Kamis, 26 Januari 2012

Kami Ingat, Markiyem Cerpen: Mariana Amiruddin


Jawa Pos
Minggu, 20 Mei 2007

Kami Ingat, Markiyem
Cerpen: Mariana Amiruddin

Mereka menebangnya. Daun-daun itu kini berongga. Matahari melaluinya. Menusuk mataku. Aku tak beranjak. Timpalah semua cahayamu ke mataku. Agar aku tak melihat siapapun...

Matahari pagi menjelang siang memang ganas. Markiyem memasang kaca mata hitamnya setelah koran pagi itu diletakkan di meja teras. Mulutnya menggeram. Perempuan lanjut usia itu mengambil sebatang rokok yang terselip di kainnya. Ia meraih pemantik, api membakar ujung batangnya. Markiyem mendorong asap dengan mulutnya, jauh. Menimpa wajah cucunya, Rara, yang sedang membawakan teh tubruk panas. "Aduh, Mbah, jangan merokok terus," katanya sambil meletakkan teh. "Ayo diminum Mbah. Sepertinya sedang muram pagi ini."

"Lihat ini Ra, baca koran halaman depan." Rara meraih koran dari meja. Ia membacanya: "Aksi Mantan Pelacur". "Aduh, Mbah. Sudahlah jangan dipikirkan."

Markiyem menjentik rokoknya, abu yang panjang jatuh tepat di atas asbak. Ia kembali mengisapnya dalam-dalam sampai ke pangkal. Asap dikebulkan lagi. "Kamu lihat kan? Bahkan sudah tua begini, julukan itu masih saja muncul."

Rara menghela napas. "Mereka tidak mengerti, Mbah."
"Mereka harus mengerti, kalau masih mau dianggap manusia!" Suara Markiyem berat dan lantang. Rara duduk di sampingnya dengan muka masam. Ia tahu betul masa lalu neneknya.
***
Markiyem. Lahir tahun 1929. Waktu kecil ia suka bermain sandiwara. Suatu hari negeri ini di datangi Japun. Mereka datang sampai ke desa. Semua gembira, "Kita tertolong, kita tertolong," begitu teriakan orang sekampung. Orang-orang sudah jenuh miskin. Japun datang dengan senyum. Japun membawa kabar gembira. Markiyem, gadis kecil yang sebentar lagi dewasa itu ditanya dengan manis, "Adik hobinya apa?" Markiyem jawab, "Aku suka sekali bermain sandiwara." Japun mengelus kepalanya, "Adik bisa ikut saya, belajar jadi aktor di sana." Markiyem terbakar gembira. Ia dibawa mereka. Ayah ibu menciumnya dengan cinta. Melambaikan sayang dari jauh. Markiyem menitikkan air mata, berharap kembali dengan sukses.

Ternyata Markiyem dibawa ke seberang pulau. Selanjutnya sebuah tempat yang lebih mirip barak. Japun bilang itu asrama sekolah. Katanya ia bersama gadis-gadis lain akan dilatih di situ. Markiyem takut. Malam itu seorang lelaki Japun memaksanya, menindihnya, lalu ia melawan sekuat tenaga. Tapi badannya diangkat naik ke ujung dipan, dan dibanting serta terdorong ke dinding. Belum selesai, datang dua, tiga, dan seterusnya, bahkan semakin hari semakin banyak lelaki Japun menghabisinya.

Markiyem bangun dan pergi ke kamar mandi, darah mengucur dari kelamin. Markiyem teriak sekeras-kerasnya. Penjaga datang. Markiyem ditahan dan kepalanya malah dibenturkan ke dinding.

Setiap hari selanjutnya Markiyem harus melayani sepuluh lebih orang Japun sekaligus. Akhirnya ia hamil, tapi mereka memaksa menggugurkannya. Perutnya diurut paksa. Selanjutnya terus begitu. Dan dalam paksaan itu Markiyem dipukuli dan ditendangi sepatu lars kalau mereka tak puas.
***
Rara masih diam. "Kamu bukan cucuku," tiba-tiba Markiyem bilang. "Tidak ada ibumu. Juga bapakmu. Tidak juga ada yang bisa keluar dari rahimku. Semuanya rusak. Rusak oleh peristiwa itu. Tapi tak ada yang patut disedihkan. Sudah terlalu dalam bekasnya. Sekadar kamu tahu, aku capek dicemooh."

Markiyem membuang ludah. "Aku ingin semua orang terutama generasi muda seperti kamu tahu seluruhnya, tidak sepotong-sepotong. Agar semua tahu apa itu perbudakan seks. Apa itu pelacur. Kenapa tubuh remaja perempuan sepertimu jadi sasaran, dengan tipuan mendapatkan pekerjaan. Itu sudah ada sejak dulu. Sekarang pun masih ada. Kamu harus hati-hati. Bangsa penjajah, mental penjajah," katanya dengan nada serak. "Dengar, ternyata sampai hari ini pun mereka tak mengakuinya. Cuih!" Markiyem meludah. Ia meludahi matahari.

"Tenang Mbah. Bukan begini caranya, nanti Mbah sakit," ujar Rara. Markiyem terbatuk-batuk. Ia menyeruput tehnya. Dan batuknya semakin hebat, dari mulutnya keluar bercak darah. Ia muntah. Rara menahan tubuhnya yang setelah itu terkulai. Markiyem tak sadarkan diri, ia dibawa ke rumah sakit.
***
Rara terdiam di pojok. Markiyem sudah tiada. Ia meninggal di rumah sakit. Rara merenung sendirian, lama ia tinggal dengan Markiyem. Ayah ibunya sudah tiada. Markiyem dianggap neneknya sendiri.
Rara masih terdiam. Pikirannya jauh sekali, jauh ke tahun 1945. Saat Markiyem terlepas dari siksaan itu.

Setelah beberapa puluh tahun lamanya, seminggu yang lalu Pemimpin Japun menyatakan tidak pernah ada perbudakan seks waktu itu. Markiyem pun ngamuk. Ia terpeleset di kamar mandi berkali-kali, pikirannya kacau. Merokoknya semakin kuat, Rara dibuat kewalahan.

Tiga hari yang lalu Markiyem bersikeras ikut aksi ke Kantor Perwakilan Japun, memprotes pernyataan Pemimpin Japun. Usianya sudah tua sekali, tetapi dengan kain yang melilit tubuh dan kakinya, serta kebaya lusuh yang dikenakannya, Markiyem masih bisa bangkit berdiri dan naik di atas podium, orasi. Kata-katanya sudah tidak jelas. Tapi matanya berapi-api. Rara hanya bisa menjaganya dari jauh. Dari ujung jalan, Markiyem kelihatan tegap dan lantang di atas sana. Beberapa perempuan lanjut usia juga ikut, meskipun tubuhnya sudah bungkuk. Berjalan perlahan dengan kerudungnya yang menjuntai. Dipayungi oleh orang-orang muda karena siang itu panas sekali. Aksi itu ternyata tidak hanya di negeri ini. Di mana-mana, tempat Japun dulu datang dan menjajah. Manusia-manusia yang sudah di ujung hidupnya, masih semangat mencari keadilan.
***
Pagi sebelum kepergiannya Markiyem berteriak memanggil-manggil Rara. Ia begitu marah membaca halaman depan surat kabar pagi yang bertuliskan "Aksi Mantan Pelacur". Markiyem tampak terbatuk-batuk dan membiarkan matahari siang memandikan tubuhnya. Sebelumnya ia meminta para tukang menebangi beberapa batang pohon rindang di halaman rumahnya supaya matahari bisa masuk.

Markiyem memang tak seperti biasanya pagi itu, ia duduk tak mau beranjak, dan matanya menatap matahari. Ia menantang cahaya. Meski kemudian kacamata hitam itu dipakainya. Rara hanya bisa murung, tak menyangka hari itu adalah hari terakhir Markiyem. Rara memungut surat kabar yang menjadi sebab amarah Markiyem. Tampak beberapa bercak darah yang terpental dari batuk Markiyem pagi tadi. Rara menangis. Ia mengelus surat kabar itu, tepat di foto nenek angkatnya, Markiyem. Foto besar pagi itu di halaman depan. Markiyem orasi, dengan kain kebaya dan sanggulnya yang sederhana. Dan matanya yang berapi-api. Dan mulutnya yang menganga, dan tangannya yang menunjuk ke langit.

Ah, Markiyem. Rara menghapus air matanya. Ia menggunting foto surat kabar itu. Tentu dengan membuang kalimat "Aksi Mantan Pelacur". Mengerikan! Rara merobek-robek kata itu dan membuangnya ke tong sampah. Tong sampah itu diliriknya lagi. Ia mengambil kembali sobekan itu, ia bawa ke tengah hamparan daun kering, lalu diambilnya pemantik, api membakar sobekan itu sampai menggunung. Asap mengepul. Ia melempar minyak tanah ke tengah. Api menjulang sampai ke ujung tiang. Rara menatap ujung api dan asap, jauh ke atas langit, seperti menatap Tuhan. Ia melambaikan tangan, "Kami akan ingat itu, Markiyem."

Rara berjalan mencapai teras rumah. Ia menemukan selembar kertas kusam, beberapa lembar. Ada tulisan latin di situ. Ia membacanya.

Mereka menebangnya. Daun-daun itu kini berongga. Matahari melaluinya. Menusuk mataku. Aku tak beranjak. Timpalah semua cahayamu ke mataku. Agar aku tak melihat siapapun... Semua orang sudah buta. Jaman perang siapa yang paling sengsara? Laki-laki pada angkat senjata. Perempuan yang diperkosa. Dipaksa melayani dulu, dirusak tubuhnya, rahimnya, payudaranya. Mati perlahan-lahan. Lalu orang-orang memanggilnya pelacur. Aku sudah biasa mendengarnya. Aku tertawa saja. Mereka tidak peduli dengan hinaan. Mereka bukan perempuan. Mereka lebih peduli pada laki-laki yang angkat senjata, dan memberinya gelar pahlawan. Siapakah aku? Markiyem. Mantan pelacur Japun. Menjijikan. Ayo matahari! Hanya cahayamu yang kutunggu. Aku mau pergi.***
Percetakan Negara, April 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar