Kamis, 26 Januari 2012

Kereta Cerpen: Menthol Hartoyo


Kedaulatan Rakyat
Minggu, 10 Juni 2007

Kereta
Cerpen: Menthol Hartoyo

KAMPUNG Sambi Legi, pagi itu nampak berbeda dengan hari biasanya. Kampung yang biasanya senyap, kini nampak meriah dan bersih. Di semua pintu masuk gang terpasang umbul-umbul warna-warni, pagar bambu yang kusampun menjadi putih. Kampung itu, benar-benar berhias diri dan nampak lebih menawan. Seperti layaknya sebuah kampung yang akan mengikuti lomba kebersihan tingkat kabupaten.

Matahari cerah. Warga kampung sengaja meliburkan diri dari seluruh pekerjaannya. Bahkan Pak RT yang pegawai negeripun, meminta izin atasannya untuk tidak masuk kerja. Semua warga kampung Sambi Legi, mengenakan baju terbaiknya dari mulai, bapak, ibu dan anak-anak. Mereka berdiri berjajar dari mulai gapura masuk kampung sampai di rumah Sodron.

”Kamu sudah cek sound system-nya”, tanya Pak RT.

”Sudah Pak, semua beres. Dari mulai panggung dan kesenian rebana muda-mudi sudah oke Pak,” jawab Gino, sambil membenahi mikrofon.

”Tes... tes... testing-testing, dites mlenthing.”

”Ojo guyon to !” ucap Pak RT.

”Nggih Pak,” jawab Gino, sambil cekikikan.

”Pak... Pak RT, seluruh warga sudah siap menyambut Sodron,” ucap Sancoko setengah teriak.

”Hus! Haji Sodron bukan Sodron,” ucap Pak RT, sedikit melotot.

”Wah ya sori pak, kebiasaan saya memanggil Sodron je” jawab Sancoko.

”Ya, sudah minta ke kelompok kesenian rebana, begitu Haji Sodron datang, rebana langsung ditabuh dan menyanyikan Salawat Badar,” jelas Pak RT.

”Oke Pak, lha Sodron, eh maaf. Haji Sodron sampainya jam berapa to?“ tanya Sancoko, sambil menyulut rokok kretek

”Kata Gandung anak Haji Sodron yang satu-satunya itu, sekitar jam 10.00. Katanya Sekarang ini, Haji Sodron sudah ada di bandara,” jelas Pak RT.

”Waduh sekarang sudah jam 09.00“ ucap Sancoko sambil melihat jam di tangan kirinya.

”Sampun nggih Pak saya tak menyiapkan orang-orang di gapura” ujar Sancoko sambil lari meninggalkan Pak RT.

”Ojo lali Salawat Badar,” teriak Pak RT.

”Nggih Pak!” jawab, Sancoko.

Matahari bergerak perlahan, mengibaskan bulatan-bulatan cahaya ke alam semesta. Warga kampung mulai gelisah, orang-orang mulai bergerombol di bawah pohon agar terhindar dari sinar matahari. Ada segerombolan lagi yang duduk-duduk di teras salah satu rumah warga. Bahkan kelompok kesenian rebana, sengaja duduk di tikar yang mereka gelar sambil menutupi kepalanya dengan rebananya. Sancoko yang dari pagi mengatur acara penyambutan, juga tidak bisa berbuat banyak. Namun tiba-tiba Pak RT berlarian sambil berteriak.

”Semua siap! Haji Sodron sebentar lagi masuk kampung kita!”

Seperti sepasukan tentara mendengar perintah komandan. Warga kampungpun bergegas berdiri berderet di sepanjang gang. Pak RT, sesepuh kampung dan kelompok rebana sudah siap di depan gapura.

Benar juga tak begitu lama, sebuah mobil bergerak perlahan dan berhenti di depan gapura. Kelompok muda-mudi dengan semangat menyanyikan Salawat Badar dengan kompak. Sancoko dengan sigap berlari membuka pintu mobil. Haji Sodron dengan pakaian serba putih bersorban keluar dari mobil. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Sancoko.

”Sugeng rawuh Pak Haji Sodron” sambil menjabat tangan Haji Sodron

”Matur nuwun” ucap Haji Sodron

”Selamat datang Pak Haji Sodron,” ucap Pak RT.

”Matur nuwun Pak RT”.

Haji Sodron berjalan perlahan, agar bisa berjabat tangan dengan seluruh warga. Warga kampung sangat puas bisa berjabat tangan dengan Haji Sodron. Mereka yakin bahwa kampung mereka akan lebih baik dan penuh berkah. Setelah salah satu warga mereka ada yang mampu menunaikan ibadah Haji.

”Wah lega aku, bisa salaman sama Pak Haji Sodron” ujar Kang Nrimo.

”Iya, rasanya mak nyes, salaman sama Haji Sodron”, sahut Yu Ginah.

”Semoga doa-doa Haji Sodron, memberikan barokah pada kampung kita”, kata Pakde Sugeng.

Acara penyambutan itu berakhir di panggung depan rumah Haji Sodron, dengan doa bersama dan minum air zam-zam yang dibawa Haji Sodron dari Mekah.

***

MALAM MENJELANG. Rembulan tersapu awan hitam. Orang-orang terlelap dalam ranjang mimpi. Kampung itu, kembali sunyi. Pos ronda pun dibiarkan tanpa penghuni. Haji Sodron merebahkan tubuhnya di kamar. Ia nampak gelisah, sesekali ia sebut Asma Allah untuk menenangkan batinnya. Namun rasa gelisah itu, terus menyergapnya tanpa ampun. Malam semakin larut, angin menebarkan hawa dingin. Burung gagak berkelebat hinggap di rumah Haji Sodron. Bersamaan derit kereta yang tiba-tiba berhenti di depan rumah Haji Sodron. Sosok laki-laki bersorban dengan pakaian serba putih, melangkah masuk ke rumah Haji Sodron.

”Assalamu’alaikum”, ucap lelaki bersorban itu, yang sudah berdiri di kamar Haji Sodron

”Wa... lai... kum sa...lam.” jawab Haji Sodron terbata-bata.

”Kita harus berangkat Haji Sodron, waktu yang kita janjikan sudah tiba,” kata lelaki bersorban itu, sambil mempersilakan Haji Sodron berjalan.

”Berilah aku waktu sampai besuk pagi” ucap Haji Sodron ketakutan.

”Tidak bisa Haji Sodron, Kereta Tuhan, telah menjemputmu,” ucap lelaki bersorban itu dengan ramah.

”Tapi aku be... belum si... siap,” ucap Haji Sodron.

”Bukankah kita sudah punya perjanjian, saat kita bertemu di rumah Tuhan,” tutur lelaki bersorban itu.

”Iya, tapi, tapi.. beri aku kesempatan, berikan aku waktu lagi” jawab Haji Sodron semakin ketakutan.

”Marilah Haji Sodron, kita harus berangkat”, ajak lelaki bersorban itu, sambil meraih tangan Haji Sodron.

”Tidak! Jangan! Jangan! Aku tidak mau!! Jangan! Tidak!”

Namun lelaki bersorban itu terus menarik tangan Haji Sodron keluar rumah.

”Lihatlah Kereta Tuhan sudah menunggu,” ucap lelaki bersorban itu, ketika di depan rumah Haji Sodron.

”Biarlah Kereta Tuhan menunggu, berilah aku sedikit waktu lagi,” pinta Haji Sodron.

” Kita sudah sangat terlambat,” jawab lelaki itu, sambil menarik tangan Haji Sodron masuk ke dalam kereta. Secepat kilat kereta itu melesat, bersamaan dengan kilatan cahaya perak melingkar-lingkar di atas rumah Haji Sodron.

***

PAGI MENJELANG. Kampung Sambi Legi geger. Gandung anak Haji Sodron berteriak-teriak histeris, setelah menemukan Bapaknya sudah tak bernyawa dan mulutnya tersumbat kain. Dalam sekejap rumah Haji Sodron, penuh warga kampung. Mereka saling berebut, untuk melihat jenazah Haji Sodron.

”Nampaknya Haji Sodron mengalami sakaratul maut yang panjang,” ucap Sancoko, setelah keluar dari kamar Haji Sodron.

”Bener San, matinya sangat tidak wajar” sahut, Lik Nrimo.

”Jangan-jangan ada yang membunuh” ucap Gombloh.

”Hus ojo ngomong sembarangan!” sahut Sancoko.

”Lho tapi bisa jadi memang dibunuh to? Lha wong mulutnya disumbat kain begitu je!” ucap Gombloh sambil, menyulut rokok kretek

”Saudara-saudara sekalian, mari kita segera siapkan segala sesuatunya untuk mengebumikan jenazah Haji Sodron,” ucap Pak RT

”Nggih Pak” jawab warga serentak.

***

SIANG MENJELANG. Matahari melepaskan cahaya suram sesuram kampung Sambi Legi. Hujan rintik mengiringi pemakaman Haji Sodron. Warga kampung berduka. Mereka tidak tahu harus menyalahkan siapa dengan kematian Haji Sodron. Orang yang mereka anggap baik dan akan membawa berkah bagi kampung Sambi Legi. Mereka hanya mampu bertanya, siapa yang melakukan pembunuhan terhadap Haji Sodron? Selamat jalan Haji, doa warga bersamamu. ***

Surabaya, 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar