Kamis, 26 Januari 2012

Ini Anak Aku, Bukan Anak Kau Cerpen: Hang Kafrawi


Riau Pos
Minggu, 29 Juli 2007

Ini Anak Aku, Bukan Anak Kau
Cerpen: Hang Kafrawi

Cu Man selalu memegang prisip bahwa anak merupakan loyang atau wadah segala tingkah-laku orang tua. Anak seperti mutiara yang belum diketahui oleh orang banyak: ia memancarkan kilauan suci kepolosan, kejujuran, yang bisa berubah menjadi cahaya suram di masa akan datang: tergantung tingkah-laku atau etika yang dicurahkan orang tua kepadanya.

Entah mengapa, perasaan sebagai anak muncul seketika di benak Cu Man. Padahal usianya sudah mencapai 60 tahun. Tentu saja angka 60 tahun terlalu over untuk disebut sebagai anak, dan kalaupun diri mau mengaku 60 tahun sebagai anak, itu namanya buang tebiat alias nak mati. Tapi bukan itu yang menjadi alasan Cu Man: pandangan atau penglihatan terhadap sesuatu objek menciptakan tasik pemikiran di benak manusia, termasuk Cu Man, dan hal inilah yang sedang dialami Cu Man.

Empat hari yang lalu, Sulaiman bin Abdul Rahman dan orang kampungnya lebih senang memanggilnya Cu Man, baru saja sampai di Kota Pekanbaru dan menginap di rumah anak saudara atau lebih keren keponakannya. Cu Man baru pertama kali datang di Kota Bertuah ini (kata orang bertuah, tapi entahlah). Kedatangan Cu Man ke kota ini tidak mempunyai misi politik atau pun misi kebudayaan. Sebagai orang yang dilahirkan, dibesarkan dan mungkin saja dikuburkan di provinsi ini, rasanya janggal kalau tidak melihat langsung ibu kota provinsi yang dibangga-banggakan selama ini. Cu Man memang beruntung dibandingkan dengan orang-orang di kampungnya. Walaupun tidak menjadi PNS, Cu Man mempunyai banyak tanah pusaka dari abahnya. Dan dari penjualan sebidang tanah itu, Cu Man berangkat ke ibu kota Provinsi Riau ini untuk melihat dengan mata kepalanya sendiri.

Anak saudara alias keponakan Cu Man kuliah di salah satu perguruan tinggi di kota ini. Dari pagi, sejak Cu Man menyejakkan kaki di rumah kosnya jam 8 tadi, sampai Mahgrib ini, batang hidung anak saudaranya itu tak nampak. Untung saja Cu Man orangnya cepat akrab dengan siapa pun juga, sehingga kawan-kawan satu kos anak saudaranya suka berbual dengan Cu Man dan hasilnya, Cu Man dah pulak diajak berjalan-jalan di sebagian kota ini.

Azan Maghrib berkumandang ke angkasa bersaut-sautan dari masjid-masjid. Kebiasaan Cu Man bersembahyang berjamaah di masjid, dikurungnya di dalam hati, sebab Cu Man takut kalau anak saudaranya balik, ia tidak ada di kos. Tentu saja pikiran anak saudaranya bermacam-macam. Cu Man selalu menjaga perasaan orang, termasuk orang muda bahkan anaknya sekali pun. Bagi Cu Man, tingkah-laku baik itu harus datang dari orang tua dan anak muda diwajibkan mengikutnya. Kalaulah orang tua tidak semengah kelakuannya, apatah lagi anak muda.

Apa yang direncanakan, kadang kala tidak sesuai dengan hasilnya. Dan hal itulah yang terjadi pada diri Cu Man. Anak saudara yang ditunggu-tunggu, sampai selesai Cu Man mengerjakan sembahyang Maghrib tidak juga balik. Cu Man teringat buku yang ia baca sebulan yang lalu, karangan Albert Camus tentang ketidakpastian di dunia ini, yang pasti hanya kematian, itupun tidak dapat dipastikan datangnya. Semuanya absurd, termasuk pikiran Cu Man terhadap anak saudaranya yang tak balik-balik.

Padahal Cu Man telah membuat rencana: sampai saja anak saudaranya di kos, Cu Man akan mengajak anak saudaranya itu makan di kedai makan yang paling sedap. Tapi itulah, rencana tinggal rencana, kini perut Cu Man dah pun terasa perih karena lapar.

Cu Man tak mampu menahan laparnya. Sarung dibuka dan diganti dengan celana panjang dan Cu Man bergegas meninggalkan kamar kos anak saudaranya. Terulang kembali, rencana dikalahkan oleh hasilnya: Cu Man tidak melihat kawan-kawan satu kos anak saudaranya, semuanya dah pergi. Padahal terlintas dalam pikirannya mengajak satu-dua kawan kos anak saudaranya pergi makan. Tinggalah Cu Man sendiri dan Cu Man membuat keputusan berjalan kaki ke kadai makan. Kebetulan ketika masuk gang menuju kos anak saudaranya tadi, Cu Man nampak kedai makan tak jauh dari gang, kira-kira 200 meter jaraknya.

Cu Man dengan langkah tegap, menuju rumah makan itu. Cu Man selambe alias tidak kelihatan bingung, sebab kata orang-orang kampung yang pernah pergi ke kota, berjalan di kota tak usah nampak bingung, kalau nampak bingung banyak penjagak alias penjahat mendatangi kita. Kalau sudah datang penjagak, apalagi tumpou kelelat apa yang kita punya.

Berpedoman pijakan inilah, Cu Man terus melangkah dan akhirnya Cu Man sampai di rumah makan. Rasa bingung yang dipendam jauh-jauh tadi, muncul secara tiba-tiba pada diri Cu Man. Cu Man bingung, bagaimana cara memesan makanan. Lama juga Cu Man tertegun, berdiri seperti patung dekat pintu rumah makan, dan akhirnya seorang pelayan menyapa Cu Man.

“Masuk saja, Pak.”

Macam tersembar petir tunggal, Cu Man tergagau dan melangkah masuk ke rumah makan itu.

“Silakan duduk, Pak.”

Seperti kerbau ditarik hidungnya, Cu Man mengikuti perintah pelayan tersebut. Wajah Cu Man kelihatan pucat, tapi perlahan-lahan normal kembali, setelah keyakinan mengembang seperti balon dalam hati Cu Man. “Aku manusia, dia manusia, kenapa harus takut,” bisik Cu Man dalam hati.

“Bapak mau makan pakai hidang atau nasi ramas?” pelayan bertanya.

Mendengar nasi ramas, muka Cu Man memerah. Cu Man terasa terhina.

“Kau pikir aku tidak punya duit?” tanya Cu Man dengan marah. Cu Man tidak peduli orang-orang di rumah makan itu melihat dirinya. Penghinaan bagi Cu Man adalah sesuatu yang sangat menyakitkan.

“Maksud Bapak?”

“Kenapa kau menawarkan aku nasi yang sudah kau ramas?”

Pelayan tersenyum mengerti, sementara orang-orang yang melihat Cu Man juga ikut tersenyum geli, sambil melanjutkan aktivitas mereka kembali.

“Kau menghina aku lagi, ya?” Cu Man mau berdiri.

“Sabar Pak. Saya tidak menghina Bapak, sama sekali tidak. Nasi ramas itu, sepering nasi lengkap ada sambal dan sayurnya, Pak.”

“Oooo, aku pikir nasi ramas itu diramas terlebih dahulu, seperti aku memberi kucing makan. Maafkan aku ya Nak.” Cu Man mengulur tangannya untuk bersalaman dan palayan tersebut mengulurkan juga tangan.

“Mana mahal, nasi ramas atau hidangan?” Cu Man bertanya dengan suara agak pelan.

“Hidangan sedikit lebih mahal, Pak,” kata pelayan itu dengan senyum.

Cu Man berpikir sejenak. Ia seakan ingin melunaskan tindakan bodoh tadi dengan memesan yang agak mahal.

“Kalau begitu, aku pesan yang pakai hidangan,” kata Cu Man sembil menganggukkan kepala.

Pelayan rumah makan tersebut dengan kepala juga ikut mengangguk, meninggalkan Cu Man. Untuk menguasai diri Cu Man melihat sekelilingnya. Kalau ada orang melihat ke arah dirinya, Cu Man tersenyum pada orang tersebut, dan orang tersebut membalas senyuman Cu Man.

Sesaat kemudian pelayan tadi datang membawa hidangan dengan menggunakan tangannya. Cu Man heran, melihat piring-piring tersusun rapi mulai dari jari-jari sampai ke pangkal lengan. Cu Man mengeleng-ngelengkan kepalanya tanda salut. Dengan cekatan pelayan itu meletakkan piring-piring di atas meja di hadapan Cu Man. Cu Man heran lagi, karena banyak betul lauk-pauk yang dihidangkan. Cu Man berdiri dan ia berbisik ke telinga pelayan.

“Tidak harus dihabiskan semua lauk-pauknya, kan?”

“Tidak Pak. Tergantung Bapak mau makan yang mana,” balas pelayan dengan senyum.

“Kalau begitu, terima kasih ya,” Cu Man duduk kembali, sementara pelayan pergi meninggalkan Cu Man.

Cu Man menyuap makanan tersebut dengan senang hati. Tiba-tiba saja, ketika sedang menyuap makanan yang entah berapa kalinya, Cu Man teringat almarhumah emaknya. Waktu Cu Man kecil-kecil dahulu, maknya selalu berpesan agar kalau makan tidak boleh telojuk atau buru-buru dan berlebihan. Makan seadanya. Mak bagi Cu Man adalah pelita yang selalu menerangi dalam melapah kehidupan ini. Dari emaknya juga, Cu Man selalu memahami hidup ini dengan kesabaran dan tawakal. Selain itu, emaknya juga selalu menanam rasa kasih sayang kepada siapa pun juga, walaupun hati kita terluka. Mengerjakan sembahyang lima waktu yang tidak pernah Cu Man tinggalkan selama ini, juga berasal dari nasehat emaknya. Kata mak Cu Man, “Bukan lama mengerjakan sembahyang, untuk mengingat Allah, paling lama 5 menit. Coba kau bayangkan berapa banyak waktu yang telah diberikan Allah kepada dikau?”

Cu Man menangis. Ia berhenti makan, mengingat emaknya perutnya terasa kenyang. Tapi tiba-tiba, hati Cu Man terhenyak, ketika suara seorang anak keras menghardik orang tuanya.

“Mama ni, Ryan terus yang disalahkan. Padahal Mama yang memaksa Ryan makan!” Suara anak itu membuat Cu Man mengalihkan pandangan ke arah meja anak tersebut. Cu Man melihat seorang anak lelaki sedang cemberut di hadapan kedua orang tuanya. Kedua orang tua tersebut masih muda, sang suami kira-kira berusia 30-an, sang istri 20-an dan anaknya kira-kira berusia 10 tahun.

“Ryan harus makan, agar Ryan tidak sakit,” suara ibu anak itu lembut memujuk.

“Ah! Kalau Mama mau makan, makan saja sendiri!” anak itu membanting piringnya.

Cu Man berdiri dan melangkahkan kaki ke arah meja tersebut. Ia melihat anak itu seperti cucunya. Dan tanpa ragu Cu Man memiat alias menjewer telinga anak tersebut.

“Sama orang orang tua tidak boleh berkata kasar!” kata Cu man geram.

Anak itu menangis keras. Tiba-tiba sebuah pukulan (buku tinju) keras mendarat ke muka Cu Man. Cu Man terduduk, bapak sang anak menghampiri Cu Man dan ingin melayangkan kembali tinju yang kedua, namun orang-orang yang dekat di meja itu menahannya. Ibu sang anak tidak tinggal diam. Dia menghampiri Cu Man.

“Ini anak aku, bukan anak kau!” kata ibu sang anak.

Cu Man tidak dapat berkata apa-apa. Ia berdiri dan melihat satu-persatu keluarga itu. Dengan air mata bercucuran Cu Man meninggalkan rumah makan itu. Baru tiga langkah meninggalkan pintu rumah makan tersebut, pelayan tadi berlari menghampiri Cu Man.

“Maaf Pak, Bapak belum bayar,” di wajah pelayan itu terlihat kesedihan berhadapan dengan Cu Man.

“Oh, maafkan saya, saya lupa,” Cu Man mengeluarkan uang 50 ribu rupiah dan kemudian melangkah dengan menundukan kepala.

“Pak, kembaliannya...” ujar pelayan.

“Sudah, ambil saja,” Cu Man terus melangkah masih tetap menundukan kepala.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar