Sabtu, 28 Januari 2012

Penantian Ibu Saat 21 Mei 2006 Cerpen: Iqbal Latief


Pontianak Post
Minggu, 27 Mei 2007

Penantian Ibu Saat 21 Mei 2006
Cerpen: Iqbal Latief

Malam gelap. Sekitar sepuluh meter lagi aku sampai di rumah. Menyusuri gang sempit yang remang-remang karena hanya disinari lampu 5 watt. Perjalanan yang lumayan melelahkan hampir 4 jam akan segera tertunaikan dengan berkumpulnya aku kembali dengan anggota keluarga.

"Assalamu`alaikum!" kubuka perlahan pintu belakang rumahku. Tak terdengar jawaban, hanya suara televisi. Mungkin semua asyik menikmati acara televisi. Langsung saja aku masuk dan menuju ke dapur. Entah apa karena mendengar suara di belakang atau yang lain, seorang mendongak ke arah dapur, memicingkan mata sebentar dan menemukan sosok tubuhku sedang mengunyah tempe goreng kesukaanku. Dialah ibuku.

"Oh kamu Yan, kok nggak bilang mau pulang, kan bisa ibu masakin lebih." Terdengar pelan dan datar, namun aku tahu ada perasaan bahagia pada ibuku.

"Tadi sudah makan kok Bu!" Ujarku ketika menyalami tangannya.

"Ya sudah, cepat temui bapakmu di ruang tamu."

Aku letakkan terlebih dulu tasku di kamar sebelum menghampiri bapak. Di wajahnya terlihat kekagetan ketika aku menghampiri dan menyalaminya.

Mandi pada malam itu menjadi mandi tersegar selama 2 bulan ini. Selama kuliah Surabaya aku mandi dengan air PDAM yang hangat.

Acara televisi malam itu adalah sinetron. Sebenarnya kubenci, tapi berhubung itu acara yang ditonton ibuku terpaksa juga aku ikut nimbrung. Kapan lagi aku bisa duduk-duduk bersama ibuku.

"Beberapa hari lalu ada surat dari kampusmu Yan, tuh di laci yang tengah," lbuku memulai pembicaraan sambil mengarahkan jari manisnya ke arah laci yang ia maksud. "Kayaknya nilai rapormu nggak seperti yang dulu Yan?" ibuku masih tetap saja menamai nilai semesterku dengan istilah rapor seperti SMA dulu.

"He?eh," sahutku. "Kata kakakmu sih nilaimu turun Yan, bener nggak?"

Jantungku berdegup. Walaupun ibuku tidak mengerti huruf-huruf dalam mata kuliah itu, ia selalu bertanya pada kakakku. Ada perasaan bersalah, mengapa aku tidak bisa seperti semasa sekolah. Saat itu ibuku bangga melihat raporku dengan tulisan peringkat ke 1 dari 40 siswa atau peringkat 2 dari 42 siswa. Ingin kujelaskan pada ibuku kuliah berbeda dengan sekolah.

Ya mungkin terlihat tidak adil. Ingin kutegaskan bahwa keberhasilan sewaktu kuliah tidak ditentukan nilai saja. Tapi mana mungkin ibu mengerti. "Ya sudah, kata kakakmu sih kuliah memang sulit, nggak seperti SMA." Kali ini aku terselamatkan oleh kakakku.

Aku terdiam, ibuku juga terdiam. Mungkin ia tahu aku nggak ingin membicarakan masalah itu. Tapi tetap saja aku merasa tidak enak. Ada perasaan gusar yang sulit dijelaskan. Aku tahu, itu tentang ibuku.

"Oh ya Yan, minggu depan pulang lagi ya, kan ada peringatan maulid nabi." "Aduh, kayaknya nggak bisa Bu soalnya Ryan harus mengerjakan laporan. Ibu tahu sendiri kan disini nggak ada komputer." "Emhhhh," gumam ibuku pendek. Kulihat ada gurat kekecewaan di wajahnya.

Kurasa ibu memaklumi. Itu terlihat ketika ia mengarahkan pandangannya kembali ke arah televisi. Tapi aku tahu, pikirannya tidak ada dalam sinetron yang ia tonton.

Malam telah larut dan sampai sejauh itu aku belum bisa memejamkan mata. Ada perasan gelisah. Jam dinding di kamar tanpa henti berdetak memecah kesunyian. Aku tak tahu jam berapa sekarang. Tapi yang kuyakini, pasti tengah malam lebih.

Aku bangkit dari tempat tidur, mungkin sholat malam dapat menenangkan pikiranku. Kudengar kentongan kampung tetangga ditabuh dua kali, pertanda waktu menunjukkan pukul dua. Aku tak tahu siapa yang rajin menabuh kentongan tiap malam. Padahal sekarang sudah jarang kampung yang mengadakan siskamling. Orang-orang lebih senang tidur di rumah, menjaga rumahnya masing-masing.

Baru saja akan melangkah ke kamar mandi mengambil air wudhu, aku dikagetkan suara tertahan karena tangis dari mushalla kecil tak jauh dari kamar mandi. Suara ibuku. Aku berhenti sebentar, aku tak ingin suara air mengganggu kekhusukan do?a ibuku.

"Ya Allah puji syukur padamu yang telah memulangkan anakku di hari ulangtahunku. Walaupun ia mungkin lupa hari ini, karena terlalu sibuk belajar dengan kuliahnya. Tapi aku tetap bersyukur padamu ya Allah. Engkau memberi kado terindah di hari ulang tahunku. Ya Allah, sebagaimana engkau pulangkan anakku hari ini dengan indah. Bimbinglah ia dalam menghadapi masa-masa sulit di perkuliahan. Berikan perlindungan-Mu terhadap anakku dalam menjalani aktivitas, yang jauh dariku ya Allah. Hanya itu permintaanku."

Deg. Hatiku hancur remuk. Terjawab kegelisahan yang menghantuiku. Aku menyesali diri yang lupa hari ulangtahun ibuku. Walaupun di keluargaku tak ada kebiasaan merayakan ulang tahun, tapi aku tak pernah lupa mengucapkan selamat ulang tahun kepada ibuku setiap 21 Mei dengan kado kecil.

Tapi hari ini, bagaimana mungkin aku lupa hari ini 21 Mei 2006, ulang tahun ke 50 ibu. Aku tak bisa menyembunyikan emosiku. Aku menyesal mengapa dua bulan ini tak pernah membuka buku agendaku, dimana 21 Mei kulingkari spidol merah.

Aku terlalu sibuk dengan kuliah. Yang mungkin lebih aku sesalkan mengapa di terminal aku tak membeli sandal seharga 5000 rupiah, sandal yang kupikir cocok dipakai ibu saat di kamar. Mengapa tadi aku lebih memilih membelikan sisa uangku untuk membeli mie goreng di pinggir jalan. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar