Kamis, 26 Januari 2012

Maka Sungai Pun Mengalir Darah Cerpen: Herman


Batam Pos
Minggu, 09 September 2007

Maka Sungai Pun Mengalir Darah
Cerpen: Herman

Siapa yang mengabarkan padamu bahwa aku diciptakan dari tanah? Tidak! Aku tidak diciptakan dari tanah. Tuhan tidak membuat sebuah patung kemudian meniupkan ruh padanya, lalu kata kun-Nya menjadi wujudku. Aku juga tidak berasal dari tulang rusuk yang bengkok. Aku bukan Adam. Aku bukan Hawa. Maka aku diciptakan dari darah.

Tidak! Aku tidak diciptakan dari tanah. Aku diciptakan dari darah. Ayah mengatakan padaku melalui prasasti di batu nisannya yang hijau berlumut, bahwa untuk melunakkan hati ibu, beliau harus rela berdarah-darah. Tetapi ketika aku mendapati diriku bermandi darah di pangkuan ibu, ayah sudah selesai dalam riwayat merah. Ayah sudah tamat dalam kisah darah. Aku ingin sekali tahu tentang sejarah kematian ayah, tapi setiap kali aku bertanya pada ibu, beliau selalu mengatakan; “Ayahmu adalah seorang pemberani. Dia memulai dan menyelesaikan hidupnya dengan bermandi darah. Jangan! Jangan mengulangi riwayat merah. Darah dalam sejarah kita telah selesai.”

*****

Di penghujung malam yang kelam. Di sebuah sudut subuh yang reot. Di selembar sobekan waktu yang compang-camping. Beberapa jam menjelang shalat hari raya kurban.
Sebuah teriakan membelah sunyi.
”Maling.......”

Maka aroma kematian datang membayang, setelah semalaman terbang di awang-awang. Mengapa iblis tidak diikat malam itu supaya manusia tenang mempersembahkan kurbannya? Mengapa iblis tidak dibelenggu supaya hidup yang lelucon ini, sesekali tidak mengandung tipu? Tidak ada jawaban. Tidak ada penjelasan kecuali kilatan cahaya belati mengibaskan diri. Menyaingi sabetan-sabetan doa yang menuju langit ketujuh.

”Ya Allah. Kuatkan diriku. Selamatkan hidup anakku. Selamatkan hidupku. Selamatkan hidup kami,” sesekali perempuan itu memandang iba pada sang suami. Lalu kalimat-kalimatnya menghunjam di hati lelaki itu. Berkali-kali sang perempuan, calon ibu, mengulangi kalimatnya: “Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini. Dan aku menjadi sesuatu yang tak berarti. Dan aku menjadi sesuatu yang dilupakan.”1
”Sayang, jangan katakan itu. Tuhan bersama kita. Sayang, bersabarlah.” Tidak ada yang berlarian saat itu kecuali haru biru menderu-deras. Tidak ada yang berkecipak di genangan gerimis kecuali hati sepasang suami istri yang sedang berperang melawan ketakutan. Duhai... engkau sungguh adil Tuhan.

Meletakkan surga di telapak kaki perempuan. Duhai... engkau sungguh adil Tuhan. Kau anugerahkan air mata bagi perempuan untuk membasuh kesabarannya. Duhai... perempuanlah yang pertama kali bertarung melawan kematian untuk kehidupan anaknya. Tetapi sejarah hampir selalu berkata: “Sang anak adalah peluru yang tak kembali ke laras senapan. Sang anak adalah anak panah yang tak pulang ke busurnya.” Maka apakah balasan untuk perempuan yang meregang nyawa di tengah malam?
Ipeng menatap istrinya. Ingin sekali ia dapat membawa istrinya ke rumah sakit. Melahirkan sang anak dengan leluasa walaupun itu tidak berarti perjuangan istrinya aman dari intipan maut. Tapi ia hanya bisa pasrah menatap prosesi hidup mati istrinya, bidadari penyelamatnya.

”Ipeng, cepat panggil Nek Ijah. Istrimu butuh bantuan darinya.” Bu Suminten menatap Ipeng. Memintanya memanggil Nek Ijah; dukun beranak di kampung sebelah. Sementara pandangan Ipeng lamat ke wajah istrinya. Ia seperti melihat bayang-bayang maut mencengkeram istrinya. Ia seperti melihat maut mencekik leher istrinya. Ipeng mengecup kening Juita dan air mata keduanya pun menganak sungai.

”Sabar ya, Sayang. Mas mau panggil Nek Ijah,” Ipeng mengusap selaut air mata yang membanjir di pipi bidadarinya.

Juita menggamit lengan Ipeng. Menyalami suaminya. Mencium pundak tangan sang pengeran. Barangkali Juita merasakan akar-akar kamboja akan menyubur di ubun-ubunnya. Gerakan-gerakan si kecil membuatnya menciptakan prasangka maha bahaya. “Apakah aku akan syahid ketika anak pertamaku, untuk pertama kali kaget lalu menangis melihat dunia yang semakin penat ini. Ya Allah...” Juita jatuh pingsan.

*****

Lolongan anjing, sorot lampu senter, juga nyala obor, menghiasai malam kurban itu. Barangkali Jibril tidak turun kemudian mengibas-ngibaskan sayapnya maka syahdu damai takbir belingsatan. Suara takbir meluruh. Hilang. Lenyap pada gelap yang tak senyap.

Sumpah serapah tumpah ruah. Lidah-lidah menjilati panas neraka. Seekor sapi untuk kurban hilang dari kandangnya. Maling! Yah... hanya maling yang telah menggagalkan cita-cita warga dusun Montong untuk mengikuti jejak Ibrahim. Menyembelih putra semata wayangnya, Ismail. Demi... demi menjalani perintah Sang Maha. Demi cinta hamba untuk Tuhannya.

Demi cinta pada Sang Pecinta, mereka, warga Montong mengumpulkan uang. Seribu. Dua ribu. Tiga ribu. Buah dari butiran-butiran keringat sebagai buruh tani. Dan seekor sapi telah siap. Tapi... tapi tiba-tiba. Tiba-tiba saja sapinya hilang. Lenyap entah ke mana.

*****

Ipeng terus berlari menembus kelam dan gerimis. Berpayung daun pisang tanpa senter. Demi cinta pada sang bidadari. Cinta! Kekuatan cinta membuat dia bertarung melawan getir dingin dan gelap ketakutan. Kekuatan cinta membuat Ipeng berani menantang apa saja. Bahkan maut sekalipun.

Sementara bias amarah warga Montong menyala-nyala. Berlari. Mengejar maling yang kurang ajar.
Suara kaki Ipeng dengan napas terengah-engah terdengar warga. Mereka seperti menemukan jawaban. Ipeng menatap mereka penuh tanda tanya. Heran. Dan tak mengerti apa-apa.
”Malingnya di sini...”
”Maling....”

Sebilah belati melesat kesetanan. Wajah Ipeng mengucur darah. Ipeng jatuh sebelum sempat berkata tentang dirinya. Dirinya yang sedang mencari bantuan untuk nyawa sang istri. Ipeng telah pergi ke alam lain, sebelum bercerita tentang istrinya yang gelisah menunggu di rumah.
”Dia itu maling. Dia telah membohongi kita dengan pura-pura bertobat. Kita harus menyelesaikan malapetaka di bumi ini. Kita harus singkirkan dia.”

”Ya. Saya lihat sendiri dia kemarin mondar-mandir di samping kandang. Dia itu sungguh kurang ajar.”
”Sial sekali anak ini. Dia kan tidak ikut mengumpulkan iuran. Kita mau sembelih kurban, taunya dia curi sapi kita. Sungguh keterlaluan.”

Arakan warga membawa tubuh Ipeng diiringi musik tawa canda iblis. Tanpa komando warga menghujani wajah Ipeng yang jatuh tak berdaya. Tidak puas melihat darah yang muncrat karena rajaman batu dan lainnya, beberapa orang bangkit dengan pedang mengkilat. Badan Ipeng yang tak berdaya mereka cincang layaknya sapi di tempat jagal. Badan itu...Ah! Seperti hewan kurban yang siap dimasak. Satu persatu lepas karena ditebas.

Di sudut dunia yang pekat, dua manusia bermandi darah. Seorang anak. Seorang lagi ayahnya. Seorang menyisakan senyum dan satunya lagi menitip hujan deras air mata. Yah... Daman memulai hidupnya ketika ayahnya, Ipeng menyelesaikan hidupnya. Sama-sama dalam aroma darah.

*****

Pagi hari yang cerah. Matahari memerah. Sungai sisa tragedi semalam mengalir darah. Seorang ibu, Suminten, berlinang air mata mengumpulkan tangan, kaki, kepala, dan anggota badan Ipeng lainnya. “Aku ikhlas, ya Allah. Aku ikhlas,” ucapnya dan air mata deras menghujan.
Juita masih belum sadarkan diri. Sementara di sudut yang lain, seekor sapi keluar dari rumpun pohon pisang.

”Kamu sih pakai petasannya terlalu gede. Sapinya jadi takut. Sampai lari tidak karuan,” sekelompok anak-anak saling menyalahkan. Dan ayah-ayah mereka diam terpaku di sebuah penyesalan tiada ujung.
Ah... tiada takbir di pagi itu, karena proses kurban telah selesai sebelum subuh terbangun dari tidurnya.
”Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah. Akan tetapi, ketakwaan kalianlah yang dapat mencapai-Nya.”2.***

Kairo 29 Maret 2007
1 . Perkataan Siti Maryam ketika melahirkan Nabi Isa As. Lihat al-Quran Surah Maryam, ayat 23.
2 . al-Quran Surah al-Hajj, ayat 37

Tidak ada komentar:

Posting Komentar