Rabu, 25 Januari 2012

Bohonglah Sekali Lagi Cerpen: Yustine Pravitasmara Dewi


Suara Karya
Sabtu, 23 Juni 2007

Bohonglah Sekali Lagi
Cerpen: Yustine Pravitasmara Dewi

Kuingin kau berbohong padaku. Seperti yang kau utarakan kemarin, dan yang kemarin dulu itu. Ketika redup mentari berpendar di pucuk daun dan ketika kerumunan itu tak lagi bersamamu, kau mulai dengan kisah kebohonganmu yang pertama kepadaku.

"Aku sayang padamu," bisikmu lirih hampir tak terdengar, ditingkah bising kendaraan yang lewat. Telingaku hampir tak menangkap makna kalimat yang kau ucapkan, sampai kesadaranku memaksaku memahaminya. "Mimpikah aku ?" hanya segitu yang bisa terlontar dalam benak.

Bisikan lirihmu seolah memberi pesan akan sesuatu yang terlontar spontan dan kau sendiri terkejut mendengarnya. Duniaku berhenti beberapa detik.
Senyap. Kosong. Harmoni mengisinya.

Kurasa itu tak kan lagi terjadi. Tetapi aku adalah pemimpi dan mimpiku sering bertolak belakang dengan kenyataan. Ketika itulah bohongmu yang kedua melantun bagai nada yang baru tercipta. Kau ucapkan beserta segala daya pikatmu yang hampir selalu merobohkan hati setiap perempuan.

Aku, pun terinfeksi virus pikatmu. Tapi tidak terlena dan mengejarmu bersama kertas yang kupaksa untuk kau tanda tangani seperti yang lain. Kelelahan yang selalu kulihat dalam sorot matamu, seolah tak kan pernah kupahami maknanya. Roda yang kita mainkan tidak pernah berputar lamban, selalu cepat dan amat cepat, sering kita terengah bersamanya. Namun, lelahmu bukan karena itu. Rasa dalam hatiku merindu akan jawab itu, yang kutahu takkan pernah kudapat darimu. Bukan pula dari mereka, wajah-wajah cantik itu.

Malam telah jatuh menggantikan siang kita dan kau tampak seperti model iklan rokok lokal dengan raut seperti Brad Pitt dalam balutan hitam-hitam.
Sempurna.

Tak lagi mampu kukendalikan diriku padamu. Kau pun berikan dirimu kepadaku. Waktu tergenggam oleh tangan-tangan kita.

Dan itu terulangi! Tidak seperti kali pertama kebohonganmu, kali ini bohongmu terdengar lebih jelas dan membuatku membeku sekaligus menjentikkan api yang selama ini padam dalam hatiku.
"Aku sayang kamu."
(Bohong!)

Aku tahu, itu. Tetapi aku mulai menikmati bohongmu dan kuletakkan peranku pula disitu. Karena kita adalah pemain yang tak kan berhenti untuk peran-peran dalam naskahNya. Begitulah katamu, disuatu waktu. Meyakinkanku pada sesuatu yang kau yakini.

"Apakah peranku bagimu, silumankah aku?" tak ada jawabmu, hanya angin berdesir di sekeliling kita. Bulan pucat tak bisa menyembunyikan senyumanmu demi melihat kerutan di dahiku. Biarlah menjadi rahasia alam akan apa yang kita rasakan ini. Jangan lagi memaknainya, menanyakannya atau mengharapkannya di waktu yang akan datang.

"Tak berartikah ini bagimu?" aku belum puas dengan penjelasan retoris itu. Dan mulai memaksanya. Selintas beberapa wajah cantik mencoba mengingatkanku pada posisiku. Tanpa makna.

"Kau memberikan padaku warna lain pada kanvasku, itu berarti banyak sekali." Itulah yang terucap darimu dan menepis tanganku dari tanganmu. Kehangatan tiba-tiba lenyap. Aku mulai menggigil.
"Aku harus pergi!"
"Jangan. Kataku, jangan pergi," kuulangi pintaku lirih.
"Tinggallah," kuingin tetap berbagi peran denganmu.
"Baiklah. Janjimu begitu."

"Selamat malam, terima kasih," dan itulah kata yang terdengar dari bibirmu. Hanya punggungmu yang kulihat meninggalkanku dalam semua renunganku akanmu. Tak kan aku berdiam dalam tamansari ini jika tanpamu. Kupupus semuanya tentangmu dan menegaskan diriku akan segala kebohonganmu yang lalu. Tak bisa!

Ku tak mungkin jatuh cinta kan ? tidak sekarang, tidak denganmu. Pesonamu menjeratku tapi aku tak kan membiarkan diriku jatuh cinta kepadamu. Tak kan pernah kupercaya segala tuturmu kepadaku, dan ku akan selalu menganggap bohong apa pun yang kau ucapkan kepadaku, termasuk yang itu...yang dua kali kau sampaikan padaku.

* * *

Esok, ketika hari berganti akan kuserahkan laporan akhir tahun seperti yang kau minta. Itu berarti pekerjaan paling melelahkan bagiku terselesaikan satu minggu sebelum deadline yang telah kau tetapkan. Aku mau menyelesaikan secepatnya. Kemudian, Tuhan, berikan kekuatan padaku, kuingin pergi darimu, jika semua ini sia-sia.

Tapi kemudian, hal itu terjadi, seperti setiap aku marah padamu. kau seperti bertelepati padaku. Kau selalu tahu tentang apa pun yang kupikirkan. akanmu.

Senyummu mengembang. Kupandangi matamu, berharap bisa menguak kebohongan itu dari sana.

Agak sulit menciptakan kebohongan pada mata, dan aku melihat segalanya disana mengatakan itu. Kerinduanmu terpancar dari kedalaman pandanganmu. Kau ulurkan tanganmu menyentuhi jariku. Kurasa inginkan lagi. Kau yang seolah tak pernah kehabisan kata kini terdiam dalam pandang yang bertemu, terkunci disana oleh kekuatan yang lebih besar dari yang kita bisa pahami.

"Sadarlah, betapa indahnya persahabatan ini. Dan jika waktu membawa kita saling jauh, kita akan tetap bertemu lagi dalam indahnya rasa ini."

Air mataku mulai menderas tanpa mampu lagi kutahankan. Persahabatankah ini semua bagimu? Sesalku dalam hati. Kutinggalkan engkau dengan tumpukkan laporan akhir tahun yang bahkan tak sempat kau sentuh. Bergegas menuju ruanganku, dan berencana membenamkan diri disana sementara waktu.

Telepon di mejaku berdering. Kau. Segera kututup lagi. Semenit kemudian kau telah duduk di mejaku.
"Apa yang membuatmu sedih?" tanyaku, pelan.

Aku hanya mengajakmu melihat realitas yang ada. Kita adalah manusia - manusia rapuh yang seringkali salah melihat pertanda dalam hidup kita sendiri. Aku tak ingin kita salah langkah dalam hal ini. Aku bersamamu sekarang, kau tahu ini adalah ketulusan yang ...

"Tapi, kenapa ? Kau telah membuatku jatuh cinta padamu, dan kau katakan kini kita akan berpisah suatu hari nanti!" raungku memotong kata-katanya.
"Karena kita tidak tahu pada apa yang terjadi besok, Diajeng."

Sapaan itu selalu berhasil meluluhkan hatiku. Tapi kini aku butuh lebih dari hanya sekedar sapaan "diajeng" itu. Di tengah tetesan air mataku, kulihat dia melakukan sesuatu yang akan kukenang selama hidup, dikeluarkannya saputangan dan menghapus air mataku dengan sabar.

Kini ia berpindah berdiri di belakangku, membimbingku menuju sofa di seberang meja. Di rengkuhnya kepalaku dan ciuman lembut itu menghapus habis isakku.

"Aku tak pernah bisa berbohong, pada siapapun, juga padamu. Aku tak kan pernah katakan janji yang tak bisa kupenuhi karena mungkin alam ini tak mendukungnya."

"Kau pernah berbohong padaku." Kembali aku terisak kini.
"Kapan ?"
"Ketika kau katakan kau sayang padaku." Dia mengerutkan dahinya, tak mengerti.

"Kau bohong dengan mengatakan kau sayang padaku," kataku meneruskan. Dan aku ingin sekali kau tetap berbohong padaku, jangan katakan kita akan berpisah suatu hari nanti. Itu sungguh menyakitkanku.

"Aku sayang kamu " itu terucap lagi darimu....... dan dengan menghapus lagi air mataku kau memintaku bersamamu makan siang.

"Jangan katakan itu kalau hanya untuk sementara." desisku
"Kau membuatku makin tak mengerti Diajeng. Sudahlah, mari kita makan siang sekarang."
"Aku pasti jelek karena menangis."
Kau menggelengkan kepala kuat-kuat sambil berjalan menuju pintu.

Kupandangi punggungnya yang melangkah pergi, seperti kala itu. Tapi aku tahu kini, aku harus berada di sampingnya, selalu. Untuk makan siang, dan untuk hari-harinya, dengan ketulusanku pada kebohongannya.***

* 12 Mei 2007. (Kagem SS:Happy B-day)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar