Rabu, 25 Januari 2012

Aryati karya Dodiek Adittya Dwiwanto


Seputar Indonesia
Minggu, 27 Januari 2008

Aryati
Cerpen: Dodiek Adyttya Dwiwanto

”Manggarai! Manggarai! Ayo, buruan!” Kondektur bus terus berteriak-teriak memberitahukan jurusan yang dituju bus ini. Sesekali ia mengetukkan sekeping uang lima ratusan ke jendela dekat pintu belakang. Entah siapa yang hendak diberi kode, penumpang atau sopir. Tapi ia melakukan hal itu berkali-kali. ”Manggarai! Manggarai! Ayo, buruan!”

Aku bergegas menuju bus itu yang sedang mangkal di Jalan Raya Pasar Minggu ini. ”Manggarai?” Kondektur mengangguk. Aku langsung meloncat ke dalam bus. Ah, untunglah ada tempat duduk yang tersisa. Aku segera duduk deret kedua kursi terluar, dekat lorong. Tidak lama berselang, beberapa penumpang naik dan menambah sesak bus berwarna merah ini. Aryati. Engkaulah bunga di tamanku. Aryati…. . Busyet! Ini kan zaman komputer. Hebat juga ada yang memutar lagu keroncong.

Ah, lagu Aryati itu yang dibawakan Mus Mulyadi itu seperti membawaku saat berada di rumah simbah dulu di pelosok Sleman sana. Biasanya sih sopir metromini suka menyetel lagu dangdut, rock, atau pop deh. Kalau keroncong sepertinya sopir yang langka! Setelah cukup lama mangkal di dekat terminal, bus mulai melaju perlahan, menyusuri Jalan Raya Pasar Minggu yang mulai lengang. Maklum sekarang hari minggu jam sepuluh malam. Kalau orang lain sedang bercengkerama dengan keluarga atau pacar, aku malah akan menuju kantor untuk bekerja.

Ah, lagu keroncong itu malah membuatku mengantuk. Apalagi baru tadi musim hujan. Aku tidak tahu apakah ada kombinasi antara udara dingin seusai hujan dipadu dengan lagu keroncong akan menyebabkan kantuk? Ah, teori asal-asalan. Aku pun jatuh tertidur. Lelah menyergapku dengan cepat. Bekerja selama sepekan dari malam hari hingga dini hari membuat fisikku dengan mudah terkuras habis. Kadang aku menyiasatinya dengan tidur di bus. Sering kali aku terbangun, justru di Terminal Manggarai. Mau tidak mau, aku membayar ongkos dobel untuk sampai kantor. Aku harus naik bus lagi untuk menuju kantorku di Jalan Soepomo.

Sejatinya, sih, bisa saja naik ojek atau kendaraan tuhan alias bajaj, tapi ongkosnya lebih baik aku belikan makan malam seafood yang lezat. Hmm, mak nyus! Kerja pun jadi tenang kalau perut kenyang. Aku masih tertidur pulas. Tapi tidur nyenyakku terganggu dengan laju bus ini. Aku terkesiap. Bus berguncang dengan hebat. Mungkin ada sebuah lubang raksasa yang tidak dilihat oleh sopir bus. Aryati. Engkaulah bunga di tamanku. Aryati…. . Samar-samar aku mendengar lagu itu lagi. Masya Allah, masih lagu yang sama? Aku ingin memejamkan mata tetapi belum bisa.

Keterkejutan membuatku sulit untuk membuat mata kembali tertutup. ”Bandung lautan api ini hanya taktik. Biar Belanda tidak bisa memanfaatkan Bandung sebagai basis mereka. ” ”Benar itu. ” ”Saya yakin Panglima Besar Jenderal Sudirman punya rencana brilian untuk membuat kita menang melawan Belanda. ” ”Bambu runcing akan menang melawan senjata. ” ”Saya setuju, bung. ” ”Nanti kalau di Yogyakarta, kita masuk pasukan mana, ya?” ”Ah, pasukan mana saja, bung. Kita berjuang demi bangsa dan negara. Mau pasukan Jawa, Ambon, Bugis, atau Aceh, saya tidak peduli!

Yang penting negara ini merdeka. ” ”Benar, bung. Biar sang saka merah putih berkibar. ” Samar-samar aku mendengar hal yang aneh. Kok, malam-malam begini ada yang bicara soal kemerdekaan? Wah, Indonesia sudah merdeka dari penjajahan Belanda, tapi aku tidak tahu kapan lepas dari penjajahan bangsa sendiri. He-he-he. ”Sudahlah, bu. Kita memang harus keluar dari Bandung. Di Yogyakarta nanti, mungkin kita bisa tinggal di palang merah atau mana saja.

Pasti ada yang menampung. ” ”Tapi, Pak. Barang-barang kita?” ”Pasti kita bisa dapatkan lagi. Bisa beli kalau kita sudah merdeka. Yang penting, kita satu keluarga bisa berkumpul. Berangkat sama-sama. ” Waduh, ada yang ngomong apalagi, nih? Kok, bicara soal Bandung Lautan Api? Bicara soal kemerdekaan? Yang aku tahu ada film biru ”Bandung Lautan Asmara! Halah, ngantuk kok bicara film biru. ”Tapi saya tidak ke Yogya, bung. ” ”Lho, mau ke mana?” ”Dari Yogya, saya mau ke Surabaya. Saya ingin bertempur bersama Bung Tomo. Saya ingin bahu membahu bersama arek-arek Suroboyo!” ”Saya ikut, bung. ”

”Kalau bung ke mana?” ”Saya ke Semarang saja. Saya dengar di sana kurang orang, mungkin tenaga dan pikiran saya bisa membantu kaum republiken di sana. ” Aku membuka telingaku dengan jari. Aku tidak salah dengar, nih? Masak dari tadi bicara kemerdekaan melulu, sih? Aku membuka mataku lebar-lebar. Perlahan, aku melihat bus yang sama, tetapi dengan orang-orang yang berbeda. Ada satu keluarga yang tengah duduk bersama. Ada tentara berseragam dan bersenjata lengkap. Aku mengucek-ucek mataku. Tidak salah lihat, nih? Aryati. Engkaulah bunga di tamanku. Aryati…. . Aku memalingkah pandangan ke sekeliling.

Beberapa orang menyapa dengan ramah. ”Merdeka!” ”Merdeka!” ”Merdeka, bung!” ”Merdeka juga!” jawabku dengan lantang. Aku berusaha meyakinkan diri sendiri kalau aku tidak bermimpi. ”Dari tadi bung tertidur. Maaf, kalau obrolan kami membangunkan, bung. ” Aku menggeleng. ”Bung, mau ke Yogyakarta juga?” Aku bingung tapi aku mengangguk saja. ”Bung sepertinya bukan tentara atau pengungsi? Apa pekerjaan bung? Oh, maaf, nama bung siapa?” ”Saya Pratama. Saya penulis infotainment. ” ”Wah, bung ini seorang penulis? Wartawan?

Kawan-kawan, di bus ini ada kawan seperjuangan seorang wartawan!” ”Wartawan?” ”Wartawan?” ”Kawan dari Rosihan Anwar atau Mochtar Lubis?” ”Bukan, saya penulis biasa, ” kilahku merendah. ”Jangan begitu, bung. Dalam perjuangan tidak ada yang biasa atau luar biasa. Semuanya berjasa kepada negara. Bung merasa diri sebagai penulis biasa, tetapi di mata kami, bung adalah penyebar berita perjuangan bagi bangsa dan negara. Perjuangan kami akan bung tulis, lantas dimuat di surat kabar, kemudian rakyat tahu bagaimana kami berjuang. Bangsa ini akan semakin bersemangat memperjuangkan kemerdekaannya.

” Aku manggut-manggut. Gila, baru kemarin menulis gosip tentang pernikahan ketiga diva pop Titi DJ dan rocker Ovy /rif, eh, ketemu dengan para pejuang yang bicara soal kemerdekaan! Aku pusing! Aku butuh Aspirin dengan segera! Perbincangan seputar kemerdekaan terus berlanjut. Aku tambah pusing sebelas keliling.

Aryati. Engkaulah bunga di tamanku. Aryati…. . Aku kembali jatuh tertidur. ”Manggarai! Manggarai! Habis! Habis!” Aku masih terlelap dalam kantukku. ”Manggarai! Manggarai! Habis! Habis!” Aku masih mengantuk. Aku masih ingin tidur lebih lama lagi. ”Bang, bangun! Sudah sampai di Manggarai!” teriak kondektur seraya menguncang tubuhku. Aku terperanjat. ”Manggarai? Bukan Yogyakarta?” ”Lho, abang mau ke mana?” ”Soepomo. ” ”Sudah lewat, bang. Terus kenapa abang mau ke Yogya segala?” tanya kondektur bingung. ”Salah sebut, ”kilahku. ”Oh. ” Aku segera melihat sekeliling. Benar ini Terminal Manggarai. Beberapa bus merah sedang mangkal di sini. Orang-orang berseliweran. Kondektur berteriak-teriak. Ojek-ojek menunggu.

Pedagang menanti pembeli. Martabak sedang dibuat. Pasaraya Manggarai tutup. Pak satpam sedang berjaga. Halte busway sepi. Ah, aku sudah di Manggarai, bukan ke Yogyakarta. Aku melangkah turun dan hendak menuju ke seberang. ”Abang mau ke Soepomo?” tanya kondektur. Aku mengangguk. ”Mobil ini nanti balik lagi ke sana. ” Aku ingin melangkah dan naik ke bus yang sama, tapi tiba-tiba aku urungkan niatku itu. Aryati. Engkaulah bunga di tamanku. Aryati…. . Lagu itu lagi! Lagu itu lagi! Aku menggeleng pelan lantas melangkah pergi dari bus itu.

Kondektur tidak ambil pusing. Aku berjalan menuju tempat ojek biasa mangkal. Malam ini aku mau naik ojek saja. Aku tidak ingin naik bus itu lagi. Aku ingin sampai secepatnya ke Soepomo. Aku tidak ingin mendengar lagu keroncong itu lagi, lebih baik telingaku mendengar lagu ”Kucing Garong”saja. Lebih aman! ***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar