Sabtu, 28 Januari 2012

Oh, Begitu? Cerpen: Sunaryono Basuki Ks


Suara Pembaruan
Minggu, 27 Mei 2007

Oh, Begitu?
Cerpen: Sunaryono Basuki Ks

ak pernah kupahami Dewiku, benar-benar sejak perkawinan kami tiga tahun yang lalu, dia masih tetap rahasia, bagai lubang sumur gelap dalam, tak terterjeni sampai ke dasar, walau kami sudah sering terengah saat tengah malam tiba. Bagiku dia sosok asing yang tak kukenal. Memang kami cukup lama berkenalan saat di kampus. Bahkan sebelum aku menjadi mahasiswa, sudah kutahu gadis jenjang berkulit kuning langsat berambut hitam lebat ikal itu selalu berperilaku bagai anak lelaki. Dia suka ngebut di atas sepeda motor, ke sana-ke mari entah apa yang dia cari, rambutnya berkibar kadang menutup wajahnya. Dia tinggal sekampung denganku, tak bertetangga dekat tapi aku tahu di mana dia tinggal, dan aku tak pernah membayangkan pada suatu hari kelak kami saling tertarik dan saling jatuh cinta.

Kukira mustahil dia tertarik padaku, sebab kemudian aku tahu dia berpacaran dengan Andre, yang juga kukenal. Andre pernah menjadi teman sekolahku saat duduk di bangku SMP. Aku berpindah-pindah dari satu universitas ke universitas lain. Di Unair aku mencoba Fakultas Hukum, namun hanya bertahan satu tahu. Bagiku hukum tidak masuk akal, sebab aturan-aturan yang dipasang dalam pasal-pasal bagaikan jerat perangkap penangkap kelelawar. Sementara dalam kehidupan sehari-hari banyak orang yang terperangkap jaringnya namun banyak pula yang lepas lantaran mampu menyewa penasehat hukum yang dapat menemukan lubang-lubang dalam jaring perangkap. Memang orang bilang, saat masih baru, lubangnya banyak. Itulah sebuah jaring. Dan saat diobrak abrik oleh penasehat hukum, lubangnya makin sedikit dan sangat mudah diterobos oleh siapa pun.

Lalu aku mencoba UGM. Aku sangat menyukai kotanya. Suasana terpelajar di mana-mana, namun aku juga hanya bertahan setahun di Fakultas Sastra. Yang teman-teman omongkan hal yang muluk-muluk, dan aku sering tak yakin apakah mereka benar-benar paham mengenai apa yang mereka omongkan. Aku punya teman seorang penulis, yang sering menulis di koran. Tulisannya sangat sulit dipahami, dan lama-kelamaan pembacanya terbiasa dengan teka-teki yang dia kemukakan, dan anehnya dia menjadi terkenal karena tulisannya yang sulit. Aku dapat memahami pukiran Romo Mangun, pikiran Goenawan, yang semua dituangkan dalam esei-esi mereka yang indah. Tulisan mereka menyejukkan dan tak menimbulkan teka-teki namun justru memberi pencerahan, memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang berbagai persoalan. Tetapi, teman itu, ah aku lupa namanya, namun pasti dapat kamu temukan namanya di antara tumpukan majalah yang terbit pekan ini. Dan aku balik ke kota kelahiranku, melamar jadi calon guru. Ratusan pelamarnya, dan hanya lima puluh orang yang diterima di Jurusan Bahasa Inggris. Tahun-tahun pertama kerjaku membaca saja, buku-buku karya sastra sampai buku pengetahuan umum Relativity for the Layman. Einstein memang gila, pikirku, tapi masuk akal juga cuma sulit dibuktikan. Kita disuruh menunggu sampai manusia menemukan pesawat supercepat yang dapat melesat dengan kecepatan cahaya, tetapi pesawat yang dibuat dengan massa apa, orang belum tahu. Jadi, kapan teorinya bisa dibuktikan kalau untuk sampai ke saat itu entah harus berapa tahun menunggu?

Atau membaca majalah berbahasa Inggris. Time edisi rombengan mudah didapat. Bukan mau membaca berita terkini, tetapi ingin tahu bagaimana mereka memberitakan peristiwa dalam bahasa Inggris. Dan aku bisa nonton film TV tanpa berusaha membaca teks kakinya. Atau mendengarkan siaran BBC atau Radio Australia. Semuanya serba mudah. Bahkan semua bahan mengerjakan tugas akhir semester dapat aku cari di internet.

Hasilnya sangat nyata. Walau aku malas membaca buku teks yang diwajibkan, nilaiku untuk mata kuliah Advanced Reading atau Advanced Writing selalu terbaik di kelas. Sementara nilai untuk tentamen Sociolinguistics atau Psycholinguistics tidak pernah mengecewakan.

"Kok bisa?" tanya Nurul.

"Apanya yang sulit?"

"Kan teman-teman sulit ngerti teks itu."

"Ah, masa?" aku benar-benar heran. Lebih sulit membaca Times dari membaca Sociolingusitcs karangan Trudgill atau pun Roger Bell atau yang lain.

"Bergabung dengan kami ya? Biar ketularan."

"Aku ini pemalas, dan gak bisa menjelaskan berbagai masalah. Hobiku tidur dan bermimpi."

"Jangan sombong gitu ah."

Mereka semua tak percaya bahwa aku lebih suka tidur daripada belajar berkelompok. Saat menjelang ujian akhir SMA, teman-teman berkumpul di rumahku karena paling luas, dan belajar bersama. Mereka asyik berdiskusi mengenai berbagai masalah yang mungkin akan muncul dalam ujian akhir tetapi aku selalu masuk ke dalam kamarku dan tertidur. Kalau kemudian aku mendapat nilai terbaik dan menjadi bintang pelajar di kotaku, aku benar-benar tak paham sebab aku tidak pernah merasa pandai.

Dewi menjadi adik kelasku. Beda usia kami bukan setahun, pasti lebih dari dua tahun. Tertarik padanya? Tentu saja, sebab dia cantik, suka berteman dan suka tersenyum. Senyumnya benar-benar ringan menyegarkan. Pasti teman-temannya juga mencintainya sebagai sahabat sebab dia juga suka menolong teman dalam kesulitan. Kadang memberi pertolongan berupa uang karena teman memang tak punya uang untuk makan sehari-hari.

Kukira Dewi masih pacaran dengan Andre, karenanya aku menjaga jarak. Aku bukan siapa-siapa. Bukan pesaing Andre. Tetapi, pada suatu malam Minggu, ketika aku berkunjung ke rumahnya untuk pertama kali, dia mengajakku jalan-jalan.

"Ya jalan-jalan sungguhan. Jalan kaki!"

"Kau gak malu? Teman-temanmu melancong dalam mobil mereka. Paling tidak naik motor. Kok kamu ngajak jalan-jalan?"

"Kan beda. Kita bisa jalan bersama."

"Ternyata sepanjang dua kilometer yang kami telusuri, dengan mesra dia menggandeng tanganku. Dengan manja, seolah kami sepasang merpati yang sudah lama pacaran. Sejumlah orang yang kukenal menyapa dengan tersenyum. Sejumlah teman kami juga tersenyum. Mungkin ikut senang, mungkin menertawakanku.

Ketika aku lulus di kampus dan diusulkan untuk menjadi asisten, kami terus bersahabat sampai Dewi lulus pula tetapi tidak bekerja di kampus. Aku akan senang bila dia bisa diangkat menjadi asisten pula, tetapi jatah dosen baru terbatas. Dia melamar bekerja di sebuah biro perjalanan dan tiba-tiba menjadi sangat sibuk dengan pekerjaannya, sementara aku melanjutkan studiku di program pascasarjana. Toh kami menikah sebelum aku menyelesaikan studiku. Yang penting kami dapat berpelukan secara resmi. Tak takut ketahuan orang lain.

Kami menyewa sebuah rumah kecil dan berkeinginan untuk membeli rumah entah kapan.

Pernikahan kami baik-baik saja sampai aku menyadari bahwa ada yang salah dengan kami. Kenapa Dewi tetap merupakan rahasia bagiku?

"Aku mencintaimu lantaran kamu penuh misteri. Dan misteri itu berkembang, takkan surut setiap hari." Katanya.

Mungkinkah karenanya dia juga menjadikan dirinya sebuah misteri besar. Walau kami mengetahui seluruh rahasia lekuk tubuh kami masing-masing, sampai yang paling tersembunyi, Dewi masih pula sebuah misteri besar. Apakah aku baginya juga sebuah misteri raksasa, yang tak pernah habis mencair? Aku tak tahu.

"Siapakah kamu?"

"Kamu aneh. Ini aku."

"Maksudku, kenapa kita tetap menjadi rahasia?"

"Rahasia itu anugerah Tuhan untuk kita."

"Tapi aku ingin tahu."

"Kamu sudah meraba seluruh tubuhku. Kita sudah sering saling melumatkan, saling menghancurkan di ranjang."i

"Tapi?"

"Kenapa ada tapi?"

"Aku tidak mengerti kenapa rasanya kamu tak bisa sepenuhnya memberikan dirimu padaku? Seluruh tubuh dan jiwamu?"

"Aku sudah menyerahkan padamu sepenuhnya. Tanpa sisa lagi untukku."

"Haruskah kausisakan? Untuk siapa?" Tak ada jawaban.

Rasanya aku hampir paham, tetapi siapa yang diberi sisanya? Aku tahu tak mungkin Andre. Dia sudah berterus-terang tentang putus hubungannya dengan Andre. Yang lain, katanya, sudah dia lupakan, dan hanya ada aku.

Hari-hari berlalu, bagaikan putaran roda pedati yang tersandung-sandung batu. Menggelinding pelahan menggoyang pedati.

Suatu malam kami bertempur lagi di atas kasur, terengah, berkeringat, dan terkulai. Aku tak segera tertidur. Kuguyur badanku dengan air dingin dari shower, kugosok tubuhku dengan handuk, dan kubaringkan diriku di sampingnya yang masih elok, masih memukau. Kupejamkan mataku, tetapi tiba-tiba kudengar bisikan lirih. Kukira dia berbisik kepadaku, namun ketika kutengok, matanya terpejam. Apakah yang dibisikkannya? Tak jelas. Tapi kucoba pasang telingaku dan terdengar lagi bisik itu.

"Oh, oh."

Ah, dia hanya mengigau. Mungkin lantaran terlalu senang.

Lalu, kudengar lagi:

"Teruss, terusss!: " Tak begitu jelas, tetapi kira-kira begitu. Apakah dia sedang igaukan kenikmatan yang telah kuberikan? Tak pasti.

Lalu, kudengar, masih tak jelas:

"Fred..Fred....Oh, Fred...."

Kali ini sangat jelas kudengar. Jadi, dengan Fred, bekas tunangannya yang pernah selintas diceritakannya. Mereka batal menikah karena perselingkuhan Fred dengan perempuan lain. Dan, dia tak menyukai perselingkuhan. Mereka berpisah.

Sampai pagi aku tak tidur memikirkan nasibku. Aku takut kalau pada suatu malam aku juga mengigau, mengigaukan perselingkuhanku dengan Ria. Apakah aku harus berterus terang agar semua menjadi jelas? Agar dia tak merasa menanggung beban kenangan dengan Fred? Tetapi, aku tak berani mengatakannya. Perpisahannya dengan lelaki itu justru karena perselingkuhan. Kalau aku berterus terang tentang Ria, pasti dia juga akan meninggalkanku. Tidak. Dia perempuan terakhir bagiku. Dia Dewiku. Biarkanlah rahasia terkubur dalam masa lampau. Aku teringat nasib Tess.ii

Dan hari-hari berlalu dengan keterasingan, Dewi di sana dan aku di sini. Walau sesekali kami bersatu, jiwa kami masih terpisah. Aku tak akan mencoba lagi dengan perempuan lain sebab paham bahwa Fred adalah sebuah kecelakaan percintaan, yang tak sepenuhnya dia kehendaki, walau masih bisa dia nikmati.

Oh, begitu. Apakah ini rahasia itu? Atau hanya kisah sehari-hari? Katanya, perkawinan tiga empat tahun jamak dihempas badai, tetapi bukan badai yang memukul perasaanku, tetapi tembok pemisah yang ingin kuhancurkan, namun tak mampu aku melakukannya. Katanya, kita harus membiarkan tembok itu tetap berdiri, sekadar sebagai pembatas antara dia dan aku, yang walau bisa sangat dekat, namun tetap ada sekat.***

Singaraja, 19 Desember 2006.

Catatan Kaki
i Dari sajak Sitor Situmorang
ii Tess of D'Uberville, novel karya Thomas Hardy. Dalam kisah itu, tunangan Tess membeberkan perselingkuhannya dengan seorang wanita. Tess merasa adil untuk menceritakan nasibnya diperkosa paman jauhnya dan ketika hal itu terjadi, tunangannya lari ke Eropa, meninggalkannnya menjadi istri simpanan Tuan D'Uberville.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar