Rabu, 25 Januari 2012

Gadis Bunga Cerpen: Sunlie Thomas Alexander


Jawa Pos
Minggu, 03 Juni 2007

Gadis Bunga
Cerpen: Sunlie Thomas Alexander

AKU bayangkan kau sekuntum bunga. Hanya bunga yang selalu dihinggapi oleh kupu-kupu, sebagai takdirnya. Jangan protes lagi. Aku yakin kau memang secantik bunga. Mungkin Mawar, Melati, Anggrek, atau Calla. Ah, aku lebih suka bunga yang terakhir. Bukan hanya karena di mataku bunga itu tampak lebih cantik dari bunga lain, tetapi Calla selalu saja mengingatkanku pada sebuah film Korea. Dan film itu mengingatkanku pula pada seseorang, lantaran perjumpaan kami yang begitu mirip dengan sebuah adegan dalam film tersebut.

Namun kau lebih suka bunga Sedap Malam. Bunga itu menghiasi kamarmu dalam sebentuk lukisan cat minyak, katamu. Eh, kau bisa melukis kan? Aku pingin punya lukisan Sedap Malam satu lagi? Bikinkan untukku ya? Pintamu sambil tertawa.

Kau pernah marah dan menegurku lewat SMS-SMS yang meradang agar aku berhenti berimajinasi tentang dirimu. Sebab, menurutmu, imajinasi suka menyesatkan dan kau takut aku akan kecewa setelah menemukan kenyataan tidak seperti yang aku bayangkan.

"Aku tidak secantik imajinasimu!" Gerutumu kesal. Tetapi, aku tak bisa berhenti berimajinasi tentangmu. Aku telah terobsesi pada tatto kupu-kupu, yang katamu, ada di lehermu itu. Maka kubayangkan kau bagai sekuntum Calla, tentu dengan leher yang jenjang seperti tangkai Calla yang panjang. Dan, kupu-kupu itu tampak mengepak-kepakkan sayapnya yang indah di lehermu, sebelum akhirnya hinggap di ujung hidungmu yang bangir. Sungguh menggemaskan.

Film Korea itu kutonton malam hari, sendirian di kamar kontrakan, dan aku berjumpa dengan seseorang itu keesokan paginya dalam perjalanan bis ke kantor. Persis cerita dalam film Korea tersebut. Tentu, aku takjub. Bagaimana mungkin ada kejadian yang begitu mirip? Adakah memang kebetulan semacam ini di dunia? Atau aku yang terlampau melebih-lebihkannya?

Yang pasti, seperti adegan dalam film, kami bertabrakan di dalam bis yang sarat penumpang, dan aku bergegas minta maaf. Ia tersipu dan aku terperangah. Untuk beberapa saat kami saling bertatapan lalu sama membuang muka. Aku pura-pura melemparkan pandang ke luar jendela bis yang kusam dengan jengah tapi diam-diam melirik. Aku tahu, ia sama gelisahnya dari sepasang matanya yang bening?

Bis kota yang kami tumpangi terus merayap, bagai merangkak di tengah lalu lintas pagi hari yang padat. Berkali-kali mata kami kembali bertemu untuk kembali terburunya menghindar. Kutangkap rona memerah di wajahnya, dan rasa gelisah --oh, gelisah yang nikmat itu-- di dadaku semakin kentara. Aku ingin sekali menyapanya, mungkin sekadar menanyakan nama, kerja di mana, atau bisa minta nomor teleponmu? Atau lebih jauh lagi. Tapi tiada sepatah kata pun yang sanggup terucap dari mulutku. Semua kata, semua kalimat seolah bersepakat membuat kubangan di dalam kepalaku.

Dan untuk saat-saat seperti ini, kau tahu, waktu selalu saja terlalu bergegas! Ia turun dua blok sebelum kantorku. Begitu tergesa dan tanpa berpaling.
***
SEBAGAIMANA sudah bisa kauduga, sejak itu, tokoh utama dalam film Korea yang kutonton tersebut terus terbayang pada perjumpaannya yang terlampau ringkas dengan gadis dalam bis kota. Wajah gadis itu dengan lirikan ekor mata yang sedikit nakal namun gugup serta rona memerah di pipi yang begitu manis, mulai menempati sebuah bilik yang cukup luas dalam batok kepalanya, menciptakan siang dan malam yang mulai berbeda untuknya. Tak di kantor, di rumah kontrakan, di jalan, atau di mana saja ia berada. Terkadang sedikit mengganggu kesibukannya.

Tentu, setiap pagi ia selalu naik bis yang sama ke kantor --meski mobilnya telah keluar dari bengkel-- tapi tak pernah lagi ia bersua dengan gadis itu. Ai, gadis itu seperti lenyap tak berjejak. Walau setiap jam istirahat siang, setiapkali pulang lebih cepat dari jam kantor, ia senantiasa menyempatkan diri menelusuri setiap blok perkantoran dan pertokoan di sekitar kantornya, menyusuri setiap ruas jalan hingga ke beberapa gang kecil. Berharap akan menemukan gadis itu di suatu tempat.

Hingga suatu pagi, ia menemukan setangkai bunga Calla tergeletak di atas meja kantornya. Hanya setangkai Calla, tanpa disertai kartu ucapan atau pesan apa pun.

"Dari gadis itu?" Usikmu di ponsel. Ah, bersabarlah, dengarkan dulu ceritaku sampai selesai. Tokoh utama film Korea itu pun menduga hal yang sama denganmu, mungkin tepatnya berharap seperti itu. Ia sempat bertanya sana-sini, ke hampir semua pegawai kantor. Tetapi tak seorang pun yang tahu perihal bunga tersebut. Sampai kemudian ia mendengar dari seorang satpam, kalau pagi-pagi sekali seorang bocah laki-laki mengantarkan bunga tersebut saat satpam itu sedang membuka pintu kantor.

Selanjutnya setiap pagi, ia selalu menerima setangkai Calla yang serupa. Selalu bocah lelaki itu yang mengantar, kata satpam. Tetap tanpa pesan, selain bunga itu untuknya. Karena penasaran, satu pagi ia memutuskan datang lebih awal. Dan, benar kata satpam, ia bertemu dengan bocah lelaki pengantar bunga itu?

Kau menahan nafas di seberang. Membuatnya iseng menahan cerita untuk beberapa jenak, ingin menikmati rasa penasaran dan keteganganmu.

"Saya diupah oleh pegawai toko bunga tak jauh dari sini mengantarkannya untuk Tuan," jawab bocah lelaki itu. Selebihnya bocah itu hanya menggeleng. Ia mendesah kecewa, namun diputuskannya untuk mencari toko bunga itu.

Tiba-tiba kau tertawa keras di ponsel. Begitu keras hingga aku buru-buru menjauhkan ponsel dari telinga.

"Ada apa?" tanyaku polos meski agaknya sudah dapat menebak apa yang membuatmu tertawa. Dan benar saja dugaanku, kau tertawa membayangkan diriku berkhayal jadi tokoh utama film Korea itu. Ah, kalau saja kau tahu, bagaimana aku selalu mengangankan seluruh adegan dalam film itu berulang padaku, tentu dalam versi happy ending.

Terkadang aku ingin menertawakan diriku habis-habisan, menertawakan segala kekonyolan yang kuperbuat meskipun kerapkali aku begitu menikmati peranku sebagai tokoh utama film Korea itu. Sayangnya, tidak seperti tokoh utama film tersebut, aku tidak berhasil menemukan seseorang itu di sebuah toko bunga kecil yang agak tersembunyi di sudut jalan. Terang saja, karena tak sekuntum pun bunga yang pernah tergeletak di atas meja kantorku!
***
AKU memanggilmu gadis bunga, sebagaimana tokoh utama film Korea tersebut menjuluki gadis idamannya yang akhirnya ditemukannya di toko bunga kecil itu. Seharusnya panggilan itu memang untuk gadis yang bertabrakan denganku di dalam bis. Tapi ia sungguh raib ditelan waktu. Tidak seperti gadis Korea penjual bunga. Teman-teman sekantorku mengejekku habis-habisan.

Maka, kepadamulah akhirnya panggilan itu kutujukan. Jangan protes, sebab hanya sekuntum bunga yang senantiasa dihinggapi oleh kupu-kupu. Ya, kupu-kupu yang katamu telah lama menghiasi lehermu. Sejak itu, aku terus menghujanimu dengan SMS-SMS yang kadang kelewat melankoli, sesekali meneleponmu.

"Kau akan kecewa," tukasmu jengkel, "Aku sama sekali tidak seperti gadis idamanmu itu. Kau bersikap tak adil padaku." Suaramu ketus. Aku hanya tertawa getir. Lalu memintamu mengirimkan selembar fotomu padaku lewat pos atau e-mail, itu kalau kau berkenan. Agar aku berhenti berimajinasi, kataku. Sungguh, aku merasa tak mampu mengekang laju imajinasiku, terlebih setiapkali membayangkan kupu-kupu itu mengepak-kepakkan sayap di lehermu. Dan, kau benar, mungkin aku memang telah berbuat tak adil padamu. Setiapkali mencoba membayangkan dirimu, kepalaku selalu saja dipenuhi oleh bayangan gadis itu. Barangkali lebih tepat kalau dikatakan aku membayangkan dirimu sebagai dia, daripada sepenuhnya berimajinasi tentang sosokmu. Maaf.

Kapan kita bisa bertemu? Mungkin di suatu tempat yang kau suka? Di sebuah kafe kecil barangkali? Atau di pantai? Di mana aku bisa sepuasnya menyaksikan kupu-kupu itu mengepak-kepakkan sayapnya di lehermu sambil menikmati secangkir teh hangat.

Aku ingin sekali mengunjungimu di Kota Kembang. Kalau saja pekerjaan kantorku tidak selalu menumpuk dan keluargaku tidak semena-mena merampas sisa waktuku. Bukankah kau telah berjanji menjadi guide bagiku? Kita bisa jalan-jalan di Braga, atau kau lebih suka nongkrong di Dago?
***
KAU akan tiba sebentar lagi dengan kereta senja, dan kumasuki stasiun dengan degup di dada yang tak berirama. Hujan melebar, tempiasnya membasahi kaki celanaku. Orang-orang berlarian dan berteduh, barangkali di dalam hati mengutuk hujan yang celaka. Padahal betapa hujan selalu menyegarkan di mataku. Di mana-mana payung bermekaran, serupa kelopak bunga beraneka warna. Semarak dan indah.

Hujan awal November. Entahlah, di awal musim, selalu saja aku merasa memperoleh semangat baru, seperti rumput-rumput kering meranggas yang dihijaukan oleh hujan. Meski kini aku sedikit menggigit cemas.

Aku sudah tak sabar lagi menunggu kereta yang membawamu tiba, seperti juga aku tak lagi sabar untuk melihat sosokmu, tak lagi sabar menyaksikan kupu-kupu yang mengepak-kepakkan sayap di lehermu dan tak lagi sabar mengakhiri cerita film Korea itu untukmu. Sengaja memang aku menyimpan akhir cerita hingga kau datang. Aku hanya ingin mengakhiri cerita itu di depanmu, agar aku dapat merasakan keteganganmu lebih dekat. Adakah kau marah, kesal, atau justru senang?

Mungkin nanti kau bakal kecewa, seperti halnya diriku ketika film Korea itu ternyata berakhir menyedihkan.

Keretamu belum tiba juga. Rasanya demikian lama. Tetapi aku berusaha menikmati penantianku, layaknya tokoh utama film Korea itu menikmati segenap upayanya mencari gadis idamannya, sebelum kemudian menemukan gadis itu di sebuah toko bunga kecil yang agak tersembunyi di sudut jalan.

Toko bunga itu ditemukannya tak sengaja setelah sekian lama mencari. Saat itu ia baru keluar dari hotel tempat ia bertemu dengan seorang klien, ketika gerimis mendadak jatuh. Ia baru saja berpikir hendak kembali ke hotel, kalau matanya tidak keburu menangkap bayangan bunga-bunga beragam warna. Sebuah toko bunga kecil yang meriah, dengan pot-pot bunga tertata rapi di teras, sebagian bergantungan. Toko bunga kecil itu berada tepat di seberang hotel, agak tersembunyi di pojok jalan, diapit butik batik dan sebuah swalayan cukup besar. Ia tertegun dengan jantung berdebar kencang. Kemudian, tanpa menghiraukan lagi gerimis yang melebar, ia segera berlari menyeberang jalan, sambil merutuk habis-habisan kenapa tidak pernah menyadari keberadaan toko bunga itu padahal cukup sering ia keluar-masuk hotel yang baru ditinggalkannya.

Gadis itu ternyata ada di sana! Agak terkejut ketika melihat kedatangannya, tetapi segera menyambutnya dengan riang dan ramah.

"Ada yang bisa saya bantu, Tuan?" tanya gadis itu sambil tersenyum. Ia hanya terpaku dan merasa tubuhnya mendadak menjelma jadi manekin sebagaimana yang ada di butik sebelah toko bunga.

Aku tak ingin seperti itu di depanmu nantinya?
Hujan tercurah semakin deras. Aku mengetuk-ketukkan ujung payungku dengan sedikit jengkel ke lantai peron. Sebuah kereta baru saja memasuki stasiun beberapa menit yang lalu, namun bukan dari jurusan kotamu. Kau naik kereta apa sih? Aku mencoba menghubungi ponselmu, tetapi lagi-lagi masuk ke mailbox. Kenapa mematikan ponsel? Takut kecopetan atau ditodong dalam kereta? Atau jangan-jangan kau tak jadi datang? Kau hanya mempermainkanku? Padahal sebelum aku sampai ke stasiun ini, kita masih sempat bercakap-cakap lumayan lama.

Peron kian gerah dengan orang-orang yang berdesakan. Maklum akhir pekan. Kembali terdengar suara pluit melengking. Keras dan panjang. Lalu disusul pengumuman dari pengeras suara: sebuah kereta dari jurusan kotamu sedang memasuki stasiun. Aku berpaling dengan tegang, dan hujan kian menjadi. Kurasa keringat dingin membasahi sekujur tubuhku.***
Belinyu-Yogyakarta, 2006-2007 : buat Dian Hartati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar