Kamis, 26 Januari 2012

Malam Seribu Bulan Cerpen: Leo Kelana


Batam Pos
Minggu, 29 April 2007

Malam Seribu Bulan
Cerpen: Leo Kelana

(untuk perempuan bertudung senja dengan senyum berwarna jingga)
Dalam doaku subuh ini kau menjelma langit yang semalaman tak memejamkan mata.**
"Perempuan itu seperti melati," kata ibuku suatu ketika. Aku diam saja. Kupandangi melati yang bermandi cahaya mentari pagi. Di depan rumahku, ia tumbuh begitu sempurna. Ah?benarkah perempuan itu seperti melati. Bisikku dalam hati.
*****
Dan ketika saatnya, aku baru mengerti. Perempuan itu seperti melati. Lembut. Bening. Aku seperti selalu diminta untuk diam bahkan terdiam ketika bening itu kutatap. Ingin kureguk. Ingin kurengkuh. Tapi beburungan mengabarkan padaku, biarkan ia tumbuh di taman itu. Jangan kau dekati. Jangan kau sentuh. Jangan kau tergesa tuk meraihnya. Biarkan ia luruh ketika tiba saatnya. Kau hanya perlu menyiraminya.
Aku terpekur diam. Dengan apakah aku menyirami melati itu? Melati yang tidak tumbuh di taman depan rumahku. Melati yang tidak bermandi cahaya mentari pagi. Melati semerbak mewangi yang tak terlihat kasat mata. Melati yang tumbuh di dalam hatiku. Melati yang tak pernah membiarkan hatiku sunyi dari mendoakannya.
"Aku melihat lautan teduh di matamu," kataku ketika pertama kali bertemu dengannya. Di sebuah bis malam dalam perjalananku menyusuri sunyi. Angin hanya bisa berbisik ketika kulihat perempuan itu tersenyum. Senyum yang sangat kusuka. Senyum berwarna jingga.
"Sepertinya kabut telah menyelimuti batinku. Aku sama sekali tak mengerti kata-katamu. Bahkan telingaku seakan tak mendengar apa-apa." Jawabnya berpuisi. Sepertinya aku sedang berhadapan dengan Dewi Venus.
"Aku tak akan pernah bosan mengulangi kata-kata itu. Aku akan berteriak sejuta kali sampai tiba saatnya telingamu terbuka, juga kabut yang menyelimuti batinmu tersingkap. Aku tak akan pernah bosan!"
Perempuan itu begitu sempurna. Pertemuan kali itu pakaian putih bening membalut badannya. Sebening itukah hatimu wahai perempuan salju? Hatiku diam-diam bertanya pada rembulan. Rembulan memandangku iba.
"Mengapa kau menatapku seperti itu? Aku melihat beban seberat bumi menggelantung di raut wajahmu. Maukah kau mengabarkan padaku tentang keresahan jiwamu?"
"Aku takut kau berlaku tergesa pada bidadari itu. Aku hanya ingin mengingatkan padamu, bersabarlah menghadapinya." Rembulan menjawab, menyampaikan suara dawai biola kehidupan.
"Siramilah melati itu dalam setiap detak jantungmu," lanjutnya.
*****
Ketika matahari mengambang tenang di atas kepala, dalam doaku kau menjelma pucuk-pucuk cemara yang hijau senantiasa.**
Bumi tiba-tiba terdiam. Bisu. Kaku terpaku menatap gelap. Rembulan lenyap di telan pekat. Mengapa ifrit datang bersijingkat dalam jiwaku lalu membisikkan sabda malapetaka? Aku tak mengerti. Mengapa jibril tak membawakan secawan minuman surgawi agar aku tak terbakar rayuan syaitan? Barangkali takdir memang menggariskan untuk tak boleh menatap melati sementara waktu.
"Aku telah berbuat tolol. Aku tak sadar, tiba-tiba saja aku ingin merengkuh melati itu. Aku ingin mencium semerbak wanginya. Aku ingin memetiknya." Desahku pada rerumputan. Rerumputan di taman-taman itu ternyata sesenggukan. Rinai air mata beranak sungai mengalir deras pada wajahnya yang tirus.
"Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan. Melati itu kini meranggas. Melati itu terkulai karena tanganmu yang ceroboh. Mengapa kau berbuat seperti itu. Mengapa kau tak mendengarkan sayup-sayup kebijaksanaan yang ditiupkan kupu-kupu setiap pagi? Dan sekarang kau lihat air mata membanjiri kerajaan langit dan bumi.
Melati itu telah kau buat menangis. Dan dunia pun kini berduka." Suara rerumputan di antara isak tangisnya.
"Lelaki seringkali bermimpi mendapatkan cinta perempuan semudah ia manangkap merpati. Lelaki bisa jatuh sekali pandang, tapi perempuan butuh dua kali musim gugur untuk mencari tahu apa sejatinya kehendak nurani."
Aku terbuang pada keterpurukan. Aku telah membuat melati itu terluka. Aku tak tahu kemana harus membawa jiwa yang nelangsa. Nafasku terengah-engah membawa lari perasaanku yang linglung.
*****
Dalam doaku sore ini kau menjelma seekor burung gereja yang mengibas-ngibaskan bulunya dalam gerimis.**
"Ibu, aku datang padamu sebagai seorang lelaki. Tolong katakan padaku apakah yang kau maksudkan, perempuan itu seperti melati?"
"Anakku, apakah yang terjadi denganmu? Mengapa di matamu terjadi badai dan hujan lebat? Katakan padaku apa yang telah terjadi sehingga kau berlari membawa pertanyaan aneh".
"Aku mengingat kata-katamu yang dulu. Perempuan itu seperti melati. Aku mengerti perempuan itu memang seperti melati. Indah. Wangi. Lembut. Lalu beburungan dan sekawanan sahabatku yang lain mengatakan padaku untuk menyiraminya. Tapi aku ceroboh. Tergesa-gesa ingin memetiknya."
"Oh...mengapa kau anakku? Tanganmu masih kaku dan keras. Tanganmu harus kau buat lentur bergerak. Menghiasinya dengan tarian kebijaksanaan. Setelah itulah kau bisa memetik melati itu."
"Adakah selain itu perihal melati, Bunda?"
"Aku ingin tahu bagaimana kau menyirami melati itu. Melati yang tumbuh di taman hati akan layu kalau kau sirami dengan kasar."
"Ajarkan aku bagaimana menyirami melati itu, Bunda."
"Mengapa kau tak belajar dari alam bagaimana menyirami melati."
"Aku ingin belajar dari seorang perempuan. Dan perempuan yang paling berhak menerangkan padaku adalah engkau, Bunda."
"Perempuan itu harus kau sirami dengan lemah-lembut. Lihatlah arakan-arakan awan putih yang membawa air hujan. Ia berjalan perlahan. Ia tak pernah tergesa. Seperti itulah kau menghadapi perempuan."
"Tapi sekali lagi anakku. Tuhan sebenarnya ingin kau lebih memahami bahwa hidup itu sangat rumit untuk dijalani. Kau sedang ditempa untuk tidak menjadi orang yang kerdil. Kau tak perlu risau dengan setangkai melati yang terlanjur kau kecewakan. Mintalah kepada Tuhan semua yang kau inginkan. Dia Maha Pemurah. Tapi sebenarnya cinta Tuhan-lah yang sejati."
*****
Magrib ini dalam doaku kau menjelma angin yang turun sangat perlahan dari nun jauh di sana.**
Tuhan meraih tanganku yang lemah terkulai karena setangkai melati. Dia kemudian menuntunku menuju mihrab-Nya yang agung. Seorang penjaga surga membawakan secawan minuman dari al-Kautsar. Dingin. Tenang mengalir di lorong tenggorokan hidupku. Apakah yang Kau anugerahkan padaku, wahai Sang Maha Pecinta?
Dalam doa malamku kau menjelma denyut jantungku, yang dengan sabar bersitahan terhadap rasa sakit yang entah batasnya.**
Putih menyelimuti seluruh badanku. Aku berselonjor di teras mesjid. Tengah malam yang menggigil dingin, segerombolan malaikat datang menjemputku.
"Seni rupa doamu telah sampai di Arsy yang agung. Semoga Tuhan menganugerahkan bidadari surga yang akan menuntunmu menuju cinta hakiki. Hanya cinta Tuhan-lah yang hakiki".
Semburat fajar tersenyum di ufuk timur. Malam seribu bulan telah berlalu. Malaikat-malaikat yang turun ke bumi untuk menjemput doa, kini telah kembali ke langit. Aku masih terus menyirami melatiku di sela-sela adzan subuh yang mengalun syahdu. Kusirami melatiku dengan lemah-lembut. Dengan untaian doaku.
Aku mencintaimu, itu sebabnya aku tak kan pernah selesai mendoakan keselamatanmu.***
Kairo, 15 Ramadhan 05:11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar