Rabu, 25 Januari 2012

Bengkel Las Bu Ijah Cerpen: Clara Ng


Jawa Pos
Minggu, 09 September 2007

Bengkel Las Bu Ijah
Cerpen: Clara Ng

Ibuku selalu mengatakan padaku agar aku menjaga hatiku supaya tidak patah. Percayalah, aku berusaha keras menjaganya agar tidak tergores segaris pun. Hati bagai pagar rumah, dia melindungi segalanya.

Ketika aku mengenal kekasihku, kubuat dia berjanji untuk selalu menjaga hatiku. Tapi mulut memang lancar berdusta. Hari berlarian cepat, memberiku kebahagiaan yang kemudian kutahu semuanya ternyata hanya cahaya teramat remang. Kekasihku menistaiku. Dia tak hanya menggoreskan baret yang teramat dalam, dia pun tega mematahkannya. Hatiku penyok, tak dapat berbentuk seperti sediakala.

Aku pergi ke pantai, di mana angin dari selatan mengalir dengan manis, mengantar buih yang pecah berhamburan di udara bagai gelembung-gelembung rapuh. Rambutku dipeluk asin air garam dan telingaku mendengar lirih suara pesisir pantai. Katanya, aku harus pergi ke kota Leda, kota yang penuh kotoran dosa dan gelimang kebejatan. Di sana ada seseorang yang dapat merapikan kembali hati yang patah.

***

Bengkel itu sudah ada di sana selama puluhan tahun, mungkin ratusan. Tidak ada yang dapat mengingatnya dengan tepat. Penerangan samar-samar membuatnya semakin tampak terpencil di tengah lautan ruko, kedai, dan rumah sederhana yang bersesakan di kiri dan kanannya. Pemilik awalnya seorang lelaki yang ketika saatnya tiba mewariskan bengkel itu kepada anak pertamanya. Kini anak pertamanya telah terbalut usia. Seperti raja diraja, dia juga hendak menyerahkan bengkel itu kepada anak lelaki pertamanya, keputusan sederhana yang dilakukan oleh ayahnya, selama dua generasi.

Tapi anak pertamanya ngotot, tak sudi tenggelam dalam kotoran oli, tak layak mengutak-atik mesin, tak bersedia mengurus bengkel. Otaknya telah penuh dengan kecerdasan artifisial hasil mahakarya universitas. Lelaki itu memang keras kepala, sama seperti ilmu yang telah diserapnya. Si ayah berkubang dalam lumpur kecewa. Anak yang disekolahkan tinggi-tinggi terbang sejauh-jauhnya, tak ingin kembali ke tempat dia terjerembap ketika langkah mungilnya pertama diayun. Tapi suatu pagi, anak perempuannya yang dulu hanya berkuncir ekor kuda dan senang menggendong-gendong boneka tahu-tahu mengatakan padanya dengan lemah lembut bahwa dia bersedia melanjutkan usaha bengkel itu.

Demikianlah si ayah dapat beristirahat dengan tenang. Harta keluarga telah ada yang menjaga. Anak perempuannya ternyata sangat cakap dan ulet. Semua rahasia tentang ilmu perbengkelan dikunyahnya lembut-lembut. Suasana bengkel menjadi sangat yin, feminin, perempuan. Kantor tempat menerima telepon pelanggan dicat warna merah muda. Daun pintunya dipasangi rumbai-rumbai. Jendelanya ditutupi gorden bermotif bunga-bunga mungil. Tiap hari lantai disikat sampai mengilat dan bebas hama. Wangi potpourri menari-nari di udara sejak orang memasuki gerbang bengkel.

Nama bengkel pun berubah. Si anak perempuan tak mau berkompromi untuk mempertahankan nama bengkel yang menurutnya sangat kelaki-lakian. Bengkel Las Maju Bersama diubahnya menjadi Bengkel Las Bu Ijah, seperti nama warung nasi uduk atau plang papan nama bidan. Semua pelanggan yang datang akan dilayani dan didengarkan dengan penuh perhatian. Tak ada yang dianggap angin lalu. Pekerjaan-pekerjaan sepele selalu diterima dengan tangan terbuka. Peraturannya, tak boleh menolak permintaan tolong dari orang lain, bahkan hal-hal yang di luar kapasitas bengkel las. Misalnya, jika ada orang yang minta tolong ban mobilnya diganti karena kebetulan kempes persis di depan bengkel, maka mereka wajib membantu.

Segera saja Bengkel Las Bu Ijah menjadi terkenal. Bengkel kecil yang letaknya menyempil itu menjadi masyhur namanya. Orang berbondong-bondong mencari Ijah untuk mengurus tetek-bengek masalah pembuatan pagar, pemasangan rangka atap rumah, sampai membuat ayunan untuk anak-anak di taman. Kegiatan di bengkel tak pernah berhenti. Cahaya api yang melompat-lompat dari mesin las selalu mewarnai udara.

Si ayah meninggal beberapa tahun kemudian. Dia meninggal dengan bintik-bintik kebahagian dan kepuasan memenuhi gelembung paru-parunya yang tinggal sebelah karena digerogoti sel-sel kanker. Ijah sibuk menyiapkan pemakaman yang megah untuk ayah tercinta sampai-sampai air matanya tak sempat turun. Seminggu setelah ayahanda tiada, rumah Ijah dialiri gema keheningan yang sangat memekakkan telinga. Saat itulah Ijah baru menyadari, hatinya patah karena ditinggal sang ayah yang selalu menyiraminya dengan cinta tanpa henti.

Ijah pun akhirnya menangis.
Menangis sampai bibirnya berdarah karena terantuk gigi.
Menangis sampai pipinya lembap dan embun menguap.

Hati patah memang mengerikan. Dunia luar terbentang mengancam, tanpa ada pagar yang mampu melindungi jiwa. Sambil tersedu-sedu Ijah berjalan menuju bengkel lasnya. Air matanya masih mengalir deras ketika tatapannya terbentur pada alat-alat bengkel yang diwariskan oleh ayahnya.
Pada detik itu, ada suara berbisik lirih, tapi cukup jelas mengalir di pikirannya.

Mulanya Ijah mengira itu idenya sendiri yang sangat brilian. Tapi, beberapa menit kemudian, dia tahu diri. Itu bukan ide yang sekadar terpantik di otaknya. Itu bukan murni gagasannya. Ijah yakin, suara itu berasal dari ayahnya di surga, memberitahu bagaimana cara agar Ijah dapat menghentikan kesedihannya.

Maka Ijah mempersiapkan alat-alat las dengan khidmat dan sahdu. Diperlakukannya barang-barang kasar itu dengan lemah lembut. Perlahan-lahan Ijah mengeluarkan hatinya yang penyok, rusak tak berbentuk. Dirapikan kepingan-kepingan hati itu di atas lantai. Dia berjongkok, mengangkat kawat las, memasang pelindung wajah, dan mulai mengelas pecahan hati; menyatukan kembali hatinya yang telah rusak.

Air matanya masih berhamburan, berdansa dengan lidah-lidah api ketika mesin las bergerung keras, menempelkan pecahan demi pecahan, bagai menyambung potongan puzzle. Semalam suntuk Ijah bekerja, merapikan hatinya. Pada pagi hari ketika ayam jantan pertama berkokok keras, hati Ijah telah kembali bersatu dengan sempurna. Tak ada bekas-bekas goresan atau penyok lagi. Tak ada lekukan buruk rupa maupun garis samar. Hati itu sangat indah, mengilat, dan berkilau. Mahakarya Ijah, hasil belajar dan kerja keras selama bertahun-tahun.

***

Aku menghabiskan waktu berhari-hari sebelum berhasil menemukan kota Leda. Aroma kebejatan memerkosa udara sehingga sulit bagiku untuk bernapas lega. Di sana-sini ada bayangan hitam yang melintas-lintas, membuatku ingin kencing di celana karena ketakutan. Di tanganku, ada sepotong alamat yang tercetak di atas kertas kumal. Aku harus mencari tempat itu untuk menyelamatkan hatiku. Aku menepuk saku celanaku, meyakinkan potongan-potongan hatiku masih tersimpan aman di sana.

***

Sejak Ijah berhasil menyatukan hatinya, dia memutuskan untuk menyatukan hati orang lain yang rusak. Pelanggan pertama adalah seorang ibu yang telah kawin belasan tahun dengan pacar pertamanya. Kini suaminya, tanpa meminta restunya, tahu-tahu menikahi seorang perempuan muda. Ijah menggabungkan hati yang rusak dengan mesin lasnya selama dua hari dua malam. Pekerjaan yang tak sia-sia. Segera saja hati yang retak itu kembali menjadi sempurna.

Pelanggan kedua seorang lelaki tua yang ditinggal mati oleh istrinya setelah enam puluh tahun menikah. Hati itu pun kembali pulih seperti sediakala.

"Semoga Tuhan besertamu."
Itu kata-kata Ijah kepada setiap orang yang hatinya dibetulkan. Ternyata memang Tuhan beserta mereka semua karena hati sebenarnya adalah rumah Tuhan bernaung. Hati yang koyak wajib dibetulkan kembali agar tempat Tuhan menjadi indah seperti sediakala.

Kemampuan Ijah menyelamatkan orang-orang yang mengalami patah hati tersebar ke pelosok kota. Segera saja ribuan orang berdatangan minta digabungkan kembali hati mereka yang pecah, penyok, rusak, tergores, tak berbentuk, dan hancur. Tak lama bengkel mungil itu semakin tersudut dikerumuni orang-orang yang datang dari segala arah angin.

Selama matahari mengelilingi lingkaran cakrawala dan bulan menggenapi perputarannya, Ijah selalu disibukkan dengan permintaan putus asa orang-orang yang sedih, tak punya harapan, dan frustrasi. Dia melakukan pekerjaan itu dengan rela, seperti kerelaan ranting kehilangan daun-daunnya pada musim gugur.

***

Pada purnama kesembilan, hari kelimabelas, pertengahan tahun, aku tiba di Bengkel Las Bu Ijah. Ada seorang perempuan muda yang berwajah teduh menerimaku dengan kelembutan yang mengingatkanku akan belaian pertama ibu. Kutunjukkan hatiku yang patah kepadanya. Dia mendampingiku, memegang tanganku, dan membelai air mataku. Katanya padaku, jangan menangis, jangan kehilangan arah. Hatimu sangat indah, cantik, bercahaya, dan rapuh. Tak heran banyak pencuri yang hendak merusak pagar jiwamu. Senyumnya meneduhkanku. Kutelan butir-butir harapan yang berjatuhan dari bibirnya. Katanya padaku, dia dapat merapikan hatiku kembali, bahkan memperkuat dan meninggikannya agar tak mudah dirusaki oleh pencuri lain.

Ijah menepati janji. Hatiku kembali menjadi hati yang utuh, seperti hati yang dahulu kukenal baik, yang kusimpan rapat-rapat di dalam diri. Hati ini bahkan tampak lebih kuat, tak mudah goyah, bahkan lebih perkasa. Kupasang hatiku baik-baik sambil berjanji kepadanya untuk tak akan membiarkan hatiku diserempet oleh apa pun.

***

Waktu pun menghilangkan hari dan hari menghilangkan waktu. Tahu-tahu telah belasan kali matahari urung bersenggama dengan bulan serta puluhan kali angin timur bertabrakan dengan angin barat. Kemampuan Ijah menyatukan hati yang patah telah didengar oleh penguasa kota. Mereka berang untuk alasan yang gamang. Bengkel las mungil itu disatroni puluhan manusia yang berpakaian seragam, sepatu bot berat, dan menghunus pedang. Segera saja wangi potpourri bercampur aduk dengan keringat manusia dan liur ludah. Ijah ditangkap lalu dipenjara. Pelanggannya dilarang kembali ke bengkel. Bengkel las itu diobrak-abrik isinya lalu dililiti kain segel. Dilarang masuk, milik penguasa, begitu tulisannya. Jelas, besar-besar, dan terang.

Tetangga-tetangga datang bergerombol, saling berbincang dengan asyik. Berita itu masuk televisi dan koran, disiarkan oleh para pengejar berita. Sampai beberapa waktu, orang-orang sibuk mendiskusikan kejadian itu. Jika ada beberapa orang menyetujui tindakan semena-mena penguasa, lebih banyak lagi yang tak setuju. Ijah tak seharusnya ditangkap, apalagi dipenjara. Tapi omongan-omongan seperti itu sekadar angin lalu dan kentut si penderita masuk angin. Kasus bengkel las yang sempat masyhur itu perlahan-lahan meredup bagai kunang-kunang yang sekarat.

Akhirnya ketika konser jangkrik mulai berbunyi di sekitar bengkel yang telah ditumbuhi rumput-rumput liar, Ijah telah dilupakan orang. Perempuan yang membaktikan hidupnya untuk menyatukan kembali kepingan-kepingan hati yang rusak kini meringkuk di penjara oleh kesalahan yang tak pernah ia mengerti. Ijah akan tetap dipenjara sampai air pasang di pantai tak akan mengobrak-abrik pasir di pesisir.

***

Aku menjaga hatiku baik-baik seperti yang kujanjikan pada Ijah. Kekasihku yang sekarang tak pernah menggoreskan sedikit pun luka di sana. Aku mencintainya dengan segenap jiwaku. Tapi apa yang bisa kulakukan jika ternyata Tuhan yang berkhianat dengan diriku? Apa yang bisa kulakukan jika Tuhan sendiri yang mematahkannya? Katakan padaku mengapa Tuhan sendiri yang mengobrak-abrik rumahNya? Kekasihku bersama buah cinta kami yang masih berusia sangat belia meninggal dalam badai tsunami yang melenyapkan kotaku di atas peta. Aku kehilangan segala-galanya, termasuk hatiku. Hatiku terseret ombak setinggi gedung berlantai sepuluh dan entah terhempas ke mana.

Seketika itu, aku teringat akan Ijah. Dia yang dulu menyatukan potongan hatiku yang patah, tentu dapat membuat hati yang baru, bukan? Tapi sayang kudengar Ijah sudah tidak membuka praktik lagi. Bengkel lasnya kini sepi dan Ijah sendiri entah berada di mana. Aku kini hidup dalam keputusasaan dan kelelahan teramat luas. Entah ke mana aku harus mencari bengkel las yang mampu membuat hati sekeras baja atau menyatukan hati yang retak. Jika saja ada Ijah lain yang dapat kutemui.

Pada Senin kedelapan sejak aku mencari Ijah, kubaca berita basi pada koran lecek berbau pesing anjing tentang apa yang terjadi bertahun-tahun yang lalu. Penguasa telah melarang kegiatan penyembuhan apa pun seperti yang Ijah lakukan. Menurut mereka, tindakan itu menghina kekudusan dan pelecehan terhadap keagungan Tuhan. Air mataku mengalir tanpa henti. Kini harapanku untuk mendapatkan hati yang baru tenggelam sudah. Sekarang aku tertatih-tatih hidup tanpa sepotong hati, bergabung bersama dunia yang hiruk-pikuk. Dunia yang penuh dengan manusia tak berhati. Dunia yang bersesakan dengan manusia berhati retak, remuk, dan ambruk . Dan dunia yang membutuhkan manusia seperti Ijah. ***
+Fin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar