Kamis, 26 Januari 2012

Jerit Kesakitan Cerpen: An. Ismanto


Seputar Indonesia
Minggu, 11 Desember 2007

Jerit Kesakitan
Cerpen: An. Ismanto

Acara sinetron di televisi baru saja akan dimulai,tetapi Marni sudah tergopoh-gopoh berpamitan.Bu Santi, yang sudah maklum,memberi Marni dua bungkus nasi berlauk gurame goreng. Setelah mengucapkan terima kasih,Marni buru-buru pulang.
SETIBA di rumahnya, yang berdinding separuh bata separuh papan, dia langsung menuju dapur dan meletakkan makanan pemberian Bu Santi di atas meja.Dia akan makan nanti bersama Marjo kalau dia sudah pulang. Kemudian,dia ke kamar tidur dan telentang di dipan.
Kasur dipan itu sudah lapuk dan tanpa seprei, tetapi Marni merasa punggungnya nyaman. Sebentar kemudian dia sudah terlelap. Marni terjaga ketika mendengar suara seseorang memanggil namanya dengan suara membentak. ?Marni! Marni!? Marni bergegas bangkit dan setengah berlari menuju pintu depan.
Namun, pintu itu sudah lebih dulu didobrak. Marjo masuk dengan badan sempoyongan dan menatap nyalang pada Marni. Mulutnya bau minuman keras. Marni menghampiri lelaki itu untuk membantu berjalan.Tetapi lelaki itu justru menendang Marni hingga terjungkal di lantai tanah.
Kemudian Marjo memukuli, menendangi, dan menjambaki Marni. Bu Santi mendengar sayup-sayup suara itu dan mengecilkan suara televisi. Kini dia dapat mendengar dengan jelas jerit kesakitan seorang perempuan, yang kemudian berubah menjadi lolongan memilukan. Lalu, dia membesarkan lagi suara televisinya. Dia bersyukur karena kedua anak perempuannya yang masih kecil sudah tidur di kamar. ***
Esok harinya, Marni datang ke rumah Bu Santi dengan wajah memar. Pipinya lebam. Kedua matanya bengkak dan membiru. Dia langsung mengambil tempat duduknya yang biasa di bawah pohon jambu batu berdaun lebat di pekarangan dan menyiapkan pisaunya. Dua perempuan setengah baya menyusul duduk di dekatnya.
Sejenak, mereka memandangi Marni, kemudian menyiapkan peralatan masing-masing. “Kau kenapa, Mar? Dipukuli lagi?” tanya Bu Santi. Marni mengangguk pelan tanpa memandang Bu Santi. Dia sibuk menusuki sebuah jagung muda yang sudah busuk dengan pisaunya. Bu Santi geleng-geleng dan mendekat. Dia merinding melihat wajah Marni yang memar itu. “Kenapa Marjo memukulimu?”
“Semalam dia mabuk. Saya terlambat membuka pintu,” jawab Marni lirih. Bu Santi mendecakkan lidah. “Dasar laki-laki....,” bisiknya. Marjo memang sering memukuli Marni karena sebab-sebab sepele. Mana yang nasi bikinan Marni terlalu keras, atau teh yang terlalu pahit, atau rumah yang belum dibersihkan. Bu Santi bersyukur karena nasibnya lebih baik.
Suaminya, yang seorang guru SD negeri yang baik, tidak pernah memukulnya. Ketika mobil pengangkut jagung datang, Marni dan dua perempuan setengah baya itu membantu sopir dan Marjo, kernet mobil itu, membongkar muatan. Selama bekerja, Marjo tidak pernah mengajak Marni bicara, bahkan melirik pun tidak. Kemudian Marni dan kedua perempuan separuh baya itu mulai bekerja mengupas kulit luar buah jagung dan memotongi bagian pangkal dan ujungnya.
Kedua perempuan separuh baya mendapat upah berupa kulit luar jagung. Kulit itu adalah pakan yang disukai ternak peliharaan mereka. Hanya Marni yang mendapat upah berupa uang, yang kecil jumlahnya, karena dia tidak punya ternak. Ketiga perempuan itu harus melakukan pekerjaan mereka dengan cepat karena sebelum siang semua buah jagung itu sudah harus direbus di dalam drum besar di dapur.
Menjelang sore, ketika jagung sudah matang, enam perempuan penjaja akan berdatangan dengan sepeda dan keranjang, mengambil jagungjagung rebus itu dan menjajakannya ke desa-desa sekitar dan kota terdekat. Setelah pekerjaan hari itu selesai, Marni tidak pulang.Dia tetap di rumah Bu Santi, membantu juragan jagung itu mengerjakan pekerjaan rumah tangga atau menonton televisi.Malam harinya,sekitar jam delapan malam, sebelum Marjo pulang dari keluyuran,baru dia pulang. ***
Di rumah Marni tidak ada televisi karena uang Marjo selalu habis di lingkaran judi atau minuman keras. Maka Marni lebih suka berada di rumah Bu Santi. Selain bisa menonton televisi, dia juga bisa mengagumi rumah Bu Santi yang lantainya keramik, dindingnya tembok, dan perabotnya lengkap.
Marjo sendiri jarang berada di rumah. Setelah pekerjaannya menebas dan mengangkut jagung beres, dia lebih sering keluyuran, berjudi atau mabuk-mabukan. Bu Santi tidak pernah melarang Marni. Malah dia suka karena Marni sering membantunya mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Namun, lama kelamaan dia merasa jengah juga. Dia khawatir ketika kedua anak perempuannya yang masih kecil-kecil itu mulai terbiasa dan akrab dengan Marni.
Bagi Bu Santi, walaupun Marni banyak membantunya, dia bukan teman yang baik untuk kedua anaknya. Baru delapan bulan Marni tinggal bersama Marjo. Mereka bertemu di sebuah pentas dangdut di kecamatan. Mereka tidak menikah.Mereka hanya kumpul kebo. Terang saja itu memancing gunjingan. Namun, Marjo sudah tuli pada gunjingan orang. Marni pun demikian.
Pernah Pak Kadus menasihati Marjo agar menikahi Marni secara resmi, tetapi Marjo menganggap sepi nasihat itu. Pak Kadus angkat tangan,sedangkan para pemuda enggan menggerebek karena kasihan pada Marni. Sebelum bertemu Marjo, Marni bekerja di sebuah toko di pasar kecamatan.
Sekali seminggu dia pulang ke kampung halamannya, sebuah dusun kecil yang miskin dan tandus di tengah sebuah hutan jati, untuk menjenguk anak lelakinya yang tinggal bersama orangtuanya. Tak lama setelah anak itu lahir, enam tahun lalu, suami Marni pamit merantau ke Jakarta,dan tidak pernah pulang lagi. Tidak ada pilihan bagi Marni selain tetap tinggal bersama Marjo.
Kalau pulang, dia hanya akan menjadi beban bagi orangtuanya karena di dusun itu tidak ada pekerjaan. “Marni, apakah Marjo masih memberimu uang belanja?” tanya Bu Santi pada suatu sore ketika mereka menonton televisi. “Masih, Bu.” “Berapa?” Marni menyebutkan jumlah yang membikin Bu Santi tercekat. Jumlah itu kecil, sangat kecil, bahkan menurut perhitungannya tidak cukup untuk makan seminggu dengan lauk ikan asin sekalipun.
“Marjo itu kubayar cukup besar. Tega betul dia memberimu uang belanja segitu. Kalau begitu kau akan kuberi pekerjaan tambahan. Mulai besok sore, kau akan menjajakan jagung rebus. Kau bisa memakai sepedaku yang sudah tua dan lama tidak kupakai. Ada di gudang. Dengan keuntungan yang kau dapatkan, walaupun kecil,kau bisa menambah uang belanjamu. Kalau kau rajin menabung, mungkin kau bisa membeli baju baru.” Marni senang sekali dengan usul itu. Malam harinya dia sulit tidur. Dia tidak sabar menunggu hari berikutnya tiba.
Sepeda tua dengan keranjang di boncengan terbayang-bayang di benaknya. Lalu, dia membayangkan menjajakan jagung dengan sepeda itu keliling kampung dan mendapatkan uang. Dia ingin menabung agar bisa menyekolahkan atau membelikan baju baru untuk anaknya. Bayangan dia bersepeda menjajakan jagung itu tetap tinggal di kepalanya, bahkan ketika malam itu Marjo menerkam dan menggumulinya penuh nafsu. ***
Bu Santi kini agak lega karena Marni sudah jarang berada di rumahnya.Marni hanya datang pagi hari, yaitu saat mengupas jagung. Siangnya dia pulang untuk menyiapkan sepeda dan keranjang. Sorenya dia datang lagi mengambil jagung rebus dan menjajakannya.Biasanya Marni baru pulang setelah jam sembilan malam.
Hidup Marni kini lebih baik. Penghasilan dari menjual jagung rebus itu tidak seberapa memang, tetapi bagi Marni yang tidak seberapa itu sudah sangat membantu. Uang belanjanya bertambah, walaupun sedikit,dan dia mulai bisa menabung. Marjo tidak pernah mempersoalkan pekerjaan baru Marni.
Apalagi setelah Marni memberikan sebagian keuntungan dari hasil berjualan itu kepadanya.Dua pekan setelah Marni mulai berjualan, Bu Santi tidak pernah lagi mendengar jerit kesakitan dan lolongan memilukan Marni. Bu Santi berharap ketenangan itu terus berlanjut.
Bahkan Bu Santi berharap Marjo mau dibujuk untuk menikahi Marni secara resmi sehingga tidak ada lagi gunjingan tentang mereka. Namun, harapan itu berantakan ketika pada suatu malam jerit kesakitan dan lolongan itu terdengar lagi, tak lama setelah Marni pulang berjualan. Marni datang dengan wajah pucat pasi dan napas yang memburu. Dia menubruk Bu Santi yang sedang menonton televisi.
“To... tolong saya, Bu, Marjo mau... mau membunuh saya....,” kata Marni. Terdengar hingar-bingar di pekarangan. Belum sempat Bu Santi bangkit, Marjo sudah muncul di pintu dengan sabit di tangannya. Dia memaki-maki Marni. Beberapa orang lelaki berjaga-jaga di belakangnya. Ketika Marjo melompat, mereka menahannya dan merebut sabit itu. Setelah itu mereka menggelandang Marjo ke rumahnya. “arjo marah karena saya tidak mau memberikan uang tabungan saya kepadanya,” kata Marni kepada Bu Santi. ***
Sudah lima hari ini Marni tak berjualan jagung rebus. Marjo tidak mengizinkannya.Dia hanya boleh bekerja mempersiapkan jagung untuk direbus di rumah Bu Santi. Selama itu, setiap malam Bu Santi mendengar jerit kesakitan dan lolongan memilukan Marni.Dan dia akan mendekap suaminya erat-erat seraya bersyukur kepada Tuhan karena mendapat suami yang baik dan tidak pernah memukulnya.
Namun, Bu Santi serbasalah. Di satu sisi,dia ingin membantu.Dia betul-betul tidak tega mendengar suara-suara itu.Di sisi lain, walaupun Marni dan Marjo tidak menikah, tetapi urusan di rumah mereka adalah urusan rumah tangga mereka sendiri, bukan urusan orang lain. Karena serba salah, Bu Santi tidak berbuat apa-apa. Dia hanya bisa membantu sebatas memberi pekerjaan kepada Marni. Dan jerit kesakitan dan lolongan memilukan itu terus terdengar setiap malam....***
Yogya, 2007 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar