Kamis, 26 Januari 2012

Ilusi Musim Gugur Cerpen: Nugroho Sukmanto


Media Indonesia
Minggu, 27 Mei 2007

Ilusi Musim Gugur
Cerpen: Nugroho Sukmanto

"Hallo Mrs Conchita. How are you?"
"Fine. And how are you?"
"Pretty good, today."


Selesai sapa menyapa, lembaran US$100 kuserahkan kepada Mrs Conchita, kasir kafetaria di basement Commons Building, seberang perpustakaan sentral USC, Doheny. Kemudian dengan memencet-mencet tombol cash register, terlihat ia bersiap menentukan berapa yang harus kubayar atas makanan, minuman, dan hidangan penutup pilihanku. Uang itu, tentu lebih dari cukup untuk membayar makan siang sekenyangnya buat dua orang.

Sambil kulirik gadis berada di ujung yang sedang bersiap mengambil baki, kukatakan perlahan, "Mrs Conchita, tolong masukkan tagihan gadis itu ke beban saya. Kembaliannya biar di sini dulu. Selesai makan akan saya ambil."

Nancy seketika menoleh menatapku, setelah kasir memberitahukan dan mengarahkan telunjuknya, bahwa seseorang telah menyelesaikan pembayaran makanan dan minuman yang baru ia pungut. Saat bertemu pandang, kemudian kulambaikan tangan dan mengundangnya untuk duduk bersebelahan.

Waktu mendekat, kusambut ia dengan sedikit mengundurkan kursi, hingga ia merasa lebih nyaman ketika merebahkan pantat. Dengan basa-basi, kubantu menyangga dan meletakkan baki makanan yang dipenuhi lasagna, selada, buah anggur, dan botol minuman pink lemonade.

Segera setelah ia menanyakan, "Kamu siapa ya?" kujulurkan tangan memperkenalkan diri, lalu kutambahkan, "Aku mahasiswa IBEAR-Program Business School, murid Dr Allonso. Anda Nancy, sekretarisnya kan?"

"Oh, kamu ternyata mengenaliku." Ia sedikit terkejut.

"Pasti dong, masak membayari seseorang yang tak dikenal. Bisa-bisa tersinggung lalu aku kena tampar," kujawab dengan berseloroh dan melanjutkan, "saat memasukkan tugas, aku pernah menitipkan kepada kamu. Mungkin kamu lupa atau tak lagi mengingat wajahku."

"Oh, maaf. Mungkin aku sedang sibuk saat itu. Banyak sekali mahasiswa yang datang sih. Biasanya iseng menggoda atau mengajak bercanda. Di kantor aku tak ingin melayani," Nancy memberikan alasan.

"Jaga image, begitu?"

"Bukan. Pekerjaanku setumpuk. Harus kuselesaikan sebelum pulang supaya tidak lembur."

"Pasti kamu tidak ingin kehilangan waktu bersama pacarmu. Iya kan?"

"Aku enggak punya pacar!"

"Ah, masak. Orang secantik kamu, yang ingin memacari pasti antre!"

"Baru kehilangan dan belum minat cari lagi." Nancy terlihat menyembunyikan senyumnya saat menerangkan.

"Ooo... Lalu, apa saja yang kamu lakukan setelah pulang kantor?"

"Aku lebih suka membaca buku dan kadang nonton TV atau film."

"Ke disko? Aku dengar cewek-cewek Meksiko senang dansa?"

"Oh iya tentu, tetapi aku tidak terlalu mencandu"

***

Nancy, nama lengkapnya Nancy Flamingo Lopez. Umurnya 24 tahun. Wajahnya mirip Jane Fonda. Badannya atletis dan kulitnya kecokelatan seperti gadis Brasil yang disebut mulata. Ia tidak terlalu tinggi, tetapi bentuk tubuhnya proporsional. Mungkin karena kakinya panjang dan lehernya jenjang. Di tangannya tumbuh bulu-bulu halus berwarna pirang. Begitu pula di tengkuknya, yang menganga saat rambutnya tersibak tangan yang berkali-kali menyeka.

Yang lebih menarik perhatianku adalah punggungnya yang bungkuk udang. Pasti bila aku sempat dekat dengannya, ia tak akan mau ditinggal barang semalam. Selalu bergairah ingin bercinta dan berada dalam pelukan.

"Melihat kamu makan, aku jadi lapar. Begitu nikmat." Ia terlihat heran dan kagum, melihat gayaku yang urakan. Aku merasa sedikit malu tapi kuacuhkan saja. Siapa tahu ia benar-benar suka gaya seorang preman.

"Ngledek ya?"

"Enggak! Benar, sumpah! Jarang kujumpai laki-laki yang apa adanya, tanpa pura-pura. Aku jadi ingat pacarku dulu. Ia orangnya cuek banget, tapi menyenangkan karena senang bercanda."

"Kenapa putus?"

"Ia meninggal, belum lama. Baru setahun."

"Oh, maaf. Turut berduka cita sedalam-dalamnya." Kuulurkan tanganku. Dan ia sambut dengan hangat. Belum semua buah anggur pencuci mulut tertelan dan minuman habis ditenggak, tiba-tiba Nancy berdiri, setelah mengeluarkan pager yang berbunyi dari dalam tasnya. Kemudian ia meminta izin pergi.

Sambil berbenah, ia bicara beruntun? Maaf aku harus segera kembali ke kantor. Dr Allonso memanggil. Ia harus segera ke bandara.

Selain mengajar di USC, ia salah satu nara sumber bagi tim penasihat Presiden Reagan, untuk masalah perdagangan internasional. Kamu tahu 'kan transfer pricing. Itu yang menjadi isu kritis kepresidenan saat ini, setelah Amerika menderita defisit perdagangan tinggi sekali dengan Jepang.

"Hampir dua minggu sekali ia terbang ke Washington DC."

"Tinggalkan saja. Biar aku yang membereskan." Kularang mengangkat sampah, Nancy menolak. Mungkin kurang enak. Sudah dibayari masih menyusahkan.

"Terima kasih ya, makan siangnya. Lain kali aku yang bayar, kalau kita ketemu lagi di sini."

"Di sini biar aku saja yang bayar. Kamu traktir saat kita nonton film nanti, oke?"

"Oh, boleh juga, kalau kamu mau."

"Tentu mau dong. Nanti aku telepon, ya."

"Baik, sampai ketemu," Nancy melambaikan tangan sambil berjalan cepat menuju ke kotak sampah dan lalu meninggalkan kafetaria.

Setelah Nancy pergi, teman-temanku yang juga sedang makan di meja yang tidak berjauhan, mengerubutiku dan menyerbu dengan berbagai pertanyaan yang dipenuhi prasangka. Terutama tentang apakah aku tahu tentang soal-soal ujian. Ralph hanya melempar pertanyaan yang kutangkap sebagai kecurigaan. Menyangka aku sudah pernah bercinta, "Hebat enggak mainnya di atas ranjang?" Kujawab saja, "Kalian semua memang sudah gila!" Lalu kutinggal pergi dan mereka tentu saja menggerutu.

***

Pertemuan dengan Nancy di kafetaria, berlanjut menjadi pertemanan yang menyenangkan. Hanya sekali ia kuizinkan untuk membayari saat nonton film. Karena ia memaksa, untuk memenuhi janjinya. Yang kedua, saat ia kuajak nonton di Chinese Theatre, aku memintanya tak melakukan lagi. Aku ingin seterusnya yang mentraktirnya.

Sepulang nonton film ET, kuajak ia makan malam di China Town. Di restoran Won Kok, yang buka hingga menjelang pagi. Karena malam minggu, walaupun telah larut, meja-mejanya masih terlihat padat terisi.

Ternyata, dulu ia sering diajak pacarnya makan di situ. Sepertinya Won Kok selain pilihan mahasiswa Indonesia, merupakan restoran favorit para anggota Pasukan Pemadam Kebakaran dan Polisi dari LAPD. Mereka banyak terlihat berseragam, duduk-duduk makan sambil ngobrol di pojok ruang belakang.

Saat berdua sedang menentukan pilihan dari menu yang disodorkan pelayan, beberapa orang menghampiri Nancy. Seperti sudah kenal lama, bergantian mereka menyapa dan mendekapnya. Nancy kemudian memperkenalkan aku kepada mereka satu-persatu. Saat kutanya siapa mereka, Nancy menerangkan, "Mereka rekan sekerja almarhum pacarku. Anggota Pasukan Pemadam Kebakaran kota Los Angeles."

"Pacarmu meninggal dalam tugas?"

"Iya. Karena itu ia dinobatkan sebagai pahlawan. Ia banyak sekali menerima tanda penghargaan."

Di Amerika Pasukan Pemadam Kebakaran dihargai sangat tinggi, dan kematian menjalankan tugas, menjadi impian, daripada mati karena penyakit atau karena tua.

"Dalam menjalankan tugas, mereka seolah-olah terpanggil jiwanya untuk keselamatan harta dan nyawa orang lain yang sedang tertimpa musibah."

"Aku sangat mengagumi mereka." Nancy terlihat bersemangat saat menceritakan hal-hal yang terkait dengan sepak terjang almarhum pacarnya.

"Aku juga. Saat menonton film Towering Inferno, walaupun hanya fiksi, aku yakin terinspirasi dari pengalaman sejati. Benar-benar aku menyaksikan jiwa patriotik dan kepahlawanan mereka." Aku pertegas apresiasiku.

Mungkin pujian-pujianku menyentuh perasaannya. Atau barangkali juga, kehadiran anggota Pasukan Pemadam Kebakaran di restoran memunculkan kembali bayang-bayang kekasihnya yang telah tiada. Tiba-tiba Nancy terlihat sangat bersedih seraya mengatakan, "Aku menyesali setengah mati. Serasa akulah penyebab kematiannya."

Mendengarnya, aku pun terharu. Sejenak ia menyeka matanya yang sempat tergenang cairan sebening embun. Kemudian melanjutkan, "Ketika kucurigai ia berselingkuh dan kupaksa mengaku, ia membantah, aku mengutuk. Aku menyumpahi, ia akan celaka bila benar-benar telah berselingkuh. Dan kematian itulah ujungnya."

"Tetapi bukan berarti, kamu yakin ia telah mengkhianatimu, kan?"

"Sebenarnya aku tidak berhak menuntut kesetiaan sebegitu jauh sebelum kawin. Seharusnya aku pura-pura tak tahu, selama ia tidak menyakiti dengan berselingkuh di depan mataku. Toh aku juga sudah tidak perawan sebelum berpacaran dengannya." Nancy tersendat, hingga terdengar parau suaranya, lendir yang terasa mengganjal tenggorok, ia singkirkan dengan ledakan-ledakan kecil.

"Agar tak kecewa, mestinya lebih baik aku hanya mengharap kasih sayangnya. Dan aku merasakan telah ia tumpahkan untukku semua. Aku terlalu egois meminta lebih dari itu."

Tak terasa, percakapan sambil menyantap mi goreng, bebek panggang dan kailan saus tiram, telah menembus batas lelap malam. Setelah pembayaran kuselesaikan, kukenakan jaketnya dan erat berpelukan saat berjalan berdampingan, menuju mobil yang kuparkir di seberang jalan.

Angin musim gugur, menghadirkan kedinginan. Hembusan yang menukik rendah, menyingkirkan daun-daun yang rebah di pelataran, seakan memberi kesempatan menerabas. Melangkah berdua, terasa nyaman saat lebih dekat merapat.

Nancy duduk terdiam di mobil yang mesinnya baru kuhidupkan. Ia terlihat masih tersentuh oleh kenangan silam. Sebelum mobilku melaju, saat mengenakan ikat pinggang, kusibak angannya dengan kata-kata, memperkuat nostalgia yang sedang menyelimuti perasaan.

"Rupanya kenangan akan pacarmu meninggalkan bekas yang indah dan dalam di hatimu."

"Sangat," ia membalas

"Boleh aku menggantikan sebagian kenikmatan yang ia tinggalkan."

"Emm, apa maksudmu?"

Aku tak perlu menjawab pertanyaan itu. Saat jemari tanganku meraba punggungnya dan yang satu mengungkit dagunya, ia telah menduga, kemudian mulutku akan meredam bibirnya yang tengadah setengah terbuka.

"Rasanya sayang, bila malam yang indah ini kita lewatkan tanpa meraih puncak kenikmatan." Aku memberikan tawaran, semacam ajakan. Saat ia terdiam dan tidak terlihat menolak, kutancap gas agar cepat sampai ke apartemen. Serasa tak lagi kumiliki kesabaran.

Sampai di apartemen aku seperti hilang kesadaran. Tetapi masih mampu memeluknya saat berjalan. Tahu-tahu berdua di kamar sudah dalam keadaan tanpa pakaian, dengan tangan meremas apa saja yang terpegang. Mata berdua nanar seperti sedang kesetanan. Ketika tangan lebih erat mendekap, gairah terasa makin mencekam sekujur badan.

Ingatanku baru menyembul kembali, setelah mendengar Nancy berteriak-teriak seperti sedang menjalani hukum rajam. Dan kadang menjerit seperti sedang dioperasi tanpa anestesi.

Aku bertambah yakin itu bukan teriak kesakitan, saat punggungnya melengkung terungkit dan tangannya memeluk lebih kuat, meminta tubuhku makin menindas. Tentu kutanggapi dengan hentakan dan tindihan, memaksa bersama segera menggapai puncak kepuasan.

Saat rintih dan jerit berganti desah panjang, baru terasa peluh mengguyur sekujur badan. Tangan serasa tak ingin lepas bergenggaman, walaupun badan telah terpisah dari persetubuhan. Kembali berangkulan, setelah mencuci badan, berdua lelap ketiduran.

Selesai mandi, sedikit kubuka jendela dan menyiapkan tempat abu, ketika Nancy meminta diizinkan mengisap rokok.

Muncul dari persembunyian, matahari terlihat ceria dengan sinarnya. Seakan kepulan asap dari sela-sela bibir renyah yang tak lagi bergincu, berbisik kepada awan. Membuat benda-benda di angkasa lainnya tertawa mendengar cerita pergumulan semalam.

"Maaf aku tadi malam berteriak-teriak keras."

"Oh, that's fine. Aku sangat menikmatinya."

"Dulu aku pemalu, saat mula-mula bercinta dengan pacarku. Ia yang mengajari dan memintaku berlaku seperti itu. Ternyata dengan begitu membuatnya terpuaskan. Mungkin karena ia sering mendengar rintihan dan jeritan histeris para korban kebakaran, hingga selesai bercinta, ia seperti telah berhasil menjalankan tugas dengan sempurna."

"Sangat masuk akal dan dapat dimengerti."

"Ternyata dengan berlaku seperti itu, aku juga menjadi benar-benar merasakan puncak kepuasan. Seolah melepas perasaan nikmat secara total, yang tak pernah kudapatkan dari pacar-pacarku sebelumnya."

Sejenak ia seperti berpikir saat akan menyampaikan sesuatu. "Kamu enggak marah kan, kalau aku berkata jujur?"

"Ah enggak. Katakan saja semuanya, aku cukup dewasa kok, untuk menerima keluhan, kritik atau saran."

Akhirnya terlepas juga kata-kata dari mulutnya, yang semula seperti tak tega untuk dilontarkan.

"Setelah kematiannya, saat bercinta dengan siapa saja, aku selalu membayangkan bercinta dengannya."

"Bisa dimaklumi. Kenangan yang dalam pasti sulit terhapus. Biarkan waktu yang menghadirkan perubahan." Aku mencoba memahami, walaupun egoku terasa ia singkirkan.

"Aku takut, itu tidak bisa. Ia selalu muncul di wajah dan tubuh seorang yang mengajakku bermain cinta. Selama ini, hanya itu yang dapat membuatku tergugah untuk melayani seseorang yang menawarkan untuk bermesraan. Ketika bayangan itu tidak muncul, aku menjadi dingin tak ada gairah."

Sebenarnya aku juga ingin mengatakan hal yang sama. Tetapi aku pendam. Takut menyinggung perasaannya dan kemudian kelak ia tak mau lagi diajak kencan. Timbul juga kekhawatiran, jangan-jangan bila kukatakan, ia akan bersikap seperti istriku. Karena suatu saat aku pernah terlepas menyebut nama Secunda saat merasakan nikmat bercinta, mungkin istriku kemudian merasakan apa yang ada dalam benakku saat itu. Istriku kemudian memutuskan lebih baik mencintai laki-laki lain yang mencintainya juga dan hanya menghadirkan sosoknya saat bermesraan.

Berbeda dengan Nancy, tanpa membayangkan wajah gadis yang selalu kuimpikan suatu saat akan menjadi istriku, aku masih bisa terangsang saat menatap perempuan berpenampilan menggoda. Mungkin karena aku laki-laki yang mudah tergugah berahinya hanya karena pandangan mata. Lain dengan wanita, yang lebih dibalut halusnya perasaan. Rangsangan harus dibangkitkan melalui sentuhan-sentuhan sentimentil.

Hanya dengan membayangkan wajah Secunda saat bercinta, kenikmatan benar-benar menghadirkan puncak kepuasan. Seakan aku telah menaklukkan tantangan terbesar kehidupan, yakni memiliki seorang yang sangat dicintai.***

Bintaro Jaya, 7 April 2007.

Catatan:
USC : University Of Southern California
IBEAR : International Business Education and Research

Tidak ada komentar:

Posting Komentar