Rabu, 25 Januari 2012

Dalam Rindu Cerpen: Hembang Tambun


Suara Pembaruan
Minggu, 24 Juni 2007

Dalam Rindu
Cerpen: Hembang Tambun

Aku benci rumah sakit. Tempat itu begitu dekat dengan kematian. Aku benci bau obat. Aromanya sangat tidak nyaman di hidungku. Aku benci dokter dan perawat. Mereka bisanya hanya menakut-nakutiku dengan jarum suntik yang membuatku bermimpi buruk sewaktu kecil. Tetapi sejak beberapa tahun terakhir ini, aku harus belajar mengakrab-akrabkan diri dengan mereka semua. Belajar membetah-betahkan diri, bahkan menginap di ruang putihnya saat harus berjaga sepanjang malam. Belajar menahan muntah, meski bau obat itu masih terasa menusuk-nusuk. Belajar tersenyum pada dokter dan perawat, karena sekalipun mereka identik dengan jarum suntik, aku tahu itu bukan untukku.

Dan sekarang, lagi-lagi rumah sakit ini berhasil memenjarakanku. Duduk di salah satu ruang sempitnya, menatap dalam-dalam pada wajah letih seorang perempuan tua yang sedang terbaring di salah satu bangsalnya. Wajah itu berkerut-kerut, seolah hendak mengukir jalan-jalan yang sudah ditapakinya sepanjang hayatnya yang melelahkan. Rongga matanya cekung, menciptakan dua lobang hitam di wajah tirusnya. Irama nafasnya mulai teratur. Dadanya bergerak naik turun dengan nada yang sama. Aku mengawasinya dengan hati penuh haru.

Malam ini barulah ia bisa sedikit tenang setelah minum obat yang diberi dokter. Sepanjang dua malam, sejak ia diopname di sini, ia tak pernah setenang ini. Selalu mengerang dan mengaduh kesakitan. Ia tak selera menyantap apapun. Pun sekadar mencicipinya. Kalaupun dengan setengah terpaksa ia mau karena bujukanku yang mengiba, maka dalam sekejap ia langsung memuntahkan makanan itu. Lalu hanya wajah pucatnya yang tersisa. Aku pun hanya bisa menangis tertahan sambil menenangkannya. Akhirnya ia hanya bisa bergantung pada obat-obatan dari selang infus di pergelangan tangannya sebagai sumber penguat tubuhnya, serta dari beberapa suntikan yang sangat menyiksanya.

"Tii...goor...!!!" suara paraunya terdengar seperti igauan. Lalu menceracau tidak jelas. Kemudian ia memiringkan kepalanya seolah hendak mencari posisi tidur yang pas.

"Aku di sini, Inong! Aku ada di sini!" kataku berbisik di telinganya, sambil menggenggam erat tangannya. Telapak tangannya yang kasar begitu kaku. Dingin. Kubetulkan selimut yang menutupi badannya. Kuelus keningnya perlahan sambil merapikan beberapa helai anak rambutnya yang menjuntai. Kukatupkan bibir dan kupejamkan mata menahan butir air yang sudah menggenang di pelupuk. Kalau tidak, butiran itu akan jatuh tepat di wajah ibu dan malah akan membangunkannya.

Kembali kuterdiam. Hening. Aku hanya bisa terduduk di samping bangsal ibu di kamar putih ini, memandangi wajahnya sepuasnya tanpa henti, sambil mengucap doa-doa untuk kesembuhannya. Ia benar-benar tak berdaya. Seperti seorang pecundang yang dikalahkan oleh kerasnya hidup, seletih wajah pasukan yang terpukul mundur dari medan perang yang tak terhindarkan.

"Inong...!" aku bergumam perlahan sembari membayangkan betapa ia juga dulu sering menatapku seperti ini, saat aku juga sama sekali tak berdaya di tahun-tahun pertamaku menyapa kehidupan. Ia sering memandangiku sampai terlelap, mengucap doa-doa, menguntai satu harap akan masa depan yang lebih baik untukku.

Dulu, ibuku seorang yang kuat. Perkasa. Ia pekerja keras yang tak kenal letih, seperti kebanyakan petani di kampung kami. Dunianya pun tak lebih dari sawah dan ladang belaka. Kerja dan kerja, hanya itu yang ada dalam kamusnya. Ia sudah berada di sawah mendahului matahari di waktu pagi, seolah ia hendak membangunkan fajar, dan ia baru tiba di rumah, setelah matahari jatuh di peraduannya. Yang dipikirkannya hanyalah bagaimana memperoleh hasil panen yang lebih banyak, karena setiap bulan, anaknya yang kuliah di kota provinsi akan menagih jatah bulanannya. Belum lagi anak-anaknya yang masih ada di sekolah lanjutan, yang sebentar lagi juga akan membutuhkan biaya yang semakin besar. Makanya jangan heran bila sepulang dari sawah, pertanyaan pertama yang akan terdengar adalah, "Kau sudah kasih makan pinahan kita?" Bukan pertanyaan, "Kau sudah mandi, Nak?" Atau, "Bagaimana pelajaran sekolahmu?"

Namun, sekalipun semua perhatian sentimentil seperti itu tidak akan pernah terdengar dari bibirnya, aku tahu hatinya penuh dengan semangat memperjuangkan anak-anaknya. Entah siapa yang berhasil menanamkan prinsip anakhonhi do hamoraon di ahu ke dalam pikirannya, juga bagi mayoritas suku kami. Sepertinya prinsip itu sudah menjadi bagian yang melekat dengan detak jantungnya, bagian dari nafasnya. Hingga dengan seluruh daya ia berjuang tanpa henti. Dan, mungkin baginya, waktu dua puluh empat jam sehari itu seolah tidak pernah cukup untuk membaktikan dirinya bagi anak-anaknya.

Dan beban itu semakin berat saja dipikulnya ketika di suatu malam yang naas, sepulang menghadiri upacara adat, mobil yang membawa ayah mengalami kecelakaan yang memaksanya untuk beristirahat total di rumah untuk selamanya. Tak ada lagi yang membantunya sejak saat itu. Ia harus benar-benar bisa mengandalkan dirinya sendiri. Apalagi ayah cuma sanggup bertahan hidup hampir setahun, setelah dua petak sawah tergadai untuk menutupi biaya pengobatannya.

Maka semakin rentalah ia. Semakin keraslah ia membanting tulang dengan harapan anak-anaknya tidak akan semenderita dirinya kelak. Sungguh suatu harapan mulia yang diidamkan semua orang tua.

"Tiii...goor...!!!" igauan ibu terdengar lagi.

"Inong, aku di sini!" bisikku lagi sambil mengelap sebutir keringat yang mengalir di keningnya. Kubelai pipinya dengan punggung tanganku.

"Tiii...goor...!!!"

"Inong, anakmu ada di sini!" desisku lagi dengan perlahan. Hatiku terenyuh melihat bibirnya yang komat kamit menyebut nama anak terkasihnya, seperti melafazkan tabas dari alam bawah sadarnya.

*

Dulu, ibuku telah berjuang antara hidup dan mati sebanyak sebelas kali untuk melahirkan kami ke dunia ini. Ya, sebelas kali! Kami sebelas bersaudara, hanya saja tiga orang meninggal sewaktu masih bayi, karena tidak tersedianya sarana pertolongan kesehatan yang memadai di desa kami yang terpencil. Belasan orang bersaudara adalah jumlah yang sangat-sangat biasa bagi generasi saat itu. Sampai-sampai pemerintah menggalakkan Program KB (Keluarga Berencana) hingga ke pelosok-pelosok dengan motto: dua anak cukup, laki-laki perempuan sama saja! untuk meredam melonjaknya angka kelahiran. Sungguh suatu slogan yang membuat ibu-ibu yang sudah terlanjur beranak banyak menjadi minder.

Namun sejujurnya bukan program itu yang menghambat angka kelahiran di desaku. Umumnya ibu-ibu memutuskan untuk tidak mempunyai anak lagi saat anak siakkangan-nya sudah menikah. Karena bila cucunya berusia lebih tua dari anaknya sendiri, akan menjadi prestasi yang agak memalukan, dan sering menjadi bahan olokan di masyarakat. Persis dengan yang terjadi denganku. Ibuku mengandungku saat kakakku yang paling tua sedang mengandung anak sulungnya.

"Tii...goor...!!!"

Sekali lagi, dengan perlahan aku mengusap kening ibu sambil membisikkan jawaban lembut di telinganya. Keningnya masih terasa dingin. Betapa ibanya aku menatapnya dalam kondisi seperti ini. Sedalam apakah kerinduanmu terhadap anak-anakmu, Ibu?

Semenjak aku membawa ibu ke rumah sakit ini, aku sudah segera menghubungi kakak yang tinggal di Jakarta maupun Surabaya untuk mengabari kondisi ibu. Tetapi mereka cuma bilang, "Segera kabari kami kalau kondisinya semakin kritis!" Itupun hanya melalui pesan singkat SMS. Mereka semua sama saja!

Aku mendongkol dengan ketakperdulian mereka. Mentang-mentang mereka sudah pada sibuk dengan urusan keluarga mereka masing-masing, mereka mengacuhkan ibu yang sepertinya cuma menjadi pelengkap penderita, bahkan kadang-kadang jadi beban yang memberati mereka. Ataukah mereka telah memposisikan ibu - yang tak bisa lagi berbuat apa-apa itu - sebagai benalu? Parasit? Ah...! Andai mereka tahu tak henti-hentinya ibu memikirkan mereka....

"Mii...numm...! Ha...uss...!" desis ibu lemah.

Kusodorkan sesendok air putih ke bibir keringnya. Tapi membuka mulutnya saja pun sudah membutuhkan satu usaha cukup keras darinya. Kucelupkan dua jariku ke segelas air putih dan membasahi bibirnya.

Sekarang semuanya serba terbalik. Di tengah segala kesibukannya, dulu, ialah yang dengan penuh sabar memberiku minum tanpa mengeluh. Ialah yang mamemei aku. Ialah yang menunggui aku sampai terlelap. Ia pulalah yang mengajari aku dengan kata pertamaku, mengenalkanku pada segala sesuatu serta menjelaskan kegunaan segala benda yang masih asing bagiku, walaupun terkadang aku dengan teganya malah membalas dengan bentakan kasar saat ia berulangkali bertanya bagaimana memakai sebuah benda produksi abad ke-21.

"Tii...goor...!!!"

Suara ibu terdengar tertahan bersamaan dengan sebuah getar hand-phone di saku celanaku. Aku menenangkan ibu dengan sebuah usapan di keningnya sambil tangan kiriku berusaha merogoh HP (hand phone). Ternyata sebuah SMS dari kakak nomor lima yang tinggal di Makassar bersama suaminya. Lagi-lagi cuma bilang agar aku segera mengabari mereka bila kondisi ibu makin memburuk. Ah, ibu. Apakah hanya kabar kematianmu saja yang ingin mereka dengarkan saat ini? Terlalu merepotkankah seorang ibu yang tergolek tak berdaya di masa tuanya bagi mereka yang pernah bergelung nyaman di dalam rahimnya?

Dasar anak-anak durhaka, geramku. Hatiku bergolak dengan sikap mereka yang tak memikirkan ibu yang sedang sekarat di depanku saat ini. Layakkah perlakuan sedemikian dituainya setelah sepanjang usia ia menabur berjuta asa? Belum cukupkah kisah Si Mardan atau Malin Kundang menjadi pelajaran berharga bagi anak-anak yang melupakan budi baik orang tua? Perlukah ditulis cerita baru tentang kedurhakaan para durjana yang berlaku bagai kacang lupa kulitnya?

"Tiii...goor...!!!"

Kutatap lagi wajah letih ibu. Kuelus dahi keriputnya. Ada sejumput bahagia yang tersamar bertunas di hatiku karena bisa menemaninya melewati malam-malam sunyi yang gulita dan menenangkan gundahnya. Andai ada hal besar yang bisa kulakukan untuk kesembuhannya....

Kugenggam tangan kanan ibu dengan kedua tanganku dan kutundukkan kepalaku. Kupejamkan mataku, memanjatkan doa untuk kepulihannya. Sukmaku melayang menembus langit-langit, mengadu pada satu kekuatan mahadahsyat yang menurutku mampu mengatasi semua masalahku, juga ibuku. Lalu semuanya senyap. Hanya hening meraja. Dan rasa kantuk tiba-tiba menyergapku dari segala arah, mengatupkan kedua mataku seolah ditindih pemberat yang tak mampu kusingkirkan.

*

Aku terjaga saat tangan ibu ditarik dengan sedikit menyentak, mengejutkanku. Entah sudah berapa lama aku tertidur sambil menggenggam tangannya. Lalu kulihat wajahnya yang berbinar menatapku dengan kerinduan yang seolah terpuaskan. Tangannya gementar memegangi rambut pendekku. Berusaha ditegakkannya kepalaku agar ia bisa melihat wajahku lebih jelas. Sepertinya ia ingin mengucapkan sesuatu. Kudekatkan wajahku ke arahnya. Kubimbing tangannya membelai wajahku, dan kudekap dia dengan penuh kasih sayang.

"Oh... Tii...goor! Ooh...! Akhirnya kau pulang juga...!" katanya terbata-bata sambil mengencangkan pelukannya dan menciumi wajahku. Suaranya terdengar serak, seolah hanya desis yang dipaksakan bergema di telingaku.

Dan aku balas memeluknya. Air mataku meruah dalam dekapannya.

Padahal aku bukan Tigor, satu-satunya anak lelaki di keluarga kami yang sudah puluhan tahun tak pernah pulang tanpa kabar, sejak meninggalkan kuliahnya begitu saja. Kabar angin yang bergaung mengatakan ia kawin dengan seorang gadis Banjar dan tinggal di Kalimantan sana. Anak yang tak punya rasa rindu itu seperti menguap begitu saja, hilang tanpa bekas, menghadiahkan nestapa bagi ibu sebagai balas jasanya.

Aku adalah Tiur, boru siampudan yang namanya tak pernah ibu sebut dalam rindunya....***

Tanah Deli, 02 Februari 2007, 23:09:47/ 02 Juni 2007

Catatan:

Inong : ibu
Pinahan : hewan ternak (khususnya babi)
Anakhonhi do hamoraon di ahu:
anakku itulah harta/kekayaan bagiku
Tabas : mantra
Siakkangan : anak sulung
Mamemei : memberi makanan yang telah terlebih dahulu dihaluskan di dalam mulut
Boru siampudan : putri bungsu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar