Kamis, 26 Januari 2012

Johana, Malaikat yang Menipuku Cerpen: Aris Kurniawan


Republika
Minggu, 13 Mei 2007

Johana, Malaikat yang Menipuku
Cerpen: Aris Kurniawan

Johana, mestinya aku tidak perlu meninggalkan kamarku, seharusnya aku tidak menemuinya malam ini, dan membatalkan sebuah rencana sederhana. Perasaanku begitu rawan menyusuri lorong yang sunyi. Tembok-tembok kusam penuh coretan tangan-tangan iseng, bodoh dan menjengkelkan. Lihatlah, tak ada bintang, juga bulan. Langit hanya tirai kelam.

Kau tahu, perasaan sedih membuat kesadaranku oleng. Dan, tangan-tangan gelap makin leluasa menjerumuskanku lebih dalam terbenam di kesunyian. Sweater yang membungkus tubuh ringkihku tidak akan pernah cukup melindungiku dari perasaan tersiksa.

Bersama hembus angin yang menggetarkan daun-daun sebenarnya aku telah melipat sejumlah peristiwa silam yang kusam. Tapi bisikan yang kaukirim dari balik ketiadaan telah merongrong kesadaranku untuk mengurai kembali kisah itu. Kisah yang terdiri dari sederet tawa dan sebaris panjang kesedihan.

Kubebat sepasang kakiku dengan kasut yang tebal, menyeret langkah demi langkah yang tak sepenuhnya meyakinkanku. Beberapa warung yang masih buka, tampak sepi. Bahkan penjaganya entah ke mana. Hanya ada sepasang laki-perempuan asyik berciuman. Lampunya begitu temaram.

Penjaga warung barangkali sengaja bersembunyi, tak ingin mengganggu tamunya yang lekat berciuman itu. Tak terdengar musik. Ah, pemandangan yang membuat hatiku makin diremas kesedihan. Aku terus bergegas agak tersuruk. Menyerahkan tubuhku pada gumpal kegelapan yang menyimpan banyak kemungkinan tak terduga.

Kamu tahu tahu, Johana, aku sudah lama tak menginginkan perkawinan itu. Laki-laki itu terlalu membuatku ngilu. Keperihan begitu saja merayapi pikiranku setiap membayangkan wajahnya yang kuyu. Jujur, aku memang sulit mengelak dari perasaan cinta. Tapi sekaligus kebencian padanya.

Kami bertemu di Gothe Institut waktu sedang digelar Festival Film Perancis di sana. Tak ada yang mengesankan pada dirinya, kecuali tatapan matanya yang terluka. Cara bicaranya tak begitu kusukai, tapi apa yang ia bicarakan menarik perhatianku. Kupikir dia punya kegemaran yang mirip denganku. Setidaknya ya menyukai film, gemar menikmati lukisan, mendengar petikan harpa dan gesekan biola. Mampu duduk berjam-jam sekadar membicarakan Tuhan sambil mengulum permen.

Dia duduk di sebelah sana, di antara orang-orang, mengepung meja bundar yang lebar. Di atasnya asbak yang tak sanggup lagi menampung puntung rokok. Debunya menodai permukaan meja yang licin. Tumpahan kopi, bungkus lemper, dan sobekan kertas tisu. Dia sesekali nimbrung pembicaraan. Film Perancis, dia bilang, memang tak terkalahkan keindahannya. Film Jerman masih kalah. Apalagi Belanda dan Turki, dia bilang.

Intonasinya tak enak didengar. Kulihat orang-orang di sekitarnya, yang kebanyakan anak-anak muda, menatapnya dengan setengah peduli. Tapi ada juga beberapa yang tampaknya terkagum-kagum. Aku duduk beberapa jengkal darinya. Obrolannya cukup jelas kutangkap.

Orang-orang muda sekarang lebih banyak mengabaikan omongannya. Tampaknya mereka mulai bosan. Mereka asyik ngobrol masing-masing dengan tema yang sangat sukar kuikuti arahnya. Tentu, karena otakku yang tak memiliki daya tampung lebih.

Waktu berada di dalam studio aku mencari-cari tempat yang lebih dekat dengannya. Berkali-kali ia hampir memergoki mataku yang mencuri pandang. Untunglah dalam studio suasana remang-remang. Aku tidak benar-benar yakin dia memergoki aku. Meski kecemasan tetap saja merayapi perasaanku.

Johana, suatu hari kami akhirnya memang bertemu dalam situasi yang tepat. "Sakurta," ucap dia, mengesankan orang yang sudah lama kukenal. Malam itu juga kami pergi ke tepi danau. Bosan sekali nonton pertunjukan drama di gedung kesenian. Mereka anak-anak yang sok pintar dan tak mau mendengar pendapat orang.

Aku sepakat denganmu, Johana, duduk di tepi danau bersama Sakurta menemani bulan yang sendirian jauh lebih menyenangkan. "Kamu tak nonton konser harpa, Sakurta?" tanyaku saat itu, berbasa-basi. "Tidak, aku sedang bosan."

Aku senang, artinya bersamaku dia tidak merasa bosan. Dia menyerahkan pangkuannya untuk kurebahkan kepalaku. Begitulah Johana, setelah itu aku tak pernah lagi menemukan keindahan selain berdua dengannya. Sayang, tak berlangsung lama. Semuanya terjadi lebih cepat dari mimpi yang melintas dalam tidur malamku.

Dia pergi, Johana. Tepi danau itu kini begitu sunyi. Pertunjukan drama, maupun gesekan biola dan petikan harpa, tak ada lagi. Tak ada yang kuasa mengembalikan perasaanku pada keadaan semula. Tak ada jejak sama sekali yang dia tinggalkan. Kecuali seorang perempuan yang kutemui di pojok ruang pertunjukan. Seorang perempuan yang kehilangan.

"Sakurta," dia bilang dengan bibir bergetar, "biasanya dia menemaniku di sini, di pojok paling nyaman di dunia," sambungnya.

Johana, tiba-tiba aku menyesal kamu telah menyeretku mengenalnya, laki-laki kurus bermata terluka itu. Memang sejak mengenal dia, menemani dia nonton pemutaran film, duduk menikmati gesekan biola, petikan harpa, berjam-jam menatap lukisan, atau ngomong ke sana kemari tentang Tuhan, membuat kamarku terasa membosankan. Aku selalu pergi menemuinya dan kembali dengan pikiran tersegarkan.

Tahukah kamu, Johana. Aku tidak pernah memiliki kegembiraan semacam ini sebelumnya. Sakurta, laki-laki bermata terluka itu, saja rasanya yang mampu menghalau kesia-siaan hidupku. Seketika aku merasa harus berterima kasih padamu. Apalagi setelah tahu bahwa ternyata diam-diam kau yang mengenalkan aku padanya.

Yah, aku memang perawan tua yang tak pintar bergaul. Terpuruk di kamar yang sumpek. Orang-orang tak pernah menghiraukan aku ketika hadir di tengah-tengah mereka. Maklum kulitku kelam, wajahku tak sedap dipandang. Bibirku yang tebal barangkali menjijikkan dan membuat nafsu makanmu surut.

Hanya kamu, Johana, yang memberiku perhatian lebih. Kau datang sesekali pada malam hari. Ketika pikiranku kalut. Wajahmu tak pernah benar-benar meyakinkanku, perempuan atau laki-lakikah dirimu. Itu tak terlalu penting bagiku, Johana.

Kemudian begitu saja aku mencintai Sakurta, untuk kemudian kecewa tak berkesudahan. Sampai tiba saatnya kamu, Johana, menjelang maghrib tadi datang dan mengabariku tentang Sakurta, laki-laki bersorot mata terluka. Dia kembali ke kota ini. Membawa buku baru yang lusa mau diluncurkan. Kau bilang dia mencariku. Jangan harap aku percaya, Johana. Kau sudah dua kali menipuku. Mana mungkin aku bersedia ditipu untuk kali ketiga.

Ketahuilah, Johana, aku datang malam ini untuk mencabik lehernya dengan sebilah belati yang sudah kusiapkan cukup lama. Kelewang ini sangat tajam, Johana, sanggup menyayat wajahmu sekalipun kau hanya berupa bayang-bayang.***
Radio Dalam, Oktober 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar