Sabtu, 28 Januari 2012

Menikah? Harus? Cerpen: Mustafa Ismail


Suara Karya
Sabtu, 02 Juni 2007

Menikah? Harus?
Cerpen: Mustafa Ismail

Rasa berdosalah yang membuat perempuan itu tidak menikah hingga sekarang. Padahal usianya tidak lagi muda, 29 tahun. Tapi perasaan sialan itu, begitu ia sering mengutuk perasaannya sendiri, selalu hadir ketika ia sedang serius-seriusnya menjalin hubungan dengan seseorang lelaki dan lelaki itu mengajaknya untuk menikah.

Ia merasa kecut, takut, yang datang bersama perasaan bersalah jika ia tidak mampu membuat suaminya menikmati malam pertama seperti suami-suami lainnya. Meski ia termasuk yang tidak perduli dengan mitos malam pertama, harus begini-harus begitu, tapi ia tidak dapat menolak ketika bayangan-bayangan aneh muncul di kepalanya.

Terus terang, ia tidak ingin seperti perempuan-perempuan yang menikmati perkawinan cuma sesaat, bahkan ada yang cuma beberapa hari, karena persoalan malam pertama. Sebab, banyak lelaki yang masih begitu mengsakralkan malam pertama. Selalu saja kesucian itu diukur dari bisa tidaknya perempuan mempertahankan keperawanan.

Dan, perempuan itu sudah tidak perawan lagi. Sebabnya klise: percintaan yang terlalu menggebu dengan seorang lelaki yang dicintainya, tapi kemudian lelaki itu menghilang entah ke mana. Lelaki itu tak lain adalah teman kuliahnya. Peristiwa itu terjadi pada sebuah malam beberapa hari setelah mereka diwisuda tanda lulus kuliah.

"Aku memang terlalu bahagia waktu itu, sampai aku lupa segalanya," ujarnya suatu kali kepada Nita, seorang teman baiknya, tatkala menceritakan peristiwa yang ia anggap begitu tragis dalam hidupnya itu. "Padahal, kami telah pacaran tiga tahun, baru kali itu kami tergelincir. Setelah malam itu, kami tidak pernah bertemu lagi. Dia pulang kampung dan aku tidak bisa menghubunginya lagi."
"Kamu tidak tahu di mana kampungnya?"

"Tahu. Tapi kota tempatnya tinggal begitu besar, dan aku tidak punya alamat jelas. Ia tinggal di desa pula. Aku tidak mungkin mengubek-ngubek daerah itu. Lagi pula waktu itu kupikir ia hanya pulang sementara, sebab begitulah pengakuannya. Jadi aku tidak sampai minta alamat lengkap. Ia diminta pulang sebentar karena orang tuanya membuat syukuran setelah ia berhasil jadi sarjana."
"Terus, ia tidak balik-balik lagi?"

"Iya, aku menunggu sampai tiga bulan tidak balik-balik. Aku mulai mencari tahu kepada teman-temannya, tapi juga tidak ada yang tahu alamat persisnya."
"Tidak menelpon?"

"Di desa dia, listrik pun belum merata masuk, apalagi telepon dan sinyal telepon genggam. Praktis setelah ia pulang ke kampung, aku sama sekali tidak bisa mengontak dia. Akhirnya terpaksa melupakannya."
"Kamu bisa melupakan dia?"

"Ya tidak bisa. Tapi aku paksa diriku untuk melupakan, meski sampai sekarang aku terkadang masih mengharapkan ia muncul kembali. Aku tahu ini mimpi, sebab sudah lima tahun ia menghilang, mungkin ia sudah menikah dan punya anak. Tapi siapa tahu mimpi itu jadi kenyataan."
"Kau gila..."
"Aku memang rada gila."

***

Dan, saat paling menyebalkan dengan kesendiriannya adalah ketika pulang kampung. Tak hanya ibu, ayah, saudara dan famili-familinya yang mencecarnya dengan pertanyaan kapan akan menikah dan ketakutan-ketakutan tak berdasar tentang "jadi perawan tua", juga kawan-kawan kecil dan remajanya.
"Nak, kamu harus belajar serius berteman dengan lelaki," kata ibu.

"Lama-lama kamu bisa tidak dapat suami lho. Kalau pangkatmu di kantor makin tinggi, laki-laki jadi segan mendekatimu," Bulik Mar, adik ibu, menimpali.
"Bapak juga sudah kangen mau nimang cucu lho," Bapak tak mau kalah.

"Pokoknya, pulang lebaran depan kamu tidak sendiri lagi," kakaknya paling tua, Nani, berkata agak tegas.

Perempuan itu diam saja mendengar mereka bicara. Setelah keluarganya yang berkumpul itu semua selesai bicara, baru ia bicara. "Bapak, Bu, Kak, Bulik, jangan khawatir. Jodoh di tangan Tuhan. Kalau jodoh, besok juga ketemu. Kalau belum jodoh, sampai bertahun-tahun kemudian juga belum ketemu. Gitu aja. Jangan susah-susah."

"Kamu memang susah dibilangin. Kalau tidak dicari, mana dapat jodoh. Memang jaman dulu, duduk-duduk di rumah saja jodoh datang sendiri," ibu kembali mengomel.
"Atau kamu mau ibu carikan jodoh buatmu?"
"Ah, ibu. Kok nggak percaya sama aku sih? Aku bisa kok mendapatkan jodohku sendiri."
"Ibu tunggu bukti kata-katamu itu."

Roem, lelaki yang pernah ditolak cintanya di SMA dulu, ketika bertandang ke rumahnya lebaran lalu juga ikut-ikutan menasehatinya agar cepat menikah. "Kapan akan menikah? Aku tunggu undangannya ya. Yang pasti menikah itu menentramkan lho. Seperti aku, setiap pulang kerja, rasanya capek langsung hilang begitu ketemu isteri dan anak-anak."

Perempuan itu biasanya menjawab pendek saja. "Tunggu saja undangannya. Tidak lama lagi kok. Aku tunggu kado paling spesial darimu. Tapi jangan kerupuk ya, meskipun aku suka kerupuk. Kamu masih ingat gak, ketika ulang tahunku dulu kamu kasih aku sepotong kerupuk. Aku langsung melahap kerupuk itu. Ha..ha..."

Tidak lama lagi, begitulah yang sering ia ucapkan sejak beberapa tahun lalu setiap ada pertanyaan tentang kapan ia akan menikah. Geli juga ia dengan jawabannya, sebagaimana gelinya dia dengan kegelisahan orang-orang padanya karena belum menikah.

Tapi, ia tidak pernah menceritakan perihal rasa berdosa itu kepada keluarganya, juga kepada orang-orang di kampungnya. Sebab, kalau sampai keluarga dan orang kampungnya tahu, itu aib luar biasa. Ia bisa terhina habis-habisan. Di kampungnya, perempuan sering pulang malam saja sudah dicibir.

***

Sekarang bukan tak ada lelaki yang sangat dekat dengan perempuan itu. Yang sangat dekat ada Adit, mereka suka jalan-jalan bareng, seperti nonton atau sekedar nongkrong di kafe sepulang kerja. Tapi ia tidak mau berkomitmen apa pun, meskipun Adit sudah beberapa kali menembaknya dengan kata-kata cinta.

Perempuan itu selalu bilang: "Kita tidak usah berkomitmen dulu. Kita perlu pendekatan yang lebih lama. Kita harus saling mengenal lebih jauh. Biarkan kita seperti ini dulu, biar kita lebih bebas." Adit adalah rekan sekerjanya, juga salah seorang manajer di kantornya. Umurnya lebih tua empat tahun dari perempuan itu.

Yang mengagetkan, suatu kali, ketika makan malam di sebuah kafe, Adit kembali menembaknya. Kali ini tidak sekedar dengan kata-kata yang sering dia ucapkan, semisal "aku sungguh-sungguh mencintaimu, mengapa kamu tidak bisa membaca itu" atau "aku selalu tak sabar menunggu kabar baik darimu", dan sebangsanya.

Kali itu, ia berkata dengan amat tegas namun penuh harap: "Aku ingin kamu menjadi isteriku. Aku ingin melamarmu."

Perempuan itu benar-benar terdiam. Mulutnya menganga. Matanya terbuka lebar, memandang lelaki di depannya. Ia sama sekali tidak menduga. "Vina, aku sudah lama menunggu. Kita sudah lebih satu tahun begini terus. Kamu tidak pernah memberi jawaban. Sekarang, aku ingin kita serius."
"Tunggu dulu. Apakah kamu sekedar ingin menguji apakah aku mencintaimu?"
"Tidak cuma itu. Aku ingin kita secepatnya menikah."
"Adit, masih banyak yang kamu tidak tahu dari aku."

"Kamu sering sekali mengucapkan kata-kata semacam itu. Selalu kamu bilang: kita belum saling mengenal lebih baik, perlu waktu, perlu penyesuaian, dan seterusnya. Aku kira kita sudah sangat saling mengenal."

Perempuan itu terdiam. Ia tak harus bicara apa. Mata Adit menghujamnya. Mata itu seperti tak sabar menunggu sebuah kepastian. Sebenarnya, ia ingin bilang kepada lelaki itu bahwa ia juga mencintainya. Tapi ia seperti kehilangan kata-kata untuk mengungkapkan itu. Ia begitu berat mengucapkannya. Lidahnya kelu. Mulutnya terkunci.

Peristiwa seperti itulah yang beberapa kali terjadi, tapi dengan beberapa lelaki berbeda. Ketika didesak, perempuan itu seperti tidak siap untuk menjawab. Akhirnya, kemudian lelaki itu pergi. Kali ini, ia tidak ingin Adit juga pergi, seperti beberapa lelaki yang pernah dekat dengannya.

Kembali ia teringat wajah ibu, bapak, juga saudara-saudaranya yang tak henti mendorongnya untuk menikah. Tiba-tiba, ia tak hanya merasa berdosa pada dirinya sendiri, juga merasa berdosa pada ibu dan bapak karena telah mensia-siakan nasehat dan kerinduan mereka melihatnya menemukan tambatan hati, seorang suami yang dia cintai.
"Boleh aku menjawab besok?"

Adit menatapnya dalam-dalam. Mata mereka bersisi tatap. Lalu, lelaki itu tersenyum, dan mengangguk. Mereka saling tersenyum. "Aku akan menunggu kabar terbaik darimu. Setelah itu, aku akan langsung mengajak orang tuaku untuk melamarmu. Setelah aku cerita tentang kamu dan memperlihatkan foto-fotomu, orang tuaku jadi tak sabar ingin bertemu kamu dan segera melamar."
"Mereka sedang di kota ini?"
"Ya, mereka baru datang dari kampung kemarin. Mereka sengaja datang untuk bertemu kamu."

"Bertemu aku? Kamu pasti terlalu memujiku pada mereka. Padahal aku tidak seperti yang kau kira. Aku banyak kekurangan. Jangan-jangan, jika kau tahu kekuranganku, kau akan lari terbirit-birit."
"Itu tidak mungkin. Aku mencintaimu apa adanya."
"Ah, itu bahasa klise. Sangat banyak orang bilang begitu."
"Tapi aku serius."
"Itu juga klise. Banyak orang juga bilang begitu."
"Ah, aku susah berdebat denganmu."
"Ya sudah. Jangan berdebat."
Mereka saling diam. Tapi mata mereka kembali saling tatap. Lalu, kembali, kedua bibir yang berjauhan itu saling tersenyum.
"Sekarang sudah malam, ayo kita pulang," ujar perempuan itu.
"Iya."

Mereka lalu melangkah meninggalkan kafe itu. Sejenak, perempuan itu merasa terbebas dari sebuah persoalan maha berat. Kini ia punya waktu untuk berpikir, untuk mencari jalan terbaik bagaimana mengungkapkan rasa hatinya kepada Adit, dan bagaimana menjelaskan kepada lelaki itu tentang rasa berdosa yang selalu mengejar-ngejarnya.

Sebelum mengungkapkan isi hatinya, ia harus tahu apakah Adit tipe lelaki kebanyakan, yang melihat kesucian dari kemampuan perempuan untuk mempertahankan keperawanan. Tapi, ia bingung bagaimana menanyakan itu kepada Adit. Yang pasti, ia merasa harus berterus terang, agar semuanya jelas. Kali ini, ia telah bertekat untuk melawan rasa berdosa yang sekian waktu menghantuinya.

Di ujung pertemuan itu, Adit mencium keningnya, dan ia tidak kuasa menolak.***

* Depok, 14 Januari 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar