, jika Johansyah benar-benar mencintaimu seperti yang sering dikatakannya. Dia akan memberikan tempat terhormat padamu. Seperti dia menghormati dirinya sendiri Dia akan menjaga kehormatanmu. Melebihi kehormatan dirinya sendiri. Dia akan melimpahimu dengan cinta dan kebahagiaan. Dia tidak akan melukaimu. Karena kalau dia melukaimu sama saja dia melukai dirinya sendiri. Bahkan dia akan menyediakan dirinya menjadi dirimu. Memberikan yang terbaik buatmu, seperti kamu memberikan yang terbaik untuknya.

Tapi Fee membutakan matanya. Menulikan telinga dan menutup bibirnya. Bahkan setiap malam tak henti-hentinya dia berdoa untuk kebahagiaan Johansyah. Di jaman seperti ini, perempuan memegang kendali atas mimpi dan keinginan sendiri. Bukan untuk dipermainkan dan direndahkan. Tapi untuk menunjukkan pada dunia, kemampuan, kecerdasan dan kelebihan yang mereka punyai. Melihat Fee, seperti kembali ke seratus tahun silam. Mau-maunya dia berdoa, khusuk untuk kebahagiaan orang yang tidak pernah menghargainya. Atas nama cinta.

Menangislah Fee, menangislah karena kamu tidak bisa bersikap tegar, saat Johansyah memutuskan meninggalkanmu. Mengakhiri semua permainan yang diawali dari kata-kata kosong. Bukan karena kamu takut kehilangan dia. Jangan sekali-kali berani merendahkan diri dan hatimu untuk merengek pada laki-laki itu. Angkat dagumu! Lihatlah kedepan. Laki-laki bukan segala-galanya. Rubahlah tujuan hidupmu, bukan mengabdi pada makluk yang bernama laki-laki. Ada banyak tujuan baik yang perlu kamu camkan dan tancapkan pada bumi. Yang berurusan dengan dirimu dan orang lain. Boleh mencintai asal tidak berlebihan. Silahkan membenci asal jangan keterlaluan. Karena hati selalu berubah. Hati bukan tebing kokoh yang memagari laut dari ombak dan deburnya. Bukan pula batu cadas. Hati begitu lunaknya. Dia bisa disentuh dengan kata-kata yang mendayu tetapi juga bisa disulut hingga terbakar dan berkobar.

"Aku tidak perduli. Kita cerai!" suara Johansyah meninggi.

"Aku salah apa? kenapa?" Fee bertanya dengan suara lemah. Akhirnya hubungan suami istri dalam perkawinan yang dirahasiakan itu harus berakhir juga. Tidak lebih dari enam bulan.

"Aku baru saja menerima telpon dari teman-temanku. Ternyata mereka sudah tahu kalau kita menikah. Kamu pasti yang membocorkan semuanya. Dasar perempuan! kenapa sih tidak bisa menyimpan rahasia. Coba kamu bayangkan, kalau istriku sampai tahu. Apa yang terjadi padaku. Aku akan kehilangan segala-galanya."

"Aku tidak pernah berkata- kata pada teman-temanmu. Apalagi soal kita. Karena aku tahu. Jika mereka tahu soal perkawinanku. Maka selesailah kita. Aku menyadari hal itu. Karena aku sangat mencintaimu. Maka aku menjaga mulutku. Jangan menuduhku dengan berkata seperti itu!"

"Aku tidak percaya padamu! Dari dulupun aku tidak percaya padamu! Kamu selalu berbohong!"

"Aku berbohong soal apa? tentang apa? tolong katakana padaku, hal apa saja yang menurutmu aku berbohong?"

"Tidak perlu diceritakan tapi aku yakin kamu berbohong dan aku tidak percaya lagi padamu!"

"Baiklah, karena kamu sudah tidak percaya lagi padaku. Tidak ada gunanya kita teruskan perkawinan kita. Aku selama ini selalu mengalah padamu. Sebagai istri yang kamu rahasiakan, aku tahu diri dan berusaha belajar untuk tahu diri. Aku tidak pernah bisa bersamamu. Harus menunggu sebulan untuk bertemu. Tidak bisa mengganggumu saat kamu bersama keluargamu. Aku sudah menerima semuanya dan menjalaninya sebagaimana kehidupan normal perempuan-perempuan lain. Entah karena aku mencintaimu atau karena soal lain. Buatku tidak penting. Yang paling utama, meski kita berjauhan dan hanya waktu-waktu tertentu ketemu. Aku menempatkan komitmen kita ditempat yang paling tinggi. Selama aku menjadi istrimu, aku tidak pernah menuntut hal-hal yang tidak bisa kamu berikan. Aku bahkan selalu mensyukurinya. Tapi sekarang terserah padamu. Aku sudah capek. Aku seperti berhadapan dengan anak kecil yang tidak tahu diri. Kembalilah pada istrimu. Aku tidak tahu apa dia memerlukanmu atau tidak. Tapi aku yakin kamu memerlukan dia. Jadi berbaik-baiklah pada istrimu, kamu akan kehilangan asset berharga kalau dia sampai tahu soal kita. Jadilah anak yang baik dihadapannya!"

"Kata-katamu menyakitkan!"

"Apa kamu kira kata-katamu melenakan! Sekarang aku jadi tahu dirimu. Tapi biarlah, aku akan mencatatkannya dalam hatiku. Baik dan burukmu."

Begitulah seharusnya dirimu Fee. Bersikaplah tegas pada laki-laki itu. Kamu tahu kenapa dia begitu ketakutan setelah menikahimu. Kamu harus kasihan padanya. Tidak semua laki-laki ditakdirkan mempunyai sifat pemberani. Mereka juga kadang pengecut. Jika dihadapkan pada dua pilihan. Mereka akan memilih yang paling menguntungkan dia. Jangan berharap atas nama cinta dia akan memilihmu. Hidup baginya adalah angka-angka yang harus dijumlahkan. Jika ada sisa lebih besar, dia pasti akan memilihmu. Kalau tidak ada sisa, bahlan dia merasa kamu telah membuat dia bangkrut, meski kamu punya kelebihanpun tak akan dia menetapkan hati padamu. Jadi jangan menyesal telah meninggalkan dia.

"Tapi rasanya sakit. Aku tidak tahan. Rasanya mau mati saja. Aku kurang apa padanya. Aku memberikan seluruh hati dan diriku padanya. Bahkan jika harus mendada kesakitan pun bersamanya aku mau!"

Jangan mati untuk laki-laki seperti dia Fee. Untuk apa kamu mendada kesakitan bersamanya. Nikmatilah hidup sekarang. Jangan terpaku padanya. Kamu bisa mengerjakan hal-hal yang sudah lama ingin kamu lakukan. Mulailah tentukan tujuan hidupmu. Dia akan menyesal melepaskanmu. Tapi mungkin juga tidak. Dia akan mendapatkan ganti perempuan lain yang bisa dibohongi. Maka belajarlah dengan memberi tanda pada setiap peristiwa. Ambillah maknanya. Jangan menjadi bodoh dengan tidak perduli. Jangan pula mengulang kesalahan yang sama. Lihatlah langit yang benderang, purnama kelima telah datang. kata-kata yang disiapkan untuk menyambutnyapun seperti tanah yang merekah. Siap menerima hujan untuk menyuburkannya. Bisikkan pada pohon-pohon untuk menari bersamamu. Lompatlah ke langit jika bisa membuatmu terbang dan nyaman. Tapi jangan berdoa untuk dia. Karena laki-laki itu, pecundang!.

Entah kenapa, muka Fee masih menyulut kesedihan. Berkali-kali dia mengusap airmatanya. Dan mukena yang dikenakannya setiap malam hanya terlepas setelah fajar.

"Aku mencintainya. Aku akan mengguncangkan langit. Menggedornya setiap malam. Sampai doaku terkabulkan!"

Ah! Ah!

Fee!

Perempuan! ***

* Jogjakarta 2006


Perempuan Petelur Cerpen: Iggoy el Fitra


Suara Merdeka
Minggu, 30 Desember 2007

Perempuan Petelur
Cerpen: Iggoy el Fitra

TIADA
yang tahu bagaimana perempuan itu dapat bertelur seperti unggas. Semua bermula dari kedatangannya yang tiba-tiba di sebuah pulau di tengah keheningan Laut Cina Selatan. Entah di mana pulau itu berada, tak setitik pun ia tampak di peta. Lebih jauh dari Kepulauan Paracel, lebih jauh lagi dari Kepulauan Filipina. Pesawat kargo yang terbang rendah menjatuhkannya di tengah lembah bersama sekotak peti yang telah mengurungnya sejak berangkat dari landasan udara di pesisir selatan Borneo. Dari pelabuhan Tanjung Perak, dia digiring bersama beberapa perempuan sebayanya menaiki kapal yang akan memberangkatkan mereka ke Telawang.
Dia tidak tahu bagaimana bisa dipisahkan dari rombongan ketika sampai di pelabuhan. Tentara-tentara Jepang berkali-kali menodong-nodongkan senjata ke wajahnya yang dekil. Di atas kapal, di sebuah kabin, dia diperkosa dengan kasar oleh seorang kuli angkut atas suruhan para tentara itu. Setelah tak berdaya, para tentara beramai-ramai meludahinya, lalu pukulan gagang senjata sekejap membuatnya pingsan.
Dan di lembah ini, dia langsung terbangun setelah seluruh tubuhnya terhempas dengan keras sekali. Peti kayu itu pecah, tetapi tubuhnya tidak apa-apa. Hanya kepalanya yang sedikit pusing. Dia tak menyadari bahwa tiada sehelai benang pun membalut tubuhnya. Sambil merangkak dia menghampiri sebuah air yang terpancur dari balik batu. Dia meminumnya dengan tergesa-gesa.
Barangkali dia terkena amnesia. Atau hanya demensia belaka. Berulang-ulang dia usap belakang kepalanya sambil meringis sakit, kemudian menggerak-gerakkan tangannya seolah-olah dia baru terjaga dari tidur yang panjang. Dia mulai berjalan menyusuri semak belukar. Ada tebing menuju puncak lembah. Tidak begitu curam, mungkin dapat didaki. Dia mencoba memanjatnya hati-hati.
Telah seharian dia menyusuri hutan, namun pulau ini seperti tiada bertepi. Dia mulai mendekap dadanya. Dingin. Rimbun ilalang juga membuat kulitnya gatal-gatal. Dia menggaruknya sampai memerah dan berdarah. Semak-semak di depannya terlihat semakin sedikit, tanah yang dipijaknya mulai berubah menjadi pasir. Apakah dia telah sampai di sebuah pantai?
"Aku kedinginan dan lapar," gumamnya.
Dia dapat bicara meski sepatah kalimat saja. Sebuah pohon yang dapat dia jangkau buahnya menghentikan langkahnya. Buah itu hanya sebesar kepal, maka dia memakan banyak sekali. Perutnya langsung sakit. Dia buang air besar di atas pasir.
Ternyata di depannya bukanlah pantai, melainkan sebuah gurun yang tak dapat dilihat batasnya. Walaupun begitu, dia menyusurinya tanpa ragu-ragu. Berhari-hari sudah, berlama-lama dia berjalan menyusuri gurun pasir itu. Dia terlalu lelah. Perutnya telah membesar. Bukan karena terlalu banyak makan, tapi mungkin benih-benih orang-orang yang menyetubuhinya telah tumbuh.
Dahaga yang begitu hebat dirasakannya tertuntaskan oleh sebuah oase yang muncul sedikit demi sedikit dari balik gurun. Dia bukan nabi, bukan pula istri seseorang yang sangat mulia, tetapi kolam jernih itu begitu saja ada di depannya seakan-akan memang hanya diciptakan untuknya. Adapun dia hanya pelacur yang belum puas dengan hidupnya sendiri.
Dari orang-orang di desanya, dia mendengar pengumuman bahwa para gadis muda akan dipilih untuk dipekerjakan di Borneo. Sudah lebih dari dua tahun pengiriman itu berulang. Dia tak masuk dalam pilihan, sebab meskipun masih muda, tetapi dia sudah memiliki anak, lagipula kulit hitam dan wajahnya yang burik tidak membuat para agen tertarik. Namun dia bersikeras meyakinkan kepada orang-orang itu kalau dia bersedia bekerja apa saja. Dia berharap dipekerjakan menjadi pelacur, sebab sebelumnya dia telah melacur diam-diam di desanya. Seorang teman pernah melarang. Tapi dia sangat ingin melayani orang-orang Jepang yang banyak uang.
***
PERANG
masih berlangsung. Tentara Belanda memang makin jarang terlihat di Tanah Jawa, tetapi tentara Jepang sepertinya mengambil posisi mereka. Pada 11 Januari 1942, mereka kali pertama mendarat di Indonesia dengan menyerang pasukan Belanda di Tarakan. Dini hari itu terjadi pertempuran besar. Ladang-ladang minyak terbakar. Borneo telah penuh dengan tentara Jepang. Tiga tahun kemudian, ketika perempuan itu dimasukkan ke dalam peti, pesawat yang membawanya hampir saja ditembus rudal dari pesawat tempur Australia. Dia telah menyingkir dari Perang Pasifik yang hampir berakhir.
Ditenggelamkannya kepalanya di dalam kolam. Sambil menyelam, dia meminum airnya. Langit bergemuruh sekali-sekali. Hari tidak mendung, melainkan sangat terik. Agaknya dia benar-benar lupa dengan pesawat-pesawat tempur yang berdesing-desing di atasnya. Dia memang mengalami amnesia.
"Di mana ini? Perutku sakit, siapa yang akan membantuku bersalin?" dia berucap menengadah langit.
Tiba-tiba dia mengerang. Kakinya mengangkang dengan tidur terlentang. Dia mengejan, dia berusaha mengejan sekuat-kuatnya. Sebuah cangkang muncul di liangnya, mulai membesar serupa kepala bayi yang biasa keluar lebih dulu. Perempuan itu berusaha mengeluarkannya.
Dia berusaha kuat mengejan mengeluarkannya. Mungkin saja liangnya sobek, sebab cangkang bulat sebesar kepala orang dewasa itu terlalu besar untuk dikeluarkan seorang perempuan. Napasnya terengah-engah, situasi sulit itu lewat sudah. Tanpa ketuban yang pecah, juga tanpa tali pusar dan plasenta, telur itu tergeletak di atas pasir begitu saja.
Mulanya dia heran dan takut. Tapi dia segera sadar bahwa di dalam telur itu ada buah hatinya yang harus dierami dan dijaga. Diseretnya telur itu ke dalam kolam, dimandikannya. Lalu dia mengambil pelepah-pelepah pohon palem satu-satunya yang menjulang di dekat kolam itu. Dia menjadikannya sebuah tas, tempat telur yang akan dibawanya berkelana.
Telur itu berat sekali.
Dia berjalan lurus, tapi gurun pasir ini sungguh-sungguh luas seperti tak berbatas. Seharian sudah dia berjalan. Dia kembali menemui keajaiban. Di depannya terbentang sungai yang mengaliri gurun. Dan di sanalah, dia mengerami telurnya semalaman. Perutnya kembali sakit, dia kembali mengerang. Dia akan bertelur sekali lagi. Kali ini tampaknya dia tidak lagi kesulitan untuk bertelur lantaran pengalaman yang sebelumnya. Akan tetapi pada saat dia mengejan, berkelebat ingatan-ingatan di kepalanya.
"Abang boleh nyobain saya dulu, deh. Kata orang, dicoba dulu baru dibeli. Iya, kan?" dia berkata kepada seorang agen di sebuah barak.
Lelaki brewok itu terlipat keningnya. Gairahnya tidak ada sama sekali. Namun sebelum ia beranjak pergi dan mengusirnya, perempuan berkulit hitam itu segera menanggalkan baju lalu menggoda si agen. Dengan keadaan demikian, tentu saja si agen tak dapat mengelak. Mereka bercinta di dalam barak, dengan harapan agar perempuan itu bisa ikut dengannya ke Borneo.
Telurnya terguling-guling sebentar.
Dia kelelahan bukan karena bertelur, tapi bayangan-bayangan di kepalanya telah membuatnya pusing. Telur barunya dia dekap, dia cium-ciumi. Telurnya yang satu lagi bergoyang-goyang. Sebuah kaki tiba-tiba menembus cangkang, sementara dia segera membantu telur itu menetas. Cangkangnya tidak lagi mengeras. Dia tak butuh menunggu 30 hari untuk kelahiran anaknya. Cukup semalaman. Tak ada tangisan. Tak ada keramaian seperti orang-orang desa yang bersama-sama menyambut kelahiran anak pertamanya yang lahir tanpa bapak. Hanya senyap, seiring bayang-bayang yang mengganggunya itu lenyap.
Tak lama dia langsung menyusui anaknya. Dia hanya tertawa-tawa sambil mengusap rambut anaknya yang tebal. Ah, barangkali bukan saja amnesia yang mengganggunya, tetapi juga skizofrenia.
***
MAKA
begitulah, perempuan itu bertelur setiap hari dalam perjalanannya. Di pulau itu tak seorang manusia pun dia temui. Tampaknya memang pulau yang tidak berpenghuni. Anak-anaknya satu persatu telah menetas. Tiada yang tahu bagaimana dia dapat bertelur seperti unggas.
Perang telah berakhir. Tak ada lagi pesawat-pesawat lewat di langit yang dia tatap. Dia tidak tahu ada kemenangan, dia tidak tahu ada kemerdekaan. Tetapi baginya, kesempatan untuk bertahan hidup adalah kemenangan yang mutlak. Di pulau itu hanya dialah orang dewasa selain anak-anaknya yang mulai dapat berjalan dan menangkap ular-ular di balik rerumputan.
Dia mengajarkan kepada anak-anaknya bagaimana mencari makan, mengolah daging-daging hewan agar enak dimakan. Sisa-sisa ingatan masih ada di kepalanya, tentang hidup yang pernah dijalaninya bersama orang-orang. Mereka memasak dengan membakar api di dalam tungku, dia ingat hal itu selalu. Tetapi tak ada yang dikenalnya, tak ada satu pun orang yang dia ingat siapa mereka.
Dalam kehidupannya yang baru itu, dia telah menelurkan lima belas anak, tujuh perempuan, delapan laki-laki. Anak yang menetas terakhir bernasib malang, tubuhnya dikoyak-koyak anjing hutan. Jadi semua anaknya berjumlah empat belas. Dengan begitu, dia mengawinkan anaknya berpasang-pasangan.
Pada hidup yang terus berjalan, telur-telur bergeletakan di atas pasir, di tepi sungai, di dalam lembah, bahkan di puncak bukit yang paling tinggi. Mereka telah berkembang biak, telah beranak pinak, bertelur serupa induknya.
Semakin renta, perempuan tua itu semakin sering bertekur di sebuah lembah, tempat di mana dia dijatuhkan, dipisahkan dari dunia yang penuh dengan ledakan, rentetan peluru, dan darah. Tapi dunianya yang baru ini tiada memberikannya kebahagiaan. Telah bertahun-tahun kepalanya diisi oleh pertanyaan-pertanyaan, "Siapakah aku, di manakah diriku berada, apa tujuanku di sini?"
Betapa dia sangat kesepian di pulau ini. Tak ada lagi seorang pun yang dapat diajaknya bercanda, bersenda gurau, dan saling menyayangi.
Anak-anaknya hidup damai di segala penjuru pulau. Perempuan hitam itu telah menjadi nenek bagi cucu-cucunya. Dan di pulau ini, mereka membuat peradaban baru yang ganjil. Membuat rumah, membuat kampung, dan menyebarkan bahasa yang mereka yakini. Tentu saja, mereka jauh lebih cerdas ketimbang Homo Sapiens. Akan tetapi, amnesia yang dibawa induk mereka dahulu telah menjadi sesuatu yang diidap turun-temurun. Mereka hidup berkeluarga, dipisah-pisahkan oleh rumah-rumah, namun seorang ayah dapat masuk begitu saja ke rumah tetangga sebelah. Yang datang tidak tahu bahwa yang dimasuki bukanlah rumahnya, dan yang punya rumah pun tidak tahu siapa yang tiba. Lantas penghuni rumah tiba-tiba saja memanggil laki-laki itu sebagai bapak mereka, dan laki-laki itu seakan-akan sadar kalau rumah itu adalah rumahnya.
Oleh karena itulah, perempuan tua yang memunculkan kehidupan baru di pulau ini sering menjadi sedih. Tak ada satu pun dari anak-anaknya itu yang dia ingat, dan anak-anaknya pun tak mengingat siapa dia. Maka makin seringlah dia menyendiri. Barangkali dia terlalu tua, batinnya.
Dia menatap langit. Ah, andai pesawat-pesawat itu kembali berlalu di atas, dia hendak bertanya. Sudah berpuluh-puluh tahun tak ada suara gemuruh mesin di angkasa. Dia makin nelangsa. Tetapi sekejap saja dia berharap, deru-deru yang dirindukannya terdengar dari balik awan. Pesawat-pesawat jet berlewatan.
Mereka saling menembak. Suara-suara bersipekak, udara meledak-ledak, dia menutup telinganya. Setelah ledakan besar, sesuatu terjatuh di lembah itu. Seorang pilot dengan kursi lontarnya jatuh tanpa parasut. Melihat pilot itu tampak kesulitan membuka sabuk pengaman, perempuan itu tertatih-tatih pergi menghampirinya. Dikeluarkannya belati untuk memotong tali.
Dia mengusap wajah pilot itu yang pucat ketakutan.
"Telah lama aku menunggu seorang laki-laki tanpa istri. Aku ingin bertelur lagi," ucapnya sekonyong-konyong.
Perempuan itu tertawa sambil menutup giginya yang ompong.***
Ilalangsenja, Padang, 2 November 2007

Perempuan Kedua Cerpen: Labibah Zain


Pikiran Rakyat
Sabtu, 02 Juni 2007

Perempuan Kedua
Cerpen: Labibah Zain

Perempuan berumah di ujung gang itu benar-benar membuat sekujur tubuhku tegang. Cara bicaranya yang lembut, membuat aku kalang kabut. Sungguh aku tak mengira akan jatuh cinta macam anak-anak SMA.

Aku bertemu perempuan itu, ketika menghindari tabrakan dengan ojek. Motor yang aku kendarai dengan memboncengkan Dina, anak perempuanku itu, terjerembab di salah satu got, dekat rumahnya. Tangis anakku yang meraung-raung, membuat perempuan itu datang menawarkan bantuan. Gini, nama perempuan itu. Dia menggandeng Dina ke rumahnya dengan kasih sayang seorang ibu.

Aroma sabun wangi badan Gini tercium tanpa sengaja olehku, ketika dia memberikan secangkir air putih.

Sejak pertemuan itu, hidupku tak tenang. Aku mulai membanding-bandingkan keadaan perempuan itu dengan Gami, istriku. Seandainya istriku bisa serapi Gini, pastilah aku tambah betah di rumah. Seandainya perut istri serata Gini, pastilah aku tak harus mencari-cari foto-foto wanita setengah telanjang di tabloid jalanan hanya untuk meningkatkan gairahku di kasur. Tetapi, semua membuatku frustrasi. Begitu membuka mata, yang kulihat hanyalah tubuh Gami yang mulai berlemak di sana-sini.

Otakku mulai berputar-putar tak karuan. Bagaimana cara agar aku bisa mengunjungi Gini tanpa ada yang curiga. Sungguh! Dua hari tak bertemu Gini, membuatku seperti orang gila. Mulailah kuatur rencana demi rencana untuk bisa menemuinya.

**

Kucukur habis bulu-bulu yang ada diwajahku. Kusemprotkan minyak wangi di tubuhku. Ah, ternyata aku masih ganteng juga. Kutatap wajahku di cermin. Tak kalahlah dengan Doni Damara, pikirku. Melihat penampilanku, istriku bertanya-tanya. Katanya, aku seperti orang yang sedang puber kedua. Aku bilang saja, semuanya kulakukan karena aku harus foto buat kartu identitas di kantorku besok pagi. Istriku pun tampak paham.

Aku tidak bohong. Memang besok paginya ada acara foto-foto untuk melengkapi kartu identitas perusahaan. Hanya saja, sepulang dari kantor, aku mengajak Dina untuk mengunjungi Gini.

Gini dan dua anaknya, Tono dan Tini menyambut kedatangan kami dengan gembira. Dina langsung bermain sepeda dengan mereka. Aku pun duduk berdua dengan Gini di ruang tamu. Dari percakapan sore itu, aku tahu kalau Gini seorang pengajar bahasa Inggris di salah satu lembaga bahasa. Satu ide melintas. Saat itu, aku meminta Gini untuk memberikan kursus bahasa Inggris buat Dina, karena Dina berumur 4 tahun. Sudah saatnya belajar bahasa Inggris. Gini setuju untuk memberi kursus Dina setiap hari Senin dan Rabu. Ketika pulang ke rumah dan kurundingkan dengan Gami tentang kursus itu, dia tak keberatan sedikit pun.

Sejak itu, hari Senin dan Rabu merupakan hari yang sangat kutunggu-tunggu. Kursus hanya berlangsung selama satu jam saja, tetapi Dina selalu meminta untuk tinggal di rumah Gini agak lama, karena dia ingin bermain bersama Tini dan Tono. Jadilah aku punya alasan untuk ngobrol panjang lebar dengan Gini.

Berbicara dengan Gini, aku serasa menemukan masa mudaku lagi. Ternyata Gini suka puisi. Lantaran bicara puisi-puisi Gibran, kami menjadi semakin akrab dan terbuka.

Gini juga bercerita tentang seorang duda, yang menjadi direktur lembaga bahasa tempat ia bekerja itu, beberapa kali memintanya untuk menjadi istrinya. Bagi Gini, penampilan duda itu tak menarik. Dia lebih suka lelaki yang suka menghadiahinya puisi, seperti almarhum suaminya.

Tahu akan hal itu, aku pun getol menghadiahi satu puisi buat Gini setiap pagi. Puisi itu aku serahkan sebelum aku pergi ke kantor. Sepulang kerja, aku pun sering mampir ke rumahnya hanya untuk mencekoki Gini dengan kata-kata yang menghiba-hiba tentang penderitaanku sejak menikahi Gami.

"Jangankan merawat anak dan suami, merawat diri pun dia tak mampu. Daster kumalnya menjadi pemandanganku sehari-hari. Makanan hambar alakadarnya menjadi menuku sehari-hari. Tempat tidur bau ompol anak, menjadi alas tidurku sepanjang malam. Dengkuran istriku menjadi musik pengantar tidurku. Secangkir teh atau kopi sepulang kerja hanyalah impian. Aku sangat menderita!"

Gini memandangku dengan muka murung. Sepertinya aku sudah berhasil menarik simpatinya dengan rahasia-rahasia rumah tanggaku.

''Seandainya istriku itu adalah kamu, Gini.''

Pipi Gini merona. Matanya berkejapan. Aku merasa terbang ke langit ketujuh. Seperti berdendang, kata-kata itu terus ku ulang-ulang.

Lama-kelamaan, aku punya keyakinan, kalau Gini juga menaruh perhatian terhadapku. Oleh karenanya, dengan mengumpulkan segala keberanian, aku menyatakan cinta di beranda rumahnya! Gini tersentak. Tetapi di wajahnya, aku melihat kebahagiaan yang menggelegak.

Dia berkata, "Mas 'kan sudah punya istri...."

"Tapi kau 'kan tahu kalau aku menderita?"

"Selesaikan baik-baik hubungan Mas dengan Isteri. Kalau memang Mas tak bahagia, Mas harus menceraikannya secara baik-baik atau minta izin kepadanya untuk menikahiku."

Aku bersorak. Masalah dengan istriku? Gampanglah diatur.

Dengan hati berbunga-bunga, aku pulang ke rumah. Begitu malam tiba, kutidurkan Dina sebelum jamnya. Setelah itu, aku mulai mencumbui Gami seperti layaknya pengantin baru. Usai bercinta, kubuatkan istriku mi goreng instant. Sepiring berdua kami makan bersama. Selama dua minggu kami tampak mesra. Gami menatap curiga tetapi dia tampak bahagia.

Pada minggu ketiga, mulailah aku bercerita tentang banyaknya orang-orang yang perlu disantuni. Anak yatim dan janda yang terlunta-lunta. Gami yang mudah tersentuh sangat terharu, tetapi menjadi pilu ketika aku mulai mengemukakan pintu surga bagi istri yang merelakan suaminya menikahi janda miskin.

Dari tatapan matanya, aku tahu hatinya teriris. Tapi tekatku tak terkikis. Kupeluk dia. Di telinganya, kubisikan betapa aku mencintai dia dan berjanji semuanya takkan berubah. Istriku menatapku. Dia bilang, dia ingin bertemu Gini. Aku pun setuju. Kucium keningnya. Kuusap-usap rambutnya sampai dengkurnya terdengar. Malam itu, dia terlelap di pelukanku.

**

Akhirnya di rumahku, kedua perempuan itu bertemu. Dari jendela rumahku, aku bisa melihat kalau istriku tampak tegang dan Gini tampak salah tingkah. Tetapi, beberapa saat kemudian mereka bersalaman, mulai bicara dan akhirnya tertawa-tawa. Sejak itu, keduanya memang tambah akrab. Aku lega. Hajadku ada di depan mata!

**

Pagi ini, ketika aku hendak menyelipkan satu puisi di rumah Gini, aku mendapati rumah Gini lengang. Suara keributan anak-anak Gini karena hendak bersiap-siap berangkat ke sekolah, tak kudengar.

Kuketuk rumahnya berkali-kali. Tak ada yang menjawab. Aku semakin keras mengetuk pintunya. Sepi!

Kugedor dan kugedor lagi pintunya. Kali ini, Ibu Karto, tetangga sebelah rumahnya, muncul dan mengabarkan bahwa Gini dan anak-anaknya pulang ke kampung halaman untuk mempersiapkan pernikahannya dengan direkturnya!

Gini, perempuan ranum yang hendak kujadikan istri keduaku, hendak menikah tanpa memberitahuku sama sekali.

Kurasakan perasaan tersinggung mulai menggelegak di dadaku! Dalam keadaan limbung, aku ingat istriku. Perempuan setia yang selalu menerimaku apa adanya. Boleh jadi tubuhnya menjadi tak terawat, karena waktunya habis buat mengurus rumah tangga dan uang belanja yang kuberikan dihabiskannya buat urusan keluarga daripada untuk dirinya sendiri. Tiba-tiba, aku ingin memeluk istriku dan meneriakkan betapa tak ada perempuan lain yang lebih aku butuhkan di dalam hidupku selain dirinya.

Sepeda motor pun kukebut dengan kecepatan tak kira-kira. Sampai di rumah, kembali aku terpana. Kudapati rumahku tak berpenghuni. Kuperiksa pot tanaman, tempat Gami biasa menyimpan kunci kalau dia harus pergi. Di situ kutemukan kunci rumahku dan sepucuk surat.

Mas Poly,

Merangkai kata, aku memang tak pandai tetapi semoga yang akan kusampaikan ini bisa kau mengerti.

Beberapa bulan yang lalu, ada seorang pria yang perhatiannya membuatku berbunga-bunga.

Tetapi kemudian aku sadar bahwa cinta itu seperti tanaman. Dia bisa mati kalau kita tak merawatnya. Nah! Cinta yang kita bina sudah layu! Hampir mati! Kalau aku mencoba merawat tanaman lain, bagaimana mungkin aku bisa yakin kalau dua-duanya tak mati? Sedang merawat satu tanaman saja, aku tak bisa?

Oleh karenanya, aku memutuskan untuk merawat cinta kita dan mematikan cinta-cinta yang lain. Bagiku keluarga berada di atas segala-galanya.

Tetapi, takdir bicara lain. Mas memilih hendak membawa tanaman lain dengan cara menikah lagi. Bagiku, dua orang istri terlalu banyak dalam satu pernikahan dan susah bagiku untuk berbagi perasaan. Daripada aku tertekan, akhirnya kuputuskan untuk melayangkan gugatan cerai ke pengadilan agama. Dengan demikian, kita bisa berbahagia dengan merawat satu cinta di keluarga masing-masing. Mas menikah dengan Gini. Aku pun akan bahagia karena Mas Mono, tetangga kita yang pernah memberikan perhatiannya kepadaku itu, berjanji akan menikahiku begitu selesai masa idahku.

Salam Gami ?


Aku merasa tubuhku dipukul-pukul dengan martil hingga lenyap terkubur rencana-rencanaku sendiri. Kupandangi rumah Mono. Tiba-tiba, aku ingin membunuh perjaka tua itu!***

Januari, 2007

Perempuan dan Puisi Tuhan Cerpen: Restoe Prawironegoro Ibrahim


Republika
Minggu, 27 Mei 2007

Perempuan dan Puisi Tuhan
Cerpen: Restoe Prawironegoro Ibrahim

Segalanya jadi gelap. Seluruh dinding kamarku terasa menjadi hitam legam. Tiba-tiba saja semuanya menjadi kenyataan yang merampas kebanggaan kecil dan pengabdianku. Berhari lalu hatiku masih membunga, jiwaku masih bersorak tentang suatu kemenangan. Tetapi kini semuanya menjadi kedap.

Tidak!
Mungkin saja berita itu tidak benar. Kurasa semuanya seperti karangan, terpapar di depan mata. Semuanya masih membayang, seperti barusan terjadi. Seperti tadi.

Kaki-kakiku yang kecil serasa masih basah di pematang sawah. Hidupku masih mencium aroma padi. Langit menampakkan keluasan yang mengandung puisi Tuhan. Rasanya segala keremajaanku yang mekar di tengah kedamaian desa membuat aku jadi peka pada kesedihan.

Ya, desaku yang sunyi damai dan mengandung kenang-kenangan hidup bagiku memang telah kutinggalkan. Kehidupan keluarga kami tidak memungkinkan aku mendapatkan kemajuan masa depan. Sebagai anak nelayan, ayahku tidak mungkin menyekolahkan kami -- aku dan adikku lelaki, Lutfirahman -- ke tingkat yang lebih tinggi. Syukur aku dapat lulus es-de.

Apalagi setelah kematian ayahku, ibu yang mendukung hidup kami: kulihat dan kurasakan pundaknya tidak kuat. Sebagai buruh lepas yang mengerjakan apa saja, ia tak mungkin memberikan biaya hidup yang wajar. Hatiku teriris pedih. Beginilah kami: anak desa yang jauh terpencil, hidup dalam kekurangan dan penderitaan. Kepada siapa kami mengadu dan meminta bantuan? Masyarakat dusun sama seperti kami, hidup dalam segala kekurangan.

Keremajaanku yang mekar di tengah segala galau kemiskinan seolah terbangun dari mimpi, karena hadirnya seorang lelaki. Ya, ia cintaku yang pertama. Hatiku berbunga dan bunga itu mekar dengan cepat. Secepat aku dibawa ke kota, untuk mendapatkan pekerjaan.

Pekerjaan!
Satu kata yang seakan bertuah dalam pendengaran telingaku. Kubayangkan, jika aku telah mendapatkan pekerjaan, aku akan bisa membantu ibu dan menyekolahkan adikku. Biarlah aku yang terbelenggu dalam segala kekurangan dan kebodohan, tetapi adikku lelaki, Lutfirahman, harus sekolah. Harus pintar dan kemudian bisa mengangkat hidup kami dari lebuh kemiskinan yang amat sangat dalamnya ini.

Tetapi, jahanam!
Segala milikku yang paling berharga dirampas, digerayangi tanpa hati. Itu saat kami tiba di kota, saat kepasrahanku bulat penuh pada kecintaanku. Rupanya dia lelaki bejat, penggaet dan penjual orang bodoh seperti diriku. Begitulah aku akhirnya tercampak di tempat ini, di rumah pelesir: di kamar berlampu redup.

Kukutuki nasib, hendak kurobek dada. Hendak kucabut napas dan jiwa yang menghuni badan ini. Tetapi, tidak! Saat aku dilemparkan ke timbunan sampai saat ini, tiba-tiba kusadari bahwa aku harus hidup! Ya, aku harus hidup. Aku harus bangkit dari malapetaka ini. Harus kukibarkan bendera di tangan dunia, bahwa aku, gadis desa yang berkubang di lumpur hitam, dapat bangkit dan meneriakkan kemenangan!

Mula-mula, hari-hari kulalui tanpa hati. Kulakukan apa yang harus dilakukan tanpa jiwa. Yang kuharapkan, aku suatu ketika bisa keluar dari tempat ini, membawa kemenangan di tangan. Membawa gumpalan kehidupan. Aku berusaha menyimpan uang sedikit demi sedikit.

Tetapi lama-lama aku terjerat dengan segala sistem, dengan segala liku perjalanan hidup bunga raya. Pemerasan demi pemerasan, intrik dan hasutan, membuat apa yang kudapat harus amblas! Begitulah jadinya, aku seakan kembali seperti bayi, seperti baru lahir. Setiap saat harus memulai dari titik nol.

Ya, kulakukan sebisa yang dapat kulakukan. Sampai aku bertemu dengan seorang lelaki. Ah, mulanya aku memang tidak mungkin menaruh harapan dari tempat semacam ini. Tetapi, pada yang satu ini, anehnya aku bisa luluh dan menyerah penuh pasrah.

"Neng...," katanya di dekat telingaku. "Bila usahaku berhasil, aku akan segera membawamu dari tempat ini. Kita akan menikah secara resmi." "Aku senang mendengarnya, Mas Hen. Tetapi bebanku sungguh berat. Adikku harus sekolah. Ibuku harus pula kubiayai."

"Kita biayai bersama. Aku ingin kau ikut ke desaku. Juga adikmu, sekali waktu ia akan sowan ke tempat kita. Ibu juga kalau ia mau, bisa tinggal bersama kita. Kita bangun rumah kecil yang mungil sebagai istana." "Gagasanmu muluk. Kurasa tidak ada kesempatan tanganku untuk menggapainya."

"Engkau jangan pesimis, Dik Ning. Asal ada kemauan pasti ada jalan." "Tetapi mengapa Mas Hen justru memilih aku. Aku kan manusia rusak, kotor. Mas Hen bebas memilih gadis suci, tidak ternoda seperti aku."

"Aku memilihmu, karena aku tahu kau sangat jujur dan setia. Kau terjerumus ke sini bukan karena kehendakmu sendiri. Kau diseret keadaan."

"Aku tahu. Tetapi aku tak mau ada sesal di hari nanti. Biasanya para lelaki akan segera mencaci, jika dari jenis kami ini naik ke tingkat wanita normal. Kami selalu dianggap punya salah yang lebih berat. Dianggap berlumur dosa. Sedang...."

"Stop!" Tangan Mas Hen menutup mulutku. Aku terpana memandang wajahnya. Suaranya mengalun dalam telingaku. "Sedikit demi sedikit aku telah menyiapkan masa depan kita. Aku sudah punya sedikit tabungan di bank. Jika jumlahnya kukirakan cukup sebagai modal, kita menikah, dan segera kita pulang ke desa. Aku ingin jadi petani. Walau tak selesai, aku pernah kuliah di fakultas pertanian."

"Aku ingin dagang," kataku.
"Ya, kau boleh berdagang. Kita dirikan koperasi. Kita berusaha bersama membangun desa."

Begitu muluknya impian itu kurasa. Dan, seperti kelam yang menelan Mas Hen malam itu, rasanya kelam itu pula yang menyungkup aku kini. Betapa tidak, koran yang kubaca jelas menunjukkan kenyataan itu. "Henri -- seorang residivis -- diketahui dari identitas: dan di tempat lain, terbungkus karung, Henri, mahasiswa, gali.... telah menjadi korban penembakan misterius...."
Mataku benar-benar nanar. Lalu gelap. Tiga tahun kutinggalkan, semuanya sudah berubah. Adikku gali. Mas Henri kecintaanku, residivis! Lalu ibu?
Dalam samar, mataku seakan menangkap sosok ayah yang remuk di hantam bus antarkota. Lalu kulihat diriku, kini remuk redam. Aku benar-benar hancur!***

Jakarta, Januari 2007

Perempuan Bunga Kertas Cerpen: Yetti A KA


Media Indonesia
Minggu, 12 Agustus 2007

Perempuan Bunga Kertas
Cerpen: Yetti A KA

TAHUKAH kau kenapa perempuan bunga kertas itu memecahkan kedua bola matanya hingga membuat dia terdampar dari satu ruas jalan ke ruas jalan lain, dari satu keramaian ke keramaian lain, bahkan dari satu lelaki ke lelaki lain. Akan saya ceritakan segalanya tentang dia, agar kau dan semua orang yang setidak-tidaknya pernah bertemu dan mengingat wajah penuh bekas luka bakar itu tidak perlu salah sangka, lantas menghakiminya sebagai pengemis menyebalkan sekaligus perempuan jalang yang suka mencuri lelaki dari genggaman perempuan lain. Lebih-lebih belakangan ini, ketika udara dingin musim penghujan mulai menghampiri tubuh-tubuh perempuan berbungkus kardus di pinggir jalanan yang sepi tanpa lelaki. Malam-malam keparat yang dapat membuat seseorang menunjukkan rasa cemburu tanpa malu. Dia telah menjadi pusat dari cemburu itu.

***

Perempuan Bunga Kertas. Panggil saja dia demikian. Meskipun, tentu saja, itu bukan nama sebenarnya. Segala sesuatu dalam diri dia memang hampir sepenuhnya palsu setelah suatu tragedi merebut seluruh hidupnya. Dalam kepalsuan itulah dia menyembunyikan diri dalam kotak teka-teki. Kepalsuan yang justru dinilai oleh banyak perempuan, sungguh genit dan menjijikkan. Sebaliknya, bagi banyak lelaki kepalsuan itu serupa rimba gelap yang tengah menanti untuk ditualangi.

Sebelumnya, dia pernah tumbuh sebagai gadis kecil jelita. Rambutnya yang sepinggang sering dia kuncir dua dan dia suka menyelipkan bunga kertas merah muda di ikatan rambut itu. Sore-sore dia suka sekali membaca komik, entah komik apa, di bawah pohon akasia sambil melihat anak lelaki main sepak bola di lapangan, kira-kira seratus meter dari rumahnya. Lalu anak lelaki yang kebetulan menoleh ke arahnya akan bersuit kecil diikuti anak lelaki lain. Layaknya kebanyakan gadis kecil yang baru memasuki masa pubertas, dia sering tertunduk malu-malu, bahkan terkadang berlari ke dalam rumah karena salah tingkah. Salah satu anak lelaki yang menggoda itu, teman sekelasnya, dan diam-diam dia menyukai lelaki itu. Itu rahasia gadis kecil yang dia simpan sendiri saja. Apalagi mamanya selalu bilang: Jangan centil! Kamu sekolah saja! Tidak perlu macam-macam! Dia pasti mengangguk atau berkata iya mendengar nasihat mamanya. Hanya saja siapa pun pasti bisa membaca warna-warna di wajah tembam itu. Betapa tidak, warna cinta begitu sempurna bertengger di sana. Sesuatu yang tidak bisa dia tolak atau hindari.

Setamat SMP, dia tidak lagi satu sekolah dengan lelaki yang dia sukai itu. Namun lelaki itu masih sering main sepak bola dekat rumahnya. Mereka sering bertatapan saat ada kesempatan, misalnya ketika sesekali bola terlempar ke arah rumah gadis kecil jelita, dan kebetulan lelaki yang dia sukai mengejar bola itu. Atau ketika teman-teman lelaki yang dia sukai sengaja mengganggunya dengan suitan kecil, dan membuat lelaki itu punya peluang untuk turut menggoda.

Semua itu terjalin tanpa pembicaraan, tanpa janji apa-apa. Hanya bergerak saja. Ibarat mimpi yang terus bersambung-sambung, dari waktu ke waktu. Dan gadis kecil itu sudah berenang dalam mimpinya sendiri; tentang seorang pemuda tampan yang akan membawa lari seorang gadis yang terkurung dalam rumah tanpa kebahagiaan ke sebuah rumah lain penuh bunga kertas merah muda. Kemudian mereka punya anak-anak yang lucu, dan dia akan berkata pada anaknya: Berceritalah pada Mama tentang teman sekolah yang kau sukai, Sayang. Berbagilah rahasia dengan Mama.

Bukankah dia sering tertawa sendiri jika memikirkan mimpinya itu. Betapa dia bisa menjadi seorang kawan bagi anak-anaknya, sesuatu yang sengaja dia tebus dari hubungan dia dan mamanya yang sangat berjarak dan begitu diam.

Dan mimpinya itu nyaris saja mendekati kenyataan. Ketika itu malam terang bulan, lelaki bekas teman sekolah tiba-tiba datang ke rumahnya, mengajaknya menonton bioskop. Kencan pertama dan hanya berdua saja. Kebetulan pula mamanya tidak di rumah. Belum pulang kerja (mamanya kerja di sebuah kafe, pergi sore hari dan biasanya pulang tengah malam, bahkan pernah hampir Subuh). Gadis kecil melompat-lompat kegirangan, seolah-olah mendapat kesempatan untuk melakukan permainan sangat berbahaya. Dia membayangkan, mamanya akan mati berdiri jika saja tidak mendapati dirinya di kamar saat mamanya pulang kerja nanti. Agar suasana lebih dramatis—karena ini adalah pengkhianatan pertama kali pada mamanya dan barangkali setelah itu mereka tidak akan bertemu lagi dia meninggalkan surat kecil yang dia lipat menyerupai seekor burung: Mama, aku kencan malam ini. Tidak perlu menunggu, mungkin aku tidak pulang.

Kemudian gadis kecil sudah berada dalam bioskop bersama lelaki bekas teman sekolah yang dia harapkan akan membawanya pergi untuk selama-lamanya, meninggalkan mamanya yang tidak pernah mau mendengar cerita apa-apa darinya, padahal dia selalu membawa banyak kisah setiap pulang sekolah. Dalam sekejap mereka terjebak dalam permainan cinta. Lelaki bekas teman sekolahnya itu telah menciumnya sebelum film pada layar dimulai, dan bahkan tanpa lebih dulu memintanya jadi pacar. Keterlaluan, memang, pikir gadis kecil. Tapi dia tidak peduli lagi, juga ketika lelaki bekas teman sekolahnya itu memintanya untuk melupakan rencana mereka menikmati sebuah film komedi romantis.

Saat mereka keluar gedung bioskop, gadis kecil bertanya karena penasaran: Apa aku akan jadi pacarmu.

Lelaki itu memandang bola mata gadis kecil, menarik tangannya, lalu mereka sudah berciuman lagi di bawah pohon di pinggir jalan.

Bisakah kau membawaku pergi dari mamahku ke tempat yang paling jauh, lalu kita memiliki rumah sendiri yang dipenuhi bunga kertas merah muda, anak-anak yang lucu, dan kita akan berkata pada anak-anak: Berceritalah pada kami tentang teman sekolah yang kau sukai, Sayang. Berbagilah rahasia...

Lelaki bekas teman sekolahnya tertawa ganjil setengah ketakutan, "Ssttt...kita masih kecil, jangan bermimpi macam-macam. Ini semua hanya main-main," katanya lirih.

Gadis kecil menangis sedih. Ia merasa tertipu. Di bawah pohon itu mereka berpisah. Tentu pula lelaki bekas teman sekolahnya itu berlalu tanpa pernah memintanya jadi pacar dan membawanya pergi, atau paling tidak mengantarnya pulang ke rumah, lalu membuat janji kencan menonton bioskop lagi pekan depan. Akhir yang mengerikan, karena itu artinya dia harus kembali ke rumah lalu menemukan mata mamanya sembab dan merah—mata yang sangat dia takuti setiap kali mamanya marah, dan tidak akan sembuh secara cepat dengan hanya mendengar kata maaf darinya. Atau lebih dari itu, mungkin saja mamanya tengah menunggu dengan pisau atau gunting di kedua belah tangan, sementara tidak ada seseorang yang akan menolongnya. Membayangkan semua itu, gadis kecil menggigit bibirnya kuat-kuat sambil melangkah pelan meninggalkan pohon yang lama-lama tampak menakutkan.

Sebentar lagi dia akan berada di pintu rumahnya. Dia tahu mamanya sudah pulang. Dia hanya terlambat beberapa menit dari mamanya. Itu dia ketahui dari lampu ruang depan yang belum sempat dinyalakan. Setiap pulang kerja, hal pertama yang dilakukan mamanya memang pergi ke kamar dia, mengecek apakah dia sudah tidur atau belum. Setelah itu barulah menyalakan lampu ruang depan. Di ruang depan itu, biasanya mamanya duduk di sofa panjang, menghabiskan waktu setengah jam untuk melepas penat atau sedikit bersantai. Tidak jarang, mamanya tertidur sebentar di sana.

Namun, kali itu, dia justru mendengar teriakan parau mamanya dari dalam rumah. Barangkali mamanya baru saja selesai membaca surat kecil yang dia tinggalkan di atas tempat tidur, persis di atas boneka beruang raksasa. Gadis kecil tepat berada di mulut pintu, ketika dalam waktu hampir bersamaan mamanya menghambur keluar, menemukan dia yang gemetar. Mamanya memukul dia. Tiga atau lima kali pukulan, tepat di pantat, sebelum akhirnya dia digiring ke kamar hukuman dan dikunci dari luar. Gadis kecil sangat benci kamar hukuman, sebab ada banyak kecoa dan tikus yang berkeliaran di pikirannya; melubangi kepala, dan merobek-robek segala sesuatu yang dia simpan di sana.

Kemudian mendadak hiruk-pikuk terdengar dari arah luar. Rumah terbakar, sementara gadis kecil berada dalam kamar yang terkunci. Kematian itu sudah dia bayangkan amat dekat ketika mamanya masuk ke kamar itu dan menggendongnya keluar. Mereka berdua pingsan di bawah pohon akasia di kelilingi orang-orang yang mereka kenali samar-samar. Mamanya tidak bisa bertahan dengan luka bakar di seluruh tubuh, sementara dia selamat dengan cacat di wajah dan sebagian tubuh yang dia bawa seumur hidup.

Apakah dia berbahagia sebab terbebas dari kematian, lalu dia bisa lebih mencintai mamanya dalam kenangan sebab mamanya telah menyelamatkan segumpal mimpi di dadanya. Tidak. Dia tidak berpikir begitu. Baginya, mamanya justru tengah memberinya hukuman lebih berat telah membiarkan dia hidup, membuat dia menangis berhari-hari bila teringat lelaki bekas teman sekolah yang tampan, yang telah menciumnya tanpa meminta dia jadi pacar, lalu meninggalkannya tanpa membuat janji bertemu lagi.

Ya. Gadis itu pun menghibur dirinya dengan memelihara cinta dan kebencian hingga dia tumbuh dewasa. Setiap hari dia mengikuti lelaki bekas teman sekolahnya itu, menyaru jadi apa saja. Kadang dia datang sebagai seikat bunga kamboja, kadang sebagai daun-daun yang beterbangan di kala badai. Malah dia juga datang menjelma laut dan ombak-ombak pasang.

Semakin hari perasaannya itu tidak terkendali. Dia dikejar-kejar oleh sesuatu yang sangat gelap dan aneh. Keputusasaan yang bisa membuat seseorang jadi gila.

Maka satu hari orang-orang dikejutkan kenyataan bahwa perempuan itu telah memecahkan kedua bola mata dengan tangannya sendiri tepat setelah lelaki bekas teman sekolahnya bertanya: Maaf, matamu mengingatkan aku pada seseorang. Apakah kita pernah bertemu di masa lalu.

Begitulah, perempuan itu pun mulai hidup di jalanan. Ke mana-mana dia membawa mimpi tentang pemuda tampan yang tidak lain lelaki bekas teman sekolahnya yang telah menciumnya di masa lalu tanpa pernah memintanya jadi pacar. Dalam kebutaan, mimpinya justru hidup dan dekat. Lantas dia pun memberikan tangannya pada satu lelaki ke lelaki lain, dan membayangkan mereka sebagai lelaki bekas teman sekolah yang tengah membawanya pergi menuju rumah yang dipenuhi bunga kertas merah muda.

Adakah itu bisa menjadi alasan seseorang, terutama perempuan-perempuan kesepian yang ditinggalkan lelaki, melemparinya dengan bara kebencian sementara dia tampak begitu malang. Lihatlah mata buta yang setiap saat mengeluarkan air bening itu, seolah-olah ingin menunjukkan betapa dia pernah hidup sebagai gadis kecil jelita dengan senyum semanis jambu, yang seharusnya membuat seseorang tidak mungkin tega meremas-remas perasaannya yang getas, apalagi sampai melukai dengan satu rencana jahat.

***

Sekarang sudah bertahun-tahun kami, saya dan Perempuan Bunga Kertas itu, menjalin persahabatan di jalanan. Jauh sebelum ini, sebenarnya saya sudah mengingatnya sebagai kawan kecil baik hati. Memang awalnya dia tidak ingat saya. Tapi saya tidak mungkin melupakan seorang gadis kecil berkepang dua dan bunga kertas terselip di rambut itu yang memberi saya sekantong permen di hari ulang tahunnya. Kala itu saya lewat di depan rumahnya. Minta sedekah. Dia membuka pintu, menatap lama ke arah saya, kemudian menarik tangan saya untuk masuk ke ruang depan rumahnya yang sudah berhias kertas warna-warni serta kue tar dan lilin berbentuk angka empat belas di atas meja. Dia minta saya menyanyikan satu buah lagu ulang tahun, diikuti acara tiup lilin yang paling mengharukan dalam hidup saya. Betapa tidak, baru sekali itu saya menghadiri acara ulang tahun dan ternyata itu pesta ulang tahun sesunyi kematian. Dia gadis yang sendirian, pun di pesta ulang tahunnya. Menyedihkan bukan? Kau tahu, matanya berkaca-kaca ketika itu. Saat pamit, dia memberi saya sekantong permen rasa anggur. Rasa permen itu masih saya simpan baik-baik dalam hidup saya, sebagaimana saya menyimpan ingatan tentang dia hingga kami bertemu kembali dalam keadaan hati yang lebih basah.

Kejahatan paling berbisa, jatuh cinta di saat kita sedang merasa sangat sendiri. Itu kalimat pertama yang mempertemukan kami saat matahari hampir tenggelam di ujung laut, pada pertengahan tahun di mana musim kadang tidak menentu.

Dia lalu bercerita hingga tengah malam. Segalanya. Mamanya yang tidak benar-benar dia kenal. Lelaki bekas teman sekolah yang dia sukai. Ya. Lelaki itu. Dia berkali-kali menghapus air bening yang keluar dari mata butanya. Seolah-olah lelaki itu pangkal kemalangan sekaligus seseorang yang tetap ingin dia taruh dalam hatinya.

Kenapa tidak dilupakan saja, kata saya.

Dia tertawa. Ah, bukan. Dia cuma meringis kecil. Seakan-akan berkata: Itu sungguh tidak mudah. Percayalah.

Dada saya berdenyut panjang. Saya menahan napas.

Dan lama setelah itu, ketika saya melihat seorang lelaki aroma kayu manis menyelipkan bunga kertas merah muda di balik telinga dia yang tampil amat palsu di satu malam gerimis, barulah saya mengerti betapa tidak mudah memutuskan untuk melupakan seseorang yang sejak dulu ingin kita genggam dalam tangan kecil kita.

Saya cemburu. Namun saya tidak sampai ingin melukai, sebab dia begitu manis dalam kepalsuan, seperti rasa permen yang tetap ingin saya simpan dalam hidup saya. Sementara lelaki aroma kayu manis, si pengemis mata satu, biar saja memilih di palung mana ingin tenggelam.***

Rumah Palung Laut, 30 Juli 2007