Sabtu, 28 Januari 2012

Menyihir Penyihir Cerpen: Saroni Asikin


Suara Merdeka
Minggu, 10 Juni 2007

Menyihir Penyihir
Cerpen: Saroni Asikin

KIREI namaku. Sebelum 21 Desember tahun itu, aku lebih banyak berada di dalam sebuah tabung kaca sebesar gelas minum. Tubuh tabung itu berlubang-lubang. Dan dari lubang-lubang itulah aku bisa bernapas, meskipun lebih banyak kualami sesak napas. Mau tahu besar tubuhku? Mungkin tak lebih besar dari seekor capung kerbau yang sering kautangkap saat kanak-kanak dulu.
Di dalam tabung sialan itu, aku menjelajah dari kota yang satu ke kota lain. Tapi mana aku tahu nama kota-kota itu? Penjelajahanku sangat bergantung pada kepergian seorang lelaki yang menenteng-nenteng tabung itu. Sabar sebentar, nanti kuceritakan siapa lelaki itu. Setahuku, lelaki itu tak punya rumah. Dia selalu pergi dan selalu menenteng tabung kaca yang memenjarakan aku. Sedetik pun dia tak pernah mau melepas tabung tersebut. Seolah-olah sosok yang berada di dalamnya begitu berharga buatnya. Di pesawat, atau kereta api, atau bus, meskipun dia tertidur lelap, jari-jari tangannya tak pernah lepas dari tali yang diikat pada tutup tabung itu.
Jadi, kota-kota hanya bisa kulihat dari balik kaca tabung. Dan karena tubuhku begitu kecil, segala yang kulihat serbabesar. Aku jadi mirip makhluk liliput yang dijumpai Gulliver dalam perjalanannya. Dengan begitu, sebenarnya aku tak pernah merasa telah menjelajah dari satu kota ke kota lainnya. Sungguh menjengkelkan!
Aku baru bisa menikmati kenormalan tubuhku sebagai perempuan dewasa manakala lelaki itu mampir semalam pada sebuah kamar hotel. Tapi itu pun tak berarti apa-apa buatku. Semuanya sama saja. Sebab, di dalam kamar itu, setelah dia mengeluarkan aku dari tabung dan membuat tubuhku seperti sediakala, perlakuannya padaku sangat memuakkan. Aku selalu hanya dijadikan seperti boneka yang bisa dibeli di sex shop.
Ya, sudah tanpa air mata lagi kuceritakan kepadamu kisah ketakberdayaanku dalam penjara tabung kaca lelaki itu. Sudah tak ingat pula berapa lama aku terjebak di dalamnya. Jadi, tak ada lagi bedanya buatku diperlakukan sebagai boneka ataupun dibuat sekecil capung kerbau untuk dimasukkan ke dalam tabung kaca dan ditenteng-tenteng pergi.
Apakah perasaanku sudah mati? Tentu saja belum. Kemarahanku masih terus berkecamuk setiap saat. Dan mungkin kemarahan itu sudah membatu menjadi dendam di hatiku. Aku masih selalu marah -kemarahan yang sejauh ini hanya bisa kusimpan di hati- setiap kali dengan mata menyala dia memintaku bercumbu di ranjang. Yang paling membuatku marah adalah ketika dia pergi ke bar untuk minum-minum bersama teman-teman lelakinya. Bayangkan, di antara orang-orang yang mabuk, bacinnya uap alkohol dan pengap asap rokok, dia meletakkan tabung itu di tengah-tengah meja. Dengan bangga dia selalu mengatakan, "Ini puncak prestasi karierku selama ini. Menangkap seekor peri cantik dari sebuah gunung. Lihat, cantik bukan?" Sementara dia terbahak-bahak, beberapa temannya suka iseng membuka tutup tabung dan memasukkan sebuah puntung menyala ke dalamnya. Asap rokok yang terjebak di dalam tabung selalu membuatku terbatuk-batuk. Adakalanya beberapa temannya itu menuangkan minuman keras tepat ke tubuhku. Itu membuatku sangat kepanasan dan mual oleh uap alkoholnya.
Sekali-sekali di antara mereka ada yang memasukkan batang korek api lewat lubang-lubang di tubuh tabung itu. Dia menjentik-jentikkan batang itu ke tubuhku sehingga selalu membuatku berjingkat-jingkat sementara mereka kegirangan dalam ledakan tawa.
Kirei namaku. Sebelum 21 Desember tahun itu, seperti itulah hidupku. Sebab, setelah tanggal itu, hidupku tak lagi berada dalam kekuasaan seorang lelaki. Sekarang ini aku sering berpikir, kenapa Tuhan harus menciptakan Adam? Kenapa harus ada lelaki? Kenapa aku perempuan? Lelaki yang sekian lama mengambil waktu hidupku dengan memenjarakannya di tabung kaca itu buatku hanyalah sesosok makhluk nista jelmaan ifrit.
Bertahun-tahun hidup dalam kekuasaan lelaki itu menyadarkan aku bahwa sehebat apa pun atau sejahat apa pun seseorang, dia pasti punya kelemahan untuk ditaklukkan. Ya, boleh saja dia disebut teman-temannya sebagai tukang sihir paling hebat di seantero negeri. Dia pun punya kelemahan yang akhirnya bisa kujadikan kekuatanku untuk menaklukkannya suatu ketika. Ya, akhirnya dia kutaklukkan pada suatu dini hari 21 Desember tahun itu. Dan seperti sebuah kebetulan, itu tanggal kelahiranku.
Kau tahu kelemahannya? Kelemahannya adalah kekuatan yang sekian lama dia bangga-banggakan. Dan itu sebuah batu kecil sebesar permen berwarna oranye. Aku tak peduli apa nama batu itu. Yang pasti, dengan batu itu dan beberapa kalimat mantra, dia membuatku sekecil capung kerbau dan mengembalikannya ke ujud normal untuk dijadikan bonekanya.
***
BAIKNYA kuceritakan awal pertemuanku dengan lelaki itu. Suatu hari, aku sedang menunggu seseorang di lobi sebuah hotel. Di situ telah duduk seorang lelaki yang tengah merokok. Dia terlihat begitu gelisah. Awalnya tak ada perbincangan apa pun selain sesekali kami bersipandang. Mungkin karena sama-sama merasa jenuh menunggu, kami lalu terlibat dalam sebuah percakapan yang mengalir.
Dia sungguh menyenangkan sebagai teman bercakap-cakap. Kami berkenalan, bertukar nomor ponsel, lalu berlalu untuk urusan masing-masing. Malamnya dia menelepon aku. Percakapan mengalir. Menyenangkan. Setelah telepon itu, hari-hari selanjutnya kami banyak melewatkan waktu bersama. Dia kerap mengajakku makan malam, atau menonton film. Aku begitu dia manjakan. Siapa yang tak suka diperlakukan seperti itu? Dan bagai alur kisah cerita picisan, aku mau saja diajak menginap di sebuah hotel pada suatu malam. Dan sejak malam itu, tak terbilang seringnya kami menghabiskan waktu untuk bercinta.
Perlahan-lahan aku tahu, dia adalah lelaki posesif. Dia juga pencemburu. Dia selalu meledak-ledak mengungkapkan kecemburuannya setiap kali dia tahu aku pergi atau sekadar berbincang akrab dengan seorang teman lelaki. Aneh sekali. Tak ada komitmen apa pun dalam hubungan kami selain percakapan, makan malam, menonton film, atau tidur bersama.
Malam itu aku baru sadar ternyata selama ini aku cuma perempuan tolol dan pongah yang terharu-biru oleh pemanjaan-pemanjaannya. Kami bertengkar hebat di kamar sebuah hotel. Dia tak ingin aku pergi atau berakrab-akrab dengan seorang teman lelaki. Lalu tanpa setahuku, tangannya mengambil sesuatu dari saku celananya. Pada tangannya aku melihat sebutir batu oranye yang menyala tertimpa lampu kamar. Kudengar dia menggumamkan sesuatu. Beberapa saat kemudian, aku melihat dirinya begitu besar. Dia tertawa dan telingaku seperti mendengar dentuman guntur. Ketika kuamati sekeliling, semuanya tampak membesar. Shit! Aku baru sadar kalau tubuhku mengecil tak tanggung-tanggung. Saat tangannya mengambil tubuhku, aku melihat jari telunjuknya bahkan lebih besar dari tubuhku. Tuhan! Apa yang telah diperbuatnya terhadapku?
Itulah kali pertama aku dibuatnya menjadi makhluk liliput yang lalu dimasukkan ke cawan bekas minumannya. Rupanya dia telah mempersiapkan segalanya. Aku melihat dia membuka kopornya dan mengeluarkan sebuah tabung kaca berlubang-lubang. Tubuhku dimasukkan ke dalamnya dan tabung itu ditutup rapat-rapat.
Ah, kau sudah tahu kisah selanjutnya. Sejak itu pula, dia tak pernah berbicara padaku selain dua kalimat perintah yang bengis. "Buka baju!" "Telentang!".
Kenapa aku tak lari saja saat dia terkapar setelah memuaskan nafsu? Mana mungkin? Dia sangat preventif. Sebagai penyihir, dia mampu membuat kamar seperti tak berpintu dan berjendela. Lagi pula, aku memiliki sebuah dendam untuk menaklukkannya suatu hari. Dan itu membutuhkan waktu yang sangat lama.
Ya, pada saat-saat aku tak berdaya menjadi boneka, atau saat teman-teman lelakinya meleceh-lecehkan aku di bar, perasaan keperempuananku seperti dibenam di dalam pekatnya lumpur bacin. Perasaan itu berlarut-larut, menggumpal, mengeras sebagai dendam. Nanti kau tahu dendam seperti apa yang bakal kutuntaskan terhadapnya. Seperti telah kubilang, sehebat atau sejahat apa pun lelaki itu, dia pasti punya kelemahan. Itulah satu-satunya keyakinanku untuk tetap bertahan dalam kekuasaan bengisnya sembari menunggu saat dia lengah. Lebih-lebih lagi, akhirnya aku tahu kekuatannya adalah sebutir batu oranye dan beberapa kalimat mantra yang telah sangat kuhapal. Ya, kekuatannya itu juga kelemahannya yang akan membuatku bisa menaklukkannya.
***
DENDAM itu lunas pada dini hari 21 Desember tahun itu. Sepulang dari bar tempat aku baru saja dilecehkan teman-teman lelakinya dengan sangat buruk, dia pulang dalam keadaan sangat mabuk. Aku yang berada dalam tabung tentengannya jadi terombang-ambing akibat jalannya yang limbung menuju kamar hotel. Begitu masuk, dia langsung rebah di ranjang. Dengkuran besar segera terdengar. Padahal biasanya, dia segera membuka tutup tabung, dan dengan jari-jarinya mengeluarkan aku sebelum menyihirku ke ujud normal. Tidak, tidak. Dini hari itu bahkan jari-jarinya tak mampu menggenggam tali gantungan tabung. Tabung itu terguling ke samping tubuhnya.
Aku melihat sebuah peluang yang kutunggu sekian lama. Aku mulai memikirkan cara untuk keluar dari tabung sialan itu. Aku bisa saja bergulingan di dalam tabung dan berharap apa yang kulakukan bisa membuat tabung bergulir ke tepi ranjang dan terjatuh ke lantai hingga pecah. Tapi itu berisiko. Bunyi pecahannya bisa membangunkan dia. Lagi pula tubuhku pun bisa tertancap pecahan kaca. Tapi itu satu-satunya cara. Aku tak mungkin membuka tutup tabung yang ditutup rapat-rapat dan bertali simpul pula sebagai kuncinya. Pernah beberapa kali aku mencoba dan selalu gagal.
Aku menunggu beberapa saat, dan ketika kuanggap dia benar-benar telah lelap, kuguling-gulingkan tubuhku. Baru setelah tubuhku basah oleh keringat, tabung itu bergulir ke tepi. Aku memejamkan mata sembari berharap bunyi pecahnya tak membangunkan dia dan tak sepotong pecahan kacanya melukai tubuhku.
Berhasil! Aku keluar dari puing-puing tabung kaca. Syukurlah, aku tak mendengar gelagat lelaki itu terbangun. Satu-satunya yang kupikirkan saat itu adalah batu oranye di saku celananya. Aku harus mengambilnya. Tapi dengan tubuh yang kecil, tak mudah untuk naik ke ranjang. Aku harus menaiki kaki ranjang seperti memanjat sebuah pohon. Tak mudah pula berpegangan pada ujung kasur untuk naik ke atas. Betapa leganya ketika aku berhasil dan masih melihat lelaki itu mendengkur. Dengan sangat hati-hati aku berjalan menuju pahanya dan meraba-raba sakunya. Hop! Kutemukan batu itu. Lagi-lagi dengan upaya yang lumayan sulit, batu itu berhasil kugenggam. Kutimang-timang sebentar sebelum aku mendengar ledakan tawaku sendiri. Haha, itu tawa pertamaku semenjak hidup sebagai liliput.
Kupandangi batu itu sembari lirih mengucapkan mantra pengubah ke ujud normal yang kuhapal dari lelaki itu. Aha, di atas ranjang, di samping lelaki yang mendengkur itu, seorang perempuan berdiri. Akhirnya kumiliki lagi tubuhku. Dan ini saatnya kutuntaskan dendamku. Tapi aku tak mau membuat segalanya berjalan serbamudah.
Jangan salah mengira. Ini tak semata dendam kesumat. Ini juga soal kebebasanku. Ya, dengan batu oranye di tangan, aku merasa menggenggam kekuatan dahsyat, kekuatan yang di tangan lelaki itu melemahkanku sekian lama. Seperti kukatakan, aku tak mau segalanya berjalan dengan serbamudah. Saat itu juga mungkin aku bisa membuat lelaki yang tengah mendengkur itu mendadak mengecil tubuhnya seperti cacing. Tidak, tidak semudah itu.
Lalu aku turun dari ranjang dan beranjak ke kursi. Aku harus menunggunya bangun. Sembari menunggu, aku membuka mini bar dan mengambil sekaleng soft drink. Enak sekali cairan yang kutenggak itu. Sejak menjadi tawanan lelaki itu, tak sekalipun aku merasakan kemawahan kecil seperti minum soft drink itu.
Beberapa saat kemudian, lelaki itu benar-benar terbangun. Aku tersenyum. Saatnya telah tiba. Dia bangkit dan kami berpandangan. Kulihat mukanya pasi dan tampak bingung.
"Aha, akhirnya kau bangun juga," teriakku.
Alang kepalang dia terkejut. Meskipun terkejut, aku masih melihat kesombongannya. Dasar lelaki sombong!
Aku tertawa lagi. Dia menjadi sangat marah dan tampak ingin mendekat ke arahku. "Jangan bergerak!" hardikku.
Dia duduk lagi dengan perasaan sangat terpukul. Dia mulai meraba-raba saku celananya. Dalam timpaan lampu kamar, wajahnya seperti ikan salmon yang baru diambil dari dalam kulkas.
"Saat ini, kau tak lebih lemah ketimbang seekor cacing. Kekuatanmu sudah habis. Kau cari batu itu, bukan?"
Dia belingsatan. "Jangan khawatir," kataku lagi, "Aku tak akan membuat tubuhmu mengecil seperti yang kau lakukan berulang kali padaku. Tidak banyak yang akan kuminta darimu. Toh setelah ini aku akan kembali menjadi perempuan, sosok yang kau nistakan sekian lama. Aku hanya ingin kau menjadi...."
Tak kuteruskan kata-kataku. Lalu kuperlihatkan batu oranye itu padanya tanpa sepatah mantra pun. Wajahnya bertambah pias. Dan seperti yang telah kupikirkan jauh-jauh hari, aku menginginkan dia menjadi seorang perempuan. Sederhana saja alasanku. Sebagai lelaki yang selama ini mengganggap perempuan sepertiku semata boneka atau hanya sejumput daging pemuas berahi, bagaimana kalau dirinya yang jadi perempuan?
Sekejap kemudian, di depanku duduk seorang perempuan asing yang terpekur. Kudengar isaknya ketika aku berlalu.
Pati, 02.25, 20 Desember 2005 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar