Kamis, 26 Januari 2012

Kartini yang Terempas Cerpen: Ida Refliana


Lampung Post
Minggu, 22 April 2007

Kartini yang Terempas
Cerpen: Ida Refliana

HIDUP begitu naif baginya. Tak ada kebahagiaan yang sudi menyapa dirinya, kecuali rasa sakit dan segunung luka. Luka yang terpahat dari jari tangannya. Luka yang memerihkan hati. Menguliti seluruh bagian tubuhnya.
Kartini menangis. Air mata telanjur menelaga. Dosa demi dosa bak lumpur panas yang siap menenggelamkan negeri ini. Apa dinyana? Dosa tak berwajah. Tak pernah menampilkan bentuknya. Yang berenang dalam sukmanya adalah semata hasrat dan gairah. Dan, gairah itu? Menghasilkan sebuah keajaiban yang menakutkan.
"Maaf, Suster. Saya tidak punya uang untuk menebus bayi itu," Kartini terisak-isak.
"Tidak bisa begitu! Kami tidak peduli Ibu sanggup bayar atau tidak! tapi kewajiban Ibu harus melunasi biaya persalinan. Ibu boleh pulang dan bayinya kami tahan di sini."
Suster muda itu segera mengusirnya hingga keluar dari klinik bersalin. Kartini pun pergi. Membawa langkah kaki yang terseok-seok, mengais debu jalanan. Potret manusia terpinggirkan. Seperti anjing kurap. Serupa sampah. Sebusuk bangkai. Mungkin. Kadang ia tak sanggup mengendus aroma sendiri.
Di dalam raganya telah lama bersembunyi hewan. Dia sadar hal itu. Sungguh. Kalau tidak, tak mungkin ia sanggup melahirkan orok tanpa menikah. Dan kini kembali terjadi untuk kedua kalinya. Yang bisa dilakukannya hanya menangis. Kemudian berpikir keras, mencari manusia yang mau berbaik hati menebus bayinya.
"Tolonglah, Tante?" mohon Kartini.
Tante bergincu tebal, dan rambutnya yang blonde selalu menjadi tempat pelarian masalahnya. Wanita tersebut dengan senang hati lantas membiayai persalinan Kartini, lalu mencarikan orang tua angkat bagi bayinya. Entah dijualnya atau hanya diberikan begitu saja. Sejauh ini Kartini tak pernah bermaksud menjualnya. Dia tak sekeji itu.
"Sebetulnya aku letih, Nang. Aku ingin menikah saja. Tapi siapa yang mau ngawinin aku?, ujar Kartini.
Siang itu matahari baru saja melewati ubun-ubun. Kartini sudah berjalan sejauh ratusan meter dari rumahnya, untuk berjumpa Lanang di bawah sebuah pohon besar, di sisi trotoar jalan.
Lanang selalu setia mendengar cerita-cerita Kartini. Karena ia tak pernah bicara. Mungkin bisu. Mungkin juga tidak. Lanang adalah lelaki misterius. Ia hanya mengenal kehidupannya di bawah pohon akasia tersebut. Lanang senang duduk bersila, menatap kosong setiap pemandangan yang terekam dalam memori otaknya. Entah, dia mampu mengingat yang dilihatnya atau tidak.
Banyak orang menuding Lanang gila. Tubuhnya kotor, pakaian yang dikenakannya juga begitu. Kumal. Dekil. Sekotor rambut gimbal yang tumbuh subur di bahu Lanang.
Bagi Kartini, Lanang bukan lelaki gila. Dia hanya contoh kecil manusia berperilaku serbasederhana. Lanang tak pernah punya mimpi. Apalagi untuk mempunyai ambisi. Tidak sama sekali. Untuk mengganjal rasa lapar di perutnya saja, dia hanya mencari sisa-sisa makanan yang tercecer di sepanjang jalan. Atau menunggu Kartini memberikannya sebungkus nasi.
"Hari ini aku ada janji dengan seseorang. Semoga aku bisa bawa uang lebih banyak lagi, dan berhasil menggaet hatinya. Doakan aku, ya Nang? Nanti kamu kubelikan baju baru dan makanan yang enak-enak," kata Kartini.
Lanang diam. Dari sinar hampa matanya, ia hanya mampu menyaksikan perempuan bernama Kartini berlari mendekati sebuah truk yang tiba-tiba berhenti.
Pintu truk bermuatan barang itu kemudian terbuka. Aksi tawar-menawar pun terjadi. Negosiasi. Penjual membutuhkan pembeli, begitu pula sebaliknya. Setelah deal? Bermalam-malam ia sanggup merenangi lautan cinta bersama sang sopir.
***
Pulang ke rumah ibu, selalu ada sebab yang membuat kedua kakinya terasa berat memasuki rumah berdinding papan itu. Saat melihat kedua mata ibu, dan linangan air bening yang tak putus membasahi pipinya. Juga sebuah pertanyaan yang tak pernah mampu ia berikan jawabnya hingga kini.
"Di mana anakmu?"
Kartini hanya bisa menggeleng. Ketajaman mata Ibu seakan ingin menembus rahasia yang bertahun-tahun disembunyikannya.
Bukan salah ibu, jika ia harus menanyakan keadaan Kartini. Walau Kartini hanya bisa menyambangi wanita itu beberapa bulan sekali. Tetapi hidup seakan menuntut dirinya untuk dapat lebih bijak menjalani, dan menerima pahitnya saat lingkungan di sekitar tak lagi sudi menerima.
"Kamu selalu jadi gunjingan tetangga," keluh Ibu.
Ibu memang tak pernah sanggup marah. Bahkan dia kerap sibuk menyalahkan diri dan nasib yang tak pernah berpihak atas hidupnya. Dulu, saudara lelakinya pernah memperkosanya hingga lahirlah Kartini. Tetapi kemudian, Orang tua dan semua keluarganya justru mengasingkan dirinya di suatu tempat.
"Jangan pergi, Kartini!" Ibu memeluk Kartini sangat erat.
"Saya harus pergi, Ibu. Saya harus mengumpulkan banyak uang. Dan nanti suatu saat, saya pasti membawa Ibu pergi jauh dari sini," Kartini melepas pelukan ibunya. "Percayalah, Bu. Saya sangat menyayangi Ibu."
Hati Kartini sebetulnya menjerit. Sakit. Tak kuasa dirinya membiarkan ibunya hidup dalam kesepian. Tapi? Apa yang bisa dilakukannya? Kecuali janji-janji yang tak pernah bisa diwujudkannya hingga kini.
Kartini hanya lulusan sekolah dasar. Cukuplah, kata Ibu. Sekadar untuk bisa membaca dan menghitung uang. Sedari kecil ibu lebih banyak mengajarinya, bagaimana cara mencari uang demi untuk menambal perut dan agar tidur mereka tidak kehujanan.
Ibu seakan tak pernah letih, setiap hari ia mencucikan pakaian para tetangga. Dan setelah pakaian-pakaian itu kering, disetrikanya. Sesudahnya baru kartini yang mengantarkan kepada pemiliknya.
Meskipun pekerjaan tersebut cukup melelahkan, namun sangat indah untuk dikenangnya. Kartini tentu tak bisa melupakan kisah pedih itu begitu saja. Sebab ia memang tak sanggup menyaksikan penderitaan yang ditanggung ibunya. Hingga kemudian setelah ia besar, dan mulai memahami kerasnya kehidupan di kota besar. Kartini pun akhirnya terpaksa membuat pilihan pahit di hidupnya. Menjajakan cinta kepada sopir-sopir truk berhidung belang.
Bukan tak ada pekerjaan yang lebih mulia mampu dilakukannya. Ketika masih berumur belasan tahun, Kartini beberapa kali bekerja menjadi tenaga pembantu rumah tangga. Dan, seperti kisah klise orang-orang yang berasal dari kalangan kelas bawah yang dianggap lebih pantas untuk menjadi objek kekerasan dan sasaran pemuas seks sang majikan. Kartini adalah satu dari sekian jumlah korban tersebut.
***
Adakah cinta akan tumbuh di hati pria semisterius Lanang?
Kartini merapatkan kelopak matanya. Ia menggeleng. Membuang pertanyaan gila itu dalam pikirannya. Dia berharap itu hanya sugesti. Bukan niat terselubung dari keinginannya berempati terhadap nasib dan penderitaan laki-laki tersebut.
Kalender di kamarnya sudah ia tandai. Malam ini adalah bulan kedua, Lanang kehilangan jejak dirinya.
Lanang? Akankah dia mengingat Kartini?
Pertanyaan aneh tentang Lanang, menggodanya kembali. Tiba-tiba Kartini tersenyum. Seketika saja dia mulai becermin, menatap garis ketuaan perempuan berusia kepala tiga. Mungkinkah dia harus menjalani hidup seperti ini selamanya? Sementara ibunya tak pernah putus mendoakan bagi kebaikan dirinya?
Kartini tercenung lama. Hingga kemudian ia menyadari keberadaan Lanang, berdiri tegak di pintu rumahnya yang memang dibiarkan terbuka.
"Lanang? Dari mana kamu tahu rumahku?"
***
Di bawah pohon akasia itu, kini, hanya tinggal rerumputan dan ilalang yang mendiami. Tak akan ada lagi sosok Lanang dapat ia temui. Lanang sudah pergi jauh. Baru saja orang-orang kampung di sekitar tempat itu membawa usungan tandu jenazah menuju tanah pekuburan di bawah kaki bukit.
Kartini hanya bisa melihat iring-iringan pembawa jenazah dari kejauhan. Ia tak mungkin bergegas menyusul ke sana, atau mengikuti dari belakang dan berjalan jauh ke tempat tersebut. Tidak akan dilakukannya. Walau sangat ingin Kartini menyaksikan prosesi penguburan Lanang. Melihat Lanang untuk terakhir kalinya
Perempuan terempas itu masih tertegun. Baju-baju baru yang sejak lama dipersiapkannya buat Lanang, diberikannya pada bapak tua yang kebetulan terjumpa di tempat tersebut. Dari mulut lelaki itu pula, Kartini mendengar sebab meninggalnya Lanang.
"Pagi tadi sebuah mobil truk menabraknya, saat Si Gila berniat menyeberangi jalan ini"
Kartini menyusut air matanya. Dia harus secepatnya meninggalkan tempat tersebut. Bayangan wajah Lanang sudah tak mampu lagi ia gapai. Pergilah. Kartini sudah mengikhlaskannya. Barangkali keputusan Tuhan atas peristiwa ini, merupakan pilihan terbaik bagi Lanang.
Hanya satu keinginan hatinya kini, bertemu ibu dan mengajaknya memulai kehidupan baru yang lebih baik.
"Kau hamil lagi?" tanya ibunya, setelah keduanya bertemu di bilik kos tempat ibunya tinggal. "Kau pasti sudah menikah, bukan?"
Kartini membelai lembut perutnya. Ia memang sedang menghitung hari, di usia bulan ke sembilan kehamilannya. Dan, sampai saat sekarang, Kartini tak juga mampu menjawab semua pertanyaan ibunya.
"Siapa nama suamimu?"
Kartini tetap membisu. Ada wajah Lanang menggelayuti pikirannya. Ia lantas tersenyum. Meski hampa. Tapi setidaknya Kartini telah mampu membuat pilihan, untuk bisa menjaga dan membesarkan bayinya kelak.***
Panjang, April 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar