Sabtu, 28 Januari 2012

Perempuan Bunga Kertas Cerpen: Yetti A KA


Media Indonesia
Minggu, 12 Agustus 2007

Perempuan Bunga Kertas
Cerpen: Yetti A KA

TAHUKAH kau kenapa perempuan bunga kertas itu memecahkan kedua bola matanya hingga membuat dia terdampar dari satu ruas jalan ke ruas jalan lain, dari satu keramaian ke keramaian lain, bahkan dari satu lelaki ke lelaki lain. Akan saya ceritakan segalanya tentang dia, agar kau dan semua orang yang setidak-tidaknya pernah bertemu dan mengingat wajah penuh bekas luka bakar itu tidak perlu salah sangka, lantas menghakiminya sebagai pengemis menyebalkan sekaligus perempuan jalang yang suka mencuri lelaki dari genggaman perempuan lain. Lebih-lebih belakangan ini, ketika udara dingin musim penghujan mulai menghampiri tubuh-tubuh perempuan berbungkus kardus di pinggir jalanan yang sepi tanpa lelaki. Malam-malam keparat yang dapat membuat seseorang menunjukkan rasa cemburu tanpa malu. Dia telah menjadi pusat dari cemburu itu.

***

Perempuan Bunga Kertas. Panggil saja dia demikian. Meskipun, tentu saja, itu bukan nama sebenarnya. Segala sesuatu dalam diri dia memang hampir sepenuhnya palsu setelah suatu tragedi merebut seluruh hidupnya. Dalam kepalsuan itulah dia menyembunyikan diri dalam kotak teka-teki. Kepalsuan yang justru dinilai oleh banyak perempuan, sungguh genit dan menjijikkan. Sebaliknya, bagi banyak lelaki kepalsuan itu serupa rimba gelap yang tengah menanti untuk ditualangi.

Sebelumnya, dia pernah tumbuh sebagai gadis kecil jelita. Rambutnya yang sepinggang sering dia kuncir dua dan dia suka menyelipkan bunga kertas merah muda di ikatan rambut itu. Sore-sore dia suka sekali membaca komik, entah komik apa, di bawah pohon akasia sambil melihat anak lelaki main sepak bola di lapangan, kira-kira seratus meter dari rumahnya. Lalu anak lelaki yang kebetulan menoleh ke arahnya akan bersuit kecil diikuti anak lelaki lain. Layaknya kebanyakan gadis kecil yang baru memasuki masa pubertas, dia sering tertunduk malu-malu, bahkan terkadang berlari ke dalam rumah karena salah tingkah. Salah satu anak lelaki yang menggoda itu, teman sekelasnya, dan diam-diam dia menyukai lelaki itu. Itu rahasia gadis kecil yang dia simpan sendiri saja. Apalagi mamanya selalu bilang: Jangan centil! Kamu sekolah saja! Tidak perlu macam-macam! Dia pasti mengangguk atau berkata iya mendengar nasihat mamanya. Hanya saja siapa pun pasti bisa membaca warna-warna di wajah tembam itu. Betapa tidak, warna cinta begitu sempurna bertengger di sana. Sesuatu yang tidak bisa dia tolak atau hindari.

Setamat SMP, dia tidak lagi satu sekolah dengan lelaki yang dia sukai itu. Namun lelaki itu masih sering main sepak bola dekat rumahnya. Mereka sering bertatapan saat ada kesempatan, misalnya ketika sesekali bola terlempar ke arah rumah gadis kecil jelita, dan kebetulan lelaki yang dia sukai mengejar bola itu. Atau ketika teman-teman lelaki yang dia sukai sengaja mengganggunya dengan suitan kecil, dan membuat lelaki itu punya peluang untuk turut menggoda.

Semua itu terjalin tanpa pembicaraan, tanpa janji apa-apa. Hanya bergerak saja. Ibarat mimpi yang terus bersambung-sambung, dari waktu ke waktu. Dan gadis kecil itu sudah berenang dalam mimpinya sendiri; tentang seorang pemuda tampan yang akan membawa lari seorang gadis yang terkurung dalam rumah tanpa kebahagiaan ke sebuah rumah lain penuh bunga kertas merah muda. Kemudian mereka punya anak-anak yang lucu, dan dia akan berkata pada anaknya: Berceritalah pada Mama tentang teman sekolah yang kau sukai, Sayang. Berbagilah rahasia dengan Mama.

Bukankah dia sering tertawa sendiri jika memikirkan mimpinya itu. Betapa dia bisa menjadi seorang kawan bagi anak-anaknya, sesuatu yang sengaja dia tebus dari hubungan dia dan mamanya yang sangat berjarak dan begitu diam.

Dan mimpinya itu nyaris saja mendekati kenyataan. Ketika itu malam terang bulan, lelaki bekas teman sekolah tiba-tiba datang ke rumahnya, mengajaknya menonton bioskop. Kencan pertama dan hanya berdua saja. Kebetulan pula mamanya tidak di rumah. Belum pulang kerja (mamanya kerja di sebuah kafe, pergi sore hari dan biasanya pulang tengah malam, bahkan pernah hampir Subuh). Gadis kecil melompat-lompat kegirangan, seolah-olah mendapat kesempatan untuk melakukan permainan sangat berbahaya. Dia membayangkan, mamanya akan mati berdiri jika saja tidak mendapati dirinya di kamar saat mamanya pulang kerja nanti. Agar suasana lebih dramatis—karena ini adalah pengkhianatan pertama kali pada mamanya dan barangkali setelah itu mereka tidak akan bertemu lagi dia meninggalkan surat kecil yang dia lipat menyerupai seekor burung: Mama, aku kencan malam ini. Tidak perlu menunggu, mungkin aku tidak pulang.

Kemudian gadis kecil sudah berada dalam bioskop bersama lelaki bekas teman sekolah yang dia harapkan akan membawanya pergi untuk selama-lamanya, meninggalkan mamanya yang tidak pernah mau mendengar cerita apa-apa darinya, padahal dia selalu membawa banyak kisah setiap pulang sekolah. Dalam sekejap mereka terjebak dalam permainan cinta. Lelaki bekas teman sekolahnya itu telah menciumnya sebelum film pada layar dimulai, dan bahkan tanpa lebih dulu memintanya jadi pacar. Keterlaluan, memang, pikir gadis kecil. Tapi dia tidak peduli lagi, juga ketika lelaki bekas teman sekolahnya itu memintanya untuk melupakan rencana mereka menikmati sebuah film komedi romantis.

Saat mereka keluar gedung bioskop, gadis kecil bertanya karena penasaran: Apa aku akan jadi pacarmu.

Lelaki itu memandang bola mata gadis kecil, menarik tangannya, lalu mereka sudah berciuman lagi di bawah pohon di pinggir jalan.

Bisakah kau membawaku pergi dari mamahku ke tempat yang paling jauh, lalu kita memiliki rumah sendiri yang dipenuhi bunga kertas merah muda, anak-anak yang lucu, dan kita akan berkata pada anak-anak: Berceritalah pada kami tentang teman sekolah yang kau sukai, Sayang. Berbagilah rahasia...

Lelaki bekas teman sekolahnya tertawa ganjil setengah ketakutan, "Ssttt...kita masih kecil, jangan bermimpi macam-macam. Ini semua hanya main-main," katanya lirih.

Gadis kecil menangis sedih. Ia merasa tertipu. Di bawah pohon itu mereka berpisah. Tentu pula lelaki bekas teman sekolahnya itu berlalu tanpa pernah memintanya jadi pacar dan membawanya pergi, atau paling tidak mengantarnya pulang ke rumah, lalu membuat janji kencan menonton bioskop lagi pekan depan. Akhir yang mengerikan, karena itu artinya dia harus kembali ke rumah lalu menemukan mata mamanya sembab dan merah—mata yang sangat dia takuti setiap kali mamanya marah, dan tidak akan sembuh secara cepat dengan hanya mendengar kata maaf darinya. Atau lebih dari itu, mungkin saja mamanya tengah menunggu dengan pisau atau gunting di kedua belah tangan, sementara tidak ada seseorang yang akan menolongnya. Membayangkan semua itu, gadis kecil menggigit bibirnya kuat-kuat sambil melangkah pelan meninggalkan pohon yang lama-lama tampak menakutkan.

Sebentar lagi dia akan berada di pintu rumahnya. Dia tahu mamanya sudah pulang. Dia hanya terlambat beberapa menit dari mamanya. Itu dia ketahui dari lampu ruang depan yang belum sempat dinyalakan. Setiap pulang kerja, hal pertama yang dilakukan mamanya memang pergi ke kamar dia, mengecek apakah dia sudah tidur atau belum. Setelah itu barulah menyalakan lampu ruang depan. Di ruang depan itu, biasanya mamanya duduk di sofa panjang, menghabiskan waktu setengah jam untuk melepas penat atau sedikit bersantai. Tidak jarang, mamanya tertidur sebentar di sana.

Namun, kali itu, dia justru mendengar teriakan parau mamanya dari dalam rumah. Barangkali mamanya baru saja selesai membaca surat kecil yang dia tinggalkan di atas tempat tidur, persis di atas boneka beruang raksasa. Gadis kecil tepat berada di mulut pintu, ketika dalam waktu hampir bersamaan mamanya menghambur keluar, menemukan dia yang gemetar. Mamanya memukul dia. Tiga atau lima kali pukulan, tepat di pantat, sebelum akhirnya dia digiring ke kamar hukuman dan dikunci dari luar. Gadis kecil sangat benci kamar hukuman, sebab ada banyak kecoa dan tikus yang berkeliaran di pikirannya; melubangi kepala, dan merobek-robek segala sesuatu yang dia simpan di sana.

Kemudian mendadak hiruk-pikuk terdengar dari arah luar. Rumah terbakar, sementara gadis kecil berada dalam kamar yang terkunci. Kematian itu sudah dia bayangkan amat dekat ketika mamanya masuk ke kamar itu dan menggendongnya keluar. Mereka berdua pingsan di bawah pohon akasia di kelilingi orang-orang yang mereka kenali samar-samar. Mamanya tidak bisa bertahan dengan luka bakar di seluruh tubuh, sementara dia selamat dengan cacat di wajah dan sebagian tubuh yang dia bawa seumur hidup.

Apakah dia berbahagia sebab terbebas dari kematian, lalu dia bisa lebih mencintai mamanya dalam kenangan sebab mamanya telah menyelamatkan segumpal mimpi di dadanya. Tidak. Dia tidak berpikir begitu. Baginya, mamanya justru tengah memberinya hukuman lebih berat telah membiarkan dia hidup, membuat dia menangis berhari-hari bila teringat lelaki bekas teman sekolah yang tampan, yang telah menciumnya tanpa meminta dia jadi pacar, lalu meninggalkannya tanpa membuat janji bertemu lagi.

Ya. Gadis itu pun menghibur dirinya dengan memelihara cinta dan kebencian hingga dia tumbuh dewasa. Setiap hari dia mengikuti lelaki bekas teman sekolahnya itu, menyaru jadi apa saja. Kadang dia datang sebagai seikat bunga kamboja, kadang sebagai daun-daun yang beterbangan di kala badai. Malah dia juga datang menjelma laut dan ombak-ombak pasang.

Semakin hari perasaannya itu tidak terkendali. Dia dikejar-kejar oleh sesuatu yang sangat gelap dan aneh. Keputusasaan yang bisa membuat seseorang jadi gila.

Maka satu hari orang-orang dikejutkan kenyataan bahwa perempuan itu telah memecahkan kedua bola mata dengan tangannya sendiri tepat setelah lelaki bekas teman sekolahnya bertanya: Maaf, matamu mengingatkan aku pada seseorang. Apakah kita pernah bertemu di masa lalu.

Begitulah, perempuan itu pun mulai hidup di jalanan. Ke mana-mana dia membawa mimpi tentang pemuda tampan yang tidak lain lelaki bekas teman sekolahnya yang telah menciumnya di masa lalu tanpa pernah memintanya jadi pacar. Dalam kebutaan, mimpinya justru hidup dan dekat. Lantas dia pun memberikan tangannya pada satu lelaki ke lelaki lain, dan membayangkan mereka sebagai lelaki bekas teman sekolah yang tengah membawanya pergi menuju rumah yang dipenuhi bunga kertas merah muda.

Adakah itu bisa menjadi alasan seseorang, terutama perempuan-perempuan kesepian yang ditinggalkan lelaki, melemparinya dengan bara kebencian sementara dia tampak begitu malang. Lihatlah mata buta yang setiap saat mengeluarkan air bening itu, seolah-olah ingin menunjukkan betapa dia pernah hidup sebagai gadis kecil jelita dengan senyum semanis jambu, yang seharusnya membuat seseorang tidak mungkin tega meremas-remas perasaannya yang getas, apalagi sampai melukai dengan satu rencana jahat.

***

Sekarang sudah bertahun-tahun kami, saya dan Perempuan Bunga Kertas itu, menjalin persahabatan di jalanan. Jauh sebelum ini, sebenarnya saya sudah mengingatnya sebagai kawan kecil baik hati. Memang awalnya dia tidak ingat saya. Tapi saya tidak mungkin melupakan seorang gadis kecil berkepang dua dan bunga kertas terselip di rambut itu yang memberi saya sekantong permen di hari ulang tahunnya. Kala itu saya lewat di depan rumahnya. Minta sedekah. Dia membuka pintu, menatap lama ke arah saya, kemudian menarik tangan saya untuk masuk ke ruang depan rumahnya yang sudah berhias kertas warna-warni serta kue tar dan lilin berbentuk angka empat belas di atas meja. Dia minta saya menyanyikan satu buah lagu ulang tahun, diikuti acara tiup lilin yang paling mengharukan dalam hidup saya. Betapa tidak, baru sekali itu saya menghadiri acara ulang tahun dan ternyata itu pesta ulang tahun sesunyi kematian. Dia gadis yang sendirian, pun di pesta ulang tahunnya. Menyedihkan bukan? Kau tahu, matanya berkaca-kaca ketika itu. Saat pamit, dia memberi saya sekantong permen rasa anggur. Rasa permen itu masih saya simpan baik-baik dalam hidup saya, sebagaimana saya menyimpan ingatan tentang dia hingga kami bertemu kembali dalam keadaan hati yang lebih basah.

Kejahatan paling berbisa, jatuh cinta di saat kita sedang merasa sangat sendiri. Itu kalimat pertama yang mempertemukan kami saat matahari hampir tenggelam di ujung laut, pada pertengahan tahun di mana musim kadang tidak menentu.

Dia lalu bercerita hingga tengah malam. Segalanya. Mamanya yang tidak benar-benar dia kenal. Lelaki bekas teman sekolah yang dia sukai. Ya. Lelaki itu. Dia berkali-kali menghapus air bening yang keluar dari mata butanya. Seolah-olah lelaki itu pangkal kemalangan sekaligus seseorang yang tetap ingin dia taruh dalam hatinya.

Kenapa tidak dilupakan saja, kata saya.

Dia tertawa. Ah, bukan. Dia cuma meringis kecil. Seakan-akan berkata: Itu sungguh tidak mudah. Percayalah.

Dada saya berdenyut panjang. Saya menahan napas.

Dan lama setelah itu, ketika saya melihat seorang lelaki aroma kayu manis menyelipkan bunga kertas merah muda di balik telinga dia yang tampil amat palsu di satu malam gerimis, barulah saya mengerti betapa tidak mudah memutuskan untuk melupakan seseorang yang sejak dulu ingin kita genggam dalam tangan kecil kita.

Saya cemburu. Namun saya tidak sampai ingin melukai, sebab dia begitu manis dalam kepalsuan, seperti rasa permen yang tetap ingin saya simpan dalam hidup saya. Sementara lelaki aroma kayu manis, si pengemis mata satu, biar saja memilih di palung mana ingin tenggelam.***

Rumah Palung Laut, 30 Juli 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar