Kamis, 26 Januari 2012

Kesaksian Kalis Cerpen: Fakhrunnas MA Jabbar


Suara Pembaruan
Minggu, 02 September 2007

Kesaksian Kalis
Cerpen: Fakhrunnas MA Jabbar

Langit tiba-tiba menghitam. Sekumpulan burung gagak melintas sambil melantunkan suaranya yang mempercepat kelam. Hujan renyai turun tak lama berselang. Upacara bendera pagi itu terus saja berlangsung meski baru dimulai beberapa saat. Barisan peserta upacara yang terdiri atas pegawai kantoran, anak-anak sekolah, lapisan masyarakat dan pemuda di tingkat kecamatan itu mulanya masih mencoba bertahan. Termasuk Walikota yang menjadi inspektur upacara dalam perayaan kepahlawanan itu. Sementara para pejabat dan tokoh masyarakat yang sejak semula duduk di bawah tenda, tak begitu terpengaruh oleh cuaca.
Inspektur Upacara mengajak semua hadirin mengheningkan cipta. Layaknya sebuah upacara bendera, semua peserta upacara menurut saja. Tapi, bariasan anak sekolah mulai berpencar satu demi satu seiring hujan yang kian lebat.
Entah mengapa, Inspektur Upacara makin memperlama tepekur untuk menanamkan perasaan dalam mengenang jasa-jasa para pahlawan yang telah gugur. Barisan upacara yang lain juga ikut berpencar mencari tempat berteduh yang paling nyaman di sekitar lapangan sepakbola yang disulap menjadi lapangan upacara itu.
Ketika Walikota yang benar-benar kuyup tersiram hujan lebat itu memberi aba-aba bahwa mengheningkan cipta sudah selesai, hatinya jadi kecewa dan gundah. Sebab, yang tersisa di lapangan upacara hanya dirinya sendiri dan seorang Komandan Upacara. Peserta upacara yang berada di bawah tenda menyikapi suasana itu sangat beragam. Ada yang tertawa terpingkal-pingkal. Ada yang berbisik-bisik sambil geleng gepala. Ada pula yang jatuh sedih sambil beruraian airmata.
Pembaca acara jadi terdiam ketika akan membacakan acara berikutnya. Padahal bendera merah putih belum sempat dinaikkan. Sementara pasukan pengibar bendera pun sudah kabur entah ke mana bersama bendera yang akan dikibarkan pagi itu.
"Upacara harus diteruskan. Para pahlawan kita dulunya berperang tidak hanya dihujani air melainkan dihujani peluru musuh. Ini hanya karena diguyur hujan, sudah pontang-panting meninggalkan upacara. Di mana rasa patriotisme kalian!?" teriak Walikota dengan suara lantang yang terdengar sayup karena gemuruh hujan yang dahsyat.
Dua-tiga orang mantan pejuang yang semula duduk di bawah tenda langsung melompat ke lapangan berhujan-hujan dengan Walikota dan Komandan Upacara, seorang prajurit tentara yang lengkap dengan pedang di tangan. Para juru potret dan kamerawan TV dari bawah tenda terus saja mengabadikan upacara kepahlawanan yang kosong-melompong itu. Kalis, seorang lelaki tua yang sudah ubanan tampak sedih dan menghapus airmatanya yang keruh menyaksikan adegan itu.
"Teruskan saja upacara ini," ucap Kalis sambil memandang pembawa acara yang berada di sampingnya.
"Tapi peserta upacara sudah bubar semua, Pak," tanggap pembawa acara, seorang perempuan muda berbaju putih dan berpeci.
"Teruskan saja...Tak apa-apa!" balas Kalis lagi.
"Ini pengibaran bendera, Pak. Siapa yang akan melaksanakannya. Pasukan pengibar bendera sudah berpencar ke mana-mana..," tanggap pembawa acara masygul dan gugup.
"Teruskan saja. Saya masih melihat ratusan peserta upacara masih ada. Pasukan pengibar bendera juga ada," kata Kalis dengan nada yang mulai tinggi. Ia agak kesal.
Benar, Kalis memang sedang menyaksikan sebuah pemandangan yang heroik. Ratusan pejuang , sebagian besar dengan bertelanjang dada dan hanya sebagian kecil yang berbaju tentara rakyat yang lusuh sejak semula tetap di tempatnya mengikuti upacara bendera itu. Mereka selalu muncul di lapangan upacara itu tanpa bisa dilihat banyak orang. Barangkali, hanya Kalis yang punya kemampuan menatap mereka.
Pembawa acara perempuan itu terpaksa membacakan mata acara pengibaran bendera. Inspektur upacara berbalik ke arah tiang bendera. Suasana benar-benar hening dan mencekam di tengah hujan yang terus menderas. Beberapa saat hening. Semua mata tertuju ke tiang bendera yang terus diguyuri hujan itu.
Tiba-tiba, sehelai bendera merah putih yang terlipat terbuka. Bendera itu diikatkan ke tali penggerek. Dan posisi bendera itu terkembang secara tak terduga dan siap untuk ditarik ke puncak tiang. Tapi tidak, bagi Kalis sebenarnya secara terbuka menyaksikan ada empat orang pejuang yang menggerek bendera merah putih itu.
Inspektur Upacara langsung memberikan aba-aba penghormatan.
"Kepada bendera merah putih, hormat geraaaak!" pekik Inspektur Upacara yang kian kedinginan karena terus diguyur hujan deras. Semua peserta upacara yang tersisa memberikan penghormatan sambil menyanyikan Lagu kebangsaan Indonesia Raya. Bendera itu pelan-pelan menaik ke atas tanpa ada yang menggereknya. Antara tercengang dan takjub, penaikan bendera itu berlangsung lancar. Meskipun saat bendera sudah sampai ke puncak, tak bisa berkibar karena basah kuyup.
Semua peserta upacara kian tercengang. Tak habis percaya. Termasuk Inspektur Upacara yang Walikota itu. Kenapa sepotong bendera bisa naik ke puncaknya tanpa terlihat se- orang pun yang menggereknya. Sehabis upacara, semua peserta yang masih tertinggal menyerbu Walikota di podium. Kalis hanya menyaksikan dengan tersenyum menahan kesedihan.
Pembawa acara perempuan tadi langsung mendekati Kalis. Tangannya yang lembut menyentuh pundak lelaki tua itu dengan takjub.
"Pak, apa yang terjadi? Ada apa, Pak?" tanya pembawa acara yang kemudian diketahui bernama Salmiah itu penuh ingin tahu.
Semula Kalis tak bergeming dan tak peduli. Tapi lama-kelamaan, nuraninya lentur juga menatap perempuan muda itu.
"Syukurlah, upacara bendera ini berlangsung lancar hingga selesai."
"Tapi, kenapa bendera itu bisa naik sendiri?" desak Salmiah.
"Tentu ada yang menaikkannya."
"Siapa, Pak?"
"Tak perlu kau tahu saat ini. Suatu ketika kau akan tahu sendiri..."
"Sungguh ajaib, Pak."
"Ini bukan keajaiaban. Ini kenyataan.."
"Kenapa bisa, Pak?" desak Salmiah lagi tetap merasa tak puas.
"Sulit untuk dijelaskan sekarang."
"Kapan Bapak membuka tabir misteri ini?"
Kalis yang mengenakan pakaian seragam Veteran lengkap itu tampak merenung-renung. Pertanyaan Salmiah membuatnya kecut. Sungguh, ia amat takut berjanji bila hal itu sulit ditepati. Dalam perenungan yang belum berakhir itu, tiba-tiba Walikota sudah berada di depannya. Sejumlah juru potret dan kamerawan handycam itu mengerumuninya.
Walikota rupanya baru saja didesak para wartawan untuk menjawab misteri pengibaran bendera yang jarang terjadi itu. Walikota memang kenal betul bila Kalis, bekas pejuang itu punya kelebihan dalam melihat hal-hal yang gaib.
"Pak Kalis, bisa ceritakan bagaimana bendera itu bisa naik sendiri?" tanya para wartawan berdesakan.
"Ya, tentu ada yang menggerakkannya?" tanggap Kalis datar. Tanpa mimik.
"Siapa, Pak? Siapa, Pak?" desak para wartawan serempak.
"Bukan siapa-siapa. Ya, mereka itulah..." kata Kalis membuat semua orang mengejar jawaban sebenarnya.
"Mereka itu, siapa, Pak?" kejar wartawan lagi.
"Ya, nantilah. Suatu saat aku akan ceritakan semuanya..," suara Kalis tetap tenang dan datar.
"Jangan begitulah, Pak. Kami ingin memberitakannya untuk pembaca koran kami..," tanggap para wartawan tak sabar.
Kalis tampak menekur beberapa lama. Mulutnya berkomat-kamit bagaikan membaca mantera. Ia mengeluarkan sebatang rokok dari kantong baju dan menyulutnya. Ia mengisap rokok itu dalam-dalam. Suara napasnya terdengar meringkih karena kebiasaan merokok tak pernah berhenti dalam usianya yang kian senja. Suasana kian hening dan tetap saja mencekam. Hujan tampak tak kunjung reda.
"Begini.... ada yang merekam peristiwa tadi?" tiba-tiba Kalis bertanya setelah lebih lima belas menit diam mematung di tempat duduknya.
Dua-tiga orang kamerawan TV langsung memperlihatkan kamera videonya. Kalis mengangguk.
"Saya ingin menyaksikan hasil rekaman itu. Tapi tak mungkin di sini. Kita coba tonton bersama lewat layar TV," ujar Kalis membuat suasana mulai menemukan jalan keluarnya.
"Pak Kalis, bagaimana kalau di rumah kediaman saya saja nanti malam. Biar suasananya lebih tenang." Tiba-tiba Walikota menawarkan diri. Walikota langsung memanggil ajudan untuk mempersiapkan segala peralatan. Kalis langsung mengundang Salmiah yang lebih dulu menyatakan rasa ingin tahunya soal misteri upacara bendera pagi itu. Salah seorang kamerawan TV itu menyerahkan kaset rekaman kamera video pada ajudan Walikota sebelum bubar. Walikota menawari Kalis untuk diantar pulang.
Usai maghrib, rumah Walikota benar-benar ramai dikunjungi wartawan dan sejumlah pejabat. Puluhan masyarakat biasanya juga tampak ingin menyerbu masuk ke halaman, namun petugas Polisi Pamongpraja mencegat mereka. Sebab, dikhawatirkan terjadi huru-hara. Kalis, pejuang tua itu memang sudah sejak sore berada di rumah Walikota itu. Bahkan, ia sempat menjadi imam dalam sholat maghrib berjamaah dengan Walikota sebagai salah seorang jamaahnya.
Di salah satu ruangan di belakang rumah Walikota itu, sudah tersedia sebuah pesawat TV berukuran lebar sampai 30 inchi di atas meja. Di bawah raknya terpasang pula video player VHS. Dua-tiga kaset hasil rekaman kamerawan TV itu diputar bergantian yang disaksikan secara sungguh-sungguh oleh belasan orang. Walikota tampaknya paling penasaran ingin menyaksikan apa yang terjadi saat bendera itu dinaikkan.
Semua kaset video yang diputar menayangkan rekaman upacara bendera sejak awal dengan sempurna. Tapi persis pada waktu peserta upacara dan pasukan pengibar bendera sudah meninggalkan lapangan upacara, hasil rekaman itu terputus dan yang muncul di layar TV hanyalah bintik-bintik hitam bagai jutaan semut merayap. Semua yang menonton adegan itu ternganga dengan wajah kesal.
Walikota menatap Kalis dengan berkerutan kening.
"Apa yang terjadi, Pak?" tanya Walikota.
Semula Kalis terdiam dan merunduk. Tak lama berselang, ia mulai bercerita bahwa pada saat Walikota dan Komandan Upacara berhujan di lapangan sebenarnya ratusan pejuang masa lalu terus mengikuti upacara bendera itu dengan khidmat.
"Jasad pejuang itu boleh mati. Tapi ruh mereka selalu hadir di tengah-tengah kita," Kalis mulai menyingkapkan tabir misteri yang bergelayut di dalam benak yang hadir.
"Bagaimana kami bisa menyaksikannya, Pak?" tanya salah seorang wartawan yang hadir.
"Sulit untuk melihat yang gaib-gaib begitu. Tapi ikhtiar selalu saja terbuka. Mana tahu ada kamera yang bisa menangkap suasana gaib begitu," tutur Kalis datar. Salmiah yang duduk berdampingan dengan Kalis jadi manggut-manggut.
Sejak pemutaran kaset video rekaman yang penuh misteri di rumah Walikota itu, rasa penasaran semua yang hadir memang tak terpecahkan. Wahidin, salah seorang kamerawan TV yang sudah menggeluti lama dunia kamera mendatangi Walikota. Lelaki bertubuh kurus itu menceritakan pada Walikota tentang peralatan video teknologi tinggi yang bisa menangkap dunia gaib sebagaimana ditunjukkan di dalam serial Ghostbuster. Referensi itu pernah dibacanya di sebuah majalah elektronik luar negeri. Majalah itulah yang diperlihatkannya kepada Walikota yang menampilkan peralatan kamera dan video mutakhir, Virtual Machine Video Player (VMVP) dan Automatically Virtual Infra-Red Camera (AVIREC) yang menggunakan teknologi sinar infra merah. Konon, menurut iklan peralatan.
"Berapa pun mahalnya peralatan itu, kita harus beli. Kita ingin memecahkan misteri," ungkap Walikota bersemangat.
Proses pemesanan pembelian kedua peralatan itu dilakukan melalui e-business di internet. Pembayaran dilakukan melalui credit card milik Walikota. Selang sebulan, peralatan yang ditunggu-tunggu itu pun datang.
Wahidin memegang kendali sepenuhnya mengoperasikan peralatan elektronik super canggih itu. Mannual peralatan dipelajari beberapa malam. Mulanya hasil rekaman video ketiga wartawan TV tentang upacara bendera itu lebih dulu ditransfer ke peralatan VMVP yang sangat sensitif. Kemudian hasil rekaman di-scanning pada Virtual High-Sensitiveness Scanner. Wahidin melakukan down-loading pada hasil rekaman yang sudah ditransfer dengan menggunakan gelombang sinar infra-red.
Saat pemutaran kembali hasil rekaman yang sudah di-treatment secara virtual itu, Kalis dipanggil. Memang hanya ada Walikota dan anggota keluarga, Kalis dan Wahidin yang awalnya menyaksikan uji-coba berteknologi super-canggih itu.
Isteri Walikota sempat menjerit histeris saat menyaksikan potongan rekaman kamera TV saat lapangan upacara ditinggalkan peserta upacara dan pengibar bendera. Meskipun sinyal gambar yang muncul agak buram dan hanya hitam putih, tapi salah satu wajah yang muncul tak lain adalah ayahnya yang pejuang dan tewas saat berjuang merebut kemerdekaan di kota itu puluhan tahun silam. Ternyata, di lapangan saat bersamaan dipenuhi ratusan orang yang tak lain para pejuang di kota itu yang telah lama mati syahid.
Saat pengibaran bendera pun dilakonkan oleh empat orang pejuang dengan semangat heroik yang tak padam. Terlihat dengan jelas, wajah Walikota dan Komandan Upacara memberikan penghormatan saat bendera itu dikibarkan.
"Sungguh memalukan, orang-orang sekarang begitu takut menghadapi hujan lebat. Padahal pejuang kita dulunya tetap bertahan dan melawan saat menghadapi hujan peluru musuh," ucap Walikota usai menyaksikan pemutaran kaset video itu.
Kalis berlinangan airmata saat bersalaman dan memeluk Walikota. Wahidin ikut pula larut dalam kesedihan dan kekecewaan yang menjalari suasana di rumah itu.* (Untuk sohibku Kholis Romli yang memantik ide cerita ini).
Pangkalan Kerinci, 0306

Tidak ada komentar:

Posting Komentar