Rabu, 25 Januari 2012

Arjuna Tumaritis karya Nanang Hape


Seputar Indonesia
Minggu, 17 Juni 2007

Arjuna Tumaritis
Cerpen: Nanang Hape

Aku menulis ini karena dua saudaraku yang lain tak bisa menulis. Mereka hanya tertarik pada tanaman dan ternak. Soal pupuk, hama ini dan itu, kakakku adalah ahlinya. Memilih bibit yang baik, cara petik yang tepat, dia sangat teliti. Lain halnya dengan Si Bengal bungsu itu.

Dia memang tak kenal angka,apalagi huruf, tapi dia pintar bercakap-cakap dengan kambing- kambing kami. Kadang-kadang ia merayu agar mereka mau memakan rumput kering sisa persediaan kemarin. Jika kambing-kambing itu rewel, serapahnya segera menggema di seluruh kampung.

Setelah itu kupingnya pasti memerah karena dijewer Bapak Semar, ayah kami tercinta. Gareng kakakku, Bagong adikku dan perkenalkan aku, Si Ganteng Mas Petruk,Arjuna dari Tumaritis. Entah kenapa mendadak semua keluguan itu menghilang dari rumah kami. Beberapa hari ini Gareng dan Bagong sibuk berdebat tentang keadaan Istana Amarta.

”Puntadewa dan adikadiknya itu, dulu aku yang nyeboki pantatnya. Enak saja dia main perintah seluruh anak-anak yang sudah disunat harus menjadi prajurit,” Gareng meradang. “Lho, itu kan demi kewibawaan Amarta juga, supaya Hastina berpikir lagi untuk tidak seenaknya pamer kekuatan.”

”Tapi Gong, sebagai tanaman, mereka belum siap untuk berbuah. Pemaksaan itu hanya akan merusak. Dahan-dahannya rapuh, mutu buahnya jelek, tidak tahan penyakit dan tidak akan berumur panjang.” “Kambing-kambing itu kalau tidak dibiasakan, dilatih, hanya akan menjadi binatang-binatang manja. Mereka hanya tahu rumput gajah itu enak, rumput kering itu hambar. Bagaimana dengan aku yang tiap hari mesti memenuhi kebutuhan mereka.”

”Anak-anak kita bukan kambing, dungu!” “Apalagi tanaman, sama sekali bukan, pincang!” Gareng memang pincang dan Bagong mungkin saja dungu karena nyatanya ia tidak menampik sebutan dari mulut Gareng itu. “Lho, kok pakai bawa-bawa kakiku yang pincang?” “Aku juga bukan orang dungu. Kamu yang tolol.” Ternyata aku salah.Gareng sakit hati pada kakinya yang pincang semenjak lahir itu dan Bagong mengingkari kedunguannya.

Peristiwa itu terus saja kutulis, aku tidak akan melerai mereka. Tepatnya, aku tidak akan ikut campur karena bisa-bisa tulisan ini jadi macet. Maka selanjutnya sandal Bagong pindah ke muka Gareng dan entah bagaimana bisa wajah bulat Bagong telah terjebak di sarung Gareng. Semuanya baru berakhir ketika telinga keduanya sudah memerah oleh tangan Bapak Semar yang muncul tiba-tiba. Kata-kata Semar tidak menarik minatku sehingga aku mencari hal lain yang dapat ditulis. Ah, ke perbatasan. Siapa tahu ada yang menarik di sana.

Ternyata perbincangan itu bukan hanya milik Gareng dan Bagong. Semua orang di perbatasan juga sedang hangat menggunjingkannya. Tentu saja tidak sekencang di Tumaritis karena di sini banyak prajurit berkeliaran. Salah-salah orang-orang yang hanya bermaksud mencari hiburan petang itu dijemput oleh hari naasnya.

Mereka tidak pincang seperti Gareng dan mungkin juga tidak sedungu Bagong. Tapi mereka juga tidak pernah menceboki pantat Punta-dewa bersaudara. Maksudku, siapa tahu prajurit- prajurit itu tidak memata-matai kami karena masalah cebok-mencebok itu. Tapi ya, itu pikiranku saja. Pikiran seninya Mas Petruk, Arjuna dari Tumaritis. Akan halnya kenapa aku sangat mengidolakan Raden Arjuna adalah karena kemampuan mencintainya yang luar biasa.

Betapa tidak, istrinya yang hampir tak terhitung itu bisa hidup rukun, entah bagaimana caranya. Di dunia Petruk, ini adalah masalah keseimbangan dan kualitas pengendapan rasa. Dia hanya bisa tersaingi oleh Kresna, penasehat Pandawa yang juga digandrungi banyak wanita itu. Tapi Kresna sering mempengaruhi Puntadewa dengan pikiran-pikiran terlalu cerdasnya, yang kami-kami sering tidak bisa memahaminya. Raden Arjuna lain. Kalimat-kalimatnya sederhana, tidak membuat kami merasa dungu, sedungu Bagong.

”Ini masalah gawat. Bapak Semar harus segera mengingatkan bangsawan-bangsawan itu. Masa kerjanya hanya berdoa dan berdoa terus. Mana bisa mempan kalau tidak bertindak. Doa itu harus diusahakan juga. Tanaman tidak cukup hanya diharap, harus dirawat, dipupuk, disiangi.” Gareng telah memulai pertempurannya.”Tidak bisa Reng.Kambing tidak hanya butuh makan. Dia juga butuh kebebasan. Makanya kalau sedang kugembalakan, mereka kuberi waktu untuk menyendiri, memilih rumputnya sendiri. Bapak sedang bertapa, jangan diganggu. Kualat tahu rasa. Udah pincang, kualat, hahaha?.” Maksud Bagong mungkin bercanda. Tidak berhasil. Mereka berkelahi lagi. Tapi yang ini berlangsung lebih lama tanpa ada yang melerai, tidak juga Bapak Semar. Mungkin Bapak sedang mencari petunjuk untuk keadaan yang gawat ini sehingga mengabaikan hal remeh-temeh macam Gareng dan Bagong.

Petunjuk hanya datang jika hati kita tenang. Melerai mereka hanya akan mengaburkan tidak hanya pandangan tapi juga perasaan. Aku setuju dan memutuskan untuk menulis saja apa adanya. Kali ini lebam-lebam di sekujur tubuh kakak dan adikku itu lebih biru dari yang kemarin. Gareng makin pincang dan kurasa Bagong makin dungu juga. Bapak masih larut di kamarnya.Tujuh hari tujuh malam tidak makan tidak minum. Di pagi ke delapan kuberanikan untuk mengetuk pintu, takut terjadi apaapa.

Dia terlalu gemuk untuk membuatku percaya bisa menahan lapar dan haus selama itu.”Masuk Truk.” Aku kaget bukan kepalang, membuka pintu dan menerobos masuk, lupa melepas sandal. “Kakak dan adikmu itu masih senang main-main. Mereka masih kecil. Benar kan?” “Setelah berhari-hari tidak makan, Bapak sudah tidak bisa membedakan besar dan kecil. Gareng sudah beranak pinak dan Bagong sudah kawin dua kali, mana bisa dianggap masih kecil.”

”Jiwanya yang kerdil, goblok. Dianggapnya ini urusan yang bisa selesai dengan berkelahi. Mereka lupa yang dilukai itu saudara sendiri. Dan gobloknya lagi, kamu hanya menonton dan corat-coret.” “Lho, bukan apa-apa. Aku nonton kan karena tidak mau ikut campur, tidak mau ikut-ikutan berkelahi. Aku tidak pincang, tidak dungu, bahkan ganteng. Bapak aneh-aneh saja. Ini pilihan terbaik. Raden Arjuna, kalau berada di posisiku, pasti memilih tindakan yang sama.”

”Maksudnya, sebagai saudara kamu harus melerai mereka. Dan lagi, buat apa mereka mempertentangkan hal-hal yang tidak mereka ketahui. Mereka lupa akan tugasnya. Kita memang abdi. Hari boleh berlalu, musim boleh bergeser, tapi kita tidak. Jangan pernah tertipu oleh semua yang mengacaukan matamu. Sudah. Keluar sana!” Secepat kilat aku melarikan diri. Kali ini giliran sandalku yang tertinggal di dalam. Aku mulai berpikir, apa benar kami tidak boleh berubah.

Sekali abdi selamanya abdi. Sekali tukang cebok, selanjutnya hanya akan menceboki tuan yang baru lagi. Hari memang telah berlalu dan musim telah bergeser. Kemarau dan penghujan seperti berebut tempat saja. Petani-petani di Tumaritis sering merugi karena salah tanam. Kadang-kadang kemarau begitu panjang sampai sawah-sawah kami mengerontang. Panen padi gagal, lumbung-lumbung komplang. Sebaliknya hujan datang tak terterka. Sekali turun tak berhenti tiga hari tiga malam. Banyak pematang ambrol, saluran air meluap dan Tumaritis kebanjiran.

Banyak penduduk terserang mencret, anak-anak diserbu nyamuk loreng. Jika terus begitu, bagaimana bisa mereka jadi prajurit seperti yang sering dipertentangkan Gareng dan Bagong itu? Amarta dan Hastina, dua-duanya negara besar. Raja-rajanya orang-orang besar juga. Tidak pincang seperti Gareng, tidak dungu seperti Bagong, tapi tetap saja mereka berkelahi diam-diam. Mereka juga tidak seperti aku yang sesungguhnya paling anti kekerasan, apa pun bentuknya, yang paling halus sekalipun.

Kekerasan hanya membuat hari cepat berlalu dan musim makin bergeser. Artinya hidup kami makin susah dan perkelahian Gareng dan Bagong sama sekali tidak membantu. Menyelesaikan semua dengan dewasa. Benar. Itu kusarikan dari kata-kata Bapak Semar.  

***

Hari ini aku ke Kotaraja, berharap mendapat penjelasan yang lebih gamblang. Pintu masuk Istana dijaga ketat dan aku dilarang masuk. Raja Puntadewa sedang tidak ingin menerima siapa pun. Semua anak-anak yang telah disunat wajib mengikuti pelatihan prajurit. Keinginan, kesediaan dan kini telah menjadi keharusan bagi tiap warga untuk membela negaranya. Pengumuman ini adalah perintah. Raja Amarta Prabu Puntadewa. Selebaran kertas jerami bertebaran di mana-mana.

Ditempel di dinding-dinding, di halaman depan buku pelajaran, di kereta-kereta pembesar, di warung-warung dan kujumpai juga di bungkus makanan. Aku berharap kertas itu juga ditempel di ruang makan Istana atau bahkan di kamar tidur Puntadewa. Dan lebih indah lagi kalau ditempel juga di kamar Pancawala, putra mahkota Amarta yang dua bulan lalu disunat, dimeriahkan pesta tujuh hari tujuh malam. Aku berharap ketiga anakku, juga anak Gareng dan Bagong,seandainya harus menjadi prajurit, bisa bergabung dengan Raden Pancawala.

Sebagai orang tua, kami akan lebih tenang. Ketika hal itu kutawarkan pada Bagong, ia menyambutnya. “Betul Truk. Kamu pintar.Anak kita akan aman karena berada di dekat putra mahkota. Aku kenal dengan petugas yang mencatat calon-calon prajurit itu. Dia bekas juru masak Istana yang sering kita ajak mancing di Danau Tirta Rasa.” Demikianlah Bagong si Bungsu. Lain halnya dengan Gareng, ia bahkan menantangku berduel.

”Kamu sudah edan Truk. Jadi kamu setuju anak-anak kita jadi barang mainan? Dasar. Cuma badan kamu yang bongsor, otakmu sama dungunya dengan Bagong. Kamu pikir aku akan melepas keponakan-keponakanmu begitu saja? Atau kau sudah berubah pikiran karena baru pulang dari Kotaraja? Mereka sudah menyogokmu kan? Berapa? Jadi itu harga anak-anak kita? Jadi kau memilih untuk memusuhi kakakmu ini? Ayo! Jangan ditunda lagi, sekarang aja.” Bukannya tidak berani. Tapi apa untungnya menang berkelahi dengan orang pincang macam Gareng. Dan lagi, aku hanya menyampaikan kabar.

Dari awal aku hanya ingin menjadi saksi, menulisnya menjadi catatan-catatan seni ala Tumaritis. Ini akan menjadi karya besar, catatan sejarah orang kampung yang dengan sadar melihat kenyataan. “Dasar pengecut. Mimpi aja sana. Mana Bagong?” Darah Gareng berkumpul di ubun-ubun. Ini bahan menarik untuk meneruskan tulisanku. Ternyata berlalunya hari dan bergesernya musim telah merubah bukan saja tanah kami tapi juga pikiran kami. Kini semua tingkah polah kami harus menunggu pengumuman dari Kotaraja. Paling tidak bagi yang setuju atau yang tidak mau menentang.

Yang tidak setuju, tentu saja berkelompok sendiri dan lambat laun memusuhi saudaranya. Padahal anak-anak kami belum berlatih apa-apa. Mungkin berlatih menjadi prajurit juga tidak apaapa, toh mereka sudah terbiasa dengan pedang, tombak, darah. Kalau sekedar lebam-lebam, Gareng dan Bagong telah menunjukkannya hampir tiap hari. Perintah untuk menjadi prajurit bagi anak-anak yang sudah disunat sementara dibatalkan, ditunda sampai waktu yang belum ditentukan. Raja Amarta Prabu Puntadewa

Sementara karena terlalu sibuk membela pikiran masing-masing, Gareng telah melupakan kebun buahnya. Di sela tanaman-tanaman itu telah tumbuh belukar sehingga pekarangan kami telah menjelma hutan. Kambing-kambing Bagong melarikan diri dari kandang dan mendapatkan kebebasannya di padang ilalang barat kampung. Aku hanya akan menulis dan sekali lagi, tidak akan ikut campur karena bisa-bisa tulisan ini jadi macet. Lebih baik aku jadi Mas Petruk yang ganteng. Jadi Arjuna dari Tumaritis saja. Aduh? Bapak Semar, kenapa aku dijewer juga? ***

Kamar 3, Nopember 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar