Sabtu, 28 Januari 2012

Pilkada Cerpen: Adek Alwi


Suara Karya
Sabtu, 14 Juli 2007

Pilkada
Cerpen: Adek Alwi

JUSTRU setelah ditempeleng ayah mataku terbuka lebar. Pandangku mulanya memang berkunangkunang. Kepalaku nanar. Dada berdebar-debar. Dan, hatiku sakit. Sudah setua ini masih kena tempeleng. Namun, beberapa waktu berselang, semuanya berubah drastis. Siasat ayah malah seperti buku terbuka di depanku. Mudah dibaca, gampang dicerna. Termasuk jalan pikiran serta perilaku ayah selama ini.

Padahal, sebelumnya, semua itu begitu rumit. Pelik. Dan, selalu menjadi bahan pertikaian atau paling tidak ketidakserasianku dengan ayah. Ibaratnya, ayah ke selatan aku ke utara. Ayah bicara menggebu-gebu, aku justru ingin beliau kalem saja. Tatkala ayah bersikap tenang, justru aku yang mendesak beliau membeberkan semua rencana. "Ini saatnya, Ayah! Ini waktunya yang tepat!" kataku menggebu-gebu.
"Tenang kau!" bentak ayah. "Jangan pula aku diatur-atur!"
"Bukan diatur, Ayah!" Aku tidak henti mendesak; maju terus pantang mundur. "Tetapi memang harus seperti itu!"
"Siapa yang mengharuskan?"
"Tentu saja warga desa. Calon pemilih!" kataku.

"Mana mungkin mereka pilih calon kepala desa yang tidak punya program. Tak punya rencana kerja konkret. Jelas, masuk akal, dan tidak bermanfaat untuk mereka."
"Siapa bilang aku tidak punya program!" ayah menyentak.
"Jadi, sudah ada? Ayo, cepat Ayah sampaikan kepada warga. Cepat, Ayah!"

"Ala, gampang itu," balas ayah. "Sekarang pun seribu program dapat aku buat dan sebutkan. Sejak membangun jembatan, jalan, masjid, sekolah, sampai bikin pasar, serta balai desa. Sejak pembebasan biaya sekolah, santunan orang jompo, yatim-piatu, hingga memberi bibit dan pupuk gratis buat petani. Gampang itu. Mudah!"
Aku terperangah. Hampir-hampir habis kata dan napas. "Itu bukan"
"Ya. Bukan itu yang penting, tahu kau!" sela ayah.

"Yang penting, yang utama sekarang memenangkan pemilihan kepala desa. Jika bukan aku, salah seorang anggota keluarga kita harus jadi kepala desa!"

Aku menggeleng-geleng, benar-benar kehabisan kata. Ayah pun geleng-geleng kepala, menatapku lekat-lekat. Aku tahu kenapa dia menggeleng-geleng. Sebelumnya, kami pun sudah berbantahan. Aku ingin, pada musim pemilihan kepala desa (pilkada) sekarang ayah dan ibu berduet saja sebagai bakal calon dan wakilnya. Namun, ayah menghendaki masing-masing maju sebagai balon kepala desa. "Buat apa?" kubilang. "Lebih baik Ayah dan ibu berpasangan."

"Tolol itu namanya! Menaruh telur saja orang tidak mau dalam satu keranjang. Apalagi jadi calon kepala desa. Percuma kau sekolah tinggi!"

Mukaku panas, merah karena tersinggung. Tetapi, kucoba bertahan. "Dengan begitu Ayah dan ibu saling dukung," kataku menjelaskan. "Karena belum tentu warga yang menyukai ibu pun suka Ayah, atau sebaliknya. Nah, dengan berduet semua suara bisa diharapkan mengalir."
"Lalu, jika tak terpilih, keduanya ambruk. Begitu maksud kau?"
"Malah peluang terpilih makin besar. Sebab, ada dua kekuatan besar, kekuatan Ayah dan ibu yang berkoalisi."
"Ala, tak perlu kau pakai istilah-istilah gagah," ujar ayah. "Tahu kau, kalaupun kami terpilih, tapi sekali salah jalan, kita sekeluarga akan dikeroyok orang sedesa. Tak ada warga di luar keluarga yang akan membela!"

"Karena itu, sebagai pasangan kepala desa serta wakilnya nanti, Ayah dan ibu harus meminimalkan kesalahan. Bilapun terjadi kekeliruan, hanya benar-benar karena ketaksengajaan, kelemahan manusia. Untuk itu harus berani"

"Eh yang berani itu adikmu, si Pajatu!" sela ayah kesal. "Berani kawin. Berani punya anak. Kini, dia berani pula mencalonan diri sebagai kepala desa. Jadi, tahu kau, sekarang tiga calon kepala desa dari keluarga kita. Aku, ibumu, Pajatu. Bagaimana? Berani tidak kau mencalonkan diri?"

Aku menghindar. Tidak muncul-muncul, sampai kemarin. Kemarin, begitu muncul kami berbantahan kembali.

"Kalau Ayah khawatir dijatuhkan setelah terpilih dengan ibu sebagai kepala desa dan wakilnya, kuncinya ialah program. Program yang baik dan jitu tak saja mengundang warga memilih Ayah dan ibu, juga membuat warga tidak berpeluang"
"He, sudah kubilang berkali-kali. Seribu program pun bisa kubuat, tahu!"
"Harus dibuktikan dan diuji, Yah. Harus disampaikan dulu kepada warga."
"Bukan itu yang penting!" Wajah ayah merah-padam.

"Tetapi, memenangkan pemilihan. Bagaimana supaya kepala desa tetap di tangan keluarga kita. Karena itu, sebanyak mungkin anggota keluarga harus mencalonkan diri, kecuali yang pengecut!" Rahang ayah mengeras. Matanya menyambar-nyambar.

Tapi aku tetap mendesak. "Banyak pun tak akan menang jika tidak becus bikin program!" Tangan ayah pun melayang, plak! Mataku langsung berkunang-kunang dan kepalaku nanar bukan kepalang.

* * *

"BAGAIMANA sekarang?" Ayah bertanya setelah beberapa lama.
Aku tiba-tiba terdorong mengangguk-angguk. Mataku memang tak berkunang lagi. Kepalaku juga sudah tak nanar. Sakit hatiku perlahan-lahan hilang. Pandanganku malah terbuka lebar. Dan di hadapanku seolah terhampar jalan pikiran, perilaku, siasat juga keinginan-keinginan ayah. Semua begitu mudah dibaca, justru setelah kepalaku kena tempeleng.

Rupanya, sesudah jadi kepala desa periode lalu, di musim pemilihan sekarang ayah menerapkan strategi para pemancing; karena tidak yakin benar akan terpilih lagi. Maka, pasang saja pancing banyak-banyak dengan mendorong anggota keluarga maju sebagai balon kepala desa. Bukan balon wakil. Dari sekian banyak, mustahil tidak ada yang kena untuk melanjutkan kekuasaan ayah, jika dia tidak terpilih kembali.

Dengan begitu, program memang tak penting dijajakan kepada calon pemilih. Lebih penting mencari dan menyebar dana sembako, kaos, transpor, plus uang saku untuk calon pemilih; agar pilihan mereka tak meleset. Dan juga, mencari pasangan atau balon wakil kepala desa. Tentu dari kalangan berpengaruh serta kaya.
"Bagaimana, paham kau sekarang?" ayah mengulang pertanyaannya.
"Paham, Ayah. Mengerti."

Ayah tersenyum. "Kalau begitu, segera persiapkan diri. Eh, kau akan maju jadi balon kepala desa bukan?"
"Tentu saja."
"Nah, persiapkan dirimu. Cari balon wakil sekarang!"
"Beres," kataku. Di kepalaku melintas bayangan Inyo dan Galadia, dua kawan yang cukup berpengaruh.
"Ayah bagaimana? Sudah ada pasangan?"
"Belum. Agak sulit mencari sekarang, tapi jangan pikirkan. Nanti pasti dapat."
"Calon wakil untuk ibu?"

"Juga belum. Tapi pasti dapat nanti. Adikmu Pajatu sudah punya," sahut ayah. "Kini, pergilah. Cari balon wakil untuk mendampingimu."

Sore itu juga kucari Galadia ke lepau kopi. Tidak jumpa. Dan tadi aku ulangi. Tetap tak bertemu. Inyo juga tidak. Hanya beberapa kawan, penganggur dan preman di lepau kopi, main domino.
"Susah bertemu Inyo sekarang," kata mereka.
"Sibuk!"
"Sibuk?"

"Ah, kau benar-benar ketinggalan kereta." Mereka ketawa. "Inyo maju sebagai balon kepala desa. Kini sibuk cari balon wakil!"
Aku kembali terkejut waktu mendengar Galadia melakukan hal yang sama.
"Jangankan Inyo dan Galadia, si Turiak saja jadi balon!"
"Si Empa juga!" balas yang lain.
"Pokoknya seru pilkada sekarang. Banyak calon. Eh, kau mencari Galadia dan Inyo mau apa?"
"Menurut kalian?"

"Mudah-mudahan tak melamar jadi balon wakil Inyo atau Galadia. Bukan apa-apa. Tahu kita, siapa Galadia dan Inyo bukan? Pengaruh memang besar. Sama dengan nafsunya!" Mereka tertawa lagi. Kali ini aku ikut ketawa.

"Syukur kalian bilang begitu," kataku. "Tadinya, salah seorang mau kujadikan balon wakil!"
Ketawa mereka terhenti. "Jadi, kau"
"Kalian tahu, pengaruhku sama besar dengan Galadia dan Inyo," kataku. "Tapi nafsu kami kan beda. Nah, sampai ketemu di hari pemilihan!" Lalu, kulempar pembeli rokok mereka ke meja lepau. Aku percaya mereka akan memilihku.

* * *

AYAH mertuaku sudah menunggu setiba aku di rumah.
"Sejak magrib Bapak menanti," bisik istriku.
"Ada apa?"
"Mau bicara."
"Soal apa?"
Istriku tersenyum.

Setelah bicara kian kemari, ayah mertuaku menyampaikan niat. Untuk sekian kalinya aku terkejut. Ayah mertuaku, pedagang tembakau itu, rupanya berminat maju jadi balon kepala desa. "Bapak merasa terpanggil, Nak," ujar beliau.

Aku terdiam. Galau. Tak seperti menghadapi ayah sebelum dia tempeleng, ada rasa segan berbantah dengan ayah mertuaku, lelaki uzur itu.

"Sebab itu Bapak kemari," sambung ayah mertuaku. "Bapak ingin melamarmu jadi pasangan, sebagai balon wakil kepala desa, mendampingi Bapak."

Kerongkonganku kering. Aku berpeluh dingin. Aku benar-benar dalam situasi, dan waktu yang sulit. Tetapi, apa pun risikonya tawaran itu harus ditolak. Sejak kena tempeleng, rencana dan siasat ayah sudah jelas benar bagiku.
"Maaf, Pak. Saya juga mencalonkan diri."

Seketika ayah mertuaku bangkit berdiri. Hatiku berdebar. Namun, tiba-tiba dia maju dan dia tepuk-tepuk bahuku. Mukanya pun berubah cerah. "Tidak apa-apa, tidak mengapa," ia bilang. "Bagus! Sebaiknya begitu, kita tak maju berpasangan. Jadi kalau Bapak gagal, kita masih ada harapan. Ya, itu namanya kita tidak menaruh telur di satu keranjang. Tadi, Bapak juga sudah ragu-ragu. Sudahlah. Bapak pergi saja sekarang. Si Karengkang saja Bapak lamar jadi balon wakil!"

Aku terlongo. Banyak pikiran berkelebat. Kalau mataku terbuka ditempeleng ayah, siapa menempeleng ayah mertuaku sehingga dia maju jadi balon kepala desa?
"Eh, tetap mau maju kan?" istriku bertanya melihatku termenung.
"Tentu!"
"Sudah ada balon wakilnya?"

Aku kaget lagi. "Ah, akan kucari sekarang!" Aku loncat ke luar rumah. Istriku mungkin tercengang. Tapi mungkin juga tidak. Karena, ia sendiri tahu betapa sulitnya mencari balon wakil untuk dirinya. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar