Sabtu, 28 Januari 2012

Perempuan Petelur Cerpen: Iggoy el Fitra


Suara Merdeka
Minggu, 30 Desember 2007

Perempuan Petelur
Cerpen: Iggoy el Fitra

TIADA
yang tahu bagaimana perempuan itu dapat bertelur seperti unggas. Semua bermula dari kedatangannya yang tiba-tiba di sebuah pulau di tengah keheningan Laut Cina Selatan. Entah di mana pulau itu berada, tak setitik pun ia tampak di peta. Lebih jauh dari Kepulauan Paracel, lebih jauh lagi dari Kepulauan Filipina. Pesawat kargo yang terbang rendah menjatuhkannya di tengah lembah bersama sekotak peti yang telah mengurungnya sejak berangkat dari landasan udara di pesisir selatan Borneo. Dari pelabuhan Tanjung Perak, dia digiring bersama beberapa perempuan sebayanya menaiki kapal yang akan memberangkatkan mereka ke Telawang.
Dia tidak tahu bagaimana bisa dipisahkan dari rombongan ketika sampai di pelabuhan. Tentara-tentara Jepang berkali-kali menodong-nodongkan senjata ke wajahnya yang dekil. Di atas kapal, di sebuah kabin, dia diperkosa dengan kasar oleh seorang kuli angkut atas suruhan para tentara itu. Setelah tak berdaya, para tentara beramai-ramai meludahinya, lalu pukulan gagang senjata sekejap membuatnya pingsan.
Dan di lembah ini, dia langsung terbangun setelah seluruh tubuhnya terhempas dengan keras sekali. Peti kayu itu pecah, tetapi tubuhnya tidak apa-apa. Hanya kepalanya yang sedikit pusing. Dia tak menyadari bahwa tiada sehelai benang pun membalut tubuhnya. Sambil merangkak dia menghampiri sebuah air yang terpancur dari balik batu. Dia meminumnya dengan tergesa-gesa.
Barangkali dia terkena amnesia. Atau hanya demensia belaka. Berulang-ulang dia usap belakang kepalanya sambil meringis sakit, kemudian menggerak-gerakkan tangannya seolah-olah dia baru terjaga dari tidur yang panjang. Dia mulai berjalan menyusuri semak belukar. Ada tebing menuju puncak lembah. Tidak begitu curam, mungkin dapat didaki. Dia mencoba memanjatnya hati-hati.
Telah seharian dia menyusuri hutan, namun pulau ini seperti tiada bertepi. Dia mulai mendekap dadanya. Dingin. Rimbun ilalang juga membuat kulitnya gatal-gatal. Dia menggaruknya sampai memerah dan berdarah. Semak-semak di depannya terlihat semakin sedikit, tanah yang dipijaknya mulai berubah menjadi pasir. Apakah dia telah sampai di sebuah pantai?
"Aku kedinginan dan lapar," gumamnya.
Dia dapat bicara meski sepatah kalimat saja. Sebuah pohon yang dapat dia jangkau buahnya menghentikan langkahnya. Buah itu hanya sebesar kepal, maka dia memakan banyak sekali. Perutnya langsung sakit. Dia buang air besar di atas pasir.
Ternyata di depannya bukanlah pantai, melainkan sebuah gurun yang tak dapat dilihat batasnya. Walaupun begitu, dia menyusurinya tanpa ragu-ragu. Berhari-hari sudah, berlama-lama dia berjalan menyusuri gurun pasir itu. Dia terlalu lelah. Perutnya telah membesar. Bukan karena terlalu banyak makan, tapi mungkin benih-benih orang-orang yang menyetubuhinya telah tumbuh.
Dahaga yang begitu hebat dirasakannya tertuntaskan oleh sebuah oase yang muncul sedikit demi sedikit dari balik gurun. Dia bukan nabi, bukan pula istri seseorang yang sangat mulia, tetapi kolam jernih itu begitu saja ada di depannya seakan-akan memang hanya diciptakan untuknya. Adapun dia hanya pelacur yang belum puas dengan hidupnya sendiri.
Dari orang-orang di desanya, dia mendengar pengumuman bahwa para gadis muda akan dipilih untuk dipekerjakan di Borneo. Sudah lebih dari dua tahun pengiriman itu berulang. Dia tak masuk dalam pilihan, sebab meskipun masih muda, tetapi dia sudah memiliki anak, lagipula kulit hitam dan wajahnya yang burik tidak membuat para agen tertarik. Namun dia bersikeras meyakinkan kepada orang-orang itu kalau dia bersedia bekerja apa saja. Dia berharap dipekerjakan menjadi pelacur, sebab sebelumnya dia telah melacur diam-diam di desanya. Seorang teman pernah melarang. Tapi dia sangat ingin melayani orang-orang Jepang yang banyak uang.
***
PERANG
masih berlangsung. Tentara Belanda memang makin jarang terlihat di Tanah Jawa, tetapi tentara Jepang sepertinya mengambil posisi mereka. Pada 11 Januari 1942, mereka kali pertama mendarat di Indonesia dengan menyerang pasukan Belanda di Tarakan. Dini hari itu terjadi pertempuran besar. Ladang-ladang minyak terbakar. Borneo telah penuh dengan tentara Jepang. Tiga tahun kemudian, ketika perempuan itu dimasukkan ke dalam peti, pesawat yang membawanya hampir saja ditembus rudal dari pesawat tempur Australia. Dia telah menyingkir dari Perang Pasifik yang hampir berakhir.
Ditenggelamkannya kepalanya di dalam kolam. Sambil menyelam, dia meminum airnya. Langit bergemuruh sekali-sekali. Hari tidak mendung, melainkan sangat terik. Agaknya dia benar-benar lupa dengan pesawat-pesawat tempur yang berdesing-desing di atasnya. Dia memang mengalami amnesia.
"Di mana ini? Perutku sakit, siapa yang akan membantuku bersalin?" dia berucap menengadah langit.
Tiba-tiba dia mengerang. Kakinya mengangkang dengan tidur terlentang. Dia mengejan, dia berusaha mengejan sekuat-kuatnya. Sebuah cangkang muncul di liangnya, mulai membesar serupa kepala bayi yang biasa keluar lebih dulu. Perempuan itu berusaha mengeluarkannya.
Dia berusaha kuat mengejan mengeluarkannya. Mungkin saja liangnya sobek, sebab cangkang bulat sebesar kepala orang dewasa itu terlalu besar untuk dikeluarkan seorang perempuan. Napasnya terengah-engah, situasi sulit itu lewat sudah. Tanpa ketuban yang pecah, juga tanpa tali pusar dan plasenta, telur itu tergeletak di atas pasir begitu saja.
Mulanya dia heran dan takut. Tapi dia segera sadar bahwa di dalam telur itu ada buah hatinya yang harus dierami dan dijaga. Diseretnya telur itu ke dalam kolam, dimandikannya. Lalu dia mengambil pelepah-pelepah pohon palem satu-satunya yang menjulang di dekat kolam itu. Dia menjadikannya sebuah tas, tempat telur yang akan dibawanya berkelana.
Telur itu berat sekali.
Dia berjalan lurus, tapi gurun pasir ini sungguh-sungguh luas seperti tak berbatas. Seharian sudah dia berjalan. Dia kembali menemui keajaiban. Di depannya terbentang sungai yang mengaliri gurun. Dan di sanalah, dia mengerami telurnya semalaman. Perutnya kembali sakit, dia kembali mengerang. Dia akan bertelur sekali lagi. Kali ini tampaknya dia tidak lagi kesulitan untuk bertelur lantaran pengalaman yang sebelumnya. Akan tetapi pada saat dia mengejan, berkelebat ingatan-ingatan di kepalanya.
"Abang boleh nyobain saya dulu, deh. Kata orang, dicoba dulu baru dibeli. Iya, kan?" dia berkata kepada seorang agen di sebuah barak.
Lelaki brewok itu terlipat keningnya. Gairahnya tidak ada sama sekali. Namun sebelum ia beranjak pergi dan mengusirnya, perempuan berkulit hitam itu segera menanggalkan baju lalu menggoda si agen. Dengan keadaan demikian, tentu saja si agen tak dapat mengelak. Mereka bercinta di dalam barak, dengan harapan agar perempuan itu bisa ikut dengannya ke Borneo.
Telurnya terguling-guling sebentar.
Dia kelelahan bukan karena bertelur, tapi bayangan-bayangan di kepalanya telah membuatnya pusing. Telur barunya dia dekap, dia cium-ciumi. Telurnya yang satu lagi bergoyang-goyang. Sebuah kaki tiba-tiba menembus cangkang, sementara dia segera membantu telur itu menetas. Cangkangnya tidak lagi mengeras. Dia tak butuh menunggu 30 hari untuk kelahiran anaknya. Cukup semalaman. Tak ada tangisan. Tak ada keramaian seperti orang-orang desa yang bersama-sama menyambut kelahiran anak pertamanya yang lahir tanpa bapak. Hanya senyap, seiring bayang-bayang yang mengganggunya itu lenyap.
Tak lama dia langsung menyusui anaknya. Dia hanya tertawa-tawa sambil mengusap rambut anaknya yang tebal. Ah, barangkali bukan saja amnesia yang mengganggunya, tetapi juga skizofrenia.
***
MAKA
begitulah, perempuan itu bertelur setiap hari dalam perjalanannya. Di pulau itu tak seorang manusia pun dia temui. Tampaknya memang pulau yang tidak berpenghuni. Anak-anaknya satu persatu telah menetas. Tiada yang tahu bagaimana dia dapat bertelur seperti unggas.
Perang telah berakhir. Tak ada lagi pesawat-pesawat lewat di langit yang dia tatap. Dia tidak tahu ada kemenangan, dia tidak tahu ada kemerdekaan. Tetapi baginya, kesempatan untuk bertahan hidup adalah kemenangan yang mutlak. Di pulau itu hanya dialah orang dewasa selain anak-anaknya yang mulai dapat berjalan dan menangkap ular-ular di balik rerumputan.
Dia mengajarkan kepada anak-anaknya bagaimana mencari makan, mengolah daging-daging hewan agar enak dimakan. Sisa-sisa ingatan masih ada di kepalanya, tentang hidup yang pernah dijalaninya bersama orang-orang. Mereka memasak dengan membakar api di dalam tungku, dia ingat hal itu selalu. Tetapi tak ada yang dikenalnya, tak ada satu pun orang yang dia ingat siapa mereka.
Dalam kehidupannya yang baru itu, dia telah menelurkan lima belas anak, tujuh perempuan, delapan laki-laki. Anak yang menetas terakhir bernasib malang, tubuhnya dikoyak-koyak anjing hutan. Jadi semua anaknya berjumlah empat belas. Dengan begitu, dia mengawinkan anaknya berpasang-pasangan.
Pada hidup yang terus berjalan, telur-telur bergeletakan di atas pasir, di tepi sungai, di dalam lembah, bahkan di puncak bukit yang paling tinggi. Mereka telah berkembang biak, telah beranak pinak, bertelur serupa induknya.
Semakin renta, perempuan tua itu semakin sering bertekur di sebuah lembah, tempat di mana dia dijatuhkan, dipisahkan dari dunia yang penuh dengan ledakan, rentetan peluru, dan darah. Tapi dunianya yang baru ini tiada memberikannya kebahagiaan. Telah bertahun-tahun kepalanya diisi oleh pertanyaan-pertanyaan, "Siapakah aku, di manakah diriku berada, apa tujuanku di sini?"
Betapa dia sangat kesepian di pulau ini. Tak ada lagi seorang pun yang dapat diajaknya bercanda, bersenda gurau, dan saling menyayangi.
Anak-anaknya hidup damai di segala penjuru pulau. Perempuan hitam itu telah menjadi nenek bagi cucu-cucunya. Dan di pulau ini, mereka membuat peradaban baru yang ganjil. Membuat rumah, membuat kampung, dan menyebarkan bahasa yang mereka yakini. Tentu saja, mereka jauh lebih cerdas ketimbang Homo Sapiens. Akan tetapi, amnesia yang dibawa induk mereka dahulu telah menjadi sesuatu yang diidap turun-temurun. Mereka hidup berkeluarga, dipisah-pisahkan oleh rumah-rumah, namun seorang ayah dapat masuk begitu saja ke rumah tetangga sebelah. Yang datang tidak tahu bahwa yang dimasuki bukanlah rumahnya, dan yang punya rumah pun tidak tahu siapa yang tiba. Lantas penghuni rumah tiba-tiba saja memanggil laki-laki itu sebagai bapak mereka, dan laki-laki itu seakan-akan sadar kalau rumah itu adalah rumahnya.
Oleh karena itulah, perempuan tua yang memunculkan kehidupan baru di pulau ini sering menjadi sedih. Tak ada satu pun dari anak-anaknya itu yang dia ingat, dan anak-anaknya pun tak mengingat siapa dia. Maka makin seringlah dia menyendiri. Barangkali dia terlalu tua, batinnya.
Dia menatap langit. Ah, andai pesawat-pesawat itu kembali berlalu di atas, dia hendak bertanya. Sudah berpuluh-puluh tahun tak ada suara gemuruh mesin di angkasa. Dia makin nelangsa. Tetapi sekejap saja dia berharap, deru-deru yang dirindukannya terdengar dari balik awan. Pesawat-pesawat jet berlewatan.
Mereka saling menembak. Suara-suara bersipekak, udara meledak-ledak, dia menutup telinganya. Setelah ledakan besar, sesuatu terjatuh di lembah itu. Seorang pilot dengan kursi lontarnya jatuh tanpa parasut. Melihat pilot itu tampak kesulitan membuka sabuk pengaman, perempuan itu tertatih-tatih pergi menghampirinya. Dikeluarkannya belati untuk memotong tali.
Dia mengusap wajah pilot itu yang pucat ketakutan.
"Telah lama aku menunggu seorang laki-laki tanpa istri. Aku ingin bertelur lagi," ucapnya sekonyong-konyong.
Perempuan itu tertawa sambil menutup giginya yang ompong.***
Ilalangsenja, Padang, 2 November 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar