Rabu, 25 Januari 2012

Bertahan di Selatan Cerpen: Nugroho Sukmanto


Republika
Minggu, 12 Agustus 2007

Bertahan di Selatan
Cerpen: Nugroho Sukmanto

Kalau pendatang kurang paham asal usul tempatnya tinggal, orang Betawi kurang paham kemauan warga pendatang. Seperti Belanda minta tanah, dikasih semeter minta dua meter, dikasih dua meter minta tiga meter. Tidak pernah cukup. "Sebentar-sebentar ada pemekaran kota. Apa kagak bisa, bikin kota lain di tanah yang gersang aja?!"

Kenangan akan Betawi yang hijau merona, ditandai pepohonan tinggi, selalu mengusik perasaan Haji Jaelani. Memang tidak seasri perkebunan milik Onderneming, tetapi tetumbuhan itu cukup memberikan keteduhan bagi warga yang hidup mengerumun bertetangga layaknya sebuah paguyuban.

Dulu, paguyuban-paguyuban itu begitu kentara gerabak-gerubuknya, mengikat tali persahabatan membentuk sebuah rempuk persaudaraan. Kelompok-kelompok masyarakatnya yang vokal dan percaya diri menjadi ciri keluarga besar warga Betawi. Dirajut kebiasaan melakukan pengajian berjamaah, mereka sering mengulur tangan silaturahmi.

Setiap berkunjung ke rumah para sohib, dibawanya pulang oleh-oleh. Kalau dari Condet mereka menyiapkan keranjang untuk dijejali manggis dan salak, dari sekitar Tanah Kusir mereka menggotong nangka dan buah cempedak. Lebih menjauh sedikit, mereka sering mengangkut bermacam buah langka dan durian sebecak. Sedang dari kota, mereka membalas pemberian dengan berkaleng-kaleng susu dan seloyang penganan olahan sendiri.

Kini, mereka berpencar menjadi masyarakat terpinggirkan, setelah tanah mereka yang perkotaan habis terjual. Untuk bertahan sebagai warga Betawi, mereka kemudian menguasai lahan yang lebih murah, di kawasan resapan berkepadatan rendah daerah selatan. Haji Jaelani masih beruntung bisa tinggal di Ciganjur dengan pekarangan luas dan memiliki lahan ternak sapi perah di Pondok Rangon.

Lahan penuh kandang itu sebagai kompensasi sebagian tanahnya di Karet Kuningan. Sebenarnya dia sudah sangat betah tinggal di sana, turun-temurun. Tetapi akhirnya merasa letih, menghadapi rongrongan dan desakan untuk melepas tanahnya. Rongrongan pertama datang dari pokrol yang mengatas-namakan keluarga Sultan Agung. Mereka menunjukkan copy arsip dari Balai Harta Peninggalan. Kemudian membeberkan bukti kepemilikan kerajaan Mataram, sebelum Belanda datang menjarah.

Rongrongan itu membuat Haji Jaelani naik pitam. Dengan golok di pinggang, dia damprat si pokrol bergaya preman, "Heh, duluan mana orang asli Betawi sama ente punya Sultan datang kemari. Sembarangan aja ente ngomong!" Rongrongan berikutnya datang dari Badan Otorita, yang ditugasi pemerintah membenahi wilayah Kuningan untuk dibangun kawasan diplomatik.

Haji Jaelani menggeleng-gelengkan kepala sewaktu menyaksikan pembangunan rumah susun, yang menurutnya mirip kandang beruk. Bangunan berpetak-petak itu dimaksudkan sebagai kompensasi yang dianggap lebih manusiawi untuk tinggal bagi warga yang lahannya terkena proyek. Sedang untuk kandang ternak, mereka akan mendapat ganti di kawasan khusus.

Menurut perwakilan Badan Otorita, mereka mereka yang berstatus hanya sebagai penggarap tanah negara, seharusnya merasa berterima kasih memperoleh kompensasi tempat tinggal dan tempat usaha yang lebih layak. Pernyataan itu membuat Haji Jaelani meradang, "Ente tau, engkong aye menduduki tanah bersertipikat jaman Belanda, dan menurut peraturan, aye punya hak untuk mengajukan sertipikat yang dikeluarkan Negara Republik. Benar nggak?"

Petugas Otorita tak membantah, lalu mengiyakan dengan mengemukakan syarat-syarat yang dilupakan, "Benar, menurut catatan agraria, Pak Haji menduduki tanah seluas 2.000 meter persegi di atas sertifikat Eigendom Verponding, yang terkena program Land Reform. Tetapi, karena sampai batas waktu yang ditentukan Pak Haji tidak memohonkan hak, maka tanah yang Pak Haji duduki, menurut ketentuan, kembali ke Negara. Jangan khawatir, Pak Haji tetap terdaftar sebagai penggarap!"

Sambil keheranan, Haji Jaelani meletupkan kekesalan, "Lucu amat yah. Tanah milik aye, hanya gara-gara terlambat mengajukan permohonan, jadi milik Negara. Sedang di tempat lain, orang-orang pendatang dikasih sertipikat Prona. Mana adilnya? Pokoknya aye kagak mau tahu. Aye minta, tanah aye per meternya dibayar seperti milik Haji Dilah yang ada di luar proyek, yang dibeli lain pengembang!"

Mendapat perlawanan keras, tiga tahun petugas Otorita tidak muncul. Sedang rumah susun percontohan yang dibangun sudah hancur. Tiba-tiba kemudian pengusaha berdasi datang menghampiri. Merasa sudah muak dengan tawaran-tawaran tak masuk akal, Haji Jaelani tidak bersedia menemui dan hanya meminta Salempang, menantunya, menanggapi usulan perusahaan pengembang. Yang dia tahu hanya ganti rugi, lainnya, yang dibilang program relokasi, konsolidasi dan partisipasi, hanya membuat kepalanya pening.

Sepulang dari musyawarah, bersama beberapa orang yang mewakili seluruh warga, Salempang menghadap mertuanya untuk melapor. "Yang penting, Beh, mereka sekarang sudah mengakui hak-hak warga dan tidak mempersoalkan kepemilikan surat-surat, asal ada keterangan dari lurah dan camat. Tetapi, buat membayar sebesar yang diterima Haji Dilah, mereka keberatan karena tanah Babe letaknya di belakang."

"Gue kagak peduli. Ada uang ada barang. Kalau nggak mau, jangan sentuh tanah gue."
"Tetapi, ada cara. Kita bisa dapat lebih besar dari yang Babe minta."
"Mimpi kali, Lu. Jangan banyak teori dah!"
"Sementara, kita sudah bersepakat dengan pengembang menjalankan program partisipasi. Pengembang akan mensertifikatkan tanah atas nama warga dan membuat perencanaan serta kemudian menjualnya. Dari hasil penjualan, warga akan medapat 50 persen, karena 40 persen luas tanah diperuntukkan buat sarana dan warga berkewajiban membayar biaya pengembangan lahan dengan 10 persen tanahnya. Kalau sudah ada kesepakatan, akan dibuatkan perjanjian, yang disaksikan wakil-wakil rakyat."

Melihat mertuanya mulai tertarik, Salempang menambahkan, "Mereka akan menjualnya dalam dolar, Beh. Harganya 2.000 per meternya. Kalau itu terjadi, Babe akan menerima hampir dua setengah kali yang diterima Haji Dilah!" "Kagak usah repot-repot dah. Aye jamin semua warga di sini dalam tiga bulan angkat kaki, kalau mereka bayar seperti yang aye minta."

Tiga bulan kemudian, Haji Jaelani bersama kawan-kawannya menerima pembayaran seperti yang diminta, setelah mengikuti program partisipasi, yang dia hentikan di tengah jalan karena butuh uang. Akhirnya, dia hanya menerima ganti rugi, yang sebagian diperhitungkan dengan kompensasi lahan peternakan. Setelah itu, dia menyesali keputusannya, ketika mengetahui, dengan kurs dolar 2.500, dari hasil penjualan, pengembang menerima Rp 5 juta per meter persegi.

Dengan uang yang diterima serta usaha ternak sapi perah yang masih dipertahankan, Haji Jaelani mampu mencukupi dirinya dan kebutuhan anak-anaknya. Satu anaknya yang dia banggakan, dari istri kedua, sekarang sekolah tinggi. Dia menyesal menyetujui anak-anak dari isteri pertama meninggalkan sekolah. Karena, si Juned dia tugasi merawat sapi, si Japri harus mengurusi kandang dan pembuangan kotoran. Sedang Enoh berkewajiban mengantar susu ke depot penampung.

Dia juga merasa telah melakukan kesalahan dengan membagi sebagian uang kepada anak-anaknya. Oleh Juned dan Japri uang itu dipakai membeli motor, untuk mengojek. Sebagai tukang ojek, mereka mampu membayar buruh, menggantikan tugas yang seharusnya mereka lakukan. Tetapi lama-lama penghasilannya menurun akibat banyak saingan dan motornya perlu biaya tambahan karena sering rewel. Setelah motor-motor itu tidak produktif lagi, mereka terpaksa meminta Haji Jaelani menjual tanah kembali untuk tambahan modal.

Haji Jaelani terheran-heran, buruh perawat kandang dan penjaga sapinya, setelah minta berhenti kerja, malah menjadi saudagar. Karena pengalaman dan keahliannya, mereka kemudian mendapat kredit, hingga bisa memiliki sapi-sapi sendiri. Haji Jaelani sangat menyesali kelakuan kedua anaknya, yang tidak mau menekuni pekerjaan yang pernah digelutinya.

Dari pada menjual tanah lagi, pikir Haji Jaelani, lebih baik di atas pekarangan yang dimiliki, dibangun saja rumah rumah petak kontrakan, seperti yang dilakukan sobatnya, Haji Somad. Biarlah dua anaknya menjadi juragan rumah kontrakan, dari pada jadi tukang ojek.

Untungnya, Si Enoh, setelah kawin, tak lekang rejeki dan selalu datang melipur, membawakan cucu-cucu yang imut-imut dan pintar. Bisa dipahami, karena Salempang, suaminya, adalah seorang insinyur, sekarang kerja di Pemerintah Kota. Dia juga bangga sama Enoh karena piawai menarikan tari topeng Betawi, yang diajarkan turun-temurun.

Haji Jaelani makin yakin, ilmu akan bisa menjaga harta. Sedang harta belum tentu bisa menjaga ilmu. Sementara, harta yang tak terjaga hanya meninggalkan kemiskinanan sebagai buahnya. Sekarang baru disadari arti ucapan ustad Mughni yang mengutip sabda Nabi, "Carilah Ilmu, meski sampai ke negeri Cina."

Tekad Haji Jaelani makin kuat untuk mengirim Fauzan, anaknya, melanglang buana ke Amerika untuk studi pasca sarjana. Cita-citanya yang dulu tenggelam sekarang muncul lagi. Cita-cita menjadi orang terhormat, bukan hanya dari usaha sendiri, tetapi juga dari seorang anak yang dapat mengangkat derajat orang tuanya.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar