Sabtu, 28 Januari 2012

Narapidana Cerpen :Ganda Pekasih


Seputar Indonesia
Minggu, 12 Agustus 2007

Narapidana
Cerpen :Ganda Pekasih

Surjan bersandar di dindingdinding kusam yang beku itu, jeruji-jeruji yang dingin mencengkeram tubuh kurusnya. Orang-orang lewat mencibir dan membuang puntung seenaknya.

Surjan menelan ludah getir, ini sudah tahun ke empat dia mendekam di balik dinding-dinding kusam yang mengungkung kebebasannya walau ini memang konsekuensi dari beberapa kejahatan yang dilakukannya. (merampok para koruptor dan membagi bagikan uang hasil rampokannya kepada orang-orang miskin di kampungnya).

Sudah beberapa kali pula Surjan tertangkap saat hendak melarikan diri, tapi sering gagal karena selalu saja pengkhianat muncul di saat-saat terakhir persiapan rencana pelariannya.Bahkan ketika itu dia sudah berada di ujung menara sebelum tepergok salah seorang sipir yang sedang mengisap ganja, tak jauh dari pintu gerbang.

Surjan kini pasrah, lebaran tahun kemarin dia mendapatkan remisi sebulan, lalu bulan Agustus tahun kemarin juga sebulan, dibandingkan hukumannya yang 15 tahun, sebulan dua bulan sangatlah tidak berarti apa-apa. Surjan merasa lebih baik bunuh diri jika dia tidak berhasil lolos.

Surjan terbatuk dan menahan dadanya yang nyeri. Flek paru-paru yang dia dapatkan sewaktu kecil dulu, kini tiga tahun terakhir baksil-baksil yang menghuni paru parunya itu telah berkembang biak menjadi kuman-kuman TBC yang ganas menggurita dalam dadanya. Jika dia terbatuk sedikit saja, sakit yang sungguh luar biasa dirasakannya, kumankuman ganas itu juga terbang memenuhi seantero udara mengabarkan kematian yang lambat tapi pasti bagi Surjan.

Lampu-lampu mulai menyala menggantikan temaram menjelang malam, para napi kembali ke sel masing-masing, tidur beristirahat dengan pikiran yang terbang melayang. Jasad-jasad kasar mereka teronggok di atas kasur tipis yang dingin menggigit kulit, jadi santapan asyik kutu-kutu busuk. Surjan mengingat-ingat sudah begitu banyak penghuni selnya yang mati.Baru bulan lalu Soleh bunuh diri, Ibrahim yang dibawa berobat karena sakit,di perjalanan dia lompat dari mobil tahanan, lalu didor dan mati.

Mayatnya terbujur di pinggir selokan dan mobil tahanan yang membawanya terus berlalu.Mayatnya kemudian di simpan di Rumah sakit umum, sebulan kemudian baru dibawa ke keluarganya ke Klaten. Surjan juga nyaris bunuh diri ketika itu sebelum dia menemukan celah-celah untuk lolos, untung juga ada Mardi yang menyelamatkannya, kalau tidak dia mungkin sudah mati.

Mardi sahabatnya, seorang pembunuh dan perampok berdarah dingin yang sukses beberapa kali menjalankan kejahatannya, tapi sepandai pandainya tupai melompat sesekali akan terjatuh juga. Dia tertangkap dengan sebuah luka parah karena tembakan aparat di betisnya, dia meninggalkan dua istri, yang satu sedang hamil lima bulan waktu itu, dan yang seorang lagi sudah memiliki anak usia 2 tahun.

Hari pertama menghuni satu sel bersama Surjan, Mardi nyaris membunuh sipir penjara dengan mencekiknya karena dia gagal berjumpa dengan salah satu istrinya.Istrinya yang terkaget kaget tak menyangka Mardi sudah ada di balik jeruji-jeruji penjara,untung sipir itu tak mati, kalau tidak hukuman Mardi pasti makin panjang, bahkan hukuman mati menantinya.

Keluar dari sini dia akan membawa tubuhnya yang menua, di mana orang-orang tak mengenali lagi siapa dirinya, itu pun kalau dia selamat dari pembunuh-pembunuh muda yang berkuasa di lembaga ini. Mardi sudah menghuni lembaga ini enam tahun saat Surjan masuk, kini Mardi dibiarkan bersama penghunipenghuni baru karena kondisi kejiwaannya sudah sangat tenang, dia rajin beribadah walau pun tidak konstan,kestabilan jiwanya masih labil.

Remisi yang didapatnya setiap tahun nyaris 3 sampai 4 bulan,cukup memberi harapan baginya. Mardi sedang telentang tidur nyenyak saat Surjan merebahkan tubuhnya, jenggot Mardi tersisir rapi, ia memang selalu mengelus jenggotnya kapan saja terutama saat hendak tidur, tampak pikirannya melayang layang memandang langit sel yang kuning berjelaga. Jam di luar jeruji, pada dinding lorong ke arah barat yang suram menunjukkan pukul sebelas malam.

Detak sepatu sipir penjara terdengar di kesunyian bersama gemerincing kunci-kunci sel. Sayup suara kendaraan yang lewat di depan penjara terdengar pelan bersama suara deru seperti angin yang meniup dedaunan. Suara buah asam jawa yang jatuh di atas aspal terdengar jelas di keheningan. ***

Mardi tergesa-gesa mendatangi Surjan yang sedang menyiangi rerumputan yang tumbuh di antara tanaman ubi jalar di salah satu blok, yang anggotanya, antara lain Mardi dan Surjan. ”Tadi malam aku bermimpi….” Surjan tak antusias mendengar ucapan Mardi. Usianya dan Mardi nyaris kepala lima sekarang, mimpi apa untuk manusia uzur yang mungkin saja maut siap menjemput mereka.Mimpi indahkah?

”Aku berjumpa Si Mbok, dia datang sambil memukul-mukul kentungan tanda ada orang yang mati, seperti di kampungku dulu.” ”Hh….” Dengus Surjan. ”Kau masih ingat ceritaku?” ”Cerita yang mana?” ”Dulu pernah aku ceritakan, kirakira… ah aku lupa. Tentang itu, orang yang mati malam Sabtu, dia akan membawa kematian kepada tujuh orang berturut turut.” Surjan mengingat ingat cerita itu.

”Ya… aku ingat sedikit, dan akhirnya bapakmu menjadi orang yang ketujuh meninggal karena disantet manusia bernama Sobron itu,Sobron… yang matinya juga karena teluh gaib.” Mardi tertawa. ”Ya,kau benar.Kau tahukan,sebulan yang lalu Soleh mati bunuh diri, pas Jumat Kliwon, malam Sabtu, kemudian Ibrahim mati tertembak seminggu setelah kau kedapatan mau kabur.

Beberapa minggu kemudian, Kusno mati dikeroyok anak-anak Surabaya teman mereka sendiri,lalu Pak Manaf mati tanpa sebab di selnya, tapi sepertinya dia diracun oleh keluarganya sendiri,mereka sengaja mengakhiri hidup Pak Manaf karena ingin cepat menjual tanah peninggalannya. Kemudian, Supri yang memang sudah lama kena AIDS….” Hening, tak ada suara.Terdengar cicak berdecak. ”Lalu orang ke enam dan ketujuh siapa yang mati menurut kamu …?”iseng Surjan bertanya.

Dia menarik nafas. ”Orang keenam adalah aku!” Surjan terkejut, dipandanginya wajah keras Mardi dengan codet yang melintang di pipinya dan bulu-bulu jenggot putihnya yang jatuh lurus, ”Dan siapa yang ketujuh….?” ”Aku tak tahu, karena aku sudah mati, tapi menurutku kau….” Aku terkekeh mendengar kata katanya. ”Tidak mungkin… aku tidak akan mati di tempat ini, kemarin hampir saja aku berhasil ….” ”Kau tidak akan lolos…. Penyakit batukmu itulah yang akan membunuhmu pelan-pelan di tempat ini, itu sudah kematian yang bagus buat kamu….”

Mardi tiba-tiba tertawa, tawanya terdengar bergema di dinding-dinding penjara. ”Aku merasa mereka bukan mati bunuh diri, tapi kebanyakan menurutku memang telah direncanakan, toh hidup pun mereka tak ada gunanya….” Mardi seketika menunjukkan jarinya di telunjuk. ”Sssttt, jangan keras-keras bicara, kalau memang betul begitu,maka ramalanku pasti benar, setelah aku lalu kamu, dan bukan cuma tujuh orang, tapi tak terhitung, kita ini cuma sampah… kita sekadar singgah saja di tempat ini.”

”Jadi tak salah rencanaku kalau aku melarikan diri…?” ”Tidak… cuma di luar sana sama saja,kau juga akan mati, tak ada yang memberimu makan dan tempat tinggal, di sini makan gratis. Semua orang di sini kalau sudah bebas inginnya masuk lagi, di sini nggak perlu repot nyari makan, apalagi nyari kontrakan segala, semua sudah disediakan, tapi risikonya kita memang harus mati di sini, siapa yang mau…?”

”Aku tidak mau….” ”Aku juga tidak, tapi si Mbok tak pernah muncul sebelumnya dalam mimpiku, kalau dia muncul dalam mimpiku itu bukan main-main.Kentungan itu terdengar jelas sambil dia berteriak kepada orang kampung malam-malam sambil bawa obor, dia membangunkanku, api obor terasa panas di pipiku dan nyaris minyak obor itu tumpah mengenai wajahku hingga aku tersentak bangun.

Suara keuntungannya aneh,sampai sekarang terasa seperti masih menendang-nendang telingaku.” ”Ah… itu karena kau rindu kampungmu saja, sudahlah, jangan khawatir, aku tak menganggap itu mimpi yang penting.” Wajahnya yang mengeras memandang Surjan tanpa kata sebelum dia menarik napas,lalu kemudian merebahkan dirinya, mengelus jenggotnya yang sudah menjadi dua warna,hitam kelabu dan putih. ***

Pagi itu kabar yang sangat buruk,lonceng dipukul bertalu-talu,Mardi tergantung di kamar mandi. Lidahnya menjulur panjang seperti lidah kerbau yang disembelih. Surjan blingsatan, jika apa yang dibilang Mardi dalam mimpinya benar, itu berarti orang ketujuh adalah diriku, batin Surjan. Kematian memang soal yang biasa di lembaga ini,ramalan Mardi mungkin hanya kebetulan saja, kesimpulan Surjan menenangkan dirinya.

Dan malam harinya, Surjan melenggang di blok barat seorang diri, semua orang tidur nyenyak dibuai mimpi. Ada yang aneh, kenapa malam ini begitu lengang… sunyi. Melewati aula kecil dengan meja kursi reyot bertumpuk tumpuk suasana tambah sunyi,sel-sel dingin mengunci jasadjasad yang mati, mata-mata yang kosong tanpa nyala api.

Tiba-tiba mimpi yang diceritakan Mardi mengisi pikiran Surjan, dia juga punya si Mbok di kampung sana, tapi si Mbok sudah lama mati dan tak pernah memukul kentungan jika ada orang yang mati seperti Mboknya Mardi, itu pekerjaan lelaki bukan perempuan. Keluar malam saja si Mbokku takut, apalagi jika harus memukul kentungan seputar kampung mengabarkan ada orang yang mati, apalagi biasanya kematian itu kematian yang tak wajar.

Suara kentungan tiba-tiba terdengar bertalu-talu, tepatnya lonceng tanda peringatan bahwa ada yang mau kabur. Surjan panik, tapi dia sudah terlanjur melampaui beberapa batas aman di mana dia hanya tinggal memanjat tembok menyeberang melewati rerumputan sepetak hingga tiba di balik dinding. Sampai di situ Surjan langsung memanjat, beberapa temannya kemarin sudah sempat membuat beberapa anak tangga di dinding yang ternyata belum diperbaiki.

Di atas tembok, dia melihat sipir penjara yang biasa ada di menara kini tak tampak, juga di tempat dia biasa mengisap ganja. Entah ke mana dia,mungkin kebosanan telah menyergapnya hingga diam-diam dia meninggalkan tugasnya. Surjan sampai di ujung tembok, dia semakin dekat kepada kemerdekaannya dan segera melompat menjatuhkan tubuh kurusnya yang ringan, dia mendarat dengan sempurna, dia segera menyelinap melewati halaman lembaga yang ditaburi pecahan kulit kelapa sawit yang sangat berisik manakala terinjak walau oleh kaki burung dara sekalipun.

Surjan berharap tak ada yang mengetahui pelariannya. Dia berjongkok sebentar di bawah pohon asam jawa yang rimbun,beberapa buah yang masak berjatuhan nyaris menimpa kepalanya, dia mengambilnya sebiji seukuran ibu jari, melepas kulitnya dan memakannya. Menikmati rasa asam jawa itu membuat masa kanak-kanaknya di kampung berkelebat bermain di matanya.

Di alam bebas, keinginan Surjan merampok langsung mengisi kepalanya, tapi dia tak mungkin langsung mendatangi seorang koruptor dini hari begini, dia harus fokus dengan korbannya lebih dulu,melihatnya di koran dan televisi lalu menggambar keadaan tempat tinggalnya. Bagi Surjan, merampok koruptor sangat mudah, karena biasanya mereka bisa diajak kompromi, mereka sangat takut publikasi.

Bahkan, perampok yang sudah ada di dalam rumah yang tepergok akan dibiarkan membawa hasil rampokannya, karena pada hakikatnya mereka juga adalah perampok, bahkan lebih rakus dari perampok ulung yang ditakuti. Merasa aman, Surjan melenggang sambil menikmati asam jawa yang membuat mulutnya mengeluarkan lebih banyak ludah. Akkkuuu bebaaaaassssss!!!

Teriaknya dalam dada dan segera berlari. Hingga kemudian, terdengar suara letusan senjata yang tak diduga duganya. Doooorrrrr!!!! Seketika Surjan terjengkang bahkan tak sempat terkejut mendengar suara letusan itu, dia meraba dadanya yang basah oleh darah, dia terbatuk dan begitu nyeri dirasanya. Langit di atas sana tampak penuh ditaburi bintang di kegelapan raksasa yang maha luas, lalu dia mendengar bermacam benda dipukul, suaranya nyaring, berdentang dentang dari sana, seperti kentungan pengabar mayat di kampung saat dini hari, ah tapi itu bukan kentungan, itu suara lonceng dan benda-benda yang dipukul orangorang… ”Wah… kelihatannya bakal ada beberapa lagi yang keluar bos….”

”Bagus, biarkan saja dan akan kita habisi mereka semua, mereka cuma tikus yang tak ada gunanya.” Surjan sangat geram dengan katakata itu, dia ingin bangkit tapi tiba-tiba dia tak lagi mendengar tapak-tapak sepatu mereka yang berjalan mengelilinginya sambil mereka bercakap-cakap tentang tembakan mereka yang jitu dengan hanya satu peluru saja. Cuma Surjan masih sempat mencium asap ganja yang khas itu yang mengiringi ruhnya melayang layang ke langit.*** 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar