Kamis, 26 Januari 2012

Jeritan Serigala dari Gunung Cerpen: Irfan Zamzami


Suara Merdeka
Minggu, 11 Mei 2008

Jeritan Serigala dari Gunung
Cerpen: Irfan Zamzami

AKHIR DESEMBER. Akhirnya ia pun menempuh perjalanan itu. Ia selalu bisa merasakan aroma penghabisan pada Desember. Seperti matahari yang ia rasakan letih pada Jumat, dan terik ketika Senin: alam seolah memiliki laku yang identik dengan ruas-ruas waktu yang dianggit manusia. Ataukah sebaliknya: saat manusia tidur ketika malam, dan terjaga ketika siang, manusialah yang mengikuti pergerakan alam. Adapun pada perjalanan itu ia hendak melawannya. Kalau pun mendadak malam turun, dan badai menderu melebihi kekuatan wajarnya, ia akan tetap menempuhnya.
Tetapi begitu ia memulai perjalanan itu, tiba-tiba ia tersadar betapa peta dan tapal batas tak pernah memberi tahu dirinya sejauh apa jarak yang akan ia tempuh. Geografi dan fisika menyebut kilometer, mil, dan segala pengukuran, meskipun kejauhan tidak bisa diukur dengan angka. Betapa dekat Jawa dengan Belanda ketika telah ditegaskan rempah-rempah dan kemenangan harus dibawa pulang bersama kapal-kapal. Dan betapa jauh dan tak terjangkau seberang jalan bagi nenek yang telah renta. Barangkali angka selamanya tak pernah memberikan kebenaran.
Barangkali kebenaran selamanya tidak pernah ada.
Ketika ia berpamit, “Aku hendak menempuh perjalanan pulang,” kawan-kawannya tak bisa menahan heran. Sebelum itu ia tak pernah menyebut kata “pulang”. Bahkan tak seorang pun tahu ia punya tempat pulang.
***
NAMANYA PARWANTI. Pada umur sepuluh, ia telah disetubuhi oleh seorang lelaki pada sebuah malam celaka yang tak hendak ia lupakan.
Di Sawangan, tanah kelahirannya yang teduh di kaki Merapi, bapaknya
dari orang-orang di sekelilingnya bilang ia adalah perempuan. Padahal kala itu ia hanya mengenal orang dalam satu wujud. Tidak ada laki-laki. Tidak ada perempuan. Segalanya hanya serbakebetulan. Kebetulan bapaknya laki-laki, dan kebetulan ibunya, yang telah meninggal saat melahirkan dirinya, adalah perempuan.
Bapaknya selalu berkata, “Kamu anak perempuan, pakailah rok.”
Parwanti tertawa, “Pak, aku hanya kebetulan perempuan. Tetapi aku tak membutuhkan rok.”
Ia juga sudah mengetahui kemaluannya berbeda dari temannya yang laki-laki. Jika hanya itu yang membedakan, kenapakah ia harus menerima sebuah kebetulan terlahir sebagai perempuan dan menuruti apa pun yang diinginkan orang pada dirinya.
Maka ia ingin orang tahu betapa kemaluan tak akan membedakan dirinya dari teman-temannya yang laki-laki. Parwanti tak pernah bermain bersama teman-teman perempuan pasaran, bongkar pasang, atau congklak. Dia bermain sepak bola di bawah hujan sampai senja membuat anak-anak lain diseret pulang oleh orang tua masing-masing. Parwanti pernah memukuli seorang anak laki-laki hingga babak belur sebab anak itu menghina ibunya yang telah tiada. Pada umur delapan, orang-orang kampung nyaris lupa bahwa Parwanti memang perempuan.
Sampai suatu malam yang tak dipahami seorang pun tiba.
Malam di tempat terpencil itu selalu turun lebih cepat. Begitu matahari tampak letih dan hendak beradu di ufuk barat, kabut tiba-tiba turun dari gunung. Kadang lembut, terkadang mereka bergumul dan mengempas dedaunan pada pohon-pohon, hingga segala yang terlewati menjadi kebas.
Gelap kemudian tak terhindarkan, bersama suara jeritan serigala yang menggaung dari hutan entah di mana. Orang-orang tahu tak ada lagi populasi serigala di sana. Tetapi suara itu selalu datang pada saat-saat tertentu. Tidak hanya dari bebukitan yang seolah-olah berusaha menggapai puncak Merapi di utara, tetapi juga di selatan dan barat tempat hutan tak mungkin lagi tersisa dan sebuah kota bernama Magelang juga tak mungkin menyembunyikan serigala.
Di desa itu, kata orang, yang gaib dan nyata memang bercampur tanpa bisa saling memisahkan diri.
Pada senja yang dini itu Parwanti terpekur dalam kamarnya yang kecil dan tak berpintu, hanya kelambu bergambar bunga-bunga yang telah usang tergantung di kusen. Radio dengan empat buah baterai ia nyalakan, meskipun suaranya sayup bercampur bersama suara-suara alam yang liar di luar sana.
Tiba-tiba Parwanti merasa mengantuk. Ia bisa mendengar gaung tulang-tulang ketika ia menguap lebar, dan air asin yang merembes di pelupuk matanya. Aku terlalu lama bermain di kali hari ini, pikirnya. Ia keletihan. Tanpa sempat mematikan radio di meja, Parwanti memasrahkan dirinya pada rasa kantuk yang berat.
Tetapi ketika malam benar-benar beranjak malam, Parwanti seolah bisa mendengarkan sebuah suara pada ambang sadar dan tidurnya. Seperti sebuah langkah yang mendekat. Ibu, itukah kau? Dalam ambang separo tidur itu pula Parwanti tersenyum. Ia belum pernah melihat ibunya. Hanya dalam mimpi sosok itu muncul. Mungkin malam ini, mungkin langkah itu, adalah ibunya yang selalu menjenguk dirinya setiap malam.
Ibu...
Suara langkah mendekat kini telah berganti dengan suara derit dipan kayu yang mulai rapuh. Lalu hening. Hanya suara jangkrik, atau gangsir, yang tak henti menjerit-jerit di luar. Parwanti tiba-tiba merasa seperti ketindihan: keadaan ketika indera seolah bekerja dalam kesadaran, tetapi otak tak mampu memerintahkan saraf untuk menggerakkan segala anggota tubuh.
Ibu...kaukah yang datang?
Kemudian, suara itu berubah menjadi sentuhan. Ia merasakan ada tangan yang memegang lengan kirinya. Basah. Dingin. Memaksa tubuhnya untuk terlentang. Tangan itu kekar.
Bukan! Itu bukan Ibu!
Seperti ada alarm yang berbunyi di kepala Parwanti. Tetapi kebekuan itu terlalu ganjil sebab ia tak mampu melakukan apa pun meskipun pikirannya bisa separo sadar dan berpikir. Matanya ingin mencari sosok yang menyentuh dirinya. Hanya langit-langit. Hanya sebuah bayangan hitam di dinding yang bergoyang seiring pergerakan api dari pelita. Wahai, aku ingin melihat tetapi tak kuasa, aku seperti melihat tetapi terpejam, apa yang terjadi? Mulutnya terbuka seolah bicara, tetapi gaung suara hanya bisa ia dengar di kepalanya.
Dari kejauhan, jeritan serigala menggaung dari arah-arah yang tak pasti, seolah menjadi sebuah tanda sesuatu yang tak semestinya bermula:
Tangan itu menggerayangi setiap lekuk tubuh Parwanti dalam irama yang teratur, sementara mata Parwanti terus terpejam. Pada setiap jengkal yang berhasil dijamah tangan itu, Parwanti selalu mengerahkan segala tenaganya untuk meronta. Tetapi ia masih terjebak ketindihan, keberadaan antara alam sadar dan mimpi yang liar, yang mengerikan.
Setelah usaha perlawanan yang sia-sia, Parwanti akhirnya pasrah. Menyerah. Dan air matanya pun tumpah tanpa suara. Sementara ia sudah tak sanggup membayangkan dan mengingat apa yang telah dilakukan sosok tak dikenal itu pada tubuhnya.
Mimpi? Di manakah batas antara yang mimpi dan yang nyata? Seperti sebuah cerita yang ia ingat. Bandung Bondowoso akhirnya gagal membuatkan seribu candi dalam semalam untuk cintanya, Roro Jonggrang, sebab ia mendengar suara lesung para perempuan petani. Tetapi itukah batas antara malam dan pagi? Kenapa bukan merah fajar? Kenapa bukan ayam jantan yang berkokok? Akhirnya ia tahu, tidak ada tapal yang mampu membatasi segala dengan absolut. Bahkan tak ada batas antara mimpi dan kenyataan.
Dan inilah yang terjadi ketika Parwanti pada esok harinya mendengar suara-suara pagi yang mulai riuh:
Sementara pada kesadaran semu yang bertanya-tanya di manakah batas antara mimpi dan kenyataan, ia begitu heran dengan mimpi yang ia dapat semalam. Matanya memandang langit-langit sembari mendengarkan suara yang menggaung di ingatannya, seorang guru agama pernah berkata bahwa seseorang akan melewati sebuah malam yang membatasi kedewasaan, akil baligh, dengan sebuah mimpi. Tak seorang pun bisa menjelaskan padanya apa mimpi itu. Mungkinkah, Parwanti bertanya-tanya dengan pipi yang memerah, seperti mimpi yang ia alami semalam?
Tetapi begitu ia mencoba bangkit, Parwanti nyaris tak bisa menahan sebuah pekik. Ia melihat percikan darah mengering pada selimutnya yang putih. Parwanti tahu ia tak semestinya mendapat haid. Lalu nyeri pada persendiannya seolah menjelaskan bagian lain dari kenyataan ganjil itu. Kemudian rasa basah dan lembab di dada dan seprei yang tak ia kenal. Aroma basa.
Sebelum ia sanggup membendung ingatannya tentang mimpi semalam, yang barangkali nyata, Parwanti menjerit sekuat tenaga.
Bapaknya lari tergopoh-gopoh ke kamar, “Nduk... nduk... Apa yang terjadi padamu?”
***
AKHIRNYA IA MENEMPUH PERJALANAN ITU
Sebab sejak malam yang menyiksa seluruh sisa hidupnya itu, Parwanti menyadari bahwa hidup adalah sebuah perjalanan. Perjalanan-penempuhan dua batas antara awal dan akhir. Perjalanan-pengakuan pada peta dan tapal batas.
Hidup bukan lagi serba kebetulan yang menyenangkan. Dan sejak itu pun ia tahu lelaki dan perempuan memang berbeda: lelaki menyerang, perempuan menjadi korban. Selamanya begitu.
Tetapi yang paling mengerikan dari pengakuan atas batas dan sejarah adalah ingatan yang terkumpul. Dan inilah jadinya: dendam. Parwanti pun bersumpah, siapa pun lelaki yang melecehkannya malam itu, jika kelak akhirnya ia mengetahui, ia akan menuntut balas. Tak banyak, hanya nyawa. Ia tak pernah ragu soal itu.
Maka pada subuh berkabut itu Parwanti meninggalkan tanah tempat ia melarikan dirinya dari masa lalu: Solo. Sebuah tempat tujuan yang dulunya ia katakan ketika pamit pada bapak, bahwa ia akan kuliah di sana, dan jangan menungguku, Pak. Aku tak hendak pulang. Aku tak hendak kembali. Sebab aku sudah tak berani lagi melihat yang tersisa dari masa lalu.
Tetapi kini Parwanti kembali, seperti yang ia pamitkan pada kawan-kawannya, aku hendak menempuh perjalanan pulang. Meski ada yang tak ia sebutkan —aku hendak menuntut balas atas kepahitan masa lalu yang kucecap.
Ia mengenderai sepeda motor dalam kecepatan tinggi, dan merasakan jalananan mulai menanjak ketika akan sampai Boyolali. Di kota yang sejuk dan bersih itu ia berbelok di sebuah pertigaan besar ke sebuah jalan yang sejauh matanya memandang dipenuhi dengan bendera-bendera berwarna hijau.
Apakah bendera, selain sebuah pengukuhan akan pengakuan bahwa diri adalah yang terkuat? Seperti pada perang perang masa lalu. Sebuah keangkuhan.
Keangkuhan. Seperti lelaki yang melecehkannya malam itu. Lelaki yang hendak ia bunuh hari ini.
Kemudian jalanan benar-benar menanjak setahap demi setahap seperti tangga ketika ia telah melewati sebuah gerbang besar. Kata tulisan di gerbang itu: Anda memasuki Kawasan Wisata Selo.
Astaga! Apakah gunanya tulisan, sebuah teks, simbol sejarah dan peradaban, ketika ia telah lepas dari konteksnya. Aku tak hendak berwisata. Aku hendak membunuh seseorang!
Tak lama kemudian, jalanan telah berubah menjadi hanya tanjakan dan curaman. Tempat ia bisa sesekali melirik hamparan sawah yang dicacah dengan terasiring, seperti kue ulang tahun yang tak kongruen, dan juga jurang-jurang yang terkadang tak menunjukkan dasar: hanya kabut yang menebal.
Mesin sepeda motornya meraung-raung, meronta oleh jalanan yang hanya menanjak dan kebanyakan melingkar. Dalam konsentrasi itu hanya sesekali ia melirik tulisan: Awas, daerah rawan longsor. Lalu ia sedikit melirik, dan di tebing-tebing yang tinggi ia lihat tanah merah yang mulus tanpa sedikit pun vegetasi. Tanah dan bebatuan di atas sana seperti telah siap menimpa dirinya. Dari kejauhan, Merapi diselimuti asap putih. Entah kabut entah material. Semula ia saksikan puncak itu di sebelah barat, lalu, lama kelamaan, melalui tanjakan-tanjakan yang nyaris mustahil, gunung itu berubah posisi menjadi di sebelah selatan. Itu berarti tak lama kemudian ia akan sampai di Ketep.
Di gardu pandang itu, tempat Merapi tampak keteguhan dan kewibawaannya, Parwanti berhenti. Ia tiba-tiba seperti tak siap, seperti ada yang menahan niatnya untuk melanjutkan selangkah lagi menuju jalanan menurun seterusnya hingga sampai ke desa kelahirannya. Di Ketep, tempat tanjakan akan berubah menjadi turunan, ia seperti menemukan klimaks yang menyesakkan.
Tetapi tiba-tiba ia mendengar suara itu: jeritan serigala.
Jeritan serigala yang sama dengan yang ia dengar ketika ia menumpahkan air mata tanpa suara dalam rengkuhan lelaki yang kini hendak ia bunuh. Mendadak Parwanti merasakan sarafnya menegang. Ada amarah yang tiba-tiba merasuk dalam dirinya, dan mendorongnya untuk melanjutkan kembali perjalanan itu. Tinggal selangkah. Ia merasakan jalan menurun. Ia merasakan tak ada rintangan.
Dari jauh, ia seperti mendengar suara jeritan serigala bersahutan. Seolah-olah mereka telah tahu apa yang akan terjadi. Parwanti hendak membunuh bapaknya. ***
Catatan:
Cerpen ini memenangi Juara I lomba cerpen yang diselenggarakan oleh Language Central UNS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar