Rabu, 25 Januari 2012

BISIKAN ANGIN Cerpen Beni Setia


Media Indonesia
Minguu, 24 Maret 2002

BISIKAN ANGIN
Cerpen Beni Setia

ANGIN selalu datang dan mengajak pergi. Mungkin itu yang dibisikkannya sehingga leluhur membuat rakit dan membentangkan kain layar, lantas berseluncur di laut untuk berpindah dari satu pantai ke pantai lain, dari pulau ke pulau lain --bahkan mungkin dari dunia ini ke dunia lain setelah gelombang membalikkannya. Tapi gelombang itu apa bukan bagian dari angin yang digejalakan di permukaan air laut? Mungkin angin juga yang mengusir burung dari daerah dingin ke daerah panas, karena embusan dingin sampai dan dulu embusan hangat pernah sampai dari sebaliknya. Atau cuma kabar yang dibawa di dalam ketiaknya, berupa aroma dan bunyi--selain rasa sejuk yang memanggil datang atau menyuruh pergi. Tapi kenapa kita tak beranjak?Di masa kanak-kanak aku suka naik ke pohon lamtoro, memetik buah yang belum tua dan berisi biji, memakannya setengah menyepah rasa pahitnya sambil duduk pada dahannya. Menjulang sambil bergoyang dicumbu oleh angin. Angin yang datang dari hamparan sawah yantg berderet sampai di seberang perkampungan --ada lubuk sungai yang teraling-- dan naik ke perbukitan di jauhnya. Angin yang sejuk. Angin yang berisikan desir pada sawah yang malai padinya sedang mengencang dan mengering dengan dedaunan yang mulai kersik --karena itu meruapkan panas. Sekali waktu penuh bau bubung bakaran jerami basah. Sekali waktu bau ruap lumpur yang baru diratakan dengan kaki atau luku kerbau. Dan kadang-kadang daun padi yang baru lilir itu beriak bagai jutaan jari yang mengucapkan salam pada angin yang terus mendudu --mengajak pergi dan tak pernah mau singgah. Ke mana angin akan membawa kita? menyeret dan menelikung atau menayang dan membebaskan?***Ace Kosasih marah. Sangat marah --mungkin karena ia sangat kebelet omong dengan Tina Sinariah--, tapi dari kemarin tak bisa menghubunginya. HP-nya dimatikan dan karenanya sia-sia menghubunginya. Mungkin ia telah mencobanya sepanjang malam dan tak menghasilkan apa. Mungkin, seperti yang kukerjakan sepanjang siang berpindah-pindah menghubungi ke dua HP ke tiga nomor rumah. Satu HP tak diaktifkan, satu HP lagi kemudian dimatikan, dan tiga nomor telepon rumah itu diblokir jadi answering machine dan perintah meninggalkan pesan. Tepat --setelah berkali-kali menghubungi, diangkat, mendapat minta maaf dan permintaan agar dihubungkan dengan Tina Sinariah.Maaf. Saya lagi. maaf. Saya hanya karyawan Ace Kosasih yang ditugaskan untuk menghubungi Tina Sinarih. Maaf, kalau... --kataku tidak lampiaskan karena di seberang begitu muak dan karenanya membantingkan telepon. Tapi Ace Kosasih datang untuk mengecek. Untuk ngamuki dan memaki. Aku menggigit bibir. Apa ini karena aku digaji 800.000 rupiah, tanpa uang transpor dan makan? Apa karena diikat begitu maka aku harus mengerjakan tugas khusus di luar rutin sehari-hari? Hanya untuk menelepon pacar yang ngambul, hanya karena ia bos dan aku cuma staf administrasi di kantor pabrik garmen? Dasar singkeh --gumamku. Memijit redial dan menikmati denging. Berulang-ulang. Menyebalkan. Dan aku rindu angin. Angin."Bisa"?Aku menggeleng. "Sudahlah," katanya. Membalik dan menggerutu. Masuk keruangannya dan, setelah pintu dibanting, kami mendengar meja tulis digrebak dengan tangan. Aku menggaruk rambut. Cici Santosa, masih sepupu Ace kosasih, mendekat. "Maaf, ya," katanya, "Koko lagi bingung, stres, jadinya ia muring-muring. Sepurane ya!" Aku tersenyum bangkit dan jalan ke belakang. Masuk ke toilet. Kencing. Cuci muka dan mengeringkannya dengan sapu tangan. Berpikir akan naik ke atap, bersilang tangan di dada di bubungan merasakan angin menderas di wajah --mengabarkan kabar dari hadapan perkotaan yang padat dan mengajak pergi ke penghujung kota dan menembus batas ke pedalaman. Nun.Tersentak ketika pintu toilet digedor. Ace Kosasih berteriak-teraik. Aku membuka pintu dan menahan napas ketika ia masuk sambil menggerutu. "Si Suwe-e koen iku. Nang toilet pabrik opo-o?" Aku bungkam. Apa mungkin menelepon seseorang yang tak ingin ditelepon --dengan menutup diri, dengan mengisolasi telepon? Aku menahan tangan yang mengepal ingin melayang ke bibirnya, menjengkangkannya ke dinding, lalu menggelosor di lantai dengan bunga darah mekar di atas di lorong dan bengkak. Nun. Tapi ia membanting pintu dan aku cuma menggerutu di lorong ke ruang kantor. Menghenyak ke kursi dan menatap pekerjaan yang ditangguhkan di tiga jam barusan. Dan aku rindu dibelai angin. Dibisikin segala macam dan diajak untuk pergi ke sana. Nun. Adakah kebebasan di sana?***Aku pergi ke pantai. Bersandar dan menatap kejauhan yang remang dalam malam. Angin telah berbalik. Menepis amis ganggang dan garam dan muali mengabarkan hanta pasir dan bising perkotaan. Akankah suara itu lelah dan semuanya mengendap dalam palung hingga ikan-ikan akan naik ke permukaan dan sukarela dijaring nelayan agar bisa menyaksikan kesibukan kota yang tak terbayangkan? Atau angin itu gagal membujuk aku untuk melangkah ke pantai dan mulai menyelam ke kedalaman palung, ke keindahan kekal dunia ganggang dan lumut di terumbu karang, juntai dan tentakel anemon, serta kanibalis yang bisa melayang atau mengintai. Nun. Meraih botol air mineral dan pelan-pelan menegukhabiskannya. Meniupkan napas, menutup rapat, dan melemparkannya ke alun naik.Pergilah ke kedalaman rindu --gumanku. Tapi masih punya rindukah aku? Atau pengharapan? Kedalaman di mana rindu bisa bebenah lalu mengecambah? Aku ingin pulang. Naik pohon lamtoro di belakang rumah, bergoyang-goyang pada dahan sambil bermimpi bercoklangan naik kuda di sabana di tengah angin deras yang menyampaikan aroma dan suara zona yang ditinggalkan dan janji makanan di zona serbuan. Nun. Tetapi adakah nun, kebebasan dan pembebasan, bila di kota ini hanya jadi staf administrasi, yang bisa diselewengkan menjadi operator telepon yang khusus menghubungi HP Tina Sinariah? Dimaki. Dilecehkan dengan sebutan goblok dan segala macam --padahal dia mungkin sudah tak bisa menghubunginya karena yang ingin dihubungi tak mau dihubungi.Kenapa tak marah pada Tina Sinariah? Kenapa tak berani memaki diri sendiri? Kenapa tak berani mengaku kalah dengan menangis dan menyebabkan semua orang tahu kalau Ace Kosasih dilumpuhkan Tina Sinariah? --gumanku. Aku melihat jam. Menyulut rokok terakhir --meremas kotaknya dan melemparkannya ke lidah alun yang membelai beton pantai. Jalan sambil merasakan angin mengapungkan ruap sisa siang di tengah pelataran yang, makin sejuk di dalam remang. Nun. Aku jalan. Hingga tubuhku penuh keringat. Hingga angin tak bisa menyejukkan tubuh. Hingga angin sia-sia mengajak ke palung dan berbaring di celah karang sebagai belut raksasa. Nun.***Aku melihat sedan Ace Kosasih berparkir. "Asu iki!" gumanku. Yitno menunggu sedan itu --pasti dapat uang parkir. "Singkeh iki!" gumanku. Yitno mengangguk. Kresno, sopir, bilang bahwa Ace Kosasih mencari. Aku berguman. Aku mengeloyor. Jalan sepanjang lorong. Membelot ke deret kanan, dan sebelum laju aku diteriaki dari warung kopi Cak Dul. "Dari mana saja? Aku sampai lumutan menunggu? kata satpam yang mengawal. Aku membungkam. Ace Kosasih mendekat. "Aku minta tolong," katanya, "Aku bayar sebagai lembur --dan esoknya kamu boleh enggak masuk. Swear!" Aku merasakan angin menderas dan mengelupaskan selaput keringat kering. Aku merasa diajaknya pergi ke tengah laut, menyelam ke kedalaman sebagai hiu atau paus. Nun."Kau ke rumahku. Tolong teleponi Tina. Ada jaminannya deh."Aku menatap. Angin menderas, mungkin tergesa karena terjepit gang dan dijejali sampah kota. Mungkin. Aku tersenyum. "Apa?" kataku. "Tolong teleponkan Tina," katanya. Aku mengangguk. Aku meraih kuduknya, mendorong kepalanya ke tiang kayu mahoni di sudut bedeng, menghantamkannya hingga bedeng itu bergegar. Menghantamkannya. Menghantamkannya. Tubuh bergetar. Darah mendenging. Aku menelan ludah. Haus--rindu angin. Telinga berdengung. Aku mengeram. Aku berteriak: Angin di manakah kamu? Bawalah aku ke gunung-gunung beku berkabut atau ke palung-palung yang senantiasa kelam! Bubungkan aku! Tenggelamkan aku! Dan sekelilingku penuh bisikan.Dan di sekelilingku penuh bisikan, penuh dengan orang yang saling berbisik. Seperti riak atau alun di tengah arus sungai, seperti jelujur benang bermacam warna, dari kiri atau kanan, dari atas atau bawah, dan membungkus dalam hamparan kain badai. Kenapa? Mengapa? Aku membungkam. Bisu. "Hey!" kata salah satu, "Kenapa kamu masuk bui!" Aku menatap nanar. "Aku rindu angin, aku ingin duduk di tempat di mana angin deras mendera, dan Singkeh itu menyuruh aku duduk di kamar, menelepon, dan terus menelepon pacarnya yang ngambul. "Menyibak orang-orang, mendekatkan kepala ke jendela tapi angin yang hanya lewat di luar. "Jadi?" kata salah satu lain lagi. "Aku cekuk lehernya, aku hantamkan ke tiang rumah. Brak-pecah!" kataku. Mereka tertawa. Mereka mengulurkan tangan dan menyalamiku.Aku cuma tersenyum. Aku menyimak angin tapi tak ada udara yang bergerak. hanya bisik-bisik yang bercetusan di sekelilingku, bagai biji suara yang telontar ke ladang angin, meletus oleh musim dan berderak tumbuh. Suara-suara kecil. Desis di tengah desau angin yang lantang mengabarkan suara dan aroma zona yang ditinggalkan dan janji dari zona akan dijelang. Nun. Tapi tak ada angin di sini. Tak ada. ke mana perginya angin? Apakah sudah tiba di muara? Dan di mana pangkalnya? Kenapa aku cuma mendengar suara berat menggeletar, bagai didorong melewatinya dia bercerita tentang tersekat dan sekarat. Tapi siapa ia? Di mana ia disekap?Angin berangkat dari satu tempat untuk berlabuh di satu tempat. Apakah itu tempat yang menyenangkan? Adakah ruang bagi orang yang diajaknya untuk duduk menyisihkan kopi dan rokok di beranda, melempar sawang sambil memintal benang kenangan dari akhir menunju pangkal --dicermati dari pangkal menuju akhir. Nun. Tapi apa angin bangkit sendiri atau dibangkitkan dari tenggorokan orang yang sedang sekarat? Menjadi desis dari amarah yang tak lampias karena dipancung oleh sekarat? Dan karenanya mengajak setiap orang ke muara untuk sekarat dan merasakan ke hilangan waktu, merasakan kepiluan menyia-nyiakan waktu. Nun. Dan karenanya angin naik dari kerongkongan yang tersekat. Dasamuka yang dikubur hidup-hidup. Nun. Dan aku mendengar letupan kecil suara bisik di sekelilingku.Dan aku berteriak. Teriak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar