Rabu, 25 Januari 2012

Eppak Cerpen: Mahwi Air Tawar


Jawa Pos
Minggu, 02 September 2007
Eppak
Cerpen: Mahwi Air Tawar

Persis, seperti kemarin. Tak lain, bisik Lubanjir, sambil menimbang bimbang tentang suara rintihan yang datang berulang saat malam berselaput kelam.

Sudah tiga malam berturut-turut, ia lewati jalan setapak ini. Selalu, sesampainya di pertengahan jalan, tak jauh dari pekarangan rumahnya, suara rintihan terdengar, samar, sesamar gemerincing kalung sapi dari dalam kandang. Suara rintihan itu seolah memanggilnya, datang dari hamparan tanah tandus kelewat gersang. Bukan, bukan suara rintihan seorang petani, desisnya saat memasuki pekarangan rumahnya dengan perasaan tak nyaman.

Perlahan, ia buka pintu pagar halaman. Di ambang pintu, ia hentakkan kakinya ke tanah tiga kali. Dibuka pintu ruangan tengah. Persis, bisiknya dalam hati. Bersamaan dengan suara derak engsel pintu ruang tengahnya, lagi-lagi dari pekarangan suara yang ia dengar saat di pertengahan jalan kembali semayup menyingkap senyap. Mengerikan, suaranya lirih.

"Tak ada yang lebih mengerikan dari pembunuhan." Tirai jendela tersingkap.
Tak jauh dari jendela, ia berdiri. Sambil mengusap-ngusap kaca jendela ia perhatikan kerut merut wajahnya lewat kaca jendela itu. Sudah tua benar usiaku, desisnya lirih. Secarik garis cahaya tipis memantul. Tak lama berselang, ia layangkan pandang jauh ke seberang jalan. Duduk sebentar. Sepi benar, tambahnya sembari beranjak dari tempat duduk, berjalan pelan menuju kamar.

Sesaat, ia keluarkan sebilah celurit dari balik punggung. Mengerikan, bisiknya sambil merebahkan tubuh, dan saat itu: lagi-lagi, seiring derak suara ranjang, suara rintihan terdengar samar. Tidak, suara itu tidak dari luar kamar. Pastilah bukan suara rintihan seorang petani. Suara itu datang dari bawah kolong ranjang tidurnya, merintih, melenguh, mendengus, mendesis…

"Akhiri semua ini…" Sekelebat bayang memanjang dari ambang pintu. Mulut Lubanjir terkatup rapat, suasana senyap. Lubanjir merinding. Suara itu tak asing, persis suara alamarhumah nenekku, nadanya tak jauh beda. Pastilah suara itu, suara nenekku, ibu dari ibuku, mertua bapakku yang dibunuhnya lantaran tidak setuju ketika bapak ingin mengawini adik kandung ibuku.

Sambil terantuk, Lubanjir memaksakan diri duduk di tepi ranjang. Sepasang matanya nyalang memandangi celurit yang menggantung di sudut ruangan kamar. Celeng. Ia mondar-mandir dari kamar ke ruang tamu, berdiri di balik jendela memandangi pekarangan. Dan, tiba-tiba, sebuah ketukan dari ambang pintu terdengar. Seseorang memanggilnya. Tanpa banyak tanya siapa yang datang Lubanjir mempersilakan masuk.

"Masuk. Pintu tidak dikunci," balasnya, sambil menyelipkan celurit ke balik punggung. Pintu pun terkuak. Seorang lelaki lebih tua daripada usia Lubanjir melangkah. Tampak, caranya berjalan berwibawa. Pasti. Sontak, saat melihat wajah lelaki itu, Lubanjir terkejut begitu cepat pikirannya bekerja, pertanyaan-pertanyaan seperti berjejal. Namun, tanpa seucap kalimat, hanya sepasang matanya mencerminkan seseorang diliputi rasa heran tak karuan. Ya, bagaimana mungkin, lelaki ini, yang tak lain adalah seorang empu, seorang dukun yang mengajari Lubanjir ilmu kanoragan, datang malam-malam begini. Ada apakah gerangan? Adakah ia tahu peristiwa yang telah membuat mertuanya terbunuh?

"Tak usah heran, Jir."
"Sebab apa Kiai datang kemari malam-malam begini?" suara Lubanjir serak.

"Adik istrimu memberiku kabar tentang…"
"Kematian mertuaku?" potong Lubanjir segera. Terkutuk, desisnya.

"Kau begitu risau, Jir?" Lubanjir bergeming.
Suara itu lagi, bisik Lubanjir. Ehm, celeng. "Sudah tiga malam berturut-turut suara rintihan. Malam ini…" Diam. Mempersilahkan gurunya duduk. "Suara itu bagai rintihan seorang perempuan. Membuatku ketakutan. Istri dan anakku sudah tujuh hari tidak pernah pulang."

"Dan kau membiarkannya?"
"Seseorang kusuruh menjemput mereka."

"Penakut." Suara guru Lubanjir tiba-tiba bengis. "Kau memulai perkara, tapi kau menghindar untuk menyelesaikannya. Menjemput anak bini sendiri saja takut. Kau laki-laki."

"Suara itu. Suara siapakah sebenarnya?"
"Kutukan."
"Seorang Lubanjir terkutuk?" Hening. Lubanjir menunduk. Sesaat, guru Lubanjir berdiri, tanpa berpamitan langsung beranjak pergi, meninggalkan Lubanjir seorang diri.

* * *

Menyedihkan. Nenekku dibunuh oleh bapakku sendiri lantaran tak mengizinkan anaknya, adik ibuku sendiri dinikahi, mau dijadikan istri kedua bapakku. Tentulah tak masuk akal, bukan? Dan kini, bapakku tinggal seorang diri, aku ikut ibu pulang ke rumah nenekku.

Sebenarnya aku tidak tahu pasti, kenapa bapakku membunuh nenekku. Cerita tentang pembunuhan ini kudapati dari ibuku setelah usiaku beranjak 17 tahun. Itu pun bermula dari rasa penasaranku kepada ibu yang selalu menangis pada saat memasuki sepertiga malam.

Ya, sejak tujuh hari sejak nenekku meninggal, ibu selalu bangun pada saat sepertiga malam: salat, lalu mulutnya komat-kamit, membaca sesuatu melalui kertas yang ia pegang. Dan, saat itu, aku selalu bertanya-tanya kenapa setiap memegang selembar kertas itu ibu selalu menangis sambil menyebut-nyebut nama bapakku yang tidak pernah bertandang menjenguk kami. Ibu tak pernah melafalkan kalimat-kalimat Arab sebagaimana yang diajari guru ngajiku di langgar. Tidak. Kalimat dalam doa ibu sama sekali tidak persis seperti yang sudah kuhapal. Entah kalimat apa yang ibu ucapkan.

Kau tahu? Sesudah itu, ibuku mengusapkan kertas itu pada sebilah pisau yang ia simpan di bawah kolong lincak tempat tidurku. Kemudian, di balik pintu ibu duduk dan mengasah pisau pada lantai. Tentulah aku semakin penasaran. Dan, ketika kutanya, ibu hanya menjawab, "Pada saatnya kau akan tahu."

Demikian juga dengan 7 tahun silam, bapakku selalu bangun saat sepertiga malam. Dan, persis, ia juga melakukan hal yang sama sebagaimana ibu melakukan sekarang. Bedanya, kalau yang ibu asah sebilah pisau lalu menyimpannya di bawah kolong ranjang tidurku, yang bapak asah saat itu celurit dan sesudah celurit diasah, bapak menyelipkannya ke balik kasur tidurnya. Kalau tidak, celurit itu ia gantung di dinding.

"Kenapa tidak celurit sebagaimana bapak, Bu?" tanyaku.
"Celurit itulah…," suara ibu serak. Ia menangis. "Celurit itu telah membuat nenekmu mati." Tangis ibu samakin keras. "Tak hanya itu, banyak peristiwa menyedihkan dengan celurit itu. Ah, sebaiknya tidak sekarang kamu mengetahui semua itu. Suatu waktu kau akan tahu tentang semua ini."

Sungguh aku tidak mengerti, adakah hal ini dialami setiap perempuan? Atau hanya ibuku yang bersikap aneh seperti ini, dan ketika hal ini kutanyakan kepada guru ngajiku, kalimat yang ibu ucapkan saat berdoa, guru ngajiku hanya mendesis. Justru membuatku tak suka kepadanya. Yang aku butuhkan bukanlah desis keprihatinan, tapi jawaban. Tidak juga perintah, tapi kepastian. "Banyaklah kau berdoa." Itu jawaban guru ngajiku. Sungguh aku semakin penasaran dan curiga terhadap sikap ibuku. Adakah sesuatu disembunyikan ibuku?

Pada malam dan hari yang lain, tanpa sepengetahuan ibuku ketika melakukan salat, ibu mendesiskan kalimat yang sama sekali tidak aku mengerti itu. Aku perhatikan betul setiap gerakan bibir ibu. Juga caranya mengambil sebilah pisau dari kolong ranjang tidurku. Satu lagi, aku intai di mana ibu menyimpan selembar kertas yang selalu dibacanya saat berdoa.

Entah kekuatan apa yang terhimpun dalam diriku, sehingga aku begitu berani mengambil kertas yang selalu ibu rahasiakan. Satu hal yang tak pernah aku lakukan sebelumnya. Tak apa. Demi jawaban yang tak kunjung kudapatkan. Aku tak peduli dengan nasihat guru ngajiku yang selalu bilang, "Jangan mengambil sesuatu tanpa mendapat izin dari yang berhak." Aku tahu, kertas itu tak boleh aku ambil tanpa seizin ibu. Namun, aku juga tidak boleh membiarkan ibu selalu menangis saat membaca isi kertas yang sekarang sudah ada di tanganku ini. Memang, aku tidak mengerti apa maksud dari tulisan di atas kertas ini. Maka, diam-diam aku temui adik ibu, kutanyakan tentang isi kertas itu.

Uh, adik ibuku saat kutanya isinya malah ketakutan, dan menyuruhku mengembalikan kertas itu. Kalau tidak mengembalikan, katanya, "tanyakan saja kepada dukun Raksa."

"Siapa dukun Raksa?"
"Guru bapakmu," jawabnya pendek.
Maka, tanpa menunggu waktu lagi, aku segera pergi menemui dukun Raksa, guru bapakku. Sesampai di sana, sungguh aku kecewa. Bukan jawaban yang kudapat, justru perintah. Sudah kubilang, saat ini aku tidak butuh perintah tapi jawaban. Namun, lelaki yang sudah kelewat tua itu memaksaku pulang, menyuruhku memanggil bapakku agar menemuinya.

* * *

Di luar langit selaksa lembayung, awan berarak, subuh sudah lama lewat. Sementara, dari dalam kamar terdengar isak senik padu dengan gesekan sebilah pisau yang diasah pada lantai. Ya, tak lain, di dalam kamar itu adalah istri Lubanjir tengah mengasah pisau, segelas air kembang di sisinya. Ia biarkan anaknya menyaksikan secara terang-terangan, bahkan disuruhnya anaknya duduk di sampingnya.

"Ibu tahu, kemarin kau pergi ke dukun Raksa," istri Lubanjir memulai percakapan sambil mengelap sebilah pisau dengan selembar kertas. "Kiai Raksa adalah guru bapakmu…" Hening. Lama perempuan itu bergeming, air mata merembes di pipinya. "Kau ingin tahu, kenapa setiap kali ibu mengasah pisau dan membaca mantra?" Ia mengangguk. "Pisau ini adalah milik ibuku, nenekmu. Beliau memberiku terakhir kali sebelum mati dibunuh bapakmu, lantaran tak mengizinkan bapakmu menikahi adik ibu sendiri. Saat itu, usiamu masih tujuh tahun. Dan sekarang, ibu pikir kau sudah cukup untuk mengetahui semua ini, perihal bapakmu." Istri Lubanjir terus bercerita diiringi tangis tertahan penuh dendam terhadap suaminya sendiri.

"Pergilah malam nanti, temui bapakmu." Lalu, diserahkannya pisau itu, kemudian ia celupkan kertas itu pada gelas yang diisi setengah air kembang, sebelum akhirnya menyuruh anak laki-lakinya meminumnya. Tanpa banyak membantah lelaki itu pun menuruti apa kata ibunya. Kemudian, istri Lubanjir mengajari anaknya cara menyimpan sebilah pisau dan cara mengeluarkannya dengan samar dari balik punggung hingga orang lain tak tahu.

"Bagaiama ibu tahu cara menyelipkan sebilah pisau seperti ini?"
"Dari bapakmu," jawabnya pendek. "Hentakkan kakimu tiga kali sesampainya di halaman rumah bapakmu."

* * *

Sebagaimana yang sudah direncanakan, malam itu, anak Lubanjir pergi ingin menemui bapaknya dengan sebilah pisau terselip di balik punggung. Maka, tanpa rasa takut lelaki itu terus berjalan menapaki jalan setapak menuju rumah bapaknya sendiri. Ia pergi ingin membunuh bapaknya yang telah membunuh neneknya.

Syahdan, sesampainya di tengah perjalanan, persis seperti yang dirasakan bapaknya dulu, terdengar suara rintihan histeris. Ia berhenti sejenak, mengamati sekitar, lalu pergi lagi tanpa mempedulikan suara rintihan itu. Hanya sosok bapaknya dengan segala kejahatannya terus terbayang.

Perlahan, ia masuki pekarangan. Terdengar suara dengung burung hantu padu dengan suara histeris yang terus membuntuti langkahnya. Dan, sontak ia terperanjat saat berada di tengah-tengah halaman. Di beranda seorang lelaki tua dengan wajah keriput, tanpa baju, tubuhnya tampak kerempeng tinggal tulang duduk seakan menyambut anak satu-satunya yang sudah lama tidak bertemu, dan kini datang ingin membunuhnya.

Maka, tanpa diberi kesempatan anaknya berkata, Lubanjir mendahului. "Sudah lama bapakmu terkutuk." Suaranya serak, membuat anaknya iba. Bersamaan dengan itu, terdengar suara rintihan dari seberang jalan: "Akhiri semua ini…" Lubanjir melirik pada anaknya yang berdiri kaku, meski matanya nyalang penuh dendam.

"Kau dengar suara itu? Terkutuk. Itulah suara nenekmu yang telah kubunuh. Sekarang giliranmu membunuhku. Bunuhlah, bapakmu yang terkutuk ini." Tiba-tiba, tubuh anak Lubanjir gemetar, tetap berdiri di tempat semula. Ia tak kuasa melakukan semua rencananya. ***

Ngijo, 2007-08-10-11:55 AM.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar