Kamis, 26 Januari 2012

Mang Preddy Cerpen: Ida Ahdiah


Pikiran Rakyat
Sabtu, 26 Januari 2008

Mang Preddy
Cerpen: Ida Ahdiah

Ikah, adik perempuan saya, akan menikah dengan teman sekerjanya, Toto. Pernikahan terakhir di keluarga kami. Ibu dan bapak jauh-jauh hari sudah sibuk mencatat orang-orang yang akan diundang. Beberapa kali Ibu menelepon Nina, istri saya, meminta pertimbangan tentang menu prasmanan, seragam yang pantas dipakai oleh keluarga kami, dan keluarga besan. Juga tentang perias pengantin yang sekiranya mengerti adat pesisir dan pedalaman. Keluarga kami berasal dari pesisir dan mempelai pria dari Daerah Istimewa Yogyakarta.

Menurut Nina, beberapa kali Ikah menelepon menceritakan keberatannya dengan segala kerepotan pesta, yang sebenarnya ia tidak sukai. Maunya mereka berdua, cukup mengundang kerabat dekat dan sahabat. Tak perlu baju dan perias pengantin. Dia pakai kain kebaya, berhias ala kadarnya saja. Toto pakai sarung dan baju takwa. Tak perlu juga makanan limpah ruah dan tenda depan rumah. Ikah tahu, sayalah yang akan mendanai sebagian besar biaya pernikahannya. Tapi Ikah tak berdaya waktu Ibu bilang, ``Tak enak sama saudara, teman, dan tetangga menikahkan anak bungsu begitu saja. Sudah, kamu diam saja.``

Padaku Ibu menceritakan rencana ijab kabul yang akan dilakukan di masjid balai desa. Yang akan memberi khotbah nikah adalah Bapak Sahlan, Ketua Yayasan Pendidikan Amal, yang mengelola sekolah dari TK hingga SMU. Sementara saksi pernikahannya antara lain Ibu Entai, guru Ikah di SD, Pak Kapten, Pak Bandeng, Pak Kelapa, dan saksi yang terakhir disebut Ibu adalah Pak Kuwu Mang Preddy.

``Mang Preddy bekas tukang delman itu jadi Kepala Desa!``

``Ya, Mang Preddy yang sayang kamu itu....``

Saya merasa bersalah telah melupakan Mang Preddy, sahabat dewasa di masa kecil dan remaja saya. Ia menyebut dirinya Mang Preddy bukan saya atau aku saat bicara dengan siapa saja. Dia adalah tukang delman sewaktu jalan antara kota kecamatan dengan desa kami masih berupa tanah berbatu. Jika hujan, jalanan bertanah merah itu lengket dan licin. Delmannya tinggi dengan tempat duduk saling berhadapan, yang cukup untuk enam orang. Seorang penumpang lagi bisa duduk di samping kusir. Penumpang jarak dekat kadang tidak keberatan berdiri di pijakan untuk naik ke delman yang hanya cukup untuk satu kaki. Kudanya yang hitam kekar bernama Arjuna. Arjuna suka dipinjam untuk dikawinkan dengan kuda betina, milik tukang delman lain. Kata Mang Preddy, anak arjuna di mana-mana.

Rumah Mang Preddy berjarak enam rumah dari rumah kami. Saya suka membantu Mang Preddy melepas dan memasang Arjuna dari kerangka delman. Arjuna mengenal saya. Jika kami bertemu, ia menempel-nempelkan kepalanya di wajah saya. Ibu selalu wanti-wanti agar saya tidak bersentuhan dengan kotoran kuda, apalagi kalau punya luka, bisa kena tetanus.

Satu liburan kwartal Mang Preddy mengajak saya jadi keneknya. Saya duduk di sampingnya dan memecut Arjuna jika ia malas berlari kencang. Kalau sedang ngetem di pasar kecamatan, tugas saya menemani Arjuna dan memberinya makan. Lalu saya ditraktir makan nasi lengko dan es limun. Saya juga diberi uang beberapa rupiah. Katanya buat nambah-nambah uang jajan.

Selama menunggu penumpang, Mang Preddy menawarkan tenaga untuk angkut-angkut barang. ``Mari, saya tolong bawakan belanjaannya. Langsung naik delman, tah. Itu delmannya di bawah pohon asam.``

Waktu yang ditempuh delman dari pasar kecamatan ke desa saya kira-kira satu jam. Jalanan lebih banyak dilalui sepeda, pedati, dan pejalan kaki. Kadang saja motor milik juragan penggilingan padi dan pemilik warung kelontong melintas. Sesekali truk minyak tanah lewat. Tapi dengan delman Mang Preddy, perjalanan terasa singkat. Sebab Mang Preddy tak pernah kehabisan cerita maupun memancing penumpang untuk bercerita.

Mang Preddy tahu informasi tentang pembasmi hama wereng, dukun sunat yang murah, obat penghilang encok, sungai yang banyak ikannya, manfaat daun turi, orang hajatan yang nanggap orkes, dokter inpres yang baru, NĂ©ng Geulis di kampung tertentu, siapa yang panennya gagal, siapa yang melahirkan, siapa yang merantau ke Jakarta, siapa yang melanjutkan sekolah ke kota, dan banyak lagi.

Ia juga tahu cerita misteri. Satu cerita Mang Preddy yang saya ingat adalah tentang penghuni pohon asam tua di tepi jalan. Tiap melewati pohon itu, Mang Preddy meminta penumpang baca surat Alfatihah. Kata dia, pohon asam itu pernah dijadikan tempat gantung diri Noni Belanda yang dilarang kawin dengan kacungnya, yang menjadi kekasihnya. Arwah Noni Belanda yang digambarkan berambut jagung itu, konon, suka muncul saat bulan purnama.

Jika melewati orang yang sedang menjemur padi di pinggir jalan, Mang Preddy menghentikan delmannya sejenak, mengajak bicara orang tersebut. ``Waduh, padinya beuneur-beuneur pisan. Kapan-kapan, kalau hendak menggiling padi, panggil saja Mang Preddy. Mau Rabu Pahing, Selasa Wage, Jumat Kaliwon, hari pasar boleh, asal jangan malam hari, penggilingan tutup.`` Mang Preddy tertawa. Orang itu biasanya menjawab, ``Beres Mang Preddy....``

Menjelang lulus SD, saya dan teman-teman harus difoto untuk ijazah. Tukang foto hanya ada di pasar kecamatan. Mang Preddy pun dipesan untuk mengantarkan anak-anak ke sana. Jumlah murid kelas enam 35 orang. Butuh delman enam kali bolak-balik mengantar kami. Sebagian besar dari kami hanya punya uang untuk membayar foto, tak punya buat membayar delman.

``Nanti Mang Preddy usahakan jalan keluarnya,`` kata Mang Preddy pada Pak Guru Ama, wali kelas saya.

Jalan keluar Mang Preddy adalah membawa tukang foto itu ke desa. Tukang foto tak cuma memotret anak-anak, orang-orang kampung juga ada yang mau difoto. Tukang foto itu memberinya komisi lumayan. Selanjutnya fotografer itu menjadi tukang foto keliling, yang menggunakan jasa Mang Preddy untuk transportasi.

Saat jalan selesai diaspal, mobil angkutan perdesaan yang berwarna kuning mulai dioperasikan. Jam operasinya dari jam tujuh pagi hingga jam empat sore. Transportasi selanjutnya diambil alih oleh ojek. Delman Mang Preddy tak bisa bertahan. Ia menjual Arjuna dan delmannya ke petani di desa lain. Mang Preddy menolak menjadi kusir bayaran. Ia belajar naik motor. Selanjutnya ia membeli motor Honda Astra bekas untuk diojekkan.

Saya sudah di SMA dan kos di kota kabupaten ketika Mang Preddy jadi tukang ojek. Dua minggu sekali saya pulang untuk mengambil beras dan uang makan. Saat turun dari elf, angkutan yang membawa saya dari kota kabupaten, motor Mang Preddy kerap menyongsong saya. Dia selalu menolak saya bayar. Katanya, ``Simpan saja uangmu buat beli buku.``

Mang Preddy tak hanya menunggu penumpang di pangkalan ojek. Ia rajin mencari orang yang punya rencana besok, lusa, atau seminggu lagi pergi kondangan, ke puskesmas, ke sawah, ke mana saja. Pagi dan sore ia punya langganan mengantar-jemput putra Pak Kapten ke sekolahnya di kota kecamatan. Ia juga punya beberapa langganan yang menggunakan jasanya mengantar accu untuk disetrum dan mengembalikannya setelah selesai disetrum. Saat listrik belum masuk desa, accu digunakan untuk tenaga telivisi.

Pada satu bulan puasa, Mang Preddy meminta saya menawarkan jasa ojek es batu pada orang-orang kampung. Di bulan itu pembelian es meningkat pesat karena orang suka minum sirup, es teh, kelapa muda, dan makan kolak campur es sebagai pelepas dahaga kala buka. Es batu dibeli dari depot yang tempatnya lumayan jauh jika ditempuh dengan jalan kaki. Tawaran itu mendapat sambutan bukan saja dari kampung kami, melainkan kampung lainnya. Ongkosnya murah karena dibayar ramai-ramai. Sekali jalan, sepanjang puasa, saya yang duduk boncengan, membawa 12 es batu selebar buku tulis dengan tebal sekitar 10 cm, yang berbalut sekam dan diikat tali yang terbuat dari bambu.

Seminggu menjelang lebaran, kesibukan Mang Preddy dan saya menjadi-jadi. Para pelanggan ingin dilayani membawakan hantaran lebaran ke kerabat dekat dan jauh, ke guru, orang tua, dan orang-orang yang dihormati, di kampung lain. Hantaran biasanya berupa nasi, lauk-pauk, dan kue. Tangan saya sampai pegal membawa rantang bersusun empat, dua di tangan kiri, dua di tangan kanan.

Saya mendapat bagian uang dari Mang Preddy. Dua hari menjelang lebaran, ia membonceng saya ke kota kabupaten. Saya membeli levis dan selembar kemeja di toko Masa Kini. Mang Preddy membeli topi cowboy dan jaket kulit imitasi. Katanya untuk penahan angin kala mengendarai motor. Saat buka, saya ditraktir makan empal gentong dan es kelapa kopyor.

Mang Preddy berkaca-kaca waktu tahu saya lulus sipenmaru, diterima di sebuah universitas negeri di ibu kota. ``Belajar baik-baik biar tidak jadi tukang ojek seperti Mang Preddy,`` katanya sambil menyelipkan uang saat saya menjabat tangannya.

Menurut bapak dan ibu, Mang Preddy sayang pada saya karena dia tidak punya anak. Orang-orang bilang, istrinya, Bi Ecih, gabug, ibarat padi yang tidak ada berasnya, ia tak bisa punya anak. Bi Ecih terkenal pandai memasak. Ia kerap dipanggil untuk memasak di orang-orang yang punya hajat. Tidak saja orang-orang sekampung, juga orang dari kampung kecamatan lain. Menurut cerita yang kudengar, untuk mendapat keturunan, Mang Preddy pernah disuruh nikah lagi oleh orang tuanya. Tapi Mang Preddy menolak. ``Kalau saya yang gabug bagaimana?`` Mang Preddy bilang begitu pada Ibu.

Kesibukan kuliah menyita separuh waktu saya. Keasyikan menjelajah sudut-sudut kota dan teman-teman baru menyita separuh waktu lainnya. Kemudian muncul kegiatan lain, berdiskusi, berorganisasi, berpacaran. Liburan pun malas pulang kampung jika ibu tak meminta pulang karena ia kangen. Entahlah, saya merasa tidak nyambung lagi bicara masalah-masalah lokal. Terakhir saya mendengar Mang Preddy tak lagi mengojek. Ia membeli colt buntung yang ia sopiri sendiri. Setelah itu Mang Preddy terpisah dari ingatan saya.

Saat ijab kabul Ikah itulah saya bertemu Mang Preddy yang kulitnya sudah dilipat usia. Ia mengenakan batik lengan pendek dan berpeci. Ia kini berkacamata. Ia merangkul saya. Memukul-mukul bahu saya. Menatapi saya.

``Mana istrimu? Sudah berapa anakmu? Sepertinya kamu sibuk sekali sehingga jarang pulang. Tapi kamu sekeluarga sehat-sehat saja, bukan?``

Saya kenalkan Nina padanya. Saya tunjukkan putra saya nomor satu, yang berjalan di samping kakeknya. Saya kenalkan putri saya nomor dua, yang menggelayut di lengan neneknya.

``Perasaan baru saja kemarin kamu turut mengurus Arjuna dan turut Mang Preddy ngojek.``

``Waktu cepat sekali berlalu. Sekarang Mang Preddy jadi Pak Kuwu. Saya senang. Saya bangga.``

Kata Mang Preddy, sebelumnya ia tak terpikir ikut dalam pemilihan Kuwu. Ia tahu diri, cuma lulusan STN, bekas tukang delman, tukang ojek, dan sopir. Tidak punya uang pula. Namun, orang-orang terus mendesaknya. Pendukungnya menganggap Mang Preddy mengenal masyarakat sedalam-dalamnya dan senang membantu, tanpa pandang bulu. Mang Preddy juga banyak akalnya.

Resepsi pernikahan Ikah, yang sesuai dengan harapan Ibu, selesai sebelum magrib. Mang Preddy baru pulang setelah pesta usai. Ia turut membantu panitia membereskan sisa pesta. Tenda diturunkan dan kursi-kursi dilipat. Piring, gelas, dan sendok pinjaman sedang disusun dan hendak dikembalikan.

Kami pun pamit kembali ke Jakarta. Besok, saya dan Nina harus masuk kerja. Kembali ke kegiatan semula, memikirkan cicilan rumah, cicilan mobil, cicilan kartu kredit, uang masuk untuk si sulung ke SD favorit, yang sebagiannya terpakai untuk pernikahan Ikah. Juga merencanakan agar anak kami yang kedua bisa masuk TK, yang juga favorit. Ibu tampak tak senang dengan keterburu-buruan kami. Katanya, ia masih kangen sama kedua cucunya.

Kami sempatkan mampir ke rumah Mang Preddy untuk pamitan. Ia baru selesai salat magrib waktu kami tiba. Ia mengenakan sarung, baju takwa, dan kopiah hitam. Bi Ecih masih mengenakan mukena. Mang Preddy menawari kami teh tubruk, teh kental dengan gula batu, kesukaannya. Saya menolak secara halus karena tak mau kemalaman di jalan.

``Mang Preddy kira hendak bermalam lagi. Ngobrol-ngobrol dulu dengan Mang Preddy, begitu.``

``Inginnya lama, tapi saya dan Nina besok masuk kerja.``

``Kalau begitu, tunggu, yah, tunggu....`` Mang Preddy masuk kamar, tergopoh-gopoh.

Saya jabat tangan Mang Preddy saat ia keluar kamar. ``Buat nambah-nambah beli bensin,`` bisiknya seraya menyelipkan uang di telapak tangan saya.

Saya kaget dan hendak menolak. Segera Mang Preddy beranjak menerima jabat tangan Nina. Lalu bergantian memangku kedua anak saya. Dan memberi masing-masing selembar lima puluh ribuan. ``Dari Mang Preddy buat beli limun di jalan....`` ***

Montreal, musim gugur 2006


Tidak ada komentar:

Posting Komentar