Kamis, 26 Januari 2012

Kereta Sekar Senja Cerpen: Nahria Medina Marzuki


Batam Pos
Minggu, 24 Juni 2007

Kereta Sekar Senja
Cerpen: Nahria Medina Marzuki

Mereka adalah dua orang perempuan yang tak saling mengenal sebelumnya. Tapi nasib dan cinta kepada seorang lelaki yang sama membuat mereka bertemu. Bahkan kenyataan bahwa mereka telah sekian lama berbagi suami tanpa mereka sadari pun tak membuat mereka saling bunuh. Biar pun di dunia nyata seharusnya mereka sudah bergulat sumo, kenyataannya sekarang kedua perempuan yang sudah tersakiti itu lagi berdua.

Merencanakan sebuah pengakhiran. Pengakhiran atas perasaan mereka selama ini: rasa dikhianati, diduakan, dikucilkan. Tak ada sedikit pun keraguan di benak kedua perempuan itu. Hanya keyakinan dan kekuatan yang tak perlu dikatakan, tapi mereka sudah mengerti. Mereka perlu memiliki satu hati, hati mereka sendiri tanpa perlu memiliki perasaan takut tidak dapat memiliki orang yang mereka cintai. Jadi, satu-satunya jalan mereka harus membunuh orang yang memulai semua kebohongan itu. Memotong akar permasalahan mereka.
***

Perempuan dengan rambut sebahu menaiki tangga kereta senja sore itu. Syalnya yang berwarna biru melambai-lambai menyelimuti lehernya yang jenjang. Tak banyak bawaan yang ia bawa, hanya 1 buah koper kecil hitam. Tapi selain itu, ia membawa keyakinannya sendiri. Fakta yang tak diketahui oleh orang lain.

Sekar, nama perempuan itu, kini memasuki sebuah gerbong di sudut kereta. Begitu ia masuk, langsung mengunci pintu gerbongnya dan tak lupa ia tutup tirainya sehingga tak satu pun orang yang dapat melihat ke dalam. Ia mengeluarkan sebuah pigura dari dalam kopernya. Bila ada yang melihat wajah Sekar sekarang, akan sulit mereka menebak makna rautan wajahnya.
Sekar tersenyum...
“Tak lama lagi.”

Malam mulai menggayuti bumi dan kereta pun masih melaju. Ketika jarum jam berdetak pada angka 10, pintu gerbong di sudut kereta itu diketuk tiga kali seakan mengerti dengan kode yang telah disepakati maka pintu terbuka. Dan si pengetuk pintu masuk ke dalam. Kembali, gerbong di sudut kereta itu senyap.
“Aku telah datang sesuai janjiku,” lelaki itu berkata sembari memeluk Sekar.
“Iya, aku tahu. Apakah untuk selamanya?” Sekar bertanya pilu.

“Tak ada selamanya di dunia ini. Selamanya hanyalah sebuah kata, Sekar.”
“Mauku bukan hanya kata, aku ingin kepastian. Aku atau Senja.”
Kereta masih melaju. Menembus kelamnya malam.
“Hanya kematian yang akan membawa kita terus bersama, bukan?”
“Kau membuat aku takut, Sekar.” Hatinya bergemuruh kencang, sekencang kereta yang ia tumpangi. Lelaki itu memalingkan wajahnya ke jendela. Aneh, padahal tak ada yang dapat dilihat di luar jendela itu. Hanya gulita, gelap.

“Tapi itu kan yang membuatmu tergila padaku, dan membuatmu meninggalkan Senja. Saat kau mencumbuku, apakah kau membayangkan istrimu?”
Diingatkan akan Senja, istrinya, lelaki itu mengeluarkan suara seperti orang mengeluh. Seperti sesal yang ia pikul sepanjang hidupnya. Ia tak mengira semuanya akan berakhir seperti ini. Pertemuannya dengan Sekar membuatnya sejenak melupakan Senja, yang dulu ia kira adalah belahan jiwanya.
“Senja membuatku nyaman, kau membuatku hidup.”
Sekar tertawa, seram..karena tawanya memecah keheningan malam yang telah merambat menuju jam 12.

“Kau egois! Kau tak bisa memilih, aku atau Senja.”
Lelaki itu beranjak mendekati Sekar, seorang perempuan yang membenci dirinya. Harus mendengarkan gejolak batinnya sendiri, antara meninggalkan seseorang yang telah menjadi samudra hatinya “atau” meninggalkannya karena ia tak ingin menjadi perempuan perusak mahligai pernikahan perempuan lain.
“Kenapa kau membawa pigura fotoku, seperti orang mati saja,” dengus lelaki itu tak senang, ingin mengubah arah pembicaraan.

“Mungkin karena aku ingin kau mati saja.”
“Jangan bercanda Sekar. Aku belum ingin mati.”
“Kenapa? Apa kau masih ingin menikmati cinta dua orang perempuan?” Sekar marah, amarah yang ia tahan sejak ia tahu samudra hatinya telah melabuhkan hatinya di perempuan lain juga. Tapi pelukan lelaki itu tak juga ia lepaskan, ia tak ingin melepaskannya. Lucu bahwa cinta dapat membuat kita begitu mencintai sekaligus membenci seseorang.
***

Tok..Tok..Tok. Pintu gerbong kembali ada yang mengetuk. Ada sekilas senyum di bibir Sekar, senyum yang tak dilihat oleh lelaki yang berada di gerbongnya. Ia segera membuka pintu gerbongnya. Seolah ia telah melupakan kehadiran lelakinya. Lelaki yang kini tampak terkejut.
“Senja!” Seru lelaki itu. Kaget, panik, takut. Dalam mimpi pun ia tak berani membayangkan gambaran yang terpampang di hadapannya seperti sekarang ini. Mimpi buruk semua lelaki yang berselingkuh: saat istri dan wanita selingkuhannya berada dalam satu ruang. Lebih mengerikan lagi karena ia si lelaki itu, hadir di antara mereka.

“Waktunya telah tiba Sekar,” perempuan yang dipanggil Senja itu berbicara dengan tenang dan nada membujuk, tak mengindahkan panggilan lelaki itu.
Sekar tersenyum dan mengambil sebilah pisau yang ia sembunyikan di bawah bantal. Saatnya merealisasikan rencananya yang telah sempat ia kubur beberapa bulan sebelumnya. Yah, ia sempat ragu. Tapi pertemuannya dengan Senja membuatnya merasa lebih yakin dengan apa yang akan ia lakukan detik ini.

“Apa maksudnya Sekar? Senja, ada apa ini? Kenapa kau bisa ada di sini?”
“Lelaki egois!
Kini kau tak bisa lagi hidup!”
Jam berdentang dua kali, pagi telah menjelang. Kereta pun sudah sampai di stasiun. Entah di kota apa. Baik Sekar maupun Senja tak peduli. Kini mereka telah bebas dari lelaki yang membuat mereka hidup dan nyaman.

***
Dua perempuan turun dari kereta pagi itu. Tersenyum kepada petugas peron yang menanti di stasiun. Puluhan orang yang turun naik kereta itu tak ada yang memperhatikan bahwa kedua perempuan yang baru turun itu saling mengenggam tangan mereka, ingin saling memberikan kekuatan karena mereka telah menghabisi kekuatan mereka yang dulu. Memulai hidup baru di kota yang mereka tentukan berdasarkan lemparan koin. Tak peduli apapun.
“Terimakasih Sekar.”

Sekar tersenyum. Ringan, hatinya menjadi ringan. Beban berat yang dulu menindih hatinya kini telah terangkat. Ia menang, kebenaran yang tak perlu diketahui oleh siapa pun. Termasuk Senja.
Ia bahagia mengetahui kenyataan bahwa samudra hatinya telah memilihnya. Tapi bahagia lebih merasukinya karena ia telah mendahulukan darah dagingnya daripada lelaki yang ia cintai.
Senja adalah adiknya, tak ada yang mengetahui ini. Termasuk lelaki yang sama-sama mereka cintai. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar