Kamis, 26 Januari 2012

Lelakon Awan Cerpen: Moh. Syafari Firdaus


Pikiran Rakyat
Sabtu, 19 Mei 2007

Lelakon Awan
Cerpen: Moh. Syafari Firdaus

SHINTA tanpa air mata. Perlahan langkahnya menyapu setiap baris keheningan yang memuncak di antara derakkan nyala api yang tumbuh berkobaran siap menyongsong tubuhnya. Rambut panjangnya beruraian bergetar-getar disekakan angin penghabisan.

Awan bergumpalan. Senja mengutipkan matahari yang hampir berkubur itu. Lembayung membentangkan sayapnya lebar-lebar menyambut langkah-langkah Shinta yang semakin dekat dengan tungku besar perapian yang berjilatan. Pohonan gemersik menyentuhkan daun demi daunnya; bersimpuh dan menggugurkan dirinya di atas tanah yang tiba-tiba basah berembun.

Angin terhenti.

Dan hening di pelataran itu pun lantas tumbuh menjadi gemuruh saat Shinta luruh dalam riuh merah saga yang deras menghantamkan gelombang demi gelombang ke tubuhnya. Shinta lenyap; selembar rambutnya yang lepas terhempas bergetaran melayang-layang di udara. Sekejap berbinarkan cahaya, sebelum pecah dan menjelmakan baris-baris hujan.

Moksa!

Rama menjerit. Lesmana, Gunawan Wibisana, Hanoman, beserta seluruh barisan balatentara kera masing-masing terpaku di tempatnya.

Rama terdiam. Api padam.

Hujan turun rintik-rintik.

"Lihatlah, Rama menangis! Rama menangis lagi!"

"Masih akan terulang. O, kesucian yang malang."

"Kesucian?"

"Bahwa Shinta yang menyatakan dirinya suci itu pun nyatanya harus merelakan dirinya hangus dibakar api. Sedangkan Rama titisan Whisnu. Seharusnya dia tahu."

"Pengetahuan itu sungguh sebenarnya tersimpan di dalam hatinya. Yang Rama inginkan hanyalah pembuktian."

"Itu bukan pembuktian. Hanya seorang nabi yang bisa lolos dari api."

"Setidaknya Rama punya keyakinan.”

"Tapi keyakinan sekalipun tak akan pernah memintakan pembuktian. Justru dengan menginginkan pembuktian malah berarti dia telah menyangsikan keyakinannya sendiri."

"Harus begitu!"

"Bahwa keyakinan harus disangsikan?"

"Bahwa keyakinan harus dipertanyakan!"

"O, Shinta yang malang."

"Kemalangan yang berarti."

"Meskipun Tuhan mungkin tak pernah menghendaki semua ini terjadi."

"Justru karena ini adalah kehendak Tuhan, maka segalanya harus menjadi demikian. Shinta tahu api itu akan membakar dirinya, karena sekali pun ia tak akan pernah bisa membuktikan kesucian sebagaimana yang Rama harapkan."

"Karena itu Shinta harus mati?"

"Shinta mungkin tak pernah mati. Justru Rama yang kini mesti mengendus-endus mayatnya sendiri di tengah serpihan hati dan keyakinannya sendiri yang terlalu berlebihan: melebihi apa yang sebenarnya dikuasakan Tuhan."

"O, keyakinan yang malang."

"Masih akan terulang."

"Lantas, di manakah kini Shinta?"

"Ya, di manakah kini Shinta?"

"Shinta?"

**

HUJAN masih terus menyalak melengking-lengking tinggi bergemuruh melintas-lintaskan kilatnya menjilati langit. Deru kereta lewat hilang sama sekali. Padam suaranya. Berkabut lampu-lampu jalan sepanjang trotoar itu. Redam warnanya. Basuh menjadi barisan kelebatan yang tumbuh beruntun-untun tak kenal putus. Tajam. Deras dan mengental.

Malam merayap jauh dalam kecemasannya sendiri. Tak kunjung reda juga. Gelap berbondong-bondong merebahkan dirinya ke arah pekat. Dan detak jarum jam itu pun kasar mencari titik perhentiannya: 02.01, semenit lewat setelah getar lonceng besar di puncak menara balai kota itu menjerit lirih tertikam gelegar gemuruh yang memuntahkan lengking panjang untuk kesekian kalinya. Angin berputar. Melingkar-lingkar.

Rama masih juga berlari. Diterjangnya terus seluruh cuaca.

"Dalam deras seperti itu? Apa yang dikerjakannya?"

Rama berlari. Hanya berlari.

Telah begitu lama Rama berlari: dalam senyap, dalam riuh, dalam panas, dalam hujan, dalam gigil dengan gemertuk tubuh dan gigi-giginya, Rama hanya berlari. Diarunginya terus seluruh samudra, didaratinya segala benua, menembus belantara, padang, gunung, gurun, lembah, dan kota-kota; berguruh mengalir seperti sungai yang meradang mencari muara tempat berlabuh.

Rama telah menemui segala peristiwa; segala perih dari segala luka dari segala perang, penindasan, dan segala penderitaan yang recah mencatatkan segala bentuk kematian, kesumat, dan petaka. Telah dikunyahnya segala suka-cita dari segala bahagia yang mengabadikan segala gairah, cinta dari yang lahir dan merdeka, hingga segala aroma pesta yang segak-memabukkan. Semua telah hadir di mata Rama, meski harus hidup sebagai langit yang senantiasa gelap baginya: Rahwana! Rahwana! Di manakah kau sembunyikan Shinta?

"Melankolis-melodramatis! Karena cinta.... Hahh!"

"Jadi lo meragukannya?"

"Apa yang mesti gue raguin?"

"Hm.... akan terlalu panjang perdebatannya."

"O-ho! Praktis ciri teoritikus tulen! Siapa yang akan lo bawa? Freud? Foucault?"

"Gue cuman ingin membaca, nggak lantas berarti gue harus selalu memaknainya."

"Absurd!"

"Kita yang absurd."

"Argumen lo! Aku butuh argumen lo!"

"Itulah yang ngejadiin kita absurd. Segalanya mesti butuh argumen. Padahal jelas-jelas segalanya sangat mungkin untuk dibuat jadi argumen."

Hujan kian merapatkan barisan. Berdentuman suaranya ke segala arah, seperti serangan udara dan bombardir yang menghambur-hamburkan jerit tangis kesakitan orang-orang sekarat. Gelombang demi gelombangnya gelisah berdeburan memenuhi udara. Pengap. Bising. Kilat begitu kuat semakin kerap menyambar-nyambarkan cahayanya yang serupa mata pisau dan seperti tak hentinya merobek-robek langit yang tetap tengadah. Kederasan itulah air matanya yang mengucur dari sekerat nganga luka di dadanya. Kepekatan adalah wajahnya yang menahankan segala bentuk sayatan.

Rama masih di sana, menebar seluruh matanya untuk segera dikutipkan angin-angin lewat yang hambur pecah berkeping di sekujur kota yang melarikan dirinya ke arah lenyap. Hampir punah. Tanpa cahaya: Rahwana! Rahwana! Di manakah kau sembunyikan Shinta?

"Gue sungguh nggak ngerti dengan jalan pikiran lo."

"Terus terang, gue juga nggak mau berdebat dengan lo soal itu."

"Kebiasaan. Selalu saja lepas tangan."

"Terus apa lagi yang mesti gue katakan? Semuanya udah tertuliskan. Kita cuma baca penafsiran. Fiksi. Bahkan mungkin begitu juga dengan hidup kita sendiri."

"Sok filosofis. Jangan ngawur."

"Gue pun nggak mau berbantah dengan lo soal itu. Kalaupun lo nggak paham, anggap aja keenggakpahaman lo itu sebagai kepahaman lo. Mungkin cuma soal bahasa."

"Hahh! Bahasa!"

Genangan hujan di jalanan sudah melebar ke tepian trotoar. Deras, berkejaran melarikan dirinya melawan arah gerak kaki-kaki Rama. Sungai kecil berbeton di pinggirnya itu pun nyaris meluap pula; bergumpalan warnanya yang hanya pekat itu. Kental juga. Mungkin berbuih-buih, dan kederasannya seperti sebrotan branwir.

Rama masih juga berlari. Terus berlari. Hanya berlari. Dan berlari-

Sedang hujan kian menyalak, kian melengking-lengking, kian tinggi bergemuruh. Barisan kelebatannya kian tumbuh tak kenal putus, kian beruntun-untun dentuman suaranya seperti serangan udara dan bombardir yang kian berpusing menghambur-hamburkan jerit-tangis kesakitan orang-orang yang sekarat. Gelombang demi gelombangnya kian gelisah, kian berdeburan menembus ke segala arah. Pengap. Bising. Kilat kian melintas-lintas begitu buas kian kerap menyambar-nyambarkan cahayanya yang serupa mata pisau yang seperti tak hentinya merobek-robek langit yang tetap juga tengadah. Dan kederasan itulah air matanya yang mengucur dari sekerat nganga luka di dadanya. Kepekatan adalah wajahnya yang menahankan segala bentuk sayatan: "Rahwana! Rahwana! Di manakah kau sembunyikan Shinta?"

**

DALAM pelariannya, kemudian Rama seperti tak henti memburu nyala api. Karena di sanalah Shinta lenyap dalam kobaran riuh merah saga kobarannya; karena di sanalah Rama akan merasa seperti melihat dan begitu dekat dengan Shinta: mencium tegas aroma tubuh Shinta yang tegap melangkah menyongsongkan dirinya untuk luruh dalam riuh kobarannya, lesap menjadi desiran halus udara?

"Rahwana! Rahwana?"

Hingga pada suatu ketika, Rama menemukan dirinya sendiri di tengah kepulan asap dan serpihan puing sebuah pusat perbelanjaan yang habis terbakar. Rama sendiri yang telah membakarnya. Entahlah. Mungkin hanya itu yang kemudian bisa dilakukan Rama sebagai perwujudan rasa cemas dan kerinduannya yang begitu panjang: di situ Rama seperti ingin menciptakan kembali bagaimana derak nyala api membumbung berkobar-kobar menghanguskan setiap benda yang lantas lenyap dilalapnya, seperti juga ketika gelombang demi gelombangnya meluruhkan tubuh Shinta?

Rama yang erat menggenggam busur dan anak panahnya begitu rapat dikepung oleh beratus-ratus pasukan khusus antihuru-hara yang sudah bersiap pula untuk menghadapi segala kemungkinan. Tak mungkin Rama lolos. Tapi tak setapak pun Rama tampak goyah. Tatapan mata tajamnya itu malah seperti ingin menghujam beratus-ratus pasang mata yang melekat pula tertuju ke arahnya.

"Menyerah atau kami tembak!"

Tentu saja ini menjadi sajian paling eksklusif bagi media massa. Pusat perbelanjaan itu kini menjadi pusat perhatian. Selain banjir polisi dan tentara, banjir wartawan pula. Semua stasiun TV tumplek berbondong-bondong berebut menayangkannya secara langsung. Talkshow dan komentar para pakar pun segera berhamburan:

"Tentu saja. Memang boleh jadi sepertinya ada hubungan dengan pemboman gedung Empire Sate Building dan sabotase pesawat terbang beberapa waktu yang lalu. Mungkin begitu. Kenapa tidak?"

"Ada indikasi dalang intelektuil di belakang ini?"

"Seharusnya, pihak intelejen sudah bisa mencium peristiwa macam begini! Ini bukan cuma luapan emosi spontan dari tajamnya kesenjangan sosial! Dia mengidentifikasikan dirinya sebagai Rama! Jelas ini sudah merupakan suatu manifestasi yang signifikan yang sangat mungkin terjadi ketika tekanan yang depresif itu datangnya begitu bertubi-tubi?"

"Indikasinya ‘kan jelas! Warga yang tanahnya harus tergusur paksa oleh pembangunan kompleks mal itu beberapa tahun yang lalu masih terkatung-katung sampai sekarang!"

"Yang pasti, itu bukan salah satu anggota kami!"

Di running text televisi: "Silakan kirim tanggapan dan komentar Anda lewat sms ke nomor 8360 untuk semua operator. Tarif hemat. Hadiah jutaan rupiah bagi tanggapan dan komentar terbaik menanti Anda."

Bumm! Hu-a?

"Untuk saat ini, hanya itu yang bisa saya informasikan," cetus Komandan Pasukan Khusus Antihuru-hara yang diberi mandat penuh untuk menangani kasus ini ketika menjawab berondongan pertanyaan dari wartawan.

"Melihat ciri-cirinya, apa benar dia adalah orang yang paling dicari karena dianggap bertanggung jawab atas serentetan kasus menghebohkan yang terjadi akhir-akhir ini?"

Di bagian lain, seorang reporter TV tengah sibuk mewawancarai para saksi mata yang berada di tengah pusat perbelanjaan itu saat kejadian:

"Tadinya kita pikir dia itu lagi mau bikin video klip atau sinetron, gitu lho," cerita sekelompok gadis tanggung genat-genit. "Tapi setelah kita perhatiin, lama-lama, koq aneh. Hm, rada-rada curiga kita juga. Tiap kali berpapasan dia pasti nanya: 'Di mana Shinta?' Giliran balik ditanya Shinta siapa, dia nggak jawab. Malah melotot. Kita bilang sih, daripada susah-susah cari Shinta, mending Sisca aja yang sudah jelas-jelas ada," dan ucapan itu pun segera disambut derai tawa riuh mereka.

"Abis, ganteng juga, sih," celetuk seorang gadis hitam manis berambut sebahu yang boleh jadi dialah yang bernama Sisca itu.

"Lha, terang saja kami panik saat dia berlarian ngobrak-abrik yang dilewatinya sambil teriak: 'Rahwana! Rahwana...'."

"Hiya, tadinya kami pun berpikir itu lagi bikin film. Lha, wong sempat ada adegan kejar-kejaran dengan satpam segala. Dan dari tingkat tiga itu dia 'whusssshh!' ngeloncat gelantungan kayak si Jet Lee dan Andi Lau...."

"Matrix!"

"Ya, itu. Spiderman juga-"

"Dari awal kedatangannya kami sudah menduga pasti ada yang tidak beres dengan orang ini," ujar seorang satpam. "Maka kami pun berusaha untuk terus membuntutinya. Dan ketika menunjukkan gelagat aneh, kami-"

"Wah! Apinya itu, Wurrr! Wurrr...."

Dan cerita bertambah seru ketika ada di antara mereka yang mulai memeragakan bagaimana tindak-tanduk Rama ketika dia membakar pusat perbelanjaan itu. Mula-mula Rama berlari sambil berteriak-teriak. Lantas memorak-porandakan apa yang ada. Lantas terjadi keributan. Lantas kejar-kejaran dengan satpam: "Awas ada orang gila! Ada orang gila! Tangkap!" Lantas orang-orang mulai panik. Lantas mereka lari berserabutan. Lantas ada yang telepon polisi. Lantas begitu terdengar suara sirine, Rama mulai membakar: bumm! bumm! bummm!

"Heboh, deh, pokoknya!"

"Menyerah atau terpaksa Anda kami tembak!" ulang Komandan Pasukan Khusus itu untuk kesekian kalinya. Rama bergeming. Tatapan matanya itu pun masih begitu kukuh menghujam beratus pasang mata yang melekat ke arah dirinya.

"Kami akan hitung...."

Rama menyilangkan busur dan anak panahnya itu di dadanya. Serentak dengan itu pula terdengar berderaknya kokangan senjata dari para pengepungnya. Sementara: Plas! Plas! Ceklak-ceklek! Ceklak-ceklek! Plas! Plas! Para wartawan pun tak mau ketinggalan untuk mengabadikan Rama. Orang-orang hanya bisa menahan nafas. Mereka dicekam ketegangan. Para reporter TV sudah menghentikan omong-omongnya. Hanya kameranya saja yang terus berputar merekam kejadian itu dari berbagai sudut. Layar TV hanya dipenuhi gambar Rama. Para produsernya pun tegang: mereka kiranya ketar-ketir juga membayangkan kalau tiba-tiba saja tayangannya itu mesti terpotong karena harus segera merelai siaran kenegaraan. Wuhh!

Sang Komandan mulai menghitung. Tak ada waktu. Orang-orang semakin menahan nafasnya. Meski dipaksa, mereka tidak mau meninggalkan tempat itu sebelum melihat akhir dari segalanya. Tegang menyucuk. Hening. Hanya suara parau sang Komandan itu saja. Pasukan Khusus Antihuru-hara tinggal menunggu aba-aba untuk menarik picu senjatanya. Para wartawan bersiap cemas dengan tustelnya masing-masing. Kamera TV tetap rolling.

Rama mendongakkan wajahnya. Senja begitu cerah. Setelah digulung kepulan asap hitam, langit kini hanya tersaput selendang putih awan tipis saja. Dan bersamaan dengan Rama yang melepaskan anak panahnya ke udara, Sang Komandan lantang berteriak: "Tembaaaaaakk!"

Sedetik kemudian ribuan peluru hambur mengarah sengit menghujani tubuh Rama. Riuh. Memekakkan. Sebagian orang menutup matanya. Sebagian menetup telinganya. Sebagian menjerit-jerit. Sebagian sekaligus melakukan ketiganya. Dan beberapa, seketika pingsan di tempatnya. Tim medis, sibuk.

Rama tidak tampak goyah meski serbuan peluru itu semakin sengit menghambur memburu tubuhnya. Meski luka mengucurkan darah, Rama tetap tengadah: "Rahwana! Rahwana...."

Plas! Plas! Dan tubuh Rama itupun kemudian melesat lepas ke udara seperti menyusul anak panahnya yang membumbung jauh di angkasa....

Gelegar tembakan sontak terhenti. Semua orang terpaku. Semua mata kini mendongak, menyaksikan bagaimana tubuh Rama yang melesat cepat ke angkasa. Sesaat Rama melayang-layang di udara, sebelum tubuhnya itu terbakar mengobarkan kilatan jingga seperti anak panahnya, merekah-memerah saga, untuk seterusnya lesap sirna bergulung menjadi segumpal arak-arakan mega. Ya, dan masih juga tegas terdengar gema: "Rahwana! Rahwana! Di mana kau sembunyikan Shinta?"

Senja berubah pekat. Langit kini menggantung mendung: Rama.
Giliran sang Komandan yang kini pingsan.
Hujan lalu turun rintik-rintik.

Maka, demikianlah Rama. Dalam pengembaraannya itu pun tak hentinya Rama masih lantang menggemakan kata-kata yang sama, untuk kerinduan yang sama. Bahkan sampai kini pun Rama masih bersetia menanyakan tentang Shinta kepada setiap peristiwa yang ditemuinya, pada kicauan burung, pada gerisik daun, rekahan bunga-bunga, tetesan embun, pagi, matahari, senja yang menguning, hembusan angin, beserta segenap musim dan cuaca yang kekal mengawani perjalanannya. Terkadang Rama begitu rindu akan pulang, tapi api yang telanjur disulutnya akan begitu deras berkobar untuk selalu memunculkan bayang-bayang Shinta yang tumbuh bergetaran memenuhi matanya; menjelma rintik hujan seperti saat kepergiannya....

Maka ketika turun gerimis, orang-orang pun kemudian akan berkata:
"Lihatlah, Rama menangis! Rama menangis lagi!"
"Masih akan terulang! O, Rama yang malang!"
Di luar, rintik gerimis terdengar semakin gegas dan menderas.
"Ah, ngaco! Lo kayaknya udah mabok!"***
97-07

Tidak ada komentar:

Posting Komentar