Sabtu, 28 Januari 2012

Nilai Kejujuran Cerpen: Kohar Ibrahim, A


Batam Pos
Minggu, 15 Juli 2007

Nilai Kejujuran
Cerpen: Kohar Ibrahim, A

SAAT yang tak terlupakan selama persinggahanku sebulan di Berlin adalah percakapan bebas dan tulus dengan pemuda-pemudi Jerman. Dari soal musik pop, perang Vietnam, rasisme sampai kediktatoran di beberapa negeri. Juga mengenai diktatur fasis Hitler.

Pada hari terakhir, dalam perjalanan menuju stasiun keretapi kunyatakan kesanku itu pada Lutz, tuanrumahku. Ia senyum memaklumi, seraya menganjurkan lebih banyak lagi bertemu dan bertukar pikiran dengan yang lainnya dalam perjalananku.

’’Nanti kau akan tarik kesimpulan sendiri yang lebih baik,” katanya. ’’Kenapa ada yang jadi fasis, anarkis dan cinta damai.”
Aku tidak menyanggahnya.

’’Fasisme itu tidak mati,” katanya lagi. ’’Yang anti-fasis juga.’’
Lantas dia mengajakku membelok ke kanan, ke jalan yang bukan langsung menuju ke arah statsiun keretapi. Sejenak kami berhenti di depan sebuah gedung besar berhalaman luas berpagar besi.  Dia menjelaskan bahwa bangunan itu dulu, sampai Perang Dunia Kedua, adalah Rumah Sakit Gila. Suatu ketika, Hitler sempat mnggunakan RS itu demi tujuan propaganda kekuasaan multaknya. Mengadakan kunjungan ke situ.

Selama seminggu di RS itu terjadi kesibukan luarbiasa untuk mempersiapkan penyambutan kedatangan sang mahakuasa Fuhrer. Barangtentu yang terpenting adalah soal penyambutan kehormatan dan keamanan. Kerapian dan kedisiplinan orang Jerman. Maka semua orang-orang yang menderita sakit syaraf atau sisnting di RS itu dilatih selama berhari-hari untuk berbaris sigap sembari mengacungkan tangan menyerukan ’’Heil Hitler!’’. Bagi para penjaga atau pelatih, tambahan pekerjaan yang sangat sensitif itu cukup menyerap tenaga dan ksesabaran sampai ujung batas.

TIBALAH hari yang dinanti. Hitler dengan diiringi beberapa pembesar lainnya bangga mendapat sambutan khidmat dari para penanggungjawab dan pegawai RS Gila itu. Lalu iapun melangkah dengan tegap, senyum bangga pula ketika melakukan pemeriksaan barisan para pasien. Mereka mengacungkan tangan dan berteriak-teriak sekuat bisa: ’’Heil Hitler!’’. Dan seperti lazimnya dia mengangguk-angguk santai menyatakan pengertiannya. Sesekali dia melirik pada pembesar pembantunya dan pada para wartawan, seolah-olah berkata: ’’Lihatlah, segenap lapisan masyarakat mencintaiku! Setiap orang Jerman mendukungku!’’. Tentu saja, yang dimaksudkannya adalah dukungan atas politik dan tindakannya demi kemurnian ras Arya dan menguasai sejagad dunia.

Akan tetapi, seketika dia menghentikan langkahnya. Rautmukanya berubah dari jembar menjadi kejang. Secepat kilat senyumnya sirna. Keningnya berkerut. Giginya bergemeretak. Bibirnya bergetar membikin kumisnya bergerak-gerak. Segera begitu dilihatnya seseorang yang berdiri di ujung barisan diam saja bagai patung. Sembari menekan amarah Hitler menegur:
’’Kau ini, bisu-tuli atau lumpuh?’’

Yang ditegur menggelengkan kepala.
’’Kenapa tidak berlaku seperti yang lain-lain?’’ desak Hitler.
’’Aku?’’ orang itu bertanya pula, memperlihatkan telunjuk ke dadanya sendiri lantas beralih kepada yang lainnya.  ’’Aku mesti berlaku seperti mereka?“

’’Ya, tentu… Tanpa kecuali!’’ bentak Hitler. Kemarahannya cepat meningkat.
’’Nanti dulu!’’ bilang orang yang dimarahinya sembari menggerakkan telunjuk di pelipisnya. Menggelengkan kepala. Menegaskan: ’’Aku ini seorang penjaga. Akulah yang ditugaskan melatih mereka…’’

’’Ah so. Tapi…’’
’’Aku tak mau berlaku seperti mereka.’’
’’Kenapa?”
’’Aku tidak gila!”

Hitler melohok, terbungkam oleh tangkasnya tikaman kata-kata orang yang polos di hadapannya itu. Satu-satunya orang yang terang-terangan  yang tak sudi berprilaku seperti yang lain-lain. Maka kemarahannya pun tak tertahankan lagi. Berpaling. Pada salah seorang pengawal dia menggumam: ’’Warum?” Dan perintahnya ketus, ’’Periksa orang ini!”

Sejak insiden itu, tak seorangpun tahun akan nasib penjaga RS Gila yang berani mengutarakan kata hati dan pikirannya dengan jujur. Juga nasib semua pasien yang dilatihnya.
SELINTAS terasosiasi dalam pikiranku kamp-kamp konsentrasi dan eksterminasi tempat pemusnahan berjuta-juta manusia. Ketika aku tanya pakah penjaga itu sorang Yahudi, Lutz menggelengkan kepala. Menandaskan:

’’Bukan Yahudi, bukan Gitan, bukan pula Komunis atau pejuang-pejuang anti-fasis lainnya.”
’’Jerman asli?”

’’Ya,” jawab Lutz. Aku perhatikan dia mereguk air liur dengan susah payah. Meneruskan: ’’Malah, menurut orang yang mengenalnya, selain peramah penjaga itu berbadan tegap, berambut pirang dan bermata biru. Pendek kata, fisiknya mencukupi syarat akan manusia yang di-ideal-kan Nazi.”

Sesaat Lutz melihat jam tangannya. Lalu kami beranjak meninggalkan depan gedung besar dan tua itu. Membelok ke kiri dan bergegas menuju stasiun keretapi. Nyaris ketinggalan. Cepat aku mengambil tempat di gerbong keretapi jurusan Ostende via Koln. Beberapa detik kemudian bertolak perlahan.
Dari balik jendela kulambaikan tangan dan Lutz membalas. Saat itu, baru pada saat itu mata, mata hati dan pikiranku tertumpu pada perawakan Jermannya. Seperti penjaga RS Gila yang jujur itu. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar