Kamis, 26 Januari 2012

Malam Mati Cerpen: F. Moses


Suara Pembaruan
Minggu, 09 September 2007

Malam Mati
Cerpen: F. Moses

Jangan kau risaukan apakah aku pulang nanti malam. Percayakanlah kekhawatiranmu dalam hati putihmu. Sayang, jika aku memang tidak pulang berarti aku menjemputmu di malam tiba. Dalam mimpi ataupun khayalmu, aku tidak tahu.

Aku ingat, ketika matahari memerah jelang terbenam-ciuman pipinya masih saja membekas. Sudahlah, cukup di situ perpisahan kami. Jejak terakhir kutangkap hanyalah lambaian tangannya hilang perlahan.

Sabarlah sayang, tahun depan sudah depan mata. Tak perlu cemas pada esok fajar walau tak pasti. Bukankah tiap malam kau menatap bulan bintang? Sambil berharap bisakah mereka membasahi kerongkongan anak-anak kita dari panasnya alam kemudian berikan sedikit hiburan?

Lama kutinggalkan kota berlumur munafik berisi daging-daging bernyawa nan dekil, kini aku terkapar seperti berpijak kerikil lancip di sebuah kota tepat sebelah samudera lepas. Jauh dari kehidupan manusia sewajarnya, mereka berkaki empat. Mereka adalah manusia modern, kata orang-orang setempat. "Hati-hati, Nak. Semua anak, istri, dan cucu-cucuku mati karena ulah manusia kaki empat. Mereka sadis. Katanya sih, manusia kaki empat telah merambah ke kota-kota lain," kata kakek dengan wajah pucat.

Aku takut. keinginan menetap di kota ini juga sudah tidak tahu lagi. Uh.., sangat takut.

Sayang, apa kabar kamu di sana? Samakah denganku-setiap detik bisa saja mati terbunuh. Andai saja di sini ada malam, tentu tak dapat kulihat lagi orang-orang berkaki empat. Langkah mereka tidak sama denganku. Jauh dan sangat berbeda. Lewat suara yang kerap kali memekik mereka beterbangan seenaknya di celah langit kehidupan. Hinggap dari tiap kepala manusia mereka kehendaki. Sambil menghisap isi kepala manusia sesuka hati. Mereka berburu tanpa ampun apalagi belas kasih.

Andai saja kau tahu tak ada malam di sini kau pasti melarang, untungnya tidak tahu. Karena itu, jangan kembali kau risaukan apakah aku pulang nanti malam. Aku di sini tanpa malam-tidak seperti kau maupun anak-anak yang tiap malam bercanda lewat bunga mimpi.

Kuharap tiap saat kau berjaga. Terlebih malam. Aku dengar kabar para manusia berkaki empat siap merambah segala penjuru. Terlebih gedung-gedung yang menjulang. Dengan mudahnya bisa membunuh sambil hisap isi kepala. Anehnya tak mecacatkan kepala tapi mencuri sejuta pikiran di dalamnya. Aneh.

Sayang, begitulah ulah manusia-manusia berkaki empat. Kini sungguh aku semakin rindukan dirimu dan anak-anak kita. Didiklah mereka agar tak seperti yang kuceritakan. betapa celakanya aku jika tak sanggup lindungimu. Setiap detik aku melangkah cuma kemuraman membeku yang hadir. Pepohonan tak lagi melambaikan dedaunannya. Petanda angin tak berhembus lagi. Manusia di sini telah menjelma kakinya menjadi empat. Mereka angkuh dan bengis. Sayang, aku khawatir, seperti tinggal tunggu vonis kematian. Wajar saja, karena manusia seperti itu kujumpai tiap saat. Ironisnya, semua kehidupan di sini mati komunikasi. Kepada siapa aku mengadu pun tidak tahu. Semua manusia sibuk dengan diri sendiri. Mungkin, mengadu pun hanya dengan diri mereka sendiri. Ah..alangkah egoisnya.

*

Sayang, kota ini semakin sengat dan karat, mataku memerah karena tak tahu jam berapa waktuku tidur. Tanpa petang apalagi malam-matahari enggan kerdipkan mata cahayanya sesaat. Tidak ada malam. Malam telah mati.

Benar-benar dalam bahtera kekacauan. Mereka meracau setiap detiknya. Tanpa tindakan pasti. Terik siang penuh debu. Hanya datangkan malapetaka. Malapetaka dari aroma angin campur debu bau darah mereka kabarkan.

Gerombolan kaki empat merangsek sudut-sudut kota hingga pelosok. Mencari keinginan tanpa henti. Kembali menerkam para manusia-manusia tolol baginya. Kau pernah bilang supaya aku jangan pernah takut. Berdoa dan berdoa, maka ketakutan perlahan hilang. Bagaimana bisa aku berdoa. Sekali aku berdiam saja bisa-bisa aku mati. Haruskah doa itu kuucap sambil berlari? Ataukah doa itu jadi lari karena tiap paruh waktu hidup ini berlari, sekadar menghindar dari manusia-manusia kaki empat tentunya. Aku tidak tahu. Manusia kaki empat tak pernah mau tahu. Mereka mirip dengan manusia sewajarnya, bedanya pada kaki saja. Lebih parah adalah hati dan pikirannya. Mereka perampas hebat. Perampas isi kepala manusia yang dianggap berbeda darinya. Asal kau tahu, mereka tidak membutuhkan harta duniawi. Yang dibutuhkan hanya pikiran. Selebihnya tidak. Bagi mereka, manusia lainnya lebih tolol dalam kelicikan. Karena itu, banyak manusia tak sadar kehadirannya. Setelah tak sadar, jadi banyak manusia mati olehnya.

*

Panas sekali hari ini. Semua kehidupan telah mati. Semua manusia tergeletak sepanjang jalan, entah tidur ataupun mati. Aku tak ambil pusing. Hanya orang gila yang mau tidur di jalan. Atau jangan-jangan mereka pura-pura mati. Entahlah. Kini aku berjalan sendirian. Menyusuri jalan-jalan sepi. Berusaha nikmati kota yang mati di dalam ketakutan yang semakin hari semakin mendaging.

Tiba-tiba saja sayup kudengar suara seperti tengah keramaian. Perlahan suara sayup kian jelas. Seperti dekat dan benar-benar mendekat. Mereka melihatku. Wuih..para manusia berkaki empat. Menyeramkan. Tanpa pikir panjang langsung kuambil langkah seribu. Entah berlari ke mana aku juga tidak tahu. Mereka di belakangku. Pandanganku nanar. Nafasku tersengal-sengal. Dengan cepatnya mereka mengejar kemudian menendangku dari belakang sampai tersungkur.

Aku mati, pikirku. Sangat menyeramkan. Jelas sekali para manusia berkaki empat di hadapanku. Mata mereka merah. Dengan mulut yang masih belepotan daging dan basah darah segera komat-kamit tidak jelas. Aku tidak mengerti bahasa mereka. Mereka cuma komat-kamit sambil tatap-tatapan sesamanya, kemudian sesekali melihatku. Begitu seterusnya.

Tiba-tiba mereka diam. Satu di antaranya mendekat lalu melotot seram. "Manusia-manusia berkaki dua yang tolol. Laknat dari zaman ke zaman. Pantas saja kami ingin hisap isi kepala kalian kemudian membiarkannya mati. Tapi kali ini tidak untuk kau, kami cuma mau hisap kepala kau saja."

Aneh, ternyata bisa juga bicara lewat bahasa yang aku tahu. Aku menyerah. Lunglai tak berdaya. Mereka meghisap kepalaku. Kemudian meninggalkanku begitu saja. Aku terkapar di pinggir jalan. Pikiranku mati. Hanya satu kuingat, sayangku.

Sayang, aku belum mati. Tapi siapa yang tahu, sesungguhnya pikiran dan segenap akal-akalku telah mati. Mati ingatan.

Sayang, aku hanya mengingatmu. Ingin segera selamatkanmu dan anak-anak kita. Bagiku tidak masalah hilang ingatan, kecuali kau di sana.

*

Aku tidak tahu sampai di mana kuberjalan. Pastinya, tidak pernah gelap dan memang tidak ada malam di sini. Kecuali pikiranku yang gelap.

Aku sudah tidak ingat apa-apa lagi. Kecuali kau di sana. Sisa jejak perjalanan pun aku juga sudah tidak tahu.

Kini, di hadapanku adalah lautan. Lautan yang mati. Tidak ada hembusan angin. Apalagi deburan ombak yang biasanya saling balapan. Mati.

Aku berjalan ke tepi pantai. Dalam pikiran, segala cara harus kutaklukkan sekalipun di nyawa sebagai ancamannya. Ada dua, aku terancam oleh laut di hadapanku atau mati karena para manusia berkaki empat. Pilihan. Paling tidak, kau pernah katakan padaku bahwa hidup adalah pilihan.

Aku tidak tahu, mampukah aku seberangi laut ini. Membentang bersama cakrawala tanpa malam. Entah di mana malam itu berada. Sayang, andai saja pikiranku belum dijarah-tentunya masih kupikirkan-dan betapa panik dan tak kan bisa terlelap kau tidur memikirkanku.

Sudahlah, seperti aku bilang tadi. Kini di hadapanku laut luas dan mati. Bagaimana mungkin bisa kuseberangi tanpa perahu dan arah mata angin, terlebih pikiranku yang kini mati. Tidak ada hal yang harus ditunggu, kecuali keajaiban yang membuatku mampu seberangi laut ini. Ketimbang mati disergap manusia kaki empat kedua kalinya. Tidak ada pilihan lain.

Sekarang aku berenang. Perahuku adalah tubuhku. Arah mata angin dalam pikirku hanya satu arah, adalah kamu. Aku pasti pulang. Mencari malam kemudian temui kau dan anak-anak yang terlelap tidur. Kalau pun aku tidak pulang, pastinya aku datang lewat mimpi kemudian menjemputmu. Welin, maukah ikut denganku?***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar