Kamis, 26 Januari 2012

Lelaki Istimewa Cerpen: Mustafa Ismail


Suara Karya
Sabtu, 18 Agustus 2007

Lelaki Istimewa
Cerpen: Mustafa Ismail

Begitu kulihat nama itu muncul di layar, aku membiarkan saja telepon genggamku berdering sekaligus bergetar di meja kecil samping tempat tidur. Aku tidak ingin berbicara dengannya. Sepulang nonton bersama malam itu, tiba-tiba ada perasaan aneh dalam diriku. Semacam perasaan bersalah yang berujung keinginan untuk menghindarinya.

Padahal sebelumnya aku begitu menggebu. Setiap akan bertemu lelaki itu, perasaanku sulit kuungkapkan bahagianya. Aku pikir perasaan semacam itu wajar dimiliki setiap perempuan yang akan bertemu dengan seorang lelaki yang dirasakan cocok dengannya. Ya, cocok dalam soal hobi, dalam pandangan dan pikiran, juga baik. Di mataku, Ndra, begitu aku sering memanggilnya, lelaki yang luar biasa. Lelaki istimewa.

* * *

"Aku enggak ngerti mau bicara apa sih film itu?" Suara Hendra menggerutu begitu film "Tiga Hari untuk Selamanya" selesai diputar. Ia seperti menyesali telah menonton film itu. "Pembuat film itu terlalu berani dalam bereksprimen," katanya lagi. Wajahnya tampak kusut. Aku diam saja di sampingnya.
"Mendingan tadi aku ke acara peluncuran cerpen pilihan Kompas," katanya lagi.

Ya, tadi ia memang sempat ragu: apakah menonton film itu, yang memang sudah lama kami rencanakaan tapi belum kesampaian, atau menghadiri acara peluncuran cerpen di Bentara Budaya. Akhirnya, ia memilih menonton film karena ia ingin membuatku bahagia.

Aku memang bahagia bisa nonton bersamanya. Beberapa kali acara nonton itu tertunda. Pertama, sebabnya tak jelas. Sebelumnya, ia berjanji akan mengajakku nonton, tapi pada hari yang ditentukan, ia tidak menelpon lagi. Aku pun enggan untuk menelpon, takut dikira terlalu bersemangat.

Tapi, beberapa hari lalu, ketika aku iseng menelpon sekaligus memberi tahu nomor baru handphoneku, tanpa sadar aku bertanya mengapa minggu lalu ia tidak jadi mengajakku. "Waduh, sory, aku lupa," katanya di seberang. Ah, itu alasan klise, batinku dalam hati. Tapi aku tidak berusaha untuk mendebatnya.

Dan Kamis lalu, ia pun memenuhi janjinya. Ndra sudah menelpon pagi-pagi dan memastikan bahwa kami jadi nonton. Ia sudah hafal jadwal liburku, yakni hari Kamis, tidak seperti kebanyakan orang bekerja yang libur pada Sabtu-Minggu. Maklum, aku bekerja sebagai karyawan sebuah restoran, yang pada Sabtu-Minggu justru ramai orang. Aku dan teman-teman kerjaku libur bergantian, dan aku kebagian hari Kamis.

Aku berangkat pagi dari Bogor, meskipun kami janjian ketemu jam enam sore. Bukan karena aku terlalu senang, tapi aku ada test di sebuah toko buku. Aku tertarik pindah kerja ke bidang yang lebih akrab denganku, yakni buku.

Dari sana, sudah hampir sore, aku langsung ke Plaza Blok M, tempat janjian kami bertemu. Aku sempat beberapa kali menelpon memastikan apakah dia sudah sampai. Maksudnya, agar aku tidak harus terlalu lama menunggu.

Ya, akhirnya memang dia yang duluan sampai di lobi bioskop, baru aku tiba sekitar lima menit kemudian. Ia datang masih dalam pakaian kerja dengan kemeja lengan panjang dan celana bahan warna hitam. Wah, orang ini tampak berwibawa sekali, persis seperti kebanyakan orang kantoran.

"Bagaimana tesnya tadi?" ia membuka suara ketika kami telah duduk di ruang tunggu bioskop.
"Aku tak lulus. Tinggiku kurang satu senti dari ketentuan."
"Lho, kok kerja di toko buku mesti ada ketentuan tinggi badan segala? Kayak mau masuk tentara aja....."
"Memang begitu aturannya."

* * *

Dalam perjalanan pulang, kami banyak mengobrol tentang apa saja. Tentang kuliahku yang tidak kuteruskan karena tidak punya cukup biaya, tentang pekerjaan, juga tentang buku-buku baru, tentang film-film bagus, juga tentang kemacetan. Kami bisa bercerita panjang, seperti kemacetan yang mendera kami malam itu di jalan arteri Pondok Indah.

"Di sini paling menjengkelkan," katanya sambil mengendalikan mobilnya di kemacetan itu. "Aku pernah pulang jam sebelas malam, eee... di sini juga masih macet," katanya lagi. Itu karena ada pembangunan jalan bawah tanah, yang belum selesai juga.
"Bapak selalu lewat sini?" kataku.

"Iya, lewat mana lagi. Kantorku dekat sini," katanya. Ia terdiam sejenak. Tapi tiba-tiba ia bersuara. "Sebentar, sejak kita kenal kamu selalu memanggilku Bapak. Apakah aku mirip bapak-bapak?"
Aku kaget bukan main mendengar pertanyaan itu. Mataku menatapnya.

"Jika boleh, jangan panggil aku pak, panggil dengan sebutan lain aja. Panggil mas boleh, seperti teman-teman lain," katanya. Teman-teman lain dimaksud adalah teman-temanku, yang kebetulan juga kenal dengan dia.

Oh ya, kujelaskan sedikit, kami bertemu pada sebuah sebuah workshop penulisan skenario. Ndra yang dikenal sebagai penulis skenario sinetron dan film menjadi instrukturnya. Selama sebulan, tiap minggu kami bertemu. Dari sekitar lima belas orang peserta pelatihan itu, hanya aku yang memanggilnya Bapak. Semua teman-teman lain memanggilnya mas atau bang.

"Memanggil mas atau bang lebih akrab lo. Kalau memanggil bapak, seolah-olah ada jarak antara kita, seperti anak dengan bapak atau seperti atasan dengan bawahan. Memangnya aku bapakmu atau aku bosmu, ha....ha....."
Kami tertawa.
"Aku panggil mas aja ya," kataku.

"Setuju. Tapi ingat, kalau salah, aku denda ya. Sekali salah dendanya seribu rupiah. Ntar dendanya dikumpulin...," katanya.
"Oke....Siapa takut."

Mobil terus berjalan, seperti siput yang sebulan tak makan. Malam pun terus beranjak. Dan makin malam, jalanan tampaknya makin ramai. Apalagi ketika mobil kami tiba di depan sebuah pusat perbelanjaan, mobil-mobil seperti tak bergerak. Orang-orang lalu lalang menyeberang jalan. Bus-bus dan angkutan kota yang berhenti di bagian kiri, turut membuat jalan makin berat melangkah.
"Kamu lapar?"

Aku tidak menjawab. Itu pertanyaan bodoh, batinku. Jam telah melewati angka sembilan malam, mestinya pertanyaan itu tidak usah ditanyakan. Memang sih, aku sudah makan bakso jam lima sore tadi, tapi mulutku sudah mulai lapar sejak keluar dari bioskop. Tapi aku berusaha tersenyum.

"Aku juga lapar. Tapi santai dulu, kita kan tadi mau makan makanan Sumatera, nah harus menunggu barang setengah jam lagi," katanya. Makanan Sumatera yang dimaksud adalah Mie Aceh. Aku langsung girang ketika ia mengajakku makan Mie Aceh, yang kutahu dari teman-teman cukup sedap dan bikin ketagihan. Aku ingin sekali mencobanya.
"Tapi kamu tidak anti pedas kan?"
"Aku orang Sumatera lho. Makanan pedas sudah menu sehari-hariku."

* * *

Tapi, setelah malam itu, ada perasaan aneh dalam diriku. Satu sisi, aku tidak ingin menghindarinya, tapi pada sisi lain aku merasa bersalah dekat dengannya. Perasaan bersalah itu makin kental ketika aku terbayang wajah anaknya yang pintar dan lincah. Aku sempat ketemu mereka, Ndra dan Eki, bocah lima tahun itu, di sebuah mall di Bogor. Mereka, makan di restoran tempat aku kerja.

Aku tidak tahu apakah pertemuan itu kebetulan atau bukan. Yang pasti, aku tidak pernah memberi tahu restoran mana aku kerja. Tapi, aku begitu kaget ketika melihat lelaki itu bersama Eki mampir di sana. "Habis dari Puncak. Eki ada shuting di Puncak," katanya ketika kutanya habis jalan-jalan ke mana.

Kemudian lelaki itu menjelaskan bahwa Eki memang suka ikut menjadi figuran di sejumlah sinetron.

Sempat serba salah juga aku waktu itu. Mestinya, aku menjamu mereka. Tapi jelas aku tidak kuat untuk itu. Tahu sendiri harga makanan di tempat kerjaku, nasi goreng saja harganya Rp 25 ribu. Apalagi, Eki mesan segala macam, stik, jus melon dan es krim. Sementara lelaki itu memesan nasi goreng spesial plus telur cepok yang dikasih irisan cabe dan bawang dan minumnya jus mangga.

Aku makin tak enak ketika mereka memanggilku, meminta dibawakan bill, lalu memberi dua lembaran seratus ribu. "Lebihnya disimpan buat kamu aja ya. Aku pamit dulu. Lain kali kita ketemu," katanya. Eki menyalamiku tanpa diminta oleh ayahnya. "Main-main ke sini lagi ya Eki," kataku. Bocah kecil itu tersenyum sambil mengangguk.

Ah, bayangan itu makin membuatku bersalah. Aku takut pertemuan-pertemuanku dengan lelaki itu justru diterjemahkan lain oleh orang-orang yang melihatnya, boleh jadi teman-teman lelaki itu, teman-teman isterinya, atau bahkan isterinya sendiri. Meski kuakui, aku merasa cocok dengan dia, tapi sekali lagi, aku tidak ingin membuat keluarga mereka bermasalah karena aku.

Boleh jadi, memang aku merindukan seorang sosok lelaki dewasa. Lelaki yang bisa mengayomi. Lelaki yang mampu memberi masukan-masukan dan nasihat-nasihat. Lelaki yang romantis. Dan ah, aku menemukan semua yang aku mau pada lelaki itu. Aku memang sudah lama kehilangan sosok ayah, yang kawin lagi ketika aku masih kecil, dan hingga kini aku membencinya. Sayangnya, ibu juga kawin lagi dengan lelaki yang kasar.

Jika boleh, aku ingin sedikit bercerita tentang laki-laki kasar suami baru ibuku. Namanya, Marno. Ia lelaki yang cukup gagah, tinggi besar, mengaku kerja di bank. Tiap hari berangkat ke kantor menggunakan mobil Kijang dan baru pulang pada malam hari. Ia baru pulang ketika larut malam. Nah, selalu saja, ketika pulang, aku dengar ia ribut-ribut dengan ibuku.

Sekali waktu, aku pernah mendengar pertengkaran mereka. "Aku lagi capek Mas, tidak mau," suara ibuku agak tegas tapi dengan nada pelan.
"Kalau kamu nggak mau, aku akan ke kamar anakmu," katanya.

Aku langsung terlonjak begitu mendengar kata-kata itu. Tiba-tiba, tubuhku jadi berkeringat. Aku langsung teringat yang bukan-bukan, misalnya tentang anak gadis yang diperkosa ayah tiri, dan sebagainya. Tak lama, suara di kamar ibuku yang bersebelahan dengan kamarku senyap. Yang kemudian kudengar adalah suara tangisan ibuku, yang mesti pelan sekali, cukup jelas di telingaku.

Sejak itu, aku makin membenci lelaki itu. Kemudian, aku meminta izin pada ibu untuk tinggal di rumah nenek di Bogor. Sejak itulah, waktu aku kelas II SMP, aku berpisah dengan ibu di Sumatera dan berangkat ke pulau Jawa. Selesai SMA, aku sempat kuliah di sebuah perguruan tinggi swasta, tapi karena aku kasihan sama kakek-nenekku yang kelihatan kesulitan membiayai kuliahku, aku memutuskan berhenti dan bekerja. Tapi, beberapa bulan lalu, lelaki itu hadir dan seperti membawa sosoknya yang kuimpikan.

Aku berusaha tidur, tapi pikiranku tetap melayang-layang. Dan tiba-tiba, sekali lagi, telepon genggamku berbunyi, dan nama lelaki itu tertera di sana. Lagi-lagi, aku ragu untuk mengangkat. Bukan ragu sebetulnya, tapi tidak ingin mengangkat. Beberapa menit setelah dering itu berhenti, telepon genggamku kembali berdering. Aku mengambilnya, menimbang-nimbang, sambil menatap lekat-lekat nama yang muncul di layar ponsel itu.

* * *

Dua bulan kemudian, tanpa sengaja, kami bertemu di toko buku. "Waduh, kamu sulit amat dihubungi. Salah seorang produser tertarik dengan sinopsis ceritamu yang kamu kirim dulu ke aku. Ia minta kamu bertemu dia, tapi aku sulit menghubungimu. Ya sudah, kesempatan itu lepas," katanya enteng.
Mulutku ternganga mendengar kata-katanya.***

@ Depok, 17 Juli 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar