Sabtu, 28 Januari 2012

Menyambut Maut Cerpen: Jamil


Pikiran Rakyat
Sabtu, 12 Januari 2008

Menyambut Maut
Cerpen: Jamil

Pagi tadi Pak Haeril wafat di usia muda, 35 tahun. Kabarnya, karena saraf kejepit yang telah dialaminya beberapa tahun terakhir. Para pengobat alternatif yang dikunjunginya tak mampu mengurangi penderitaannya dan tak berdaya menyelamatkan dirinya dari maut. Bila Tuhan menghendaki sesuatu, tak seorang pun yang dapat menolak-Nya.

Menurut istrinya, beberapa menit sebelum meninggal dunia, suaminya sempat melantunkan beberapa ayat dari kitab suci yang mengungkap tentang kesabaran orang-orang beriman dalam menghadapi berbagai cobaan hidup. Telah menjadi kebiasaan hari-harinya untuk menyempatkan diri membaca ayat-ayat suci. Kepada Ustad Suttari, Pak Haeril pernah mengungkapkan keinginannya untuk dapat meninggal dalam keadaan membaca ayat-ayat suci. Kini, harapannya itu terkabul. Tuhan telah memenuhi keinginannya.

Sore hari, jasad Pak Haeril dikebumikan di halaman belakang rumahnya. Demikianlah yang berlaku di kampung kami. Seseorang yang meninggal dikuburkan di tanah terakhir yang menjadi miliknya, meskipun tanah yang tersisa itu hanya sebatas halaman rumah.

Malam hari, seusai ibadah salat Isya di masjid, penduduk kampung, khususnya kaum prianya, mengikuti tradisi tahlilan di rumah si mayit. Tahlilan dipimpin sendiri oleh Ustad Suttari. Ustad yang baru berusia 39 tahun ini seorang pemuda kampung kami yang beruntung dapat mengenyam pendidikan pesantren modern dengan cemerlang.

Meskipun usianya muda, ustad kami ini cukup bijak dalam merukuni semua warga kampung. Ustad Suttari sudah tiga tahun menggantikan Ustad Kaspin yang wafat pada usia lanjutnya, 75 tahun. Sebenarnya, di kampung kami ada seorang tua sekira 65 tahun yang sering mengenakan sorban, mengaku sebagai ustad pula. Tetapi penduduk kampung tak menyukai dan tak menerimanya sebagai ustad.

Pernah suatu kali, kami mendengar fatwanya yang aneh bahwa tanah yang boleh dipakai untuk bertayamum sebagai ganti air untuk berwudu, harus digali dua meter dari permukaan tanah yang kita pijak. Fatwanya yang lain adalah kita harus tetap berpuasa wajib meskipun dalam perjalanan yang jauh dan melelahkan.

Dan, fatwanya yang sungguh sangat memberatkan warga kampung yang sedang berdukacita ini adalah kewajiban bagi anggota keluarga yang ditinggal mati si mayit untuk menjamu semua pelayat, makan dan minumnya, meskipun dengan berutang ke sana kemari. Alasannya, demi menghormati si mayit.

Menghadapi keputusan penduduk kampung yang menerima Ustad Suttari, ia menunjukkan penolakannya dengan mendirikan mushola di samping rumahnya dan menyeru kaum keluarganya untuk beribadah di musholanya sebagai ganti di masjid kampung. Ustad Suttari tak pernah menanggapinya dengan serius, malah membebaskan warga kampung untuk memilih sendiri tempat ibadahnya.

Usai tahlilan, dalam perjalanan pulang, kami tergelitik untuk bertanya kepada ustad, "Apakah seorang Muslim yang meninggal dunia perlu ditahlilkan?" Penjelasan ustad, "Menurut ilmu yang ustad terima, sebenarnya seorang Muslim yang matinya selamat pulang kembali manusianya, bukan jasadnya, kepada Sang Pencipta sama sekali tidak memerlukan untuk ditahlilkan orang. Dan, yang dimaksudkan selamat adalah selamat hatinya terbebas dari dosa-dosa syirik, baik yang nyata maupun yang samar."

Sebenarnya kami ingin melanjutkan pertanyaan lebih mendalam lagi mengenai perkara-perkara yang sangat penting ini, tetapi apa daya kelelahan berkesibukan sepanjang hari ini menerpa tubuh-tubuh kami, dan tampaknya ustad juga, untuk segera beristirahat di rumah. Kami berjanji untuk menyimpan pertanyaan-pertanyaan lanjutan kami sampai nanti ditanyakan di kesempatan lain.

Esok harinya, ketika kami sedang berkumpul di warung kopi mengawali keberangkatan kami ke tempat kerja kami masing-masing di pertanian dan peternakan keluarga, kami kedatangan seorang kakek tua yang berjalan kaki ke arah kami dengan susah payah. Sepertinya, kami belum pernah bertemu dengannya. Kami tak mengenalinya. Meskipun begitu, segera kami menawarkan bantuan. Kalau-kalau kami dapat membantu meringankan sesuatu keperluannya.

Kakek yang buru-buru memperkenalkan dirinya, namanya Mukidin, menanyakan tempat keluarga Wagus yang tinggal di kampung ini. Kami serentak menjawab, "Ya, kamilah putra-putra keluarga Wagus. Rumah kami di dekat sini." Kakek Mukidin tampak gembira dan menceritakan tentang keadaan dirinya. Usianya yang sudah 83 tahun lebih. Nama-nama dan kejadian-kejadian yang masih diingatnya.

Kakek mengaku telah berjalan jauh dari kota ke tempat kami dengan harapan dapat dikuburkan di tempat kelahirannya di kampung kami ini. Meskipun, diakuinya pula, semua tanah miliknya, milik keluarganya, dan milik saudara-saudaranya, semua sudah terjual kepada penduduk kampung ini sekira 30 tahun yang lalu. Demi mewujudkan keinginannya itu, kakek telah mempersiapkan kain kafan dan biaya untuk semua keperluan pemakamannya.

Setiap hari secara bergiliran di antara kami, kami menemani dan membantu kakek Mukidin mencari persisnya tempat kelahirannya. Cara bagaimana dapat menemukannya cukup menggelikan kami. Kakek membaui dengan indra penciumannya tempat-tempat yang diduga sebagai tempat kelahirannya, seperti layaknya kami membaui masakan kesukaan kami.

Hampir semua tempat di kampung kami yang kecil ini dikunjungi kecuali kuburan-kuburan dan tempat-tempat yang sungguh berbau tidak enak, seperti kakus, tempat sampah, dan kandang-kandang hewan ternak kami. Karena yang tersisa hanya tempat-tempat itu, kami menawarkan mengunjungi kandang-kandang kambing kami.

Tak disangka-sangka, kakek menunjuk salah satu kandang kambing kami. Dengan terheran-heran kami bertanya, "Dari mana kakek tahu di sini tempat kelahiran kakek?"

"Kakek menemukan bau kelahiran di tempat ini."

Kami ingin memercayainya begitu saja, tetapi kami ingat dua minggu yang lalu seekor kambing betina kami melahirkan di tempat ini. Dan kini kambing-kambing itu telah kami pindahkan ke kandang-kandang lain.

Kami yang masih terheran-heran dengan kegigihan kakek ini, bertanya kembali, "Mengapa kakek ingin dikubur di tempat kelahiran?"

"Kakek pernah mendengar dari seorang ustad di kota bahwa kita akan pulang kembali ke tempat asal kita." Tampaknya, kakek ingin mewujudkannya.

"Tetapi, Kakek, yang dimaksud adalah …"

Belum selesai kami menyanggah, kakek telah memotong, "Apa kakek tidak boleh dikuburkan di sini, tempat kelahiran kakek?"

Kami serempak menjawab, "Ya, kami akan menguburkan kakek di sini. Apalagi kakek telah menyiapkan segala keperluan untuk itu."

Kami tidak mau berbantahan dengan seorang kakek. Bisa kualat, kata orang-orang tua kami.

Selama seminggu di rumah kami, keadaan kesehatan kakek semakin menurun saja, meskipun kami telah mengerahkan pengetahuan kami tentang pengobatan dengan jamu-jamuan dari apotik hidup yang cukup lengkap di kebun kami.

Kami khawatir esok hari bisa saja kakek meninggal dunia. Kami memutuskan untuk menanyakan apakah kami perlu menghubungi anak-anak dan cucu-cucu kakek di kota. Juga, adakah wasiat untuk kami sampaikan kepada mereka.

Kakek menganggap tidak perlu karena mereka semua telah cukup sibuk dengan urusannya masing-masing. Dan, tidak ada wasiat untuk mereka karena harta yang tersisa pada kakek hanya cukup untuk mempersiapkan biaya pemakamannya.

Malam ini, kakek berkali-kali menyampaikan rasa terima kasihnya kepada kami. Kami bersyukur dan memuji Tuhan atas ucapan-ucapannya itu. Esok harinya, kami mendapati apa yang kami khawatirkan. Kami segera memanggil Ustad Suttari yang sedang bersiap-siap ke kampung di seberang sungai untuk memberikan pengajian di sana.

Ustad bersedia mendahulukan pemakaman kakek Mukidin di tempat yang diinginkan kakek dan menunda pengajian di kampung seberang untuk keesokan harinya. Ustad dibantu kami memandikan, mengainkafani dan menyalatkan kakek yang baru saja wafat. Kemudian, sebagian besar warga kampung kami pergi mengantarkan dan menguburkan kakek di tempat yang ditunjuknya sendiri yang diyakininya sebagai tempat kelahirannya.

Seusai penguburan, ustad kami berdoa untuknya dan mengakhirinya dengan berdoa untuk kami semua, "Ya Allah, Tuhan kami, Engkau telah mewafatkan mereka dan mengabulkan keinginan-keinginan orang-orang yang telah meninggal di kampung ini. Maka, kabulkanlah keinginan kami juga untuk menghadap Engkau, mati dengan hati yang selamat. Pulang kembali kepada Engkau dengan mendapat tempat di sisi-Mu dan merasakan kebahagiaan yang sejati kekal abadi. Aamiin."

Kami serentak mengaminkan dan merasakan doa ustad adalah doa kami semua. Tak ada lagi yang lebih kami inginkan dari hidup di dunia ini selain itu.

Di perjalanan pulang, kami bertanya kepada ustad, "Apakah Tuhan akan mengabulkan doa kita?"

Ustad meyakinkan kami, "Ya, dengan izin-Nya, apabila kita berupaya ke arah itu dengan benar dan sungguh-sungguh. Pak Haeril dan kakek Mukidin telah berupaya menggapai cita-citanya dan memperoleh apa yang diinginkannya. Meskipun begitu, kita hendaknya menyadari sesungguhnya kekuatan dan pertolongan itu, semua milik-Nya jua."

Diam-diam, kami semua meyakini qudrat dan iradat-Nya.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar