Sabtu, 28 Januari 2012

Perempuan dan Puisi Tuhan Cerpen: Restoe Prawironegoro Ibrahim


Republika
Minggu, 27 Mei 2007

Perempuan dan Puisi Tuhan
Cerpen: Restoe Prawironegoro Ibrahim

Segalanya jadi gelap. Seluruh dinding kamarku terasa menjadi hitam legam. Tiba-tiba saja semuanya menjadi kenyataan yang merampas kebanggaan kecil dan pengabdianku. Berhari lalu hatiku masih membunga, jiwaku masih bersorak tentang suatu kemenangan. Tetapi kini semuanya menjadi kedap.

Tidak!
Mungkin saja berita itu tidak benar. Kurasa semuanya seperti karangan, terpapar di depan mata. Semuanya masih membayang, seperti barusan terjadi. Seperti tadi.

Kaki-kakiku yang kecil serasa masih basah di pematang sawah. Hidupku masih mencium aroma padi. Langit menampakkan keluasan yang mengandung puisi Tuhan. Rasanya segala keremajaanku yang mekar di tengah kedamaian desa membuat aku jadi peka pada kesedihan.

Ya, desaku yang sunyi damai dan mengandung kenang-kenangan hidup bagiku memang telah kutinggalkan. Kehidupan keluarga kami tidak memungkinkan aku mendapatkan kemajuan masa depan. Sebagai anak nelayan, ayahku tidak mungkin menyekolahkan kami -- aku dan adikku lelaki, Lutfirahman -- ke tingkat yang lebih tinggi. Syukur aku dapat lulus es-de.

Apalagi setelah kematian ayahku, ibu yang mendukung hidup kami: kulihat dan kurasakan pundaknya tidak kuat. Sebagai buruh lepas yang mengerjakan apa saja, ia tak mungkin memberikan biaya hidup yang wajar. Hatiku teriris pedih. Beginilah kami: anak desa yang jauh terpencil, hidup dalam kekurangan dan penderitaan. Kepada siapa kami mengadu dan meminta bantuan? Masyarakat dusun sama seperti kami, hidup dalam segala kekurangan.

Keremajaanku yang mekar di tengah segala galau kemiskinan seolah terbangun dari mimpi, karena hadirnya seorang lelaki. Ya, ia cintaku yang pertama. Hatiku berbunga dan bunga itu mekar dengan cepat. Secepat aku dibawa ke kota, untuk mendapatkan pekerjaan.

Pekerjaan!
Satu kata yang seakan bertuah dalam pendengaran telingaku. Kubayangkan, jika aku telah mendapatkan pekerjaan, aku akan bisa membantu ibu dan menyekolahkan adikku. Biarlah aku yang terbelenggu dalam segala kekurangan dan kebodohan, tetapi adikku lelaki, Lutfirahman, harus sekolah. Harus pintar dan kemudian bisa mengangkat hidup kami dari lebuh kemiskinan yang amat sangat dalamnya ini.

Tetapi, jahanam!
Segala milikku yang paling berharga dirampas, digerayangi tanpa hati. Itu saat kami tiba di kota, saat kepasrahanku bulat penuh pada kecintaanku. Rupanya dia lelaki bejat, penggaet dan penjual orang bodoh seperti diriku. Begitulah aku akhirnya tercampak di tempat ini, di rumah pelesir: di kamar berlampu redup.

Kukutuki nasib, hendak kurobek dada. Hendak kucabut napas dan jiwa yang menghuni badan ini. Tetapi, tidak! Saat aku dilemparkan ke timbunan sampai saat ini, tiba-tiba kusadari bahwa aku harus hidup! Ya, aku harus hidup. Aku harus bangkit dari malapetaka ini. Harus kukibarkan bendera di tangan dunia, bahwa aku, gadis desa yang berkubang di lumpur hitam, dapat bangkit dan meneriakkan kemenangan!

Mula-mula, hari-hari kulalui tanpa hati. Kulakukan apa yang harus dilakukan tanpa jiwa. Yang kuharapkan, aku suatu ketika bisa keluar dari tempat ini, membawa kemenangan di tangan. Membawa gumpalan kehidupan. Aku berusaha menyimpan uang sedikit demi sedikit.

Tetapi lama-lama aku terjerat dengan segala sistem, dengan segala liku perjalanan hidup bunga raya. Pemerasan demi pemerasan, intrik dan hasutan, membuat apa yang kudapat harus amblas! Begitulah jadinya, aku seakan kembali seperti bayi, seperti baru lahir. Setiap saat harus memulai dari titik nol.

Ya, kulakukan sebisa yang dapat kulakukan. Sampai aku bertemu dengan seorang lelaki. Ah, mulanya aku memang tidak mungkin menaruh harapan dari tempat semacam ini. Tetapi, pada yang satu ini, anehnya aku bisa luluh dan menyerah penuh pasrah.

"Neng...," katanya di dekat telingaku. "Bila usahaku berhasil, aku akan segera membawamu dari tempat ini. Kita akan menikah secara resmi." "Aku senang mendengarnya, Mas Hen. Tetapi bebanku sungguh berat. Adikku harus sekolah. Ibuku harus pula kubiayai."

"Kita biayai bersama. Aku ingin kau ikut ke desaku. Juga adikmu, sekali waktu ia akan sowan ke tempat kita. Ibu juga kalau ia mau, bisa tinggal bersama kita. Kita bangun rumah kecil yang mungil sebagai istana." "Gagasanmu muluk. Kurasa tidak ada kesempatan tanganku untuk menggapainya."

"Engkau jangan pesimis, Dik Ning. Asal ada kemauan pasti ada jalan." "Tetapi mengapa Mas Hen justru memilih aku. Aku kan manusia rusak, kotor. Mas Hen bebas memilih gadis suci, tidak ternoda seperti aku."

"Aku memilihmu, karena aku tahu kau sangat jujur dan setia. Kau terjerumus ke sini bukan karena kehendakmu sendiri. Kau diseret keadaan."

"Aku tahu. Tetapi aku tak mau ada sesal di hari nanti. Biasanya para lelaki akan segera mencaci, jika dari jenis kami ini naik ke tingkat wanita normal. Kami selalu dianggap punya salah yang lebih berat. Dianggap berlumur dosa. Sedang...."

"Stop!" Tangan Mas Hen menutup mulutku. Aku terpana memandang wajahnya. Suaranya mengalun dalam telingaku. "Sedikit demi sedikit aku telah menyiapkan masa depan kita. Aku sudah punya sedikit tabungan di bank. Jika jumlahnya kukirakan cukup sebagai modal, kita menikah, dan segera kita pulang ke desa. Aku ingin jadi petani. Walau tak selesai, aku pernah kuliah di fakultas pertanian."

"Aku ingin dagang," kataku.
"Ya, kau boleh berdagang. Kita dirikan koperasi. Kita berusaha bersama membangun desa."

Begitu muluknya impian itu kurasa. Dan, seperti kelam yang menelan Mas Hen malam itu, rasanya kelam itu pula yang menyungkup aku kini. Betapa tidak, koran yang kubaca jelas menunjukkan kenyataan itu. "Henri -- seorang residivis -- diketahui dari identitas: dan di tempat lain, terbungkus karung, Henri, mahasiswa, gali.... telah menjadi korban penembakan misterius...."
Mataku benar-benar nanar. Lalu gelap. Tiga tahun kutinggalkan, semuanya sudah berubah. Adikku gali. Mas Henri kecintaanku, residivis! Lalu ibu?
Dalam samar, mataku seakan menangkap sosok ayah yang remuk di hantam bus antarkota. Lalu kulihat diriku, kini remuk redam. Aku benar-benar hancur!***

Jakarta, Januari 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar