Sabtu, 28 Januari 2012

Ng... Cerpen: Alex R


Pikiran Rakyat
Sabtu, 26 Mei 2007

Ng...
Cerpen: Alex R

"NAMA?"

"Ng?."

Sebuah ruang yang pengap. Cahaya samar. Terasa gelap. Mungkin juga di pikiran dua orang yang bercakap. Ah, sebenarnya bukan bercakap melainkan tanya jawab yang berujung rasa ngeri. Puluhan ngeri yang berkecambah dengan sunyi melipat tengkuk. Dingin dan menggerus nyali.

Nama? Sudahlah! Tak perlu lama-lama menjawab!"

"Ng?."

Gedebuk. Suara kaki menerjang hulu hati. Ah, sebenarnya bukan pula kaki yang bersandar di sana, melainkan sepatu keras. Mungkin lars, mungkin kulit, mungkin pantovel, mungkin doc Martens. Isi perut mual. Ia muntah!

"Nama?"

"Ng?."

Wajah-wajah yang lebam. Tubuh tanpa pakaian. Kucuran peluh. Temaram yang merambat ke seluruh kulit. Debu yang berserak di mana-mana. Bau amis. Ah, sebenarnya bukan amis ikan melainkan amis darah. Rasa eneg. Ruangan yang kecil. Tubuh yang menggigil. Jangan, ia tak mau lagi rambutnya dijambak kemudian dicelupkan ke air dingin. Mengingatnya saja ia sudah ngeri. Bekas-bekas luka yang masih mengucur darah, dibasuh dengan air dingin. Ah, sebenarnya rasa sakit ini sudah tak tertanggung lagi. Ia cuma laki-laki biasa. Cuma orang muda yang sesekali berteriak lantang. Bahkan ia merasa hanya sekali ini saja memimpin demonstrasi.

"Nama?"

"Sudahlah, Pak. Bukan masanya lagi seperti ini! Orang diinterogasi kayak begini.?"

"Heh! Sudah pintar ngomong lo, ye! Monyong!"

Sebuah genggaman tangan mendarat di pipinya. Ia tak lagi sadar, apakah giginya ikut rontok atau tidak. Ia tak lagi mencecap darahnya sendiri. Ia merasa di awang-awang.

"Nama?!?"

"Ng?."

Rasa sakit itu terus menjerit. Ia kepingin sekali mencubit lengannya supaya merasa ini nyata dan bukan mimpi. Sebab selama ini ia selalu merasa disuguhi mimpi yang indah sekali. Bertemu dengan bidadari. Perempuan dengan rambut panjang, buah dada yang montok, harum tubuh yang mengambang. Sebab selama ini sepanjang tidur ia selalu terbangun dalam keadaan yang bahagia. Masih ada sedikit sketsa yang menggumpal di kepalanya. Deja vu. Yang membuatnya merasa ia pernah singgah di sana. Entah di hari apa, bulan yang mana, tahun keberapa.

Tapi ia tak sanggup lagi. bahkan untuk sekadar mencubit dirinya sendiri. Berharap ini cuma mimpi buruk, yang tak pernah ia lalui sebelumnya. Kali ini, ia memang cuma berharap. Ah, apa lagi yang tertinggal selain harapan? Harapan yang barangkali bisa membuatnya sedikit tenang, katakanlah untuk dapat hidup 1.000 tahun lagi macam sajak yang ditulis oleh Chairil Anwar.

Ruangan sempit. Cahaya yang redup. Retina matanya sudah mengatup. Dua kelopak matanya seperti tak sanggup lagi untuk sekadar mengangkat. Dua bola matanya menahan rasa pedas. Air mata yang nampaknya sudah enggan untuk terjatuh. Mendadak ia cuma kepingin tidur di ruangan itu. Ah, tapi segalanya mendadak runyam ketika ia mendengar suara yang berat, suara yang barangkali pernah ia dengar sebelumnya. Suara yang terkesan sangat familier baginya. Entah di mana. Deja vu. Mungkin di suatu tempat. Tapi bukan di ruang yang pengap dan sempit seperti ini. Entah kapan ia pernah mendengar suara itu. Tahun keberapa, bulan yang mana, dan hari apa.

Namun ia menduga, lelaki yang menanyakan namanya pernah dekat dengan dirinya. Dan suara itu kembali menggertak. Menghunus kembali kesadarannya.

"Nama?!???"

"Ng?."

"Hei, bangsat! Masih kuat kau ya, rupanya. Seberapa lama kau bertahan, anjing! Kau mau lagi??? Hei, monyet buduk, jawabbbb!!"

Suara pukulan. Bertubi-tubi. Darah segar muncrat kembali.

"Pak, sudah! Aku akan tetap kuat! Meski kau cabik aku dengan kepalanmu!" Ia berkata seperti orang yang membaca sajak.

"Welwh-welwh. Nah, gitu dong bicara? oke, kita mulai lagi dari awal. Jangan cuma Ng? ng? ng? kau 'kan bukan lebah yang suka berdengung, ya ?kan?? Baik kita mulai lagi.?

?Nama???"

"Ng?."

"Masih juga, ya melawan! Baik kita tunggu sampai di mana nyalimu?."

Ia tak lagi merasakan apa-apa saja yang mendarat di tubuhnya. Ia juga tak lagi merasa lunglai, meskipun kedua matanya tak bisa ia buka. Ia cuma merasakan sunyi, tak lebih. Suara bentakan itu terasa semakin jauh. Sebuah ruangan yang sempit. Sebuah meja. Dua buah kursi. Sebuah HT yang penuh dengan suara gemerisik. Sebuah HP. Berdering.

"Siap, Pak! Orang ini belum ngomong-ngomong. Nyebut namanya saja ia belum. Baik, Pak!" Klik. Percakapan terputus. Sunyi.

Sebuah ruangan. Pengap. Tak ada suara serangga malam. Tak ada sesuatu yang lindap atau sekadar menggertap. Hanya dingin, menusuk pembuluh tubuh.

"Nama???!!"

"Ng?."

**

Kenangan demi kenangan hadir sekelebat saja. Datang menghampir untuk kemudian buyar. Tiba-tiba ia teringat lagi pada bidadari yang muncul dalam mimpi-mimpinya. Mendadak segalanya tumbuh. Perempuan cantik dengan harum tubuh yang ingin ia kayuh. Ingin ia peluk sampai ia tersuruk. Jauh dan jauh. Mungkin perempuan yang hadir dalam tidurnya adalah pasangan tulang rusuk. Yang ia cari sejak lama. Jauh dan jauh.

Tapi hantaman itu menggoda kembali dua matanya yang gandrung terkatup. Kepalanya kembali berputar. Ia kuatkan dirinya, mengangkat kelopak mata yang gandrung tertutup. Samar. Cahaya gelap. Ruangan yang pengap. Bau nikotin di mana-mana. Matanya kembali pedih. Berair. Anyir darah.

Ia berusaha keras untuk mengingat. Barangkali seperti yang pernah ia baca dalam sebuah buku wawancara, segala yang mendadak terasa dekat pada dirinya:

Yang ditanyakan kepada saya hanyalah nama dan alamat saya, tapi berulang-ulang. 1) atau barangkali yang serupa ini --mimpi-mimpinya mendadak menjelma jadi sesuatu yang buruk. Tak ada lagi bidadari, perempuan dengan buah dada montok yang dilumuri parfum wangi seluruh tumbuhnya:

Sampai sekarang, setiap malam mimpi saya buruk terus. Saya akan sangat senang kalau semalam saja tidak mimpi buruk. Mimpi buruk ini bisa dalam berbagai bentuk. Kadang saya sedang diuber-uber militer, kadang saya sedang dianiaya. Bentuk mimpi yang tidak terlalu buruk adalah dalam bentuk kerja paksa. Tapi semua ini tak pernah hilang. 2)

Ia kembali mendengar sekilas-sekilas saja. Padahal suara yang berat, pernah dikenalnya itu datang menghunjam puluhan kali. Jika memang ia sadar barangkali akan terasa sangat membosankan. Terkesan menyebalkan. Ya, andaikata ia memang punya kekuatan untuk melawannya.

"Nama??????!!!"

"Ng...."

"Nama???!!!!"

"Ng?."

"Nama???!!!!????!!!!"

"Nama???!!!!??????!!!!!!"

"Ng...."

"Nama???!!"

"Pedro, Pak. Tolonglah saya, Pak. Saya cuma rakyat biasa!"

Mendadak ia ambruk! Tubuhnya serasa remuk. Tak ada lagi suara melainkan sunyi.***

Jakarta, Duri Kosambi,
27 Maret 2007
21.56 WIB

Catatan kaki:
1) Diambil dari buku Saya Terbakar Amarah Sendirian! Pramoedya Ananta Toer dalam perbincangan dengan Andre Vitchek & Rossie Indira. Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG). Jakarta, Januari 2006. Halaman 33.

2) Idem. Halaman 42.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar