Sabtu, 28 Januari 2012

Menata Senja Cerpen: Adek Alwi


Suara Pembaruan
Minggu, 17 Juni 2007
Menata Senja
Cerpen: Adek Alwi

Dua puluh tahun lalu ia tinggalkan kota itu. Dua puluh tahun setelah pergi dia balik ke situ. Dilihatnya perempuan itu masih di tempat yang dulu; di lepau simpang tiga. Seperti dia perempuan itu pun telah berangkat tua, walau belum setua perempuan tua yang selalu kelihatan di lepau itu, dua puluh tahun lalu. Perempuan tua itu sendiri sekarang tak tampak lagi. Lelaki tua suami perempuan tua itu pun tidak. Kini, seorang gadis dia lihat bergerak lincah-riang di lepau itu, persis perempuan yang berangkat tua itu dua puluh tahun yang lalu.

Ia menarik napas, seraya terus menatap ke lepau itu dari trotoar seberang jalan. Angin bertiup perlahan, daun-daun tua luruh melayang dan selembar jatuh menyentuh bahunya seakan-akan menyapa. Lelaki berangkat tua itu bak diingatkan. Ia tersenyum, berjalan menyeberang jalan. Bukan hanya daun yang berubah kuning dan menjadi tua, bisiknya sambil berjalan. Tapi beda dengan daun-daun yang tetap cabik ataupun burik bahkan ketika luruh, manusia dapat memperbaiki yang retak-retak sebelum senja tiba. Dia kembali tersenyum sambil terus melangkah menyeberang jalan.

Lelaki itu merasa tak perlu terlalu berhati-hati menyeberang. Kendaraan tidak bertambah terlampau banyak di kota kecil itu walau dua puluh tahun berlalu. Dan juga warga kota, yang menyeberang atau berjalan di trotoar, dilihatnya masih seperti dulu. Tetap tidak banyak serta tenang- tenang saja bergerak, laiknya air di sungai kecil.

Tak lama ia tiba di seberang. Di trotoar yang apik juga teduh oleh pohonan. Di mukanya kini terletak lepau itu. Tanpa sadar ia menoleh lagi ke belakang, tetapi lekas-lekas berpaling ke depan, bak memaklumi sekaligus tak ingin diikat oleh apa yang ada di belakang. Beda dengan daun manusia dapat memperbaiki yang retak sebelum senja, ia berbisik kembali. Bahkan seharusnya demikian, tambahnya tersenyum.

Lepau itu sekarang lebih jelas terlihat, begitupun perempuan berangkat tua dan perempuan muda gesit-riang itu. Lelaki itu memperhatikannya terus-menerus melalui kaca jendela dan pintu lepau yang terbuka, sambil berdiri di trotoar. Gadis itu berjalan kian kemari di dalam lepau sedang perempuan berangkat tua itu duduk tenang-tenang di boks kasir, dengan sandaran kursi rapat ke dinding. Ia menunduk, menulis sesuatu; sesekali mengangkat muka dan bicara dengan si gadis. Ia tetap cantik walau dua puluh tahun berlalu. Waktu justru mematangkan kecantikannya, melahirkan keanggunan tak ubahnya permata.

Hati lelaki berangkat tua itu berdebar melihatnya. Ia menarik napas sekali lagi, lantas meneguhkan langkah memasuki halaman. "Selamat pagi! Silakan masuk, Pak!" Bidadari muda itu menyambut di muka pintu. Senyum menyemarakkan parasnya yang cantik. Perempuan berangkat tua itu mengangkat muka, menatap sebentar, menunduk kembali. Akhirnya ia ke sini juga, pikirnya. Setelah dua hari tegak di trotoar seberang jalan. Hm. Apa pula yang hendak ia katakan? Dia perbuat?

"Terima kasih." Lelaki itu balas tersenyum dan melangkah ke dalam lepau. Ia pilih meja dekat jendela. Matahari memancar di luar. Matahari kota kecil pegunungan yang lembut. Matahari yang dulu juga. Pagi membuka diri. Apa kiranya yang berubah di bawah matahari?

Tetapi ia tidak dapat berlama-lama merenung. Gadis lincah rupawan itu sudah berdiri di sisi mejanya dan menawarkan: "Bapak mau kopi, makan ketupat, atau nasi goreng?" Tubuhnya lampai, juga tangannya. Dan kulitnya kuning-langsat. Senyumnya tidak hilang-hilang dari bibir sehingga mukanya yang sangat mirip dengan perempuan berangkat tua itu tampak terus berseri, seperti pagi.

"Saya ingin kopi dulu."

"Pakai susu, Pak?"

"Tidak. Jangan."

"Baik, kopi saja. Eh, rasanya Bapak tak warga kota ini, ya? Hm, baiknya saya beri tahu. Ketupat kami tersohor enak, Pak. Dari dulu! Sejak nenek-buyut saya, nenek, terus ibu, dan sekarang turun ke saya. Gulainya paku. Asamnya belimbing, Pak!"

"Percaya. Aromanya tadi saya cium dari luar!" Lelaki itu tersenyum. Ia seperti melihat dirinya waktu muda pada kelincahan gadis itu. "Akan saya coba nanti, setelah mengopi," tambahnya.

Gadis itu tertawa. "Saya buat sekarang kopi Bapak," katanya. "Silakan cicipi penganannya, Pak!"

"Ya, terima kasih."

Gadis itu pergi. Dan perempuan berangkat tua itu tetap menunduk, menulis. Ia mendengar percakapan itu. Ujung pulpennya terkadang terhenti. Ia merenung. Ia ingat ayah dan ibunya yang sudah tiada. Juga persoalan-persoalan lama. Dia menarik napas. Ia merasa, banyak soal muncul lebih karena emosi, bukan akibat sesuatu yang bersifat prinsip. Namun paling bijak adalah menunggu, pikirnya. Toh selama ini aku terbiasa menunggu.

Lepau itu memang tak besar dan semua percakapan akan terdengar. Hanya ada enam meja, tujuh dengan yang ditempati laki-laki itu. Di setiap meja terhidang pisang goreng, pergedel jagung, rupa-rupa lepat, selain tisu, tusuk-gigi. Taplak meja plastik warna biru muda bermotif bunga, tampak bersih, mengkilap. Entah dari mana, boleh jadi dari ruangan dalam berkumandang lagu-lagu daerah. Tak kencang, hanya sekadar untuk menyemarakkan pagi.

Dan suami istri setengah baya berpakaian olahraga yang duduk di meja pojok, berdiri; selesai santap ketupat. Si istri melangkah ke boks kasir. Perempuan berangkat tua itu menoleh, tersenyum. Mereka bercakap akrab. Semua orang saling sapa di kota kecil. Lalu pasangan itu keluar. Perempuan berangkat tua itu menulis kembali, setelah melirik selintas ke meja dekat jendela.

Laki-laki itu tersenyum, menarik napas. Kini tinggal dia di lepau itu. Matahari terus mendaki dan lepau itu biasa sunyi kalau jam kantor serta sekolah sudah dimulai. Tetapi siang dan sore hari, malah hingga malam, lepau itu ramai kembali. Dulu orang-orangtua juga main domino di situ, malam-malam; kawan lelaki tua suami perempuan tua yang kini sudah tak kelihatan.

Gadis lincah rupawan itu muncul kembali. Membawa baki berisi segelas kopi. "Silakan, Pak. Tidak terlalu lama kan, Pak?" ucapnya gesit-riang.

"Tidak, tidak."

Ia masih berdiri di sisi meja. "Silakan coba, Pak!"

"Ya." Lelaki itu menyeruput sedikit. "Hm."

"Kurang manis, Pak?"

"Pas. Terima kasih."

"Tampaknya Bapak memang bukan warga kota ini, ya? Bapak dari mana?"

"Jakarta."

"O, dari Jawa!" Gadis itu menarik kursi di depan lelaki itu, dibatasi meja. Lalu duduk. Dan sambil senyum digesernya lepat nagasari ke depan laki-laki berangkat tua itu. "Dalam rangka apa kemari, Pak? Dinas?"

"Kemanakan saya hendak menikah dan...."

"Hm. Bapak seorang mamak yang baik kalau begitu. Di daerah ini ada pepatah adat khusus untuk lelaki, Pak. Begini bunyinya: kaluak paku kacang balimbiang, anak dipangku kamanakan dibimbiang. Artinya, kurang-lebih, se- orang laki-laki tidak hanya memperhatikan anaknya tapi juga kemanakan, anak-anak saudara perempuannya. Hm, berat ya, Pak?" Gadis itu tertawa. Giginya putih, rata.

Tetapi lelaki itu tidak ikut tertawa atau tersenyum. Ia hanya manggut-manggut sambil menatap gadis itu, seperti mencari sesuatu pada wajahnya. Dan gadis itu tetap tertawa polos. Tidak merasa ada yang aneh, ataupun ganjil.

Di meja kasir, perempuan berangkat tua itu mengangkat wajahnya. Ia menoleh ke meja dekat jendela, tempat anaknya bercakap- cakap. Lalu menunduk lagi. Hatinya berdebar-debar. Tapi yang terbijak ialah menunggu, pikirnya. Dan didengarnya lelaki itu berkata menjawab komentar anaknya: "Tidak, Nak. Tidak berat. Sepatutnya malah memang seperti itu."

"Oh. Bapak memang orang yang baik. Lelaki baik!"

"Tidak juga, Nak. Malah...."

"Ah, Bapak merendah. Anak Bapak semua di Jakarta?"

"Tidak. Saya tak punya di sana. Saya justru hendak menemuinya kemari."

"O, begitu." Kini suara gadis itu tak lagi bercampur dengan nada riang. Ia juga menatap lelaki itu dengan sungguh-sungguh. Entah kenapa, ia merasa iba melihatnya. Sejak tadi. Sejak kemunculan lelaki itu pertama kali.

"Ya seperti itu, Nak," lelaki itu berkata lagi. "Saya malah belum pernah jumpa dengannya. Belum pernah melihat anak saya. Masa muda adakalanya membuat orang hanyut oleh emosi, gampang tersinggung, juga menjadi egois. Bahkan pengecut. Tapi, saya kini telah berangkat tua, senja saya di depan mata. Saya ingin senja saya menjadi baik. Saya ingin menemui anak saya, dan ibunya."

"O itu bagus Pak! Amat bagus sekali!" Gadis lincah-rupawan itu mendapatkan keriangannya kembali. Ia tersenyum cerah kepada laki-laki berangkat tua itu. "Seperti cerita, Bapak akan menyelesaikannya dengan happy ending! Ya, kan, Pak?"

"Ya, begitulah!" balas lelaki itu bersemangat, terpengaruh keriangan gadis di depannya. "Saya akan mengukir senja saya jadi baik. Saya akan minta maaf!"

"Kepada anak Bapak dan ibunya?"

"Ya. Kepadamu. Dan ibumu, Nak."

"Saya? Ibu?" Gadis itu terbelalak. Ia bolak-balik melihat lelaki itu dan ibunya.

Perempuan di boks kasir itu tidak lagi duduk serta menulis menunduk. Ia tegak di belakang meja, malah sudah sejak tadi. Dia mendengarkan percakapan itu. Kini tak bijak lagi menunggu, pikirnya. Semua telah jelas bagai siang. Lelaki itu sudah datang, mengucapkannya. Dan perempuan itu bersuara, untuk pertama kalinya: "Dia ayahmu, Arni!" Suaranya bergetar.

Gadis itu masih memandang lelaki itu dengan mata yang membesar, serta bibir bergetar. "A-ayah?" Ia tergagap. Dan lelaki itu makin yakin, bahwa beda dengan daun manusia dapat memperbaiki yang retak sebelum senja tiba. Dia melihat mata gadis itu berkaca-kaca. Ia pun berucap perlahan: "Arni namamu, Nak? O maafkan Ayah. Lihat, malah namamu Ayah tak tahu." Kilau-kemilau di mata gadis itu kini pecah meluapkan air, dan getar pada bibirnya menyusun senyuman.***

Jakarta 23 April 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar