Kamis, 26 Januari 2012

Kenangan Sepanjang Jalan Cerpen: Dodiek Adyttya Dwiwanto


Suara Pembaruan
Minggu, 27 Januari 2008

Kenangan Sepanjang Jalan
Cerpen: Dodiek Adyttya Dwiwanto

Dingin menusuk tulang. Hawa dingin malam menyelinap diam-diam, meski Citra telah memakai jaket cukup tebal. Ia makin merapatkan jaket. Sesuatu hal yang sia-sia karena dingin tetap saja menusuk. Citra melirik jam tangannya. Wah, ternyata sudah pukul 02.00. Malam semakin beranjak larut dan kini pagi telah menjelang. Waktu yang baik untuk tidur, tapi Citra masih harus ada di kantor.

Citra melangkah menuju parkiran mobil. Betapa melelahkan hari ini. Selama sehari penuh mulai dari pukul 09.00 hingga pukul 01.00 dini hari ia harus memberikan supervisi kepada editor dan tim kreatif. Sudah menjadi tanggungjawabnya sebagai asisten sutradara merangkap produser untuk melakukan semua itu.

Bip-bip.

Alarm mobil berbunyi dengan kencang. Tidak ada lagi orang di parkiran yang sunyi ini. Hanya ada sederetan mobil yang terparkir rapi. Ada mobil milik kantor dan beberapa lainnya milik rekan yang lain. Di pojok dekat gudang, beberapa sepeda motor berjajar dengan manis. Beberapa lampu bersinar cukup terang kecuali sebuah lampu dekat studio dan dapur yang agak redup. Lumayan terang, ditambah lagi dengan rembulan dan gemintang bersinar di atas sana.

Sebuah tas punggung ukuran sedang, tas tangan, dan juga tas berisi laptop, ia letakkan di bangku belakang mobil SUV-nya. Citra menghela napas sejenak. Gila juga kalau setiap hari harus begini, tapi ia terlanjur menikmatinya.

Mobil distarter. Citra memasukkan gigi mundur. Mobil mundur dan kemudian berjalan maju perlahan meninggalkan areal parkir.

Tin-tin-tin.

Klakson dibunyikan agar satpam yang tertidur di posnya bisa terjaga. Satpam terkesiap tetapi dengan sigap ia langsung membukakan pintu untuk Citra.

"Hati-hati, Mbak Citra."

"Terima kasih, Pak."

Mobil keluar kantor. Belok kanan dan berjalan terus dari Soepomo terus hingga ke Sahardjo. Sepanjang jalan masih cukup ramai. Warung-warung tenda pinggir jalan masih akan buka hingga menjelang subuh nanti. Masih ada beberapa orang di dalamnya. Di beberapa pertigaan yang ia lewati, masih ada tukang ojek yang masih menunggu calon penumpang yang mungkin pulang malam. Hmm, mencari sesuap nasi di tengah dinginnya malam.

Ah, warung pinggir jalan di sepanjang Soepomo yang penuh kenangan. Tidak ada yang tidak ia kunjungi mulai dari seafood, pecel ayam, tahu campur hingga nasi goreng bersama Farrel. Hmm, kok nama itu lagi yang muncul? Memang nama itu yang telah memberikan banyak kenangan dibandingkan lelaki yang lain. Sejak beberapa tahun Citra memang ikut dalam milis pecinta makanan dan ia banyak tahu kalau sepanjang Soepomo banyak warung makanan yang patut dicoba. Alhasil, Farrel yang menjadi rekan kerjanya menjadi teman setia dalam mencoba satu persatu menu yang ada. Setiap malam usai bekerja, Citra dan Farrel selalu saja mencicipi makanan yang berbeda. Ada petualangan baru yang dirasakan Citra.

Mobil yang dikemudikan Citra terus melaju di Soepomo yang sepi. Di depan lampu merah. Hanya ada tiga mobil yang berhenti. Lampu hijau menyala lagi. Mobil melaju dengan pelan memasuki Sahardjo. Di saat seperti ini memang enaknya bersemayam di dalam selimut. Hangat. Tidak perlu bekerja. Tidak harus menyetir sendirian. Tapi kalau ia tidak seperti ini, Citra tidak akan pernah menemukan petualangan mengasyikkan bersama dengan Farrel.

Balai Sudirman telah dilewati dan kini ia menuju Manggarai. Sepanjang jalan inilah yang selalu ia lewati bersama Farrel usai makan dini hari, maklum kalau makan malam sudah pasti jamnya sudah lewat. Tidak terlalu banyak warung tenda di sepanjang Sahardjo. Bahkan, memasuki kawasan Manggarai, suasana makin sepi saja. Terminal Manggarai pun terlihat sunyi, meski ada beberapa orang yang masih terlihat di sana. Beberapa bus masih terlihat. Halte busway kosong. Jalanan sepi. Pasaraya Manggarai tutup. Hanya lampu jalanan yang menyinari Citra menuju rumahnya. Hanya rembulan dan gemintang yang menjadi kawan akrabnya dini hari ini.

Mobil menuju terowongan Manggarai yang beberapa bulan lalu terendam banjir ala Water World itu. Perlahan tapi pasti kini menuju Tambak sebelum berbelok ke arah Proklamasi lantas menuju Matraman. Masih ada beberapa mobil yang berseliweran di pagi ini. Jakarta memang seperti New York, the city that never sleeps.

Ah, betapa tidak enaknya menyetir sendirian di pagi yang sunyi ini. Biasanya ada Farrel yang menemani. Kadang Farrel menyetir, tetapi lebih banyak Citra yang mengemudikan lantaran mobil yang dikendarai memang milik Citra. Farrel malah asyik sebagai navigator. Kadang malah seperti penumpang menyebalkan. Farrel seringkali asyik makan keripik kentang, sementara Citra berkutat dengan setirnya. Farrel tidak jarang asyik mengutak atik tape untuk memutar lagu-lagu jazz kesukaannya, sedangkan Citra harus sibuk memindahkan gigi, menginjak pedal gas, rem, dan kopling bergantian. Benar-benar menyebalkan. Meski begitu Farrel adalah pribadi yang menyenangkan. Ia selalu bercerita apa saja sepanjang perjalanan. Ia seperti pendongeng klasik Hans Christian Andersen.

"Pelan-pelan dong kalau nyetir."

Itulah yang selalu dilontarkan Farrel saat Citra menginjak pedal gas dalam-dalam. Farrel memang rada aneh untuk ukuran laki-laki. Kalau ia menyetir, ia selalu pelan-pelan. Alon alon waton kelakon, katanya. Mungkin terlalu lama di Yogyakarta, ia seperti itu. Seandainya disalip oleh kendaraan lain, Farrel selalu santai, tidak pernah marah atau memaki. Ia selalu berkata, "Orang itu pasti kebelet pipis. Jadi biarkan saja ia duluan. Toh, kita nggak pengen pipis."

Tidak lucu, menyebalkan, tetapi selalu membuat kangen. Itulah Farrel. Itulah sosok lelaki yang telah mencuri hati Citra selain laki-laki bernama Dito dan Aryo.

Mobil terus membelah jalanan Matraman yang sunyi. Tiada busway. Tidak ada metromini yang kebut-kebutan. Tidak ada bus patas yang seruduk sana sini. Minus klakson dari kendaraan yang tidak sabar. Dan tidak ada bajaj yang benar-benar menyebalkan. Yang ada hanyalah jalan yang lengang dan kenangan yang tidak lekang dengan lelaki bernama Farrel. By the way, di mana ya Farrel berada kini? Kok, ia seperti lenyap ditelan bumi?

Mobil berjalan lambat. Citra sengaja melakukannya untuk mengenang kembali perjalanan bersama Farrel. Mengingat kembali kisah petualangan malam bersama Farrel yang aneh dan ajaib itu.

Hampir tiap malam, ia dan Farrel bersama membelah jalan-jalan dari Tebet hingga ke Matraman. Menerjang dinginnya malam berbekal hangatnya hubungan yang tidak jelas ini. Pacaran 'kah? Teman tapi mesra? Selingkuhan? Tempat pelampiasan nafsu? Tidak jelas sama sekali.

Citra menginginkan lebih dari sebuah persahabatan. Farrel tidak ingin melintasi batas.

Mobil berhenti di perempatan Matraman. Lurus menuju Rawamangun, ke kanan ke arah Kampung Melayu sedangkan ke kiri menuju Senen. Ah, di sini dulu Farrel minta turun. Ia melanjutkan perjalanan menuju tempat kost-nya di bilangan Kramat dengan menggunakan ojek, taksi, atau apa saja yang melintas. Tapi belakangan Citra tidak memperkenankannya dan mengantar Farrel hingga di depan rumah. Namun, lama kelamaan Farrel menolak secara halus dan tidak ingin merepotkan Citra.

Dari malam ke malam, dari warung tenda ke warung tenda yang lain, dari satu menu ke menu yang lain, hubungan Citra dan Farrel semakin intim. Suatu hari saat Farrel asyik mendengarkan lagu jazz kesukaannya dan Citra menyetir mobil, Citra langsung mengecup hangat bibir Farrel. Lelaki itu terkejut. Citra tersenyum simpul. Citra membelokkan mobil ke arah sebuah hotel berbintang.

"Lho, kok ke sini?"

"Maukah kamu melakukannya untukku?"

Farrel menggeleng.

Citra meradang.

Farrel menepuk dahinya dan menggelengkan kepala. Ia melangkah keluar meninggalkan Citra seorang diri di tempat parkir hotel.

Maaf, kalau aku berlebihan. Sebuah sms dikirimkan Citra kepada Farrel.

Aku bisa ngerti. Tp tolong aku hanya laki2 biasa. Kali ini aku bs nolak. Ga tau kl lain hari. Sebuah sms balasan dari Farrel.

Sebuah sms dari Farrel masuk lagi ke inbox Citra.

Save your marriage, please.

Citra hanya bisa menangis melihat sebuah sms lagi dari Farrel. Ia menyesal kalau ia telah merusak semua yang indah bersama Farrel.

Beberapa hari Citra tidak bertemu dengan Farrel lantaran laki-laki itu syuting iklan di luar kota. Citra sendiri sibuk dengan memberikan supervisi di studio editing pasca produksi. Tanpa Citra ketahui, Farrel tidak melanjutkan kontraknya dengan perusahaan. Ia memutuskan untuk pindah. Entah ke luar kota, atau ke Bali, atau kerja ke luar negeri tidak ada yang tahu. Atau bisa jadi malah tetap di Jakarta, tetapi entah di mana. Mendatangi rumah kost-nya sudah bersih seperti tiada bekas ada kehidupan di kamar itu. Nomor ponselnya tidak aktif. E-mail tidak pernah di-reply. Semua teman dekat Farrel yang dihubungi Citra melakukan gerakan tutup mulut serentak.

Lampu hijau menyala. Citra menjalankan mobilnya menuju Pramuka. Ah, Farrel di mana sih kamu sekarang?

Tidak ada kata lagi dari Farrel sejak hari itu. Sepertinya Farrel tidak memaafkan perilaku Citra malam itu. Sebuah kesalahan yang tidak termaafkan sampai kapan pun jua.

Mobil masuk ke dalam terowongan Pramuka, ada sedikit guncangan di jalan. Sebuah CD jazz terjatuh dari dashboard. Citra segera meraihnnya setelah menurunkan kecepatan.

Sial! Ini CD kesayangan Farrel. CD Earl Klugh lawas. Farrel suka mendengarkan tembang All Through the Night dan The Journey. Kok, mirip sekali dengan yang terjadi malam ini? All through the night by my self. Sepanjang malam Citra seorang diri menyetir dari Tebet hingga Pramuka. Tiada teman kecuali rembulan dan gemintang. Sepanjang malam, ia mengenang kembali Farrel. Sepanjang malam, ia mencoba mengingat kembali kisahnya dengan Farrel. Mirip sebuah perjalanan atau journey yang seakan tiada berujung.

Ah, Farrel di mana sih kamu? Masih ada nggak seucap kata maaf darimu untukku? batin Citra.

Mobil meninggalkan terowongan Pramuka. Telepon seluler Citra berbunyi. Hmm, dari rumah, gumam Citra. Mungkin Dito ingin tahu Citra sudah sampai di mana.

"Halo?"

"Kamu sudah di mana?"

"Sudah dekat rumah. Tidak lama lagi kok."

"Oke. Hati-hati, ya."

"Mama cepetan pulang dong? Aryo kangen sama mama. Kok, pulangnya malam terus sih?"

"Iya, sayang. Sebentar lagi mama pulang. Aryo sama papa dulu, ya."

"Iya, ma."

Telepon seluler dimatikan. Citra masih mengemudikan mobilnya dengan perlahan. Masih mengenang Farrel. Masih mengingat semua tentang laki-laki itu. Kenangan sepanjang jalan. Kenangan tak terlupakan. Tentang seseorang yang selalu dirindukan. ***

Bandung, 9 Januari 2006 - Jakarta, 10 Januari 2006 - 21 Mei 2007


Tidak ada komentar:

Posting Komentar