Kamis, 26 Januari 2012

Kuntum Turi di Petak Tulip Cerpen: Ida Ahdiah


Republika
Minggu, 15 Juli 2007

Kuntum Turi di Petak Tulip
Cerpen: Ida Ahdiah

Lelaki itu melihat seorang perempuan duduk sendirian, di kebun tulip, yang belum sempurna berkuncup. Di pagi hangat bermatahari wajah perempuan itu muram, bersaput mendung. Matanya menatap nun jauh tanpa batas. Lelaki itu meneliti bibir, hidung, dahi, dan rambutnya yang tak terurus. Dadanya berdebur halus. Perempuan itu mirip sekali dengan... Ah, tapi dia tampak lebih tua dari semestinya, pikirnya dengan perasaan tidak gembira.

Ia menghirup kopi dan kembali meneruskan membaca koran. Sepagi itu, biasanya hanya lelaki itu di kebun tulip, yang sepi dikunjungi orang. Letaknya memang tersembunyi, di belakang gereja tua dan museum seni yang saling memunggungi. Lelaki itu berpendapat, kebun itu sepi karena tak nyaman untuk bermain anak-anak. Tak ada ayunan dan perosotan, hanya bangku taman dan petak-petak tulip kecil.

Lelaki itu suka melamukankan banyak hal, masa lalunya yang sulit dan masa depannya yang sedang ia rancang-rancang. Seorang pemabuk yang meminta uang pernah terkekeh-kekeh melihat lelaki itu melompat, saat ia menegurnya.

Kali ini perempuan itu telah mengganggu konsentrasinya. Ia turunkan koran dan kembali menatap perempuan dengan sweater warna pudar, yang kebesaran. Celana jean yang dilipat ujungnya karena kepanjangan. Ia masih mengenakan sepatu musim dingin yang tebal dan berat. Jika benar dia, mengapa begitu lusuh, tampak lemah, dan dungu, pikir lelaki itu.

"Tiga hari lagi tulip-tulip itu akan berkuncup sempurna." Tak tahan memendam penasaran ia membuka percakapan. Setelah lama tak ada jawaban, lelaki itu kembali berkata,
"Aku suka tulip ungu, mengingatkanku pada kembang kangkung." Perempuan itu menoleh ke arahnya. "Aku suka yang putih, mengingatkanku pada kembang turi."

"Maaf, mengingatkan pada kembang apa, katamu?"
"Kembang turi." Hampir saja ia berteriak menumpahkan keyakinannya saat melihat wajah perempaun itu seutuhnya. Ia menahan diri dengan menjatuhkan pandangan ke kaki perempuan itu, mencari tanda.

Pada sebuah masa, yang tak suka ia kenang, karena begitu banyak kesulitan, lelaki itu mengenal Dianti. Putri Pak Mantri Suntik itu kaki kanannya lebih kecil dari kaki kirinya. Jika berjalan ia harus menopang lutut dengan tangannya, pincang. Teman-temannya di SD suka mengolok-olok dengan menirukan jalannya.

Pernah ia berpikir, Dianti pintar karena anak Pak Mantri. Sementara dia anak pekerja serabutan. Orang membutuhkan tenaga ayahnya untuk membetulkan genteng bocor, mengecat rumah, mengumpulkan tahi kambing, memetik kelapa, mencuci mobil dan banyak lagi. Ayahnya meninggal jatuh dari atap saat membetulkan genteng sekolah. Sekolah menjadi tidak penting karena ia harus membantu Ibu menghidupi keempat adiknya. Ia bersyukur bisa naik kelas dengan rapor yang banyak angka merahnya. Ibunya seorang pemetik bunga turi. Salah satu pelanggannya adalah Keluarga Mantri.

Beberapa kali ia diminta mengantarkan pesanan kembang turi ke rumah keluarga itu. Dianti yang selalu membukakan pintu. Di tangannya selalu ada buku.
"Sebentar saya panggil, Ibu." Itu yang selalu dikatakan Dianti. Itu saja kesempatan bertemu Dianti di luar waktu sekolah. Dianti tak pernah main gobaksodor atau loncat karet. Juga ia tak pernah menangkap kunang-kunang, saat malam bulan purnama. Keluarga Dianti pindah ke kecamatan lain setelah ia lulus SD.

Lelaki itu melanjutkan hidupnya yang tidak gampang. Terengah-engah ia menyelesaikan sekolah tekhnik menengah pertama. Pengalaman kerjanya panjang dan beragam; kenek angkot, kuli bangunan, kenek truk, tukang sapu di statsiun, calo kereta api, pelayan di restoran, dan banyak lagi yang tak ia ingat. Kemudian ia diterima bekerja sebagai anak buah kapal. Ia menghabiskan waktu di lautan dengan singgah di berbagai benua dan cuaca. Pada satu hari, saat kapal berlabuh di sebuah negeri, lelaki itu memutuskan lari dari kapal.

"Aku juga suka kembang turi," kata lelaki itu.
"Enak untuk pecal atau urab."
"Bunga turi bisa kamu temukan di warung oriental."
"Ya, aku membelinya, kubuat pecal. Sekarang bunga turi menjadi sayuran antik, sukar diperoleh. Orang tak menanam turi lagi."
"Dulu di desa masa kecilku," lelaki itu berkata sambil berdiri mendekati petak tulip, "Pohon turi banyak ditanam di tepi sawah dan tepi jalan. Kembangnya ada yang merah, ada yang putih."
"Daun turi bagus buat menghaluskan kulit. Ibuku suka menggunakannya sebagai masker wajah." Perempuan itu berjalan terpincang-pincang, mendekati lelaki itu.
Lelaki itu menahan nafas dan berkata pelan sambil menelan ludah, "Ibuku dulu pemetik bunga turi." Ia membuka kaca mata hitamnya.
"Oh, ya."
Pikiran perempuan itu mengembara ke masa belakang. Mengingat-ingat nama anak lelaki yang suka mengantar bunga turi ke rumah. Menatap wajah di depannya yang ia yakin pernah begitu familiar. Satu yang ia ingat, anak nakal itu pernah menyelamatkannya dari olok-olok.

Anak lelaki itu selalu bercelana pendek dengan ikat pinggang tali rafia. Di kelas ia suka tidur. Saat istirahat ia suka mengganggu anak-anak perempuan. Pernah ia meletakkan kerukan pensil yang bercermin di rumput tempat anak perempuan main loncat tali.
Lalu ia berteriak, "Aku tahu warna celana dalam kalian."
Karuan saja anak-anak perempuan marah bukan main, mengejar dan melemparnya dengan bola kasti. Tapi anak lelaki itu larinya kencang, lebih kencang dari teman-teman seusianya.
Sepulang sekolah ia bekerja, melayani orang-orang yang membutuhkan bantuannya. Termasuk pekerjaan yang menjijikkan, mengumpulkan tahi kambing untuk pupuk. Juga pekerjaan berat, memikul air dari sumber mata air, kala pipa bambu retak.

Ada satu kejadian yang ia ingat dari anak lelaki itu. Ia meninju Gatot, yang mengolok-oloknya. Gatot marah karena ia tak memberinya contekan ulangan berhitung. Seusai sekolah, ia mencegatnya dan berkata, "Perempuan pincang tak bakal jadi pengantin."
Anak lelaki itu menghadang Gatot dan memintanya berhenti menggoda Dianti. Gatot melawan dengan mengatakan, "Oh, rupanya anak bau taik embek ini suka kamu."
Gatot belum menyelesaikan kalimatnya ketika ia mendaratkan tinjunya di wajah Gatot. Gara-gara itu ia distrap, berdiri di depan kelas selama dua jam. Ayahnya Gatot, yang kepala desa melapor ke sekolah.
Lelaki itu, Obed, putra pemetik kembang turi!

Perempuan dan lelaki itu berdiri berdekatan. Lalu keduanya berhadapan. Keduanya tersenyum, berjabat tangan. Jabat tangan pertama bagi keduanya. "Di tanganmu selalu ada buku jika aku mengantar kembang turi."
"Aku suka membaca, tapi waktuku tak banyak lagi. Aku sekarang babysitter, ngurus anak-anak keluarga pengacara. Sabtu dan Minggu libur, bisa duduk-duduk di taman. Oh, ya, berapa kali kau mendaratkan tinju di wajah anak lelaki itu, Obed?"
"Nakal sekali aku waktu itu."
"Tapi kau tak pernah mengolok-olok kepincanganku."
"Kau pintar, selalu juara kelas."
Dianti menghela nafas. "Kugantungkan cita-citaku setinggi langit untuk menjadi dokter. Apa daya aku hanya mampu menyelesaikan SMA, tak ada biaya. Dokter masuk desa, ayah kehilangan kerja. Ayah meninggal, Ibu tidak bekerja. Ibu sekarang di sanotarium karena penyakit paru-parunya makin akut. Kau sedang apa di sini?"
"Tenaga Kerja Indonesia. Pahlawan devisa."
"Tidak tertarik berjualan bunga turi?" Dianti tersenyum.
Obed ingin Dianti selalu tersenyum seperti itu.
"Kau ingin makan pecal bunga turi, ya?"
"Istrimu suka membuatnya?"
Obed menatap Dianti dan berkata, "Aku ingin memperistrimu sejak Gatot mengolok-olokmu."
Dianti terbelalak lalu terbahak-bahak.
"Itu sebab aku meninju anak kurang ajar itu."
"Berapa putramu sekarang?"
"Baru kali ini muncul hasratku untuk menikah dengan memperistrimu!"
Dianti salah tingkah.
"Menurutmu aku masih bau taik embek?"
Dianti menggelengkan kepala. "Kau lelaki tangguh dan penuh hormat, yang pernah kukenal."
"Lantas lelaki macam apa yang ada dalam kehidupanmu?"
"Lelaki itu memeras tenagaku untuk berpoya-poya. Menamparku kalau ia tidak berkenan. Ia merendahkan diriku dengan mengatakan, kamu beruntung ada lelaki yang mau menikahi perempuan pincang yang tak memberi keturunan." Kalimat-kalimat itu hanya Dianti ucapkan dalam hati dengan berupaya menahan desakan air matanya.
Obed menyentuh kedua pundak Dianti. Jelas dan dalam ia berujar, "Aku akan meninju lelaki, siapapun dia, yang telah menyepelekanmu."
"Lelaki itu suamiku, Gatot anak mantan kepala desa." Pertahanan Dianti jebol. Air matanya tumpah.
Obed mengetatkan kepalan tangannya. Rahangnya mengeras.***

Montreal, musim semi-panas 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar