Kamis, 26 Januari 2012

KUCING TETANGGA Cerpen: Thamrin, TI


Republika
Minggu, 04 Mei 2008

KUCING TETANGGA
Cerpen: Thamrin, TI

Istriku tiba-tiba jadi pembenci kucing nomor satu. Tiap ada kucing mendongakkan kepalanya ke celah pagar halaman rumah kami, dia langsung menghardiknya. Yang berhasil menerobos masuk barangkali akan digebuknya.
Kucing-kucing itu milik Nyonya Siska, tetangga kami seblok. Dia istri Idris, oknum pejabat Pemda yang mendadak kaya. Rumah gedung dua pintu mereka penuh kucing kampung dan kucing angora. Karena bau kucing-kucing itu, istriku jadi tak menyukai Bu Idris, seperti haram baginya menginjakkan kaki di rumahnya.
"Begitu kita masuk, Yah, sudah tercium bau tahi kucing di mana-mana. Sofa dan kursi meja makan yang mahal-mahal pun sobek-sobek dicakar kucing," kata istriku. "Dan, dibiarkan. Paling, katanya, Pus, atau Linda, jangan begitu. Itu kursi mahal. Huh, gemas aku."
"Tapi, katamu, kau belum pernah ke rumahnya," kataku.
"Memang," jawabnya tangkas. "Tapi, kan tercium dari luar pagar."
"Lalu, sofanya yang cabik-cabik?"
"Ibu-ibu bilang begitu!"
Kebencian istriku menjadi-jadi ketika musim kucing kawin tiba. Suara jeritannya sama riuhnya dengan jeritan kucing hendak bersenggama.
"Jangan-jangan kau benci pada pemiliknya, bukan pada piaraannya itu," kataku menggoda.
"Apa?!" istriku berteriak gusar.
"Kau iri pada kekayaan mereka."
"Apa? Yang ia curi bukan milikku, tapi milik rakyat dan negara. Lagi pula, hampir semua pejabat negeri ini koruptor. Tambah satu..., kecil."
"Husss!"
"Bodo!"
Yang suka berkeliaran di depan rumah kami kebanyakan kucing kampung, yang dibiarkan mencari makan sendiri. Sedangkan kucing angora ia kurung di rumah dan dibelikan ikan, daging, serta susu. Itu sebabnya, kata gunjingan, para pembantu rumah tangga jarang betah bekerja di rumah Bu Idris. Mereka hanya kebagian tahu dan tempe.
Kalau ada kucing sakit, dibawa ke dokter hewan. Tapi, ketika para pembantu sakit, paling dibelikan aspirin atau jamu tolak angin. Namun, kepada ibu-ibu tetangganya, Bu Idris berdalih, "Saya sendiri makan tahu-tempe. Saya juga suka minum jamu."
Berkerumunnya kucing kampung Bu Idris di depan rumah kami, karena kami "memelihara" banyak tikus. Siang-malam loteng rumah kami sering riuh-rendah oleh lalu-lalang dan cericit tikus yang berkeliaran mencari makanan. Apa saja mereka ganyang. Kaleng roti biskuit sering mampu mereka gulingkan ke lantai, dan isinya mereka ludasi.
Sialnya, mereka kian pintar membedakan santapan yang aman dengan yang membawa ajal. Makanan beracun hampir tak mereka sentuh, kecuali anak-anaknya yang kurang berpengalaman. Sedang tikus biang dan pejantan segera membiakkan generasi baru.
"Jangan-jangan ini tikus yang lari dari rumah Bu Idris, atau yang ia kirim," anakku, Isna, meledek ibunya.
"Husss!" sergahku.
"Sebenarnya, mereka kemari karena merasa dianaktirikan dengan kucing-kucing impor itu," kata istriku.
"Itu karena kita tidak memelihara kucing," kata Ita, adik Isna.
"Memelihara kucing? Amit-amit deh," sungut ibunya.
Tikus-tikus pun mengamuk. Karena semua makanan, mentah dan matang, kami jejalkan ke kulkas, mereka kini memakan karpet, sandal karet, sepatu kulit, dan apa saja. Pralon rompal, membuat air tanah macet, dan air PAM melimpahi rumah. Singkong dan ubi di kebun kecil di samping rumah juga tumpas. Istriku berhenti mengumpati; ia mulai putus asa.
Rekan-rekanku di kantor, yang aku ceritai, menyalahkan kelemahanku -- istriku lebih dominan.
"Pertama-tama, kau harus tertibkan istrimu, baru tikus," Maulana mengajukan resep.
"Rumahmu penuh tikus, tapi istrimu membenci kucing, padahal kucing pemangsa tikus."
"Katamu, lahan rumahmu itu bekas kebun singkong dan ubi," kata Johan yang sering ke rumahku. "Aku tahu di sebelahnya sawah, yang diuruk untuk pemukiman baru. Tahu kau kenapa rumahmu dikerjai tikus?" katanya.
Teman-teman tersenyum menunggu ketajaman analitis Johan yang terkenal itu. "Tadinya tikus-tikus menetap dan mencari makan di lahan rumah itu sebelum rumahmu berdiri," simpul Marjohan.
"Mengapa sekarang?" protesku.
"Ketika rumahmu dibangun, mereka mengungsi ke sawah, dan memangsa padi atau palawija. Sedang sekarang kan sawahnya sudah diuruk untuk bakal pemukiman."
"Tapi, kenapa rumahku?" protesku.
"Karena istrimu itu! Ia mempersonanongratakan kucing-kucing itu," kata mereka serentak.
Aku termenung. Johan memintaku memeriksa saluran air rumah. "Apakah airnya mengalir ke sawah?" tanyanya.
"Memang. Sejak gorong-gorong depan rumah suka meluap di musim hujan, kami membuka saluran air ke sawah."
"Ya," sela Johan. "Dari situlah tikus-tikus itu leluasa keluar-masuk. Tutup saluran itu, alirkan air limbah kembali ke gorong-gorong. Dan biarkan kucing-kucing itu melakukan 'operasi jaring merah'."
Aku mengangguk pelan.
Saran Johan aku laksanakan tanpa meminta persetujuan istriku, yang ternyata setuju saja. "Tapi, jika hujan dan airnya melimpah, kita bisa dimaki orang se-RW."
"Biar. Kita yakinkan mereka, itu gara-gara para oknum Pemda yang korup dan mau terima sogok. Developer membangun perumahan berfasilitas kelas kambing. Membengkakkan biaya proyek dan memerosotkan mutu. Orang-orang kayak si tikus Idris itu."
"Husss!" sergahku.
"Biar!" kata istriku enteng. "Masak, kepala bagian saja bisa punya rumah bertingkat dua kapling, dan tiga sedan mewah. Dasar tikus."
Setelah saluran air itu ditutup, tikus-tikus itu tak bisa lagi keluar masuk ke dan dari rumah kami. Sekarang, rasakan! Tapi tidak juga. Tak bisa keluar dari rumah, para tikus kian merajalela: makanan, pipa pralon, kabel listrik dan telepon, pakaian dan sepatu, mereka lahap semua. Seperti hendak membalaskan dendam: mereka menggerogoti sedikit lalu mencabik-cabiknya.
"Idris lu!" kutuk istriku.
"Sssst!"
"Ah, kau! Kau kayak penegak hukum saja, takut sama koruptor!"
Suatu sore di hari libur Imlek, aku, istriku, dan ketiga anakku duduk-duduk di beranda. Aku melihat wajah istriku lebih berseri.
"Tumben Ibu kalian ceria hari ini?" godaku.
"Emang. Aku girang dia akan pindah dari sini."
Aku sudah bisa menebak, tapi bertanya juga:
"Siapa yang mau pindah?"
"Keluarga tikus itu. Rupanya si Idris dapet sabetan lagi, dan membeli rumah mewah baru di Kelapa Gading."
"O ya, Bu? Enak dong mereka," timpa Isna.
"Sekarang enak. Nanti di akhirat tahu rasa," ujar istriku.
"Lalu kenapa kau senang?" kataku.
"Tampang kayak gitu jauh-jauh sajalah."
Tiba-tiba seekor kucing kampung melompat dari para-para rumah kami. Matanya liar dan bersinar di keremangan senja. Dia seperti kaget dan ketakutan melihat kami, yang menatapnya nanap. Yang lebih kaget aku dan anak-anakku. Bukan saja berhasil lolos masuk ke rumah kami, kucing abu-abu bertotal hitam itu mencengkeram seekor tikus sebesar tinju lelaki di rahangnya yang bertaring tajam. Darah segar menetes dari tubuh tikus hitam keabu-abuan itu. Matanya terbeliak, seperti tak percaya ada kucing masuk ke rumah dan menangkapnya.
"Ya. Sejak pemiliknya dipastikan akan pindah ke Kelapa Gading, aku membiarkan kucing-kucing kampung itu masuk dan berpesta pora," ujar istriku dengan senyum puas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar